Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PERBANDINGAN MADZHAB

FIQIH MUAMALAH
Dosen Pengampu : Bapak Drs. H. Agus Salim M. Pd.

Oleh :

Achmad Shauqi Ramadlani

Siti Nur Azizah Noviantika

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN

UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT

MALANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam bermasyarakat.
Sebagai makhluk sosial dalam hidupnya manusia memerlukan manusia-manusia lain
yang bersama-sama hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain,
disadari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidup. Untuk itu perlu kita
ketahui juga bahwasanya dalam islam segala hal yang berkaitan dengan manusia
semuanya sudah diatur secara jelas. Aturan tersebut salah satunya yakni terdapat dalam
kajian tentang fiqh muamalah yang mana didalamnya mencakup seluruh aturan sisi
kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik
bernegara, serta lainnya.
Belakangan ini, pengertian muamalah dalam islam memiliki pergeseran dari
definisi yang lebih luas menjadi definisi muamalah yang lebih khusus. Sehingga saat ini
macam-macam muamalah dalam islam lebih dikenal sebagai kegiatan atau usaha yang
dilakukan dalam rangka mencari dan mengelola harta. Meskipun, ruang lingkup macam-
macam muamalah secara umum sebenarnya mencakup segala aspek kehidupan manusia,
mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, bahkan politik.
Salah satu faktor penyebab pergeseran definisi ini adalah maraknya
perkembangan ekonomi syariah, dan semakin meningkatnya keinginan masyarakat untuk
mulai melakukan pengelolaan harta yang sesuai dengan ketentuan syariat. Yaitu,
transaksi yang terhindar dari maysir, gharar, haram, macam-macam riba dalam islam, dan
bathil. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih berhati hati dalam melakukan setiap
transaksi keuangan mereka.
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dengan tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan
mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah
ma’annas. Nah hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu
dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang
lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan
suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Penjual menjual barangnya dan
pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara
langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli
sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya
penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
B. Rumusan Masalah
Berdasaran uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ditetapkan oleh
penulis adalah sebagai berikut :
a. Apa pengertian dan pembagian dari fiqih muamalah?
b. Apa pengertian, hukum, dalil, dan rukun jual beli menurut 4 madzhab?
c. Apa pengertian dari ihwal khiyar

C. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
a. Mengetahui pengertian dan pembagian dari fiqih muamalah
b. Mengetahui pengertian, hukum, dalil, dan rukun dari jual beli menurut 4 madzhab
c. Mengetahui pengertian dari ihwal khiyar
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembagian Fiqih Muamalah


1. Pengertian
Menurut etimologi (bahasa), fiqh adalah (ُ‫( )اَ ْلفَ ْهم‬paham), seperti pernyataan: (saya
paham pelajaran itu). Arti ini, antara lain, sesuai dengan arti fiqh dalam salah satu hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik disisi-Nya, niscaya
diberikan kepada-Nya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah),
yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiya. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqh
diartikan sebagai bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum
syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Kata muamalah merupakan berasal dari bahasa arab. Kata ‘amala-yu’amilu –
mu’amalatan memiliki makna saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan.
Oleh karena itu, pengertian muamalah dalam islam merupakan interaksi antar individu
dalam memperoleh dan mengembangkan harta sesuai dengan ketentuan syariat agama.
Ketentuan syariat tersebut dijelaskan dalam prinsip muamalah dalam islam, yaitu segala
aktivitas ekonomi boleh dilakukan, kecuali yang ada larangannya dalam Al-Quran dan al-
hadist. Berdasarkan dalil-dalil muamalah yang terdapat dalam dua sumber utama hukum
syariat islam yaitu Al Quran dan Al Hadits.
Pengertian dalam arti luas dapat diketahui bahwa fiqih muamalah adalah aturan-
aturan (hukum) Allah SWT., yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam
urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
masyarakat. Selanjutya, fiqih muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk
menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara
manusia dengan cara memperolaeh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal
(harta benda).

2. Pembagian Fiqih Muamalah

Penetapan pembagian fiqh mu’amalah yang dikemukakan ulama fiqh sangat berkaitan
dengan definisi fiqh mu’amalah yang mereka buat yaitu dalam arti luas dan arti sempit.
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian :

a. Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)


b. Munakahat (Hukum Perkawinan)
c. Muhasanat (Hukum Acara)
d. Amanat dan Aryah (Hukum Pinjaman)
e. Tirkah (Harta Peninggalan)

Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah


membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian :

a. Al Muamalah Al Madiyah
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni
benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat
kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual
belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda,
seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan
semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita
harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
b. Al Muamalah Al Adabiyah
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar
benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya
adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-
Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya)
yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul,
dusta, dll.

B. Pengertian Jual Beli


Secara bahasa jual beli berarti tukar menukar suatu barang dengan sesuatu yang lain.
Maka barter dalam hal ini termasuk dalam golongan jual beli. Sama seperti menukarkan
suatu barang dengan uang. Barang pihak pertama disebut dengan barang yang
diperjualbelikan (mabi’), barang pihak kedua disebut dengan harga (tsaman). Menurut
arti bahasa, tidak dijelaskan mengenai perbedaan suci atau najiskah barang yang akan
diperjualbelikan, ataupun boleh dimanfaatkan atau tidaknya barang yang akan
diperjualbelikan. Misalnya arak, secara bahasa adalah sah apabila arak tersebut
diperjualbelikan, namun secara syariat arak tidak sah diperjualbelikan karena termasuk
dalam barang yang diharamkan.
Sedangkan pengertian jual beli menurut syar’i (istilah hukum) berikut diutarakan oleh
para ulama fiqih :
1. Madzhab Hanafi
Jual beli menurut istilah para ahli fiqih punya dua makna yaitu :
a. Makna Khusus, yakni menjual suatu barang dengan bayaran uang (emas, perak,
dan sejenisnya)
b. Makna Umum, terbagi menjadi beberapa bagian yaitu :
i. Dari segi maknanya (tukar menukar)
 Jual beli nafidz (sah, berjalan, berlanjut)
Adalah jual beli yang mengubah kepemilikan
 Jual beli mauquf (digantungkan)
Adalah jual beli yang mengubah kepemilikan setelah
diperbolehkan
 Jual beli fasid (cacat hukum)
Adalah jual beli yang mengubah kepemilikan hanya ketika
menerima
 Jual beli bathil (tidak sah)
Adalah jual beli yang tidak mengubah kepemilikan sama sekali
ii. Dari segi barang yang diperjualbelikan (mabi’)
 Jual beli muqayadhah
Adalah menjual suatu barang dengan bayaran barang pula.
 Jual beli sharf
Adalah menjual mata uang dengan bayaran mata uang pula, seperti
jual beli emas/perak/dan sejenisnya dengan emas/perak/dan
sejenisnya
 Jual beli salam
Adalah jual beli uang yang ditukar dengan bayaran suatu barang
 Jual beli muthlaq
Adalah menjual barang dengan bayaran uang baik secara tunai
maupun secara utang
iii. Dari segi tsaman (harga)
 Jual beli tauliyah
Adalah dijual dengan jumlah yang sama dengan harga modal.
Tanpa penambahan ataupun pengurangan
 Jual beli shighah
Adalah dijual dengan dengan harga yang lebih tinggi daripada
harga modal
 Jual beli musawamah (tawar menawar)
Adalah dibeli dengan harga yang disepakati oleh kedua belah
pihak seraya mengabaikan harga modal
 Jual beli murabahah
Adalah dibeli dengan harga yang lebih tinggi daripada harga modal
2. Madzhab Maliki
Jual beli adalah akad mu’awadhah (saling memberi ganti/kompensasi) berupa selain
manfaat atau kenikmatan. Mu’awadhah berarti suatu akad bahwa kedua belah pihak
yakni penjual dan pembeli saling memberi ganti/kompensasi. Ungkapan “selain
manfaat” dalam definisi tadi berarti yang dipertukarkan adalah benda berupa barang
yang diperjualbelikan, bukan berupa hasil pengembangan atau pemanfaatannya.
Sedangkan kata “selain kenikmatan” dalam definisi diatas berarti akad ini tidak untuk
memperoleh kenikmatan.
Para ulama madzhab maliki membagi jual beli dalam beberapa macam dan aspek
yang berbeda. Menurut mereka secara umum jual beli dibagi menjadi dua bagian
yaitu jual beli jasa dan jual beli barang. Jual beli manfaat (jasa) terbagi menjadi 5
yaitu :
a. Jual beli manfaat benda mati (penyewaan tanah atau rumah)
b. Jual beli manfaat hewan (penyewaan hewan atau tunggangan)
c. Jual beli manfaat manusia yang berkaitan dengan kelamin (pernikahan)
d. Jual beli manfaat manusia yang tidak berkaitan dengan kelamin (penyewaan
tenaga)
e. Jual beli manfaat barang barang selain emas dan perak atau mata uang
(penyewaan mobil, kamera, dll)

Sedangkan jual beli barang terbagi menjadi beberapa macam. Ditinjau dari beberapa
aspek yaitu :

