Anda di halaman 1dari 27

FIQH MUAMALAH

Oleh:
IS SUSANTO

Fakultas ekonomi dan bisnis islam


Uin raden intan
Lampung
TA. 2021 / 2022
Pengertian Fiqh Muamalah
Kata fiqh secara etimologi adalah ( ‫ )ا لفقه‬yang memiliki
makna “pengertian atau pemahaman”. Kemudian
menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran
agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama
dengan arti syari’ah islamiyah.

Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqh diartikan


sebagai bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat
yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Sedangkan kata muamalah dapat dilihat dari dua segi, yaitu
dari segi bahasa dan istilah. Menurut bahasa, muamalah
berasal dari kata: ‫ ُم َع َام َلًة‬- ‫ع َم َل – يُ َع ِام ُل‬,
َ , sama dengan wazan
kata ‫ ُم َف َاعَلًة‬-‫ فَ َاعَل– يُ َ فِاعُل‬, yang artinya saling bertindak, saling
berbuat, dan saling mengamalkan, atau berbuat secara
timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan
antara orang dan orang”.
Muamalah secara istilah sama dan semakna dengan al-
mufa’alah yaitu saling berbuat. Kata ini, menggambarkan
suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan
seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing. Pengertian muamalah dalam
arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya menjadi
sebab suksesnya masalah ukhrawy”.
Menurut M. Yusuf Musa, muamalah adalah peraturan-
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Atau
dapat diartikan dengan “segala peraturan yang diciptakan
Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam hidup dan kehidupan”. Jadi, muamalah adalah
aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur
manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.
Adapun pengertian dalam arti sempit (khas), yaitu semua
manfaat yang membolehkan manusia saling menukar
manfaatnya. Atau didefinisikan dengan “tukar menukar
barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang
telah ditentukan”.
Fiqh muamalah menurut Musthafa Ahmad Zarqa adalah
hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia
dan hubungan sesama manusia dalam urusan kebendaan,
hak-hak kebendaan serta penyelesaian perselisihan di antara
mereka. Dalam hal ini, fikih muamalah dapat dipahami
sebagai hukum perdata Islam tetapi terbatas pada hukum
kebendaan dan hukum perikatan.
Jadi, fiqh muamalah adalah ilmu yang mempelajari hukum-
hukum syari’ah yang terkait dengan hubungan antar
manusia dari dalilnya yang terperinci. Atau secara sederhana
menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara
yang paling baik.
Pembagian fiqh Muamalah
Menurut Ibn ‘Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi
lima bagian, yaitu:
1.Mu’awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan);
2.Munakahat (Hukum Perkawinan);
3.Muhasanat (Hukum Acara);
4.Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman);
5.Tirkah (Harta Peninggalan).
Sedangkan al-Fikri membagi menjadi dua, yaitu:
a.Al-Muamalah al-Madaniyah: muamalah yang mengkaji
objeknya sehingga muamalah ini bersifat kebendaan
karena objek muamalah adalah benda yang halal, haram
dan syubhat diperjual belikan, benda-benda yang
mendatangkan maslahat, dan lainnya.
b. Al-Muamalah al-Adabiyah: muamalah yang ditinjau dari
segi cara tukar menukar benda yang bersumber dari panca
indra manusia yang unsur penegaknya adalah hak-hak
dan kewajiban, misalnya jujur, dengki, dendam, dan
lainnya.
Muamalah Madaniyah yang dimaksud al-Fikri ialah aturan-
aturan yang ditinjau dari segi objeknya. Oleh karena itu
jual beli benda bagi seorang muslim bukan hanya sekedar
memperoleh keuntungan besar, akan tetapi secara vertikal
bertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara
horizontal bertujuan untuk memperoleh keuntungan,
sehingga benda-benda yang haram diperjual belikan
menurut syara’ tidak akan diperjual belikan karena
tujuannya bukan hanya untung, tapi ridha Allah.
Sedangkan muamalah al-adabiyah adalah aturan-aturan
Allah yang wajib diikuti dari segi subjeknya. Muamalah al-
adabiyah ini berkisar pada keridhaan kedua belah pihak,
ijab dan qabul, dusta, menipu, dan hal-hal lain yang
terkait.
Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Sesuai dengan pembagian fiqh muamalah, maka ruang
lingkup fiqh muamalah terbagi menjadi dua. Ruang
lingkup muamalah yang bersifat adabiyah, yaitu ijab dan
qabul, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan,
penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam
hidup bermasyarakat.
Ruang lingkup pembahasan madiyah ialah masalah
objeknya. Beberapa hal yang termasuk ke dalam ruang
lingkup muamalah yang bersifat madiyah adalah:
1.Jual beli (al-Bai’ al-Tijarah) merupakan tindakan atau
transaksi yang telah disyari’atkan dalam arti telah ada
hukumnya yang jelas dalam Islam.
2.Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang
mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk
kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan
mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
3.Jatuh bangkrut (Taflis) adalah seseorang yang
mempunyai hutang, atau seseorang yang usahanya tidak
berkembang dan jatuh bangkrut sehingga seluruh
kekayaannya habis.
4. Jaminan dan tanggungan (Kafalan dan Dhaman)
diartikan menanggung atau penanggungan terhadap
sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi
terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain
itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut
dalam menghadapi penagih (utang). Sedangkan dhaman
berarti menanggung hutang orang yang berhutang.
5. Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas
prinsip perwakilan dan kepercayaan, karena masing-
masing pihak yang telah menanamkan modalnya dalam
bentuk saham kepada perseroan, berarti telah
memberikan kepercayaan kepada perseroan untuk
mengelola saham tersebut.
6. Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan,
pemindahan. Pemindahan hak atau kewajiban yang
dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak
kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau
membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak
ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik
pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti
pembayaran maupun tidak.
7. Sewa menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai
(al-’ariyah), barang titipan (al-wadlit’ah), barang temuan
(al-luqathah), garapan tanah (al-muzara’ah), upah (ujrat
al-’amal), gugatan (al-suf’ah), dan lainnya.
8. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit,
dan masalah-masalah baru lainnya.
Prinsip-prinsip Fiqh Muamalah
Prinsip mendasar dari muamalah adalah manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi untuk mengembang-kan dan
melestarikan bumi. Bumi ditundukkan untuk diambil
manfaatnya oleh manusia. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah dalam Qs.al-An’am ayat 165: “Dan Dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu…”.
Kemudian firman Allah pada Qs. al-Mulk ayat 15: “Dialah
Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan”.
Untuk mengelola bumi, manusia diberikan aturan main
oleh agama. Ada hal-hal yang harus dikerjakan oleh
manusia tetapi ada pula larangan yang harus
ditinggalkannya. Ada yang halal dan ada pula yang haram.
Semua ini dibuat untuk mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia.
Di antara prinsip fikih muamalah adalah:
1.Muamalah adalah Urusan Duniawi
Muamalah berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah,
semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan.
Oleh karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus
sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Sebaliknya, dalam muamalah, semua boleh kecuali yang
dilarang.
Muamalah atau hubungan dan pergaulan antara
sesama manusia di bidang harta benda merupakan
urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan oleh
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk
akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh
manusia hukumnya sah dan dibolehkan. Asal tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum
yang ada dalam syara‘.
2. Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah Pihak
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang
melakukan transaksi merupakan asas yang sangat
penting untuk keabsahan setiap akad. Hal ini
didasarkan kepada firman Allah SWT. dalam al-
Qur’an surat An-nisa ayat 29.
3. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah Muamalah, adat kebiasaan bisa
dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut
diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan umum yang ada dalam syara'. Sesuatu yang
oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah
juga dianggap baik.
4. Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Setiap transaksi dan hubungan muamalah dalam Islam
tidak boleh menimbulkan kerugian kepada diri sendiri
dan orang lain, hal ini didasarkan pada hadis Nabi
bahwa Rasulullah bersabda: Janganlah merugikan diri
sendiri dan janganlah merugikan orang lain. (HR.
Ibnu Majah).
Selain itu, M. Daud Ali mengemukakan 18 Prinsip yang
menjadi asas-asas hukum Islam di bidang muamalah.
asas-asas tersebut yaitu:
a.Asas Kebolehan atau Mubah
Ulama fikih sepakat bahwa hukum asal dalam
transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah),
kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan
demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah
transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan
nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan
ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa
melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan
nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak
bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.
Pokok dari kegiatan muamalah hukumnya mubah
(boleh). Kegiatan transaksi apapun hukumnya halal,
selama tidak ada nash yang mengharamkannya.
Berbeda dengan ibadah, yang pokoknya hukumnya
haram, tidak boleh menjalankan suatu ibadah yang
tidak ada tuntunan syari’ahnya.
Asas ini menjadikan fikih muamalah fleksibel dan up to
date. Sehingga syari’ah dapat menangkap segala
transaksi muamalah. Fikih muamalah fleksibel, tidak
kaku, dan tidak ketinggalan dalam menjawab
perkembangan kontemporer interaksi dan transaksi
sosial. Fleksibilitas fikih muamalah ini ditunjukkan
dalam kaidah yang lain, yaitu: “Hukum asal sesuatu itu
boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya”.
Ibnu al-Qayyim melansir pendapat jumhur ulama bahwa
“Hukum asal dari akad dan persyaratan adalah sah selama
tidak dibatalkan dan dilarang oleh agama”. Konsekwensi
dari hukum asal muamalah boleh ini adalah memilah dan
memilih mana yang halal dan haram. Prinsip
mengedepankan yang halal dan menjauhi yang haram,
termasuk menjauhi riba.
b. Kemaslahatan Hidup
Fikih muamalah senantiasa berusaha mewujudkan
kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di
antara manusia. Allah tidak menurunkan syari’ah, kecuali
dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan
menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi
kehidupan. Asas kemaslahatan hidup adalah suatu asas
yang mengandung makna bahwa hubungan perdata
apapun dapat dilakukan, asal hubungan itu
mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi
kehidupan pribadi dan masyarakat, meskipun tidak
ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-sunnah
Nabi Saw.
Ini berarti bahwa Islam membuka pintu selebar-
lebarnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan
untuk mengembangkan dan menciptakan bentuk dan
macam hubungan perdata baru, sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat,
asalkan tidak berlawanan dengan syari’ah.
c. Asas kebebasan dan Kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan
perdata / muamalah harus dilakukan secara bebas dan
sukarela tanpa ada paksaan dari siapapun. Kebebasan
kehendak para pihak yang melahirkan kesukarelaan dalam
persetujuan harus selalu diperhatikan.
Asas ini juga mengandung arti bahwa selama al-Qur’an
dan as-sunnah tidak mengatur secara rinci suatu hubungan
perdata/ muamalah, maka selama itu pula para pihak yang
bertransaksi mempunyai kebebasan untuk mengatur
transaksi yang mereka lakukan atas dasar kesukarelaan
masing-masing, dan tidak diperkenankan memaksakan
kepada salah satu pihak.

