Muamalah secara bahasa berarti saling melakukan atau saling menukar. Artinya perbuatan
muamalah adalah perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang yang berakibat
timbulnya hak dan kewajiban. Secara umum ulama fikih mengartikan muamalah sebagai
hukum “syariah atau perundang-undangan” yang berkaitan dengan keduniaan, lebih sempit
lagi adalah transaksi bisnis. Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan
bermuamalah harus patuh kepada ketentuan hukum Islam dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Keduanya tidak dapat dicerai pisahkan.
Bisnis dalam hal ini mencakup jasa, persekutuan bisnis dan barang. Sedangkan uang bukan
objek transaksi, karena uang hanya sebagai alat tukar yang di antara fungsinya adalah
sebagai alat ukur dari nilai barang atau jasa. Jual beli uang apalagi “penggandaan”nya tidak
boleh dilakukan.
https://bincangsyariah.com/kalam/fikih-ekonomi-1-pengertian-muamalah/
Macam-macam muamalah terdapat banyak jenis yang termasuk dalam ruang limgkup Islam.
Seperti dalam kitab fiqih mengenai hak milik, harta, dan sebagainya, adapun macam-
macamnya sebagai berikut.
Syirkah
Syirkah dalam ilmu muamalah artinya suatu akad dimana dua pihak yang melakukan suatu
kerjasama, usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Selain itu, syirkah adalah mencampurkan dua bagian menjadi satu, sehingga tidak dapat lagi
dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Adapun rukun syirkah diantaranya:
Jual Beli
Dalam Islam kegiatan ekonomi mengandung arti suatu kegiatan atau kesepakatan dalam
tukar menukar barang dengan tujuan untuk dimiliki selamanya. Sebagaimana dalam Al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275.
ۗ ٰذلِكَ بِا َ نَّهُ ْم قَا لُ ۤوْ ا اِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّر ٰبوا ۘ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّر ٰبو
Dzalika bu annahum qaaluu innamal bai’u mistlur riba, wa ahallahul bai’a wa harramar riiba.
Artinya:
Demikan itu, mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba, pada Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ada syarat jual beli dalam Islam yang wajib diikuti, agar terthindar dari dosa-dosa
diantaranya sebagai berikut.
Berakal sehat.
Transaksi dilakukan atas dasar kehendak sendiri, bukan karna orang lain.
Pembeli dan penjual harus sudah punya akal, baligh, dan sebagainya.
Murabahah
Murabahah adalah diketahui oleh kedua pihak yang telah bertransaksi dengan pembayaran
secara angsuran. Baik dari ketentuan margin keuntungan atau harga pokok pembelian.
Sewa Menyewa
Akad ijarah dalam Islam disebut juga sewa-menyewa artinya adalah suatu imbalan yang
diberikan kepada seseorang atas jasa yang telah diberikan. Seperti kendaraan, tenaga,
tempat tinggal dan pikiran, adapun syaratnya sebagai berikut.
Hutang Piutang
Menyerahkan harta dan benda kepada orang dengan catatan suatu saat nanti akan
dikembalikan sesuai perjanjian adalah yang dinamakan hutang piutang. Adapun Rukun
hutang piutang sebagai berikut.
Menjahui riba adalah salah satu hal yang harus dipegang oleh umat Islam dalam transaksi
hutang piutang.
Ada enam prinsip yang tidak boleh dilanggar dalam melakukan berbagai transaksi
muamalah, diantaranya sebagai berikut.
Akad Salam
Barang yang belum ada, atau jual beli yang ditunda dan masih dalam tanggungan bayaran
yang didahulukan adalah salam.
Jual beli ini diperbolehkan dalam syari’at Islam, walaupun boleh ditunda pembayaran dalam
jual beli ini, maka boleh juga ditunda barangnya.
Dalam hal ini harus ditentukan waktu dan barang yang diberikan, namun tidak harus barang
yang disalam harus milik penjual.
Hikmah dari salam adalah memberi dan melapangkan kemudahan kepada manusia. Dalil
tentang salam sebagaimana dalam hadist Nabi Muhammad.
Artinya:
Saya bersaksi bahwa bahwa jual beli yang sudah terjamin hingga waktu yang ditentukan,
telah dihalalkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Contoh Salam:
Ada orang yang sedang membeli buah mangga kepada petani, maka membayar terlebih
dahulu kepada petani untuk keperluan perawatan. Kemudian pembeli akan mendapatkan
mangga itu setelah petani memanen, sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
Terdapat juga bentuk lain macam-macam muamalah di luar syirkah, jual beli, dan hutang
piutang. Selain lima jenis yang paling lazim digunakan yang sudah disebutkan di atas.
Berikut ini adalah beberapa jenis muamalah dalam Islam lainnya, selain jumlah muamalah di
atas. Dapat kita gunakan sebagai solusi, agar transaksi ekonomi masyarakat sesuai dengan
ketentuan syariat yang sudah ditetapkan.
Wadiah
Secara ringkas jenis muamalah wadiah adalah transaksi titipan harta atau barang dari pihak
yang menitipkan kepada pihak yang yang dititipkan. Seperti layanan save deposit box dan
tabungan bank syariah.
Pengertian wadiah menurut para ulama adalah transaksi yang mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu. Dimiliki dengan cara yang sudah disepakati atau ditentukan.
Kafalah
Objek penjaminan biasanya berupa hutang piutang baik berupa pekerjaan atau benda.
Pengertian kafalah adalah penjaminan yang diberikan oleh pihak penanggul kepada pihak
ketiga. Agar bisa memenuhi kewajiban pihak kedua, atas objek penjaminan (makful bihi).
Rahn
Jenis muamalah ini dikenal dengan nama transaksi pengadaian syariah, yang sudah kita
temukan dimana-mana.
Pengertian Rahn adalah transaksi yang menjaminkan benda atau harta sebagai agunan
hutang. Agar seluruh hutang dapat dilunasi dengan harga keseluruhan harta yang
dijaminkan, ketika jatuh tempo.
Hiwalah
Transaksi hiwalah sering disebut dengan nama anjak hutang-piutang, sehingga pemberi
hutang akan menerima pembayaran hutang dari pihak yang berhutang.
Pengertian hiwalah adalah jenis muamalah yang memindahkan utang dari pemilik hutang,
kepada orang lain yang bersedia menjadi penanggung hutang.
https://duniapondok.com/pengertian-muamalah/
Syirkah dalam ilmu muamalah artinya suatu akad dimana dua pihak yang melakukan suatu
kerjasama, usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Selain itu, syirkah adalah mencampurkan dua bagian menjadi satu, sehingga tidak dapat lagi
dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Adapun rukun syirkah diantaranya:
https://duniapondok.com/pengertian-muamalah/
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul
atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha.
Dalam konteks praktisnya mudharabah adalah akad kerjasama bisnis anatara 2 pihak, yaitu
pihak yang mengelola usaha/pemilik bisnis yang disebut sebagai mudharib dan pihak yang
memiliki modal yang disebut sebagai shahibul maal. Dalam akad tersebut poin pentingnya
adalah terletak di awal yaitu kesepakatan atas nisbah bagi hasil.
Ketika mudharib dan shahibul maal bertemu maka mereka akan melakukan akad
mudharabah. shahibul maal akan memberikan investasi modalnya kepada bisnis si mudharib
yang kemudian si mudharib akan memanfaatkan modal tersebut untuk mengelola bisnisnya.
Pada hari dimana mudharib telah balik modal dan memperoleh keuntungan maka ia akan
mengembalikan pokok modal yang didapat dari si shahibul maal ditambah keuntungan yang
dibagikan sesuai kesepkatan nisbah bagi hasil diawal akad.
Fatwa Mudharabah
Penentuan fatwa tersebut didasarkan pada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Hadist. Pada
Q.S. Al-Maidah [5] : 1 yang artinya, “wahai orang-orang yang beriman! Tunaikanlah akad-
akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang
demikian itu) dengan tidak mengalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya”
Q.S. Al-Baqarah: 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” kemudian
pada Q.S. Al-Baqarah: 278, “Hai orang–orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman”. Ayat tersebut menjelaskan solusi atas
pengharam riba yaitu jual-beli.
Selain itu, Nabi SAW bersabda,”Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka
buat kecuali syarat yang mengharamkan halal atau mengalalkan yang haram” (HR. Muslim,
Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Ayat tersebut menjelaskan solusi atas pengharam riba yaitu jual-beli. Selain itu, Nabi SAW
bersabda,”Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat
yang mengharamkan halal atau mengalalkan yang haram” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu
Daud dan Ibnu Majah).
Kemudian didasarkan pada kaidah fiqh yaitu bahwa semua bentuk muamalah pada dasarnya
adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan. Dari dalil-dalil tersebut serta kaidah fiqh
yang berlaku maka terbentuklah ijma yang mana Wahbah Zuhaili menjelaskan, “Mengenai
Ijma, diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat menyerahkan harta anak yatim sebagai
mudharabah, dan tidak seorangpun mengingkarinya.
Oleh karena itu, hal tersebut adalah ijma“. Dengan demikian ulama berpendapat terkait
dengan mudharabah yang mana diambil dari sirah nabawiyah karya Ibnu Hisyam yaitu Nabi
SAW pergi berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan harta Khadijah binti Khuwailid
sebelum menjadi nabi; setelah menjadi nabi, beliau menceritakan itu perniagaan tersebut
dengan tegas“.