a. Aspek penundaan serah terima


i. Jual beli naqd (jual beli tunai)
ii. Jual beli dain bid dain (utang dibayar utang)
iii. Jual beli li ajal (harga ditunda pembayarannya)
iv. Jual beli salam (barang yang dihargai ditunda penyerahannya)
b. Aspek alat pembayaran
i. Jual beli al ain bi lain (mata uang dibayar mata uang)
ii. Jual beli al ardh bil ardh (barang dibayar dengan barang)
iii. Jual beli al ardh bi lain (barang dibayar dengan mata uang)
c. Aspek tampak atau tidaknya barang dagangan
i. Jual beli al hadhir (barang yang diperjualbelikan nampak oleh pembeli)
ii. Jual beli al ghaib (barang yang diperjualbelikan tidak nampak oleh
pembeli)
d. Aspek jadi atau tidaknya transaksi
i. Jual beli batt (pasti jadi)
ii. Jual beli khiyar (pilihan)
3. Madzhab Hambali
Makna jual beli menurut istilah adalah tukar menukar harta benda dengan harta benda
atau tukar menukar manfaat atau jasa yang mubah dengan manfaat yang mubah
lainnya, bersifat selamanya, bukan riba atau pinjaman.
4. Madzhab Syafi’i
Jual beli adalah mengganti suatu benda dengan benda lainnya secara khusus, yakni
suatu akad yang memiliki aktifitas penggantian suatu harta benda dengan harta benda
lainnya. Yang dimaksud dengan penggantian adalah saling memberikan ganti. Oleh
karena itu hibah bukanlah termasuk dalam jual beli karena hibah adalah pemberian
sesuatu tanpa ada pemberian barang lain sebagai kompensasi.
Jual beli yang sah dibagi menjadi beberapa mcam yaitu :
a. Jual beli barang yang dapat dilihat secara langsung
b. Jual beli barang yang hanya disebutkan spesifikasinya saja (tidak dilihat secara
langsung) dan berstatus utang (karena belum diserahkan). Ini adalah jual beli
salam.
c. Jual beli sharaf. Yaitu menjual salah satu mata uang dengan bayaran mata uang
baik sejenis maupun beda jenis
d. Jual beli murabahah. Yaitu menjual dengan harga modal ditambah dengan
keuntungan.
e. Jual beli isyrak. Yaitu kemitraan.
f. Jula beli muhathah. Yaitu menjual dengan harga kurang dari harga modal. Penjual
mau merugi
g. Jual beli tauliyah. Yaitu menjual dengan dengan harga modal atau tidak untung
tidak rugi
h. Jual beli hayawan bil hayawan. Yaitu jual beli binatang dengan binatang. Nama
lain dari jual beli ini adalah jual beli muqayadhah
i. Jual beli khiyar. Yaitu hak antara memilih jadi atau tidak jadi jual beli
j. Jual beli dengan syarat barang yang diperjualbelikan ataupun harga yang
dibayarkan terbebas dari cacat atau kerusakan.
C. Hukum dan Dalil Jual Beli
Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh, namun ketika kondisi memaksa kita
membutuhkan makanan atau minuman maka hukumnya menjadi wajib demi
menyelamatkan nyawa. Demikian juga sebaliknya, haram hukumnya tidak
memperjualbelikan makanan dan minuman yang bisa menyelamatkan nyawa.
Hukum bolehnya melakukan jual beli telah dimaklumi bersama sehingga tidak
membutuhkan dalil. Sekalipun demikian, dalilnya sangat banyak di dalam alquran dan al
hadits. Antara lain yaitu :
“Dan Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. AlBaqarah 275)
(QS. AnNisa 29)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli” (AlBaqarah 282)
Jual beli yang mabrur adalah jual beli yang bersih dari kecurangan, penipuan, ataupun
kemaksiatan terhadap Allah SWT dan Rosulnya. Hikmah dari dihalalkannya jual beli
adalah umat manusia dapat melakukan pertukaran apa yang dimilikinya dan terwujudnya
kerja sama sehingga kehidupan mereka berjalan lancar dan masing masing termotivasi
untuk meraih sarana kehidupan.
D. Rukun Jual Beli
Secara ringkas rukun jual beli terbagi menjadi tiga yaitu : Sighat (ucapan, redaksi),
pelaku transaksi dan objek transaksi. Namun secara luas, dari tiga pemaparan ringkas
diatas masing masing memiliki 2 pembagian yaitu :
1. Sighat
a. Ijab (pernyataan penjual bahwa dia menjual sesuatu dengan harga tertentu)
b. Qabul (penyataan pembeli bahwa ia membelinya dengan harga tersebut)
2. Pelaku transaksi
a. Penjual
b. Pembeli
3. Objek transaksi
a. Barang (yang diperjualbelikan)
b. Harga (yang dibayarkan)

Setelah memahami pengertian secara umum rukun jual beli diatas. Selanjutnya kita ulas
bagaimana penjelasan rukun jual beli menurut ulama fiqih.