.
d. Asas Menolak Mudharat dan Mengambil Manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa segala bentuk hubungan
perdata / muamalah yang mendatangkan kerugian atau mudharat
harus dihindari, sedangkan hubungan perdata yang mendatangkan
manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat harus dikembangkan.
Dalam asas ini juga terkandung pengertian bahwa dalam
melakukan suatu transaksi, menghindari kerusakan harus
didahulukan dari pada meraih keuntungan, hal ini disebabkan
tujuan muamalah bukan hanya keuntungan tetapi mencari ridha
Allah. Contohnya perdagangan narkotika, prostitusi, dan
perjudian..

.
e. Asas Kebajikan (kebaikan)
Asas ini mengandung arti bahwa setiap hubungan
perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan atau
kebaikan kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga
dalam masyarakat. Kebajikan yang akan diperoleh
seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran
pengembangan kebaikan dan kerangka kekeluargaan.
f. Asas Kekeluargaan/ Asas Kebersamaan yang Sederajat
Asas ini adalah asas hubungan perdata yang disandarkan
pada sikap saling menghormati, mengasihi, dan tolong-
menolong dalam mencapai tujuan bersama. Asas ini
menganggap diri masing-masing sebagai anggota
keluarga, meskipun pada hakekatnya bukan keluarga.
g. Asas Adil dan Berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan
perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur
penipuan, penindasan, pengambilan kesempatan pada
waktu pihak lain sedang berada dalam kesempitan. Asas
ini juga mengandung arti bahwa hasil yang diperoleh
harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang
dilakukan oleh seseorang.
h. Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan
hubungan perdata. Para pihak harus mengutamakan
penunaian kewajiban terlebih dahulu daripada
menuntut hak. Islam mengajarkan bahwa seseorang
baru memperoleh haknya setelah kewajiban selesai.
i. Asas Larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang
mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan
diri sendiri dan orang lain dalam hubungan perdata nya.
Merusak harta Meskipun tidak merugikan diri sendiri,
tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan dalam
hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan atau
memusnahkan barang untuk mencapai kemantapan
harga atau keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh
hukum Islam.
j. Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek
hukum dalam setiap hubungan perdata, jika memenuhi
syarat untuk melakukan tindakan hukum.
Dalam hukum Islam manusia yang dipandang mampu
berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata
adalah orang yang mukallaf, yaitu orang yang mampu
memikul kewajiban dan hak, sehat rohani dan jasmani.
Hubungan perdata yang dibuat oleh orang yang tidak
mampu memikul kewajiban dan hak dianggap
melanggar asas ini. Oleh karena itu, hubungan
perdatanya batal karena dipandang bertentangan
dengan salah satu asas hukum Islam.
k. Asas Kebebasan Berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya
setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan
sesuatu yang baik bagi dirinya dan keluarganya.
Asas ini juga mengandung arti bahwa setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha
tanpa batasan, kecuali yang telah ditentukan batasannya
(dilarang) oleh hukum Islam.
l. Mendapatkan Hak karena Usaha dan Jasa
m.Asas Perlindungan Hak
n. Asas Hak Milik Berfungsi Sosial
o. Asas yang Beritikad Baik harus Dilindungi
p. Asas Resiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja
q. Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk
r. Asas Tertulis atau Diucapkan di Depan saksi
Wallahu a’lam bish shawab
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai