Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PAI

MUAMALAH
NAMA ANGGOTA :
YOLA OKTAVIA
SERLI
RIZKI MARISA
Apa itu Muamalah?
Muamalah adalah sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial
sesuai syariat, karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak
dapat hidup berdiri sendiri.

Pengertian muamalah menurut istilah syariat Islam adalah suatu


kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan
sesama umat manusia. Adapun muamalah secara etimologi memiliki
makna yang sama dengan al-mufa’ala yaitu saling berbuat, yang
berarti hubungan kepentingan antar seseorang dengan orang lain.
Assalamualikum pak
Saya Rizki Marisa dari kelompok Yola dan Serli mau mengumpulkan
tugas PPT
Macam-macam Muamalah sebagai berikut :

1. Sewa-menyewa
(Yola)
Sewa-menyewa didalam bahasa arab disebut ijarah.
Secara etimologi arti kata ijarah yaitu upah atau sewa.
Menurut terminology agama yaitu memberikan suatu
benda kepada orang lain untuk mengambil manfaatnya
dengan ketentuan dengan orang yang menerima benda itu
memberikan imbalan sebagai bayaran pengunaan manfaat
barang yang dipergunakan.
Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak.
6) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Hal-hal yang disepakati saat melakukan sewa-menyewa:

Syarat Saat Pelaksanaan. Barang yang akan disewakan


harus menjadi hak milik penuh pihak yang akan
menyewakan. Akad ijarah tidak akan sah jika barang
tidak dimiliki secara penuh. Maka ada baiknya sebelum
ijarah pihak penyewa mengetahui status
kepemilikan dengan jelas
Utang piutang
(Rizki Marisa)

Utang adalah transaksi antara dua pihak, yang satu menyerahkan


uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua
dengan hal yang serupa. Adapun yang dimaksud dengan hutang piutang adalah memberikan sesuatu
kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan yang dipinjamnya
tersebut.
Hukum Utang Piutang
1.Hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah sesuai
situasi dan kondisi, yaitu:
2.Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang
hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong
3.Hukum orang yang berhutang menjadi wajib dan hukum orang yang menghutangi juga wajib, jika
peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak
4.Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar aturan
syariat.
Jual Beli
(Serli)
Pengertian jual beli adalah kegiatan perdagangan yang memiliki tujuan dan maksud untuk
mencari keuntungan. Dalam Islam, jual beli disebut dengan al bai'. Al bai' yaitu
memindahkan kepemilikan sebuah benda dengan akad saling mengganti. Bisa pula, al bai'
dimaknai dengan tukar menukar barang.
Secara etimologi (bahasa), pengertian jual beli berarti tukar menukar secara mutlak
(mutlaq al-mubadalah) atau berarti tukar menukar sesuatu dengan sesuatu (muqabalah
syai’ bi syai’). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jual beli dalam Islam
adalah pertukaran sebuah barang untuk mendapatkan barang lainnya, Jual beli
merupakan akad yang dibolehkan menurut Alquran, sunnah dan ijmak ulama. Maka,
hukum jual beli adalah mubah atau boleh. Ini artinya setiap orang Islam bisa melakukan
akad jual beli sesuai dengan syariat agama islam, berikut ini dasar hukum jual beli menurut
Alquran, sunnah, dan ijmak ulama, yaitu:
a. Alquran
Dasar hukum jual beli diatur dalam
Alqurán surah Al-Baqarah ayat 275, yang memiliki arti:“Padahal Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
b. Hadis Rasulullah SAW
Rasullah saw bersabda : Emas ditukar dengan emas , perak dengan perak , gandum dengan
gandum , kurma dengan kurma , garam dengan garam , sama beratnya dengan langsung diserah
terimakan ( Q.S. al-baqarah : 275 )
c. Ijma
memiliki arti kesepakatan para ulama. Syaikh Ibnu Qudamah Ra menyatakan, kaum muslimin
telah sepakat diperbolehkannya jual beli (bai’) karena mengandung hikmah yang mendasar.
Hikmah tersebut adalah bahwa setiap orang pasti mempunyai ketergantungan terhadap sesuatu
yang dimiliki orang lain
Rukun jual beli adalah ketentuan yang wajib ada dalam transaksi jual beli. Jika tidak
terpenuhi, maka jual beli tersebut tidak sah. Mayoritas ulama menyatakan bahwa rukun jual
beli ada empat, yaitu:

a. A. Harus adanya penjual dan pembeli (aqidain).

b. B. Harus ada barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih).

c. C. Harus ada alat nilai tukar pengganti barang, sertad.

d. D. Ucapan serah terima antara penjual dan pembeli (ijab kabul).


RIBA
(Rizki Marisa)

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistic riba juga
berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam 
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-
meminjam secara bat}il atau bertentangan dengan prinsip mu amalat dalam Islam.
Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Masing-masing adalah riba hutang-
piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama, Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli
1. Riba Qard
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtarid).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fad
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar
dalam kitab-kitab mereka. Kesimpulan umum dari pendapat mereka  bahwa barang ribawi meliputi:
A. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
B. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitan dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang
ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama.
Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah
hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan
kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp
5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah
maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau  kertas) dengan
pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan
diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
Tokoh yang menghalalkan riba:
1. Syeikh Dr. Ahmad Tayyib
Beliau saat ini masih menjabat sebagai Syaikhul Azhar di Mesir. Pendapat beliau
tentang bunga bank ini ini sama dengan para pendahulunya, yaitu menganggapnya
bukan sebagai riba.
2. Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thanatawi
Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thanatawi (w. 2010 M) di masa hidupnya menjadi Syaikhul
Azhar, yaitu pemimpin tertinggi Al-Azhar, sekaligus menjadi pimpinan Majma’ Buhuts Islamiyah
di Al-Azhar.
Dalam fatwanya beliau menyebutkan bahwa bunga dari hasil menabung di bank bukanlah riba
yang haram, tetapi merupakan bagi hasil atas usaha bersama. Meski pembagian hasil itu
sendiri sudah ditentukan nilainya di awal, namun menurut beliau, hal itu sah-sah saja karena
sudah melewati proses saling ridha di antara kedua belah pihak.
3. Syeikh Dr. Ali Jum’ah
Beliau adalah mufti resmi Negara Mesir. Pendapat beliau tentang bunga bank yang pertama
adalah bahwa para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau
keharamannya. 
Syeikh Dr. Ali Jum’ah sendiri cenderung kepada pendapat yang memandang bahwa bunga
bank itu bukan riba yang diharamkan. Beliau lebih cenderung memandang uang itu adalah
share hasil keuntungan usaha.
Tokoh yang mangharamkan riba:
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
dicatat termasuk salah satu tokoh yang secara mengharamkan bunga bank. Beliau adalah salah
satu murid Syeikh Abu Zahrah. Dan posisi beliau sama dengan gurunya, yakin sekali bahwa
bunga bank itu adalah riba yang diharamkan.
Khusus untuk tema ini Beliau menulis sebuah buku berjudul : Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-
Muharram. Yang menarik, Al-Qaradawi mengklaim bahwa seluruh ulama sudah ijma’ atas
keharaman bunga bank. Walaupun sebenarnya klaim itu tumbang, karena ternyata banyak juga
ulama kontemporer yang menghalalkannya. (Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-
Riba Al-Muharram)
2. Syeikh Bin Baz
pendapat yang mengharamkan bunga bank datang dari mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia,
Syeikh Abdul Aziz bin Bas (w. 1999) rahimahullah.
Kalau kita lakukan pencarian di internet tentang hukum bunga bank, maka yang paling banyak
muncul adalah fatwa keharamanya dan selalu muncul nama Syiekh Bin Baz. Sehingga terkesan
seolah-olah yang berfatwa haramnya bunga bank banyak sekali jumlahnya, walaupun
sesungguhnya semua kembali kepada satu tokoh saja.
3. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Dalam kitabnya yang terkenal, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beliau sampai menulis kata haram
tiga kali berturut-turut : haram haram haram. Maksudnya bahwa bunga bank itu hukumnya haram.
Pertukaran mata uang asing atau Ijma’
(Rizki Marisa)
Pertukaran mata uang asing atau al-Sarf mempunyai arti penukaran, penghindaran, atau
transaksi jual beli. Tukar menukar secara istilah adalah kegiatan saling memberikan
sesuatu dengan menyerahkan barang. Pengertian ini sama dengan pengertian yang ada
dalam jual beli dalam islam, yaitu saling memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Atau Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.
Dasar Hukum
a. Dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang secara khusus dan jelas menerangkan tentang
akad al-sarf . Namun, beberapa ayat secara umum memberikan keterangan tentang
kebolehan melakukan akad ini.
b. As-sunnah
Dalam beberapa riwayat hadith disebutkan tentang kebolehan melakukan akad al-sarf
dengan syarat terhindar dari riba.
Penukaran dua mata uang tertentu hukumnya sah, menurut ijma’ ulama, seperti ucapan, ‚aku jual atau
aku tukar kepadamu dinar ini dengan beberapa dirham ini.‛ Demikian pula sah hukumnya, penukaran
dua mata uang berdasarkan sifat tertentu, seperti ucapan, ‚Aku jual atau tukar 1 dinar dengan ciri-ciri
demikian dalam tanggunganku dengan 20 dirham mata uang sati daerah dalam tanggunganmu.‛

Syarat-syarat Tukar Menukar Uang Secara umum syarat-syarat dalam tukar menukar uang (al-sarf)
adalah:
a. Adanya serah terima antara kedua pihak sebelum berpisah diri.
b. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama.
c. Terbebas dari hak khiyar syarat. Tidak diperbolehkan adanya khiyar syarat bagi kedua belah pihak
yang melangsungkan akad atau salah satunya. Karena dalam akad sarf ini serah terima merupakan salah
satu syarat (untuk kepemilikan)
d. Dengan akad sarf tidak boleh terdapat tenggang waktu
Asuransi
(Serli)
Asuransi merupakan hal yang penting dimiliki untuk menanggulangi kerugian harta maupun
nyawa. Asuransi syariah adalah usaha saling tolong menolong (ta’awuni) dan melindungi
(takaful) di antara para peserta untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad atau perikatan
yang sesuai dengan prinsip syariah dan membayar kontribusi asuransi yang dikelola oleh
perusahaan asuransi syariah.
menyebutkan pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan (tabarru) yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syariah dan akan mendapat alokasi
bagi hasil (al-mudarabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun.
Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta
yang bersangkutan mengajukan klaim berupa klaim nilai tunai atau klaim manfaat asuransi.
Dasar Hukum Asuransi Syariah
Terdapat beberapa dasar hukum asuransi syariah yang tercantum dalam Alquran sebagai
berikut:
Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: “Hai orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat
untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18).Firman Allah tentang prinsip-
prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain: “Hai
orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Maidah [5]: 1).Firman Allah tentang perintah untuk
saling tolong menolong dalam perbuatan positif, antara lain: “Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(QS. al-Maidah [5]:2).Perjanjian Asuransi SyariahBerdasarkan Fatwa DSN-MUI, perjanjian
atau akad dalam asuransi syariah dibedakan menjadi empat jenis, yaitu akad tabarru, akad
tijarah, akad wakalah bil ujrah, dan akad mudharabah musytarakah.
Perjanjian Asuransi SyariahBerdasarkan Fatwa DSN-MUI, perjanjian atau akad dalam asuransi syariah dibedakan
menjadi empat jenis, yaitu:

1. Akad Tabarru (Hibah/Tolong Menolong)

Peserta asuransi memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah,
sedangkan perusahaan asuransi sebagai pengelola dana hibah.

2. Akad Tijarah (Mudharabah)

Dalam akad ini perusahaan asuransi sebagai mudharib (Pengelola), dan peserta sebagai shahibul mal (Pemegang
Polis). Premi dari akad ini dapat diinvestasikan dan hasil keuntungan atas investasi tersebut dibagi-hasilkan kepada
para pesertanya.

3. Akad Wakalah bil Ujrah

Akad ini memberikan kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan
pemberian ujrah (fee). Perusahaan asuransi sebagai wakil dapat menginvestasikan premi yang diberikan, namun
tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.

4. Akad Mudharabah Musytarakah

Akad ini merupakan pengembangan dari akad mudharabah, dimana perusahaan asuransi sebagai mudharib dan juga
menyertakan dananya dalam investasi bersama dana peserta. Bagi hasil investasi dibagikan antara perusahaan
asuransi dan peserta sesuai nisbah yang disepakati sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Syirkah
(Rizki Marisa)
Berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara
bagian yang satu dengan bagian lainnya.
Rukun dan syarat Syirkah (dijelaskan)
1. Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani)
2. Objek akad yang disebut juga ma’qud’alaihi
3. Akad atau disebut juga dengan sigat
Macam – macam Syirkah:
1. Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah persekutuan kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa
transaksi syirkah. Syirkah hak milik ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua pihak yang bersekutu.
b. Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi antara dua orang atau lebih tanpa
sekehendak mereka.
2. Syirkah 'Uqud Syirkah 'uqud adalah transaksi yang dilakukan dua orang atau lebih untuk
menjalin persekutuan dalam harta dan keuntungan. Macam-macam syirkah ‘uqud meliputi:
a. Syirkah Al-amwal, yaitu persekutuan antara dua pihak pemodal atau lebih dalam usaha
tertentu dengan mengumpulkan modal bersama dan membagi keuntungan dan resiko
kerugian berdasarkan kesepakatan.
b. Syirkah A-a’mal atau syirkah abdan, yaitu persekutuan dua pihak pekerja atau lebih untuk
mengerjakan suatu pekerjaan.
c. Syirkah Al-Wujuh, yaitu persekutuan antara dua pihak pengusaha untuk melakukan
kerjasama dimana masing-masing pihak sama sekali tidak menyertakan modal.
d. Syirkah Al-Inan, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun
dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.
e. Syirkah Al-Mufawadhah, yaitu sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi pihak-
pihak yang terlibat didalamnya adalah sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, maupun
dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.
f. Syirkah Al-Mudharabah, yaitu persekutuan antara pihak pemilik modal dengan pihak
yang ahli dalam berdagang atau pengusaha, dimana pihak pemodal menyediakan seluruh
modal kerja.
Mukhabarah dan Muzara’ah
(RIZKI MARISA)
Mukhabaran adalah akad dalam pengelolaan tanah dengan sistem kerja sama yang diterapkan antara
pemilik tanah dan penggarap tanah. Ini menjadi salah satu hukum yang diatur dalam Islam, sebab
cocok tanam merupakan kegiatan yang dekat dan banyak dilakukan di masyarakat, baik zaman dahulu
hingga saat ini. Akad mukhabarah adalah akad pengelolaan tanah dengan sumber benih yang berasal
dari pemilik tanah atau lahan. Sedangkan muzara’ah  adalah akad kerjasama pengelolaan lahan
pertanian dimana pemilik lahan menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola dan benihnya
berasal dari pemilik, sedangkan hasilnya dibagi dua dengan prosentase bagian sesuai dengan
kesepakatan. Biasanya istilah mukhabarah tidak berdiri sendiri, melainkan sering digabung dengan
muzara’ah. Meskipun begitu, mukhabarah dan muzara’ah mempunyai perbedaan arti, yaitu
berdasarkan pihak pemilik benih dalam kerja sama penggarapan tanah tersebut. Selain mengetahui
artinya, berbagai hukum mengenai akad mukhabarah adalah hal penting yang perlu diperhatikan. Akad
mukhabarah adalah akad pengelolaan tanah dengan sumber benih yang berasal dari pemilik tanah atau
lahan. Sedangkan akad muzara’ah adalah pengelolaan tanah yang sumber benihnya berasal dari petani
penggarap (amil/muzari’). Meskipun memiliki perbedaan, namun kedua akad ini termasuk sebagai
akad syirkah (kerja sama), tidak lain adalah kerja sama yang dilakukan antara pemilik lahan dengan
pentane penggarap dalam ha; pengelolaan tanah.
Hukum Batasan Akad Mukhabarah dan Muzaraah
Setelah mengetahui pengertian, berikutnya, terdapat beberapa hukum batasan dalam akad mukhabarah dan muzara’ah yang
perlu diperhatikan.  Berikut beberapa batasan dalam akad muzara’ah dan mukhabarah adalah sebagai berikut :
1. Tanah tidak boleh disewa dengan nisbah tertentu dari hasil produksi atau hasil panen.
2. Menyewa tanah dengan nisbah hasil produksi tanaman berarti sama dengan menyewa tanah dengan harga yang tidak
diketahui (majhul).
3. Muzara’ah boleh dilakukan pada lahan yang sudah ada tanaman pokok lainnya. Namun boleh juga dilakukan pada lahan
yang belum ditanami atau belum terdapat tanaman pokoknya.
4. Akad bagi hasil dengan mukhabarah atau muzara’ah boleh dilakukan selagi tidak ada nash syariat yang melarang.

Sebab Akad Tidak Diterima


Beberapa faktor alasan ini perlu diperhatikan dengan baik ketika Anda ingin melakukan akad mukhabarah atau muzara’ah
dalam hal pengelolaan tanah. Beberapa alasan tidak diterimanya akad muzara’ah mukhabarah adalah sebagai berikut :
5. Tidak bisa dipilah antara kalkulasi kerja mukhabir, sehingga modal yang digunakan atau diikutsertakan tidak bisa ditaksir
atau diprediksi.
6. Kerja mukhabir yang tidak dapat diprediksi, menyebabkan amal mukhabir menjadi masuk sebagai kelompok ijarah
fasidah. Hal ini karena tidak diketahui upah (ujrah) dalam pengelolaan tanaman substitusi, meskipun diberi nisbah hasil
panen.
7. Tanpa upah yang dapat diprediksi, maka penentuan nisbah bagi hasil menjadi rusak, khususnya jika dilihat dari
pandangan syirkah inan.
Musaqah
(RIZKI MARISA)
Musaqah adalah salah satu bentuk kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap di mana
penggarap bertugas untuk merawat tanaman saja. Adapun keduanya tetap melakukan bagi
hasil sesuai kesepakatan dalam akad.
Para ulama fiqih seperti Abdurrahman al-Jaziri sebagaimana dikutip dari buku Fiqih
Muamalat karya Abd. Rahman Ghazaly mendefinisikan musaqah sebagai akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat
tertentu. Sementara itu, ulama Syafi'iyah mengatakan musaqah adalah mempekerjakan
petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi
dan merawatnya. Hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani
yang menggarap.
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mempekerjakan tukang kebun
untuk merawat tanaman. Hal ini karena hasil yang diterima berupa upah dengan ukuran
yang telah pasti.
Rukun Musaqah
Manurut Jumhur ulama fiqh dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah rukun musaqah terdiri dari lima hal
sebagai berikut:
1. Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi
2. Tanah yang dijadikan objek musaqah
3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
5. Shighat (ungkapan) ijab dan kabul

Syarat Musaqah
1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus dewasa (akil balig) dan berakal.
2. Objek musaqah harus terdiri dari pepohonan yang mempunyai buah seperti kurma, anggur, dan terong. Namun, ulama
dari kalangan Hanafiyah mengatakan musaqah juga berlaku untuk pepohonan yang tidak berbuah jika hal itu dibutuhkan
oleh masyarakat.
Sementara itu, ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musaqah berupa tanaman keras dan palawija dengan syarat
akad musaqah dilakukan sebelum buah layak panen, tenggang waktu jelas, akad dilakukan setelah tanaman tumbuh, dan
pemilik kebun tidak mampu mengolah dan memelihara tanaman tersebut.
3. Tanah diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah berlangsungnya akad. Pemilik tanah tidak ada campur
tangan setelahnya.
4. Hasil panen merupakan hak bersama. Adapun pembagian disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dibuat di awal.
5. Lamanya perjanjian harus jelas.
Lantas, kapan akad musaqah akan berakhir? Para
ulama fiqih berpendapat bahwa musaqah akan
berakhir apabila:

1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah


habis.
2. Salah satu pihak meninggal dunia.
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak
boleh melanjutkan akad. Adapun uzur yang
dimaksud seperti mencuri hasil tanaman dan sakit
yang memungkinkan penggarap tidak bisa bekerja.
Khiyar
(RIZKI MARISA)

khiyar ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad (transaksi)
jual beli atau membatalkannya. Khiyar hukumnya mubah bagi penjual dan pembeli dengan
cara membuat kesepakatan dalam akad jual beli.
Khiyar sangat bermanfaat bagi penjual dan pembeli, sehingga dapat memikirkan sejauh
mana kebaikan dan keburukannya agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.
Biasanya penyesalan terjadi dalam akibat kurang berhati-hati, tergesa-gesa, dan kurang
teliti dalam melakukan transaksi jual beli.

Dasar Hukum Khiyar
Hukum khiyar dalam jual beli menurut Islam adalah mubah. Tetapi jika khiyar
dipergunakan untuk tujuan menipu atau berdusta maka hukumnya haram. Berkaitan
dengan diperbolehkannya khiyar, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya:”Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga
malam, jika engkau suka maka ambillah dan jika tidak suka maka kembalikanlah kepada
pemilinya.” (HR. Ibnu Majah).
Macam-macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Berdasarkan buku Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas IX yang disusun oleh H. Ahmad Ahyar dan Ahmad Najibullah, khiyar
majelis berarti ketika penjual dan pembeli berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam semua bentuk jual beli,
namun khiyar ini dapat habis waktunya jika terjadi hal-hal sebagai berikut.
a. Penjual dan pembeli memilih untuk meneruskan jual beli dengan akad.
b. Penjual dan pembeli berpisah dari tempat semula. Biasanya, kedua belah pihak akan lebih berhati-hati dengan memberikan
pesan sebelum berpisah, seperti, "Kalau boleh sekarang, kalau nanti saya tidak mau,"

2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah khiyar yang disyaratkan oleh salah satu pihak saat berlangsungnya akan jual beli. Khiyar inibiasa disebut
sebagai garansi, jadi jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka akad jual beli akan batal.
Masa berlaku khiyar syarat yaitu tiga hari, sebagai contoh seorang pembeli berkata kepada penjual, "Saya mau membeli radio ini
jika anak saya merasa cocok," jika radio tersebut sudah dicoba dan anaknya menyukainya, maka jual beli dapat diteruskan.
Namun jika anaknya tidak setuju, jual beli dapat dibatalkan.

3. Khiyar 'Aibi
Khiyar 'aibi artinya khiyar cacat. Secara istilah, khiyar 'aibi merupakan khiyar karena adanya cacat barang yang dibeli namun
tidak diketahui saat jual beli berlangsung. Khiyar 'aibi merupakan hak memilih antara meneruskan atau membatalkan akad jual
beli karena adanya cacat atau aib pada barang.
Biasanya hal ini terjadi saat pembeli sama sekali tidak mengetahui dalam barang yang dibeli itu ada cacat. Contohnya, makanan
kue yang sudah basi, buku yang dalamnya ada beberapa halaman hilang atau sobek, dan lain sebagainya.
C. Hikmah Khiyar

1. Khiyar membuat akad jual beli berlangsung


menurut prinsip-prinsip Islam.

2. Pembeli mendapatkan barang yang sesuai dengan


yang diinginkannya.

3. Penjual tidak semena-mena dalam menjual barang


kepada pembeli.

4. Terhindar dari unsur-unsur penipuan.

5. Khiyar menumbuhkan sikap saling percaya antara


kedua belah pihak.
Bank
(RIZKI MARISA)

Sistem perbankan di Indonesia memiliki dua macam sistem operasional perbankan. Kedua
sistem perbankan tersebut adalah bank konvensional dan bank syariah. Perbankan syariah
adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip
hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian,
setiap aktivitas yang dilakukan pada bank syariah, baik penghimpunan dana maupun
dalam rangka penyaluran dana memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip
syariah, yakni jual beli dan bagi hasil. 
Sedangkan, bank konvensional adalah bank yang menjalankan kegiatannya secara
konvensional, mengacu pada kesepakatan nasional maupun internasional, serta
berlandaskan hukum formil negara.
Sistem Operasional
● Perbedaan bank syariah dan bank konvensional juga terletak pada
sistem operasional yang berlaku. Pada perbankan konvensional
biasanya menerapkan suku bunga dan perjanjian umum yang
berdasarkan pada aturan nasional yang berlaku. Dalam hal ini,
akad antara pihak bank dan pihak nasabah dilakukan sesuai
dengan kesepakatan jumlah suku bunga.
● Hal tersebut jelas berbeda dengan bank syariah. Pada praktiknya,
bank syariah tidak menerapkan suku bunga dalam setiap transaksi
yang berlangsung karena suku bunga bisa dikatakan sebagai riba.
Maka dari itu, sistem operasional bank syariah menggunakan
akad bagi hasil atau nisbah antara pihak bank dan nasabah. Dalam
hal ini, pihak bank dan nasabah biasanya melakukan kesepakatan
berdasarkan pembagian keuntungan dan melibatkan kegiatan jual
beli. 
Pengelolaan Dana
● Pengelolaan dana juga termasuk ke dalam perbedaan
bank syariah dan bank konvensional. Bank
konvensional umumnya dapat melakukan
pengelolaan dana di dalam seluruh lini bisnis
menguntungkan di bawah aturan Undang-Undang
yang berlaku. 
● Sementara itu, bank syariah melakukan pengelolaan
dana berdasarkan aturan Islam. Itulah mengapa uang
nasabah tidak boleh diinvestasikan atau dikelola
pada bidang usaha yang bertentangan dengan nilai
atau aturan dalam Islam. 

Anda mungkin juga menyukai