SIGHAT

1. Madzhab Hanafi
Rukun jual beli hanya satu yaitu ijab qabul yang menunjukkan terjadinya pertukaran
kepemilikan antara penjual dan pembeli, baik ijab qabul tersebut secara lisan maupun
perbuatan. Sebagian ulama juga ada yang mengatakan ada dua yaitu ijabb qabul dan
serah terima antara barang yang diperjualbelikan dan harga yang harus dibayarkan.
Sighat dalam jual beli adalah segala sesuatu yang menunjukkan kesukarelaan kedua
belah pihak yang bertransaksi. Terbagi menjadi dua yaitu ucapan dan segala yang
mewakilinya baik tulisan maupun utusan, dan serah terima tanpa ucapan sekalipun.
2. Madzhab Syafii
Jual beli hanya sah dengan adanya sighat (redaksi, pernyataan) berupa kata kata,
tulisan atau utusan, atau isyarat bagi orang bisu. Sedangkan serah terima tanpa
disertai ucapan ijab qabul menjadikan jual beli menjadi tidak sah. Yang dimaksud
dengan ucapan ialah kata kata yang menunjukkan pemilikan dan pemindahan
kepemilikan seperti “saya jual” atau “saya beli barang ini”. Kata kata seperti ini yang
diucapkan oleh penjual yaitu ijab dan yang diucapkan oleh pembeli adalah qabul.
3. Madzhab Maliki
Jual beli sah dengan setiap ucapan yang menunjukkan kesukarelaan. Jika kata kata
yang digunakan dalam ijab qabul adalah kata kata yang pasti maka jual beli harus jadi
dan tidak boleh dibatalkan sekalipun dengan sumpah bahwa maksudnya tidak akan
menjual atau membeli.
4. Madzhab Hambali
Setiap redaksi ijab qabul yang menunjukkan makna jual beli sah digunakan. Tidak
hanya redaksi tertentu. Qabul boleh mendahului ijab namun dengan syarat kalimat
tersebut harus berupa kalimat perintah seperti “juallah kepada saya dengan harga
sekian”. Maka jual beli tersebut sah dilakukan. Penjual dan pembeli sama sama
berhak untuk membatalkan transaksi selama keduanya masih dalam tempat yang
sama dan belum berpisah meskipun akad yang telah selesai dilakukan. Inilah yang
disebut dengan khiyar majlis
5. Xx

Ijab dan qabul memiliki beberapa syarat yaitu :

a. Ijab harus berkesesuaian dengan Kabul dalam ukuran, mata uang, ssspesifikasi
barang, dan tenggat waktu
b. Ijab dan qabul ditempat yang sama
c. Ijab dann qabul tidak dipisahkan oleh suatu jeda yang menunjukkan penolakan.
d. Masing masing penjual dan pembeli dapat mendengar ijab dan qabul

AQID

Aqid (pelaku transaksi) baik penjual maupun pembeli harus memenuhi beberapa syarat:

1. Mumayyiz (sudah berusia tamyiz sekitar 7-10 thn). Jual beli tidak sah apabila
dilakukan anak kecil yang belum tamyiz dan ataupun orang gila.
Menurut madzhab hambali, jual beli yang sepele oleh anak kecil sah sekalipun ia
belum tayiz dan tanpa seizing walinya. Sedangkan jual beli barang berharga oleh
anak yang belum tamyiz sekalipun dengan izin wali atau orang tuanya tetaplah tidak
sah.
Menurut madzhab syafii, tidak sah jual beli oleh empat orang yaitu anak kecil
(sekalipun sudah tamyiz), orang tidak waras, budak (meskipun mukallaf), orang buta.
Transaksi jual beli mereka batal atau gugur
2. Rasyid (cakap mengelola keuangan)
Jual beli tidak sah dilakukan anak kecil sekalipun ia telah tamyiz atau orang gila atau
orang idiot atau orang dungu kecuali jika wali dari anak yang telah tamyiz tersebut
mengizinkan.
3. Atas keinginan sendiri.
Jual beli karena dipaksa tidak sah karena Allah SWT berfirman dalam QS An Nisa
ayat 29 “janganlah kamu mengambil atau memakan harta saudaramu dengan cara
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu”

Nabi pernah bersabda yaitu “ jual beli hanya atas saling suka”

Dengan adanya sabda tersebut, para tokoh ulama fiqih berbeda pendapat yaitu :

1. Madzhab hambali. Syarat jual beli adalah kedua belah pihak bertransaksi atas
kemauannya sendiri secara lahir dan batin.
2. Madzhab hanafi. Setiap akad yang dipaksakan kepada seseorang hukumnya adalah
sah karena kaidah para ulama madzhab hanafi adalah “setiap orang yang dipaksa
berucap, maka ucapannya adalah sah”
3. Madzhab maliki. Pemaksaan yang membatalkan jual beli ialah pemaksaan tanpa
landasan yang benar. Hal ini terbagi menjadi dua yaitu :
i. Semata mata pemaksaan agar menjual
ii. Pemaksaan agar menjual dengan harga tertentu.
4. Madzhab syafii
Jual beli paksa sama sekali tidak berlaku kecuali jika yang dipaksa berniat sahnya
transaksi saat dipaksa. Sehingga dalam kondisi ini ia tidak sedang dipaksa.
Pemaksaan dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu pemaksaan tanpa landasan yang
benar dan pemaksaan dengan landasan yang benar

MA’QUD ALAIH

Berarti objek transaksi, yaitu harga yang dibayarkan dan barang yang diperjualbelikan.
Ada beberapa syarat bagi ma’qud alaih yaitu :

1. Harus suci dari najis


Jika ia najis atau terkena najis maka hukumnya menjadi tidak sah. Menurut Madzhab
Hanafi boleh menjual minyak hewani yang terkena oleh najis dan memanfaatkannya
pada selain dikonsumsi. Boleh pula menjual kotoran yang tercampur dengan tanah
(pupuk kompos) karena bermanfaat
2. Bermanfaat menurut syariat, maka menjual serangga yang tidak bermanfaat adalah
tidak sah.
3. Barang yang diperjualbelikan berstatus milik penjual pada saat transaksi dilakukan
4. Penjual bisa menyerahkan barang yang diperjualbelikan
Maka barang hasil pencurian tidak sah karena meskipun dimiliki oleh penjual, ia
tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli. Namun apabila pembeli dapat
mengambilnya dari pencuru maka jualbelinya sah.
Menurut madzhab maliki, jual beli barang curian hanya sah apabila si pemilik
menjualnya kepada seorang pembeli yang sanggup merampas barang tersebut dari
pencuri.
Menurut madzhab syafii. Jual beli barang curian sama sekali tidak sah baik itu
dijual kepada pencuri itu sendiri ataupun kepada orang lain. Kecuali jika pemilik bisa
menyerahkan barang tersebut kepada pembeli
Menurut madzhab hanafi. Jual beli barang curian hanya sah apabila si pencuri
menjual barang tersebut atas jaminan si pemilik, atau si pemilik menjual barang
tersebut atas pengakuan si pencuri.
Menurut madzhab hambali. Jual beli barang curian tiak sah karena jikapun yang
menjualnya adalah pemiliknya, ia tidak dapat memberikan barang tersebut kepada
pembeli. Jika yang menjualnya adalah si pemcuri maka barang itu bukanlah miliknya.
5. Barang yang diperjualbelikan dan harga yang dibayarkan diketahui sedemikian jelas
sehingga menghalangi terjadinya persengketaan
6. Akad tidak bersifat sementara

Menurut madzhab syafii. Transaksi jual beli yang sah dengan 22 syarat. 13 syarat bagi
sighat (redaksi ijab qabul), 4 syarat bagi pelaku transaksi (aqid), dan 5 syarat bagi objek
transaksi (ma’qud alaih).

1. Syarat bagi sighat (redaksi ijab qabul)


a. Redaksi ijab qabul menggunakan kata ganti orang kedua seperti engkau, kamu dll
b. Kata ganti orang yang digunakan sesuai pada poin a diatas harus jelas
menunjukkan pribadi lawan bicara.
c. Yang memulai ijab qabul menyebutkan harga yang dibayarkan dan barang yang
diperjualbelikan
d. Penjual dan pembeli sungguh sungguh bermaksud menjual dan membeli dengan
ucapannya tadi.
e. Ijab dan qabul tidak diselingi dengan kata kata dalam bahasa asing
f. Ijab dan qabul tidak diselingi dengan diam yang lama, yang bisa diartikan tidak
jadi membeli
g. Tidak meralat ucapan sebelum dijawab
h. Ucapan masing masing penjual dan pembeli dapat didengarkan oleh masing
masing, juga oleh para hadirin yang berada didekat mereka
i. Antara ijab dan qabul harus berkesesuaian
j. Tidak mengaitkan sighat dengan sesuatu yang bukan tuntutan akad.
k. Tidak membatasi ucapannya dengan jangka waktu tertentu
l. Kabul harus datang dari orang yang diajak bicara
m. Penjual dan pembeli sama sama tetap cakap dan layak mengucapkan ijab Kabul
hingga Kabul selesai diucapkan
2. Syarat bagi aqid (pelaku transaksi)
a. Berwenang mengambil tindakan hukum. Maka tidak sah jual beli yang dilakukan
oleh orang yang tidak waras, anak kecil, atau dungu
b. Tidak dipaksa dengan landasan yang tidak benar
c. Islamnya si pembeli apabila yang diperjualbelikan adalah mushaf
d. Bukan tentara yang sedang berperang ketika hendak membeli alat perang
3. Syarat bagi ma’qud alaih (objek transaksi)
a. Harus suci, jika najis maka tidak sah
b. Bermanfaat menurut syariat
c. Penjual dapat memberikan barang yang diperjualbelikan kepada si pembeli
d. Pelaku transaksi memiliki hak perwalian atas barang yang diperjualbelikan.
e. Spesifikasi barang yang diperjualbelikan harus diketahui dengan jelas oleh calon
pembeli.

Menurut madzhab hanafi. Syarat jual beli dibagi menjadi 4 bagian yaitu :

1. Syarat berlakunya (in’iqad). Jual beli hanya berlaku apabila syarat ini dipenuhi
a. Terkait dengan pelaku transaksinya
i. Harus akil. Maka jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak waras
tidak berlaku.
ii. Harus tamyiz
iii. Transaksi terdiri dari lebih dari 1 orang.
b. Terkait dengan akad
Ijab harus berkesesuaian dengan Kabul yaitu pembeli menerima setiap apa yang
diwajibkan oleh penjual
c. Terkait dengan barang yang diperjualbelikan
i. Harus ada
ii. Harus dimiliki oleh seseorang
iii. Harus milik penjual apabila ia ingin menjualnya sendiri atau milik orang
yang mewakilkan kepada penjual
iv. Harus berharga menurut syariat
v. Penjual mampu menyerahkannya kepada pembeli disaat transaksi atau
tidak lama setelah itu
d. Terkait dengan mendengar sighat
Masing masing penjual dan pembeli harus saling mendengar ucapan satu sama
lain.
e. Terkait dengan tempat
Ijab dan qabul harus diadakan di satu tempat yang sama, kalau tidak sama maka
jual beli tidak sah. Yang dimaksud dengan tempat adalah lokasi dimana transaksi
berlangsung. Sekalipun keduanya dalam keadaan jalan kaki atau berkendara.
2. Syarat terlaksananya (nafadz). Jual beli hanya terlaksana apabila syarat ini terpenuhi
a. Barang yang diperjualbelikan adalah milik dari si penjual atau dikuasakan
kepadanya
b. Brang yang diperjualbelikan tidak mengandung hak orang lain selain si penjual
3. Syarat sahnya (shihhah) yang tanpanya jual beli tidak sah
a. Syarat umum
i. Semua syarat berlakunya jual beli (in’iqad) yang telah disebutkan diatas
ii. Transaksi jual beli tidak untuk suatu jangka waktu tertentu
iii. Barang yang diperjualbelikan dan harga yang dibayarkan harus diketahui
sedemikian jelas sehingga melenyapkan perselisihan
iv. Harus mengandung manfaat lebih
v. Harus steril dari syarat yang cacat hukum
b. Syarat khusus
i. Serah terima langsung saat transaksi sebelum berpisah
ii. Khusus dalam jual beli murabahah, tauliyah, dan wadhiah harga modal
harus diketahui oleh pembeli.
4. Syarat mengikatnya (luzum). Hanya dengan syarat ini jual beli bersifat mengikat.
Jual beli ialah tidak adanya syarat khiyar, Karena jual beli dengan syarat khiyar tidak
bersifat mengikat

Menurut madzhab maliki. Syarat jual beli yaitu :

1. Yang berkaitan dengan sighat (redaksi ijab qabul)


i. Kabul harus disampaikan ditempat transaksi itu juga
ii. Antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu jeda yang menunjukkan
penolakan untuk bertransaksi menurut kebiasaan masyarakat setempat
2. Yang berkaitan dengan aqid (pelaku transaksi)
a. Syarat in’ iqad (berlakunya) jual beli
Yaitu pelaku adalah orang yang akil dan tamyiz, bukan dalam keadaan mabuk
b. Syarat luzum (mengikatnya) jual beli
i. Pelaku transaksi adalah mukallaf (pengemban kewajiban agama)
ii. Pelaku transaksi bukan orang yang berada di bawah pengampunan.
iii. Pelaku transaksi tidak dipaksa
iv. Pelaku transaksi adalah pemilik atau wakil dari pemilik
3. Yang berkaitan dengan ma’qud alaih (objek transaksi)
a. Harus suci
b. Harus bermanfaat menurut pandangan syariat
c. Harus diperbolehkan untuk dijual
d. Harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak yang bertransaksi

Menurut madzhab hambali. Syarat jual beli ada banyak, ada yang berkaitan dengan
sighat, berkaitan dengan aqid, dan berkaitan dengan ma’qud alaih

1. Syarat berkaitan dengan sighat


i. Kabul harus diucapkan ditempat yang sama
ii. Antara ijab dan qabul tidak dipisahkan oleh suatu jeda yang menunjukkan
penolakan untuk bertransaksi menurut kebiasaan masyarakat setempat
2. Syarat berkaitan dengan aqid
i. Harus ada kemuan sendiri, tidak karena paksaan
ii. Harus sudah baligh dan cakap dalam melakukan tindakan hukum
3. Syarat berkaitan dengan ma’qud alaih
i. Harus mengandung manfaat yang diperbolehkan dan bukan karena kebutuhan
darurat
ii. Barang yang diperjualbelikan dimiliki penuh oleh penjualnya ketika transaksi
dilakukan
iii. Barang yang diperjualbelikan harus bisa diserahkan penjual kepada pembeli
ketika transaksi dilakukan
iv. Objek transaksi baik itu barang yang diperjualbelikan maupun harga yang
harus dibayarkan harus diketahui jelas oleh kedua belah pihak yang
bertransaksi
E. Ihwal Khiyar
Khiyar dalam jual beli dan lainnya adalah mencari yang terbaik diantara dua pilihan yaitu
antara jadi atau tidak jadi. Pada dasarnya akad transaksi hukumnya mengikat ketika
syarat syaratnya terpenuhi, tetapi demi kemaslahatan penjual dan pembeli, Allah sang
pembuat syariat memperbolehkan melakukan khiyar agar manusia saling mengasihi dan
agar mereka terhindar dari permusuhan dan perselisihan.
F. Khiyar Syarat
Ini adalah istilah bagi jual beli dengan syarat adanya khiyar untuk jadi atau tidak jadi.
Maka ungkapan khiyar syarat adalah khiyar yang berlaku karena dipersyaratkan. Kedua
belah pihak sah mensyaratkan khiyar. Sah pula keduanya mensyaratkannya kepada pihak
ketiga selain mereka.
1. Menurut madzhab syafii
Khiyar syarat boleh untuk kedua belah pihak atau salah satu pihak saja. Atau bahkan
untuk pihak ketiga. Apabila khiyar diberikan kepada pihak ketiga maka gugur
kewajiban khiyar dari penjual atau pembeli. Kecuali pihak ketiga meninggal dalam
masa masa khiyar.
2. Menurut madzhab maliki
Khiyar syarat adalah sah bagi penjual, pembeli dan pihak ketiga. Jika disyaratkan
khiyar untuk pihak ketiga maka pihak ketiga itulah yang berhak untuk menentukan
jadi atau tidaknya sebuah jual beli.
3. Menurut madzhab hanafi
Khiyar syarat sah bagi kedua belah pihak yang bertransaksi, salah satu pihak saja,
atau pihak ketiga. Jika khiyar bagi pihak ketiga maka salah satu penjual atau pembeli
yang mensyaratkan tidak gugur khiyarnya bahkan ia menjadi mitra dari pihak ketiga
4. Menurut madzhab hambali
Khiyar syarat berlaku secara pasti selama akad belum bersifat mengkat. Khiyar syarat
sah bagi kedua belah pihak yang bertransaksi atau salah satunya atau pihak ketiga
G. Lamanya Masa Khiyar Syarat
Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqih tentang hal ini yaitu :
1. Madzhab hanafi
Khiyar syarat yang dilihat dari sisi masa berlakunya terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Yang disepakati cacat hukum
i. Khiyar yang menyebutkan masa tidak diketahui batasnya
ii. Khiyar tanpa menyebutkan masa berlakunya
b. Yang disepakati boleh
Yaitu menyebutkan masa maksimal 3 hari
c. Yang diperselisihkan
Yaitu ucapan orang “dengan khiyar 1 atau 2 bulan” ini adalah syarat yang cacat
hukum menurut imam abu hanifah sedangkan menurut imam abu yusuf dan
Muhammad bin al hasan boleh.
2. Madzhab maliki
Ditinjau dari sisi barang yang diperjualbelikan, masa syarat khiyar dibagi menjadi
empat yaitu :
a. Khiyar pada jual beli tanah berserta bangunannya dan tanamannya
Khiyar berlangsung selama 36 atau 38 hari sesuai dengan mayoritas kesepakatan.
b. Khiyar pada jual beli komoditi niaga seperti pakaian
Khiyar berlangsung selama 3-5 hari. Lebih dari itu akad batal.
c. Khiyar pada jual beli binatang
Untuk binatang yang dapat dikendarai maka khiyar berlaku selama 3-10 hari.
Namun banyak yang berpendapat bahwa umumnya khiyar binatang adalah 3 hari
penuh
d. Khiyar pada jual beli hamba sahaya
Berlangsung selama 8-10 hari. Transaksi menjadi batal apabila melebihi tenggat
waktu tersebut.
3. Madzhab syafii
Masa khiyar paling lama 3 hari dengan syarat ia berkesinambungan dengan syarat
khiyar
4. Madzhab hambali
Masa khiyar disyaratkan harus diketahui dengan jelas namun ada batas maksimalnya.
Sehingga penjual atau pembeli boleh mensyaratkan satu bulan, satu tahun, atau
lainnya. Yang tidak boleh adalah disyaratkan masa yang tidak diketahui lamanya.
H. Contoh permasalahan dalam sehari hari
Kita sering mendapati para penebas acap membeli barang dengan cukup berbekal
sampelnya. Kita juga sering mendapati orang jual beli perkakas rumah tangga, yang
penjualnya hanya mendemonstrasikan sampelnya. Kadang hal ini lazim terjadi pada
jamaah ibu-ibu PKK di kampung. Saat kita menghendaki membeli telepon seluler atau
perkakas elektronik lainnya, kita juga sering disuguhi sampelnya saja. Sementara barang
yang dijual masih terbungkus dengan rapi.
Para penggemar baca buku juga demikian, bila ia hendak membeli buku di sebuah
toko buku, acapkali para pedagang buku ini hanya membuka satu buku sebagai
sampelnya untuk jenis dan kategori judul buku yang sama. Setelah terjadi transaksi, para
pembeli tidak mengambil sampel, melainkan mengambil barang yang diwakili oleh
sampel itu. Apakah jual beli semacam ini hukumnya boleh?
Di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Kalangan Hanafiyah
dan Malikiyah menghukumi mutlak kebolehannya. Sementara ulama Syafiiyah
memerinci menjadi dua hukum, yaitu bisa batal dan bisa juga sah, tergantung pada
kondisi barang yang diwakilinya.
Adapun kalangan Hanabilah menghukumi sebagai tidak sah (dengan disertai
catatan), karena jual beli dengan sampel adalah sama dengan jual beli barang yang tidak
diketahui (al-bai'ul mughîbul ashl). Sebenarnya apa alasan boleh dan tidaknya jual beli
dengan sampel ini?
Pertama, alasan dipandang sahnya jual beli dengan sampel oleh tiga ulama
mazhab yang pertama (Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah) adalah lebih didorong
karena hal tersebut sudah mafhum secara 'urf (tradisi). Di dalam urf ini, masing-masing
pihak yang melakukan akad telah melakukan beberapa uji materi terhadap sampel,
khususnya terhadap barang yang bisa ditakar atau ditimbang. Terhadap kedua tipe barang
ini, sampel kadang dianggap mampu merepresentasikan kondisi semua barang yang
hendak dibeli. Namun, untuk menghindari kemungkinan terjadinya gharar dan ghabn
(kecurangan) sehingga berakibat merugikan (dlarar) salah satu pihak yang bertransaksi,
maka ketiga ulama mazhab mensyaratkan bahwa barang yang bisa diambil sampelnya
adalah harus barang yang bersifat homogen (sejenis). Adapun bila kondisi mabi' (barang
yang diperdagangkan) bersifat heterogen dan bercampur, maka ketiga ulama mazhab
tersebut menyatakan tidak sahnya jual beli.
Yang acap terjadi di lapangan juga, adalah sampel tidak sesuai dengan barang
yang direpresentasikan, atau terjadi sedikit penyimpangan. Untuk sampel yang benar-
benar berbeda dengan kondisi barang yang diwakilinya, maka ulama kalangan Syafiiyah
menegaskan batalnya akad dan harus dimulai dengan akad yang baru. Adapun bila terjadi
sedikit penyimpangan dari sampel yang ditunjukkan, maka pembeli bisa memutuskan
khiyar, yaitu opsi untuk membatalkan atau meneruskan jual beli.
Kedua, pandangan kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak sah jual beli
dengan sampel, tapi dengan disertai catatan. Syekh Wahbah Al-Zuhaily menjelaskan
pandangan kalangan ini sebagai berikut:
Artinya: "Kalangan Hanabilah berkata bahwa jual beli sampel tidak sah.
Misalnya, seorang pedagang menunjukkan 1 sha' sampel gandum kemudian menjual
sekarung gandum yang diambil jenis sampelnya tadi, maka jual beli seperti ini adalah
tidak sah. Karena syarat jual beli yang seharusnya berlaku di antara mereka adalah
melihatnya dua orang yang bertransaksi terhadap barang yang diperjualbelikan dengan
pola melihat bersamaan dengan akad jual beli itu dilaksanakan serta melihatnya dengan
melihat keseluruhannya atau sebagiannya saja sehingga terkesan menunjukkan seluruh
barang yang hendak dibeli, seperti melihat salah satu dari dua ujung baju yang tidak
dilipat, atau melihat bagian luar dari biji atau kurma yang hendak dibeli yang
menunjukkan kesamaan ciri dengan luarnya, atau melihat langsung bagian barang yang
diduga berjenis sama dengan yang dicari." (Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa
Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 4, 588-589).
Jika menyimak uraian dari Syekh Wahbah al-Zuhaily ini, hakikatnya keberadaan
sampel di kalangan Hanabilah sebenarnya juga diperhitungkan. Hanya saja, mereka
berhati-hati dalam memutuskan kebolehan itu, dengan jalan kebolehan jual beli tersebut
harus disertai melihat langsung barang yang hendak dibeli. Jadi, keberadaan sampel ini
hanya boleh dilakukan manakala pembeli berada di sisi barang yang hendak dibeli. Lain
halnya dengan tiga mazhab di atas, bahwa sampel ditunjukkan tidak harus di sisi barang
yang hendak dibeli. Sampai di sini, penting bagi kita untuk mencermatinya dan
membedakan pendapat kalangan mazhab empat ini.

I. Hikmah Jual Beli


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Fiqih Muamalah adalah
fiqih yang membahas tentang bagaimana hubungan antar manusia dengan manusia dalam
sebuah hubungan masyarakat, yang mana aturan-aturan tersebut ada sebagai suatu
petunjuk kepada manusia agar sesuai syariat agama.
Adapun mengenai kaidah dasar dan hukum fiqih muamalah adalah sebagai berikut:
a. Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
b. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
c. Meninggalkan intervensi yang dilarang
d. Menghindari eksploitasi
e. Memberikan toleransi dan tanpa unsur paksaan
f. Tabligh, amanah, siddhiq, dan fathonah sesuai sifat Rasulullah

Anda mungkin juga menyukai