Ini menunjukan bahwa praktek mudharabah sudah terjadi ketika Rasulullah SAW menjadi
seorang pedagang. Praktek tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW yang saat itu berlaku
sebagai mudharib dan Khadijah yang berlaku sebagai shahibul maal.
Pada dasarnya adanya akad tidak terlepas dari rukun dan syarat yang berlaku. Hal ini
diperlukan agar akad yang dikerjakan tidak fasid (rusak) dan keberkahan atas akad tersebut
tidaklah hilang. Lalu, apa saja rukun dan syarat pada akad mudharabah?
Itulah mengapa akad ini hanya dapat dikerjakan bagi mereka yang sudah baligh dan punya
pengetahuan terkait hukum. Karena apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak
cakap terhadap hukum maka dikhawatirkan akad yang dilakukan tidak sesuai dengan kaidah
yang berlaku.
Sighat (ijab kabul) juga perlu dilakukan agar terdapat kejelasan akad yang dikerjakan.
Adapun perihal sighat ini ada hal yang harus diperhatikan diantaranya:
Terkait dengan modal, ia haruslah sejumlah uang atau asset yang diberikan oleh shahibul
maal kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat :
Keuntungan Mudharabah
Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal, dengan
syarat yang harus dipenuhi :
1. Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh diisyaratkan untuk satu pihak.
2. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan
pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
3. Shahibul Maal menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Kegiatan Usaha oleh Mudharib. Kegiatan usaha oleh mudharib, sebagai
perimbangan modal yang disediakan oleh shahibul maal pada dasarnya harus
memperhatikan:
Mudharib memiliki hak ekslusif untuk menjalankan usahanya tanpa campur tangan
shahibul maal, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
Shahibul Maal tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
Mudharib tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktifitas itu
Akad Mudharabah memiliki karakteristik yang berbeda tergantung dari jenisnya. umumnya
terdapat dua jenis akad mudharabah diantaranya:
Mudharabah Mutlaqah
Akad Mudharabah ini memiliki karakteristik yaitu pemilik dana/modal (shahibul maal)
memiliki kewenangan untuk melakukan apa saja atau mengintervensi bisnis yang berjalan
agar berhasil dan sesuai dengan tujuan bisnis yang telah disepakati antar kedua belah pihak.
Jadi misalkan kamu punya bisnis peternakan ikan, terus kamu melakukan akad mudharabah
dengan salah satu investor. Nah, investor tersebut berhak untuk mengintervensi bisnis kamu
sehingga ia dapat merubah sistem dalam bisnis kamu semisal cara penjualan, rekrutmen
sdm, pengelolaan keuangan dan sebagainya.
Tapi kamu tetap punya hak untuk mengelola bisnismu kok. Meskipun begitu apa yang akan
kamu lakukan perlu untuk didiskusikan dengan investormu.
Mudharabah Muqayyadah
Lain halnya dengan mudharabah mutlaqah yang mana shahibul maal memiliki hak untuk
intervensi bisnis, pada mudharabah muqayyadah, si shahibul maal tidak memiliki hak untuk
mengatur bisnis si pengusaha.
Jadi ketika ada kesepakatan akad mudharabah antara shahibul maal dengan mudharib
(pengusaha) maka kewenangan untuk mengatur usaha 100% adalah hak dari pengusaha.
Pemilik modal tidak memiliki hak untuk mengatur usaha yang ia berikan modal.
Berikut adalah gambar terkait dengan skema mudharabah pada praktiknya di perbankan:
akad mudhrabah
Dilihat pada gambar di atas, skema mudharabah dijelaskan dengan rincian sebagai berikut:
Bank memberikan modal sebesar 100% untuk di kelola oleh nasabah yang memiliki keahlian
tertentu.
Jika terjadi kerugian ketika menjalankan usaha yang bukan merupakan kelalaian nasabah
maka kerugian di tanggung oleh bank.
Setelah proses usaha berjalan lalu keuntungan dibagi sesuai ketentuan nisbah. Selain itu
nasabah juga mengembalikan modal pokok kepada bank.
Misal, Adzkia adalah seorang muslimah yang taat dan paham agama ia hendak
menabungkan uangnya di salah satu Bank Syariah yaitu Bank A. Karena ingin merasakan
hasil investasi maka Adzkia membuka tabungan dengan akad mudharabah.
Adzkia menabungkan uangnya ke Bank A sebesar 10 juta dengan nisbah bagi hasil 20% untuk
Adzkia dan 80% untuk bank. Di sisi lain, Santos merupakan pengusaha ternak sapi. Untuk
mengembangkan bisnisnya, ia butuh modal tambahan. Ia datang kepada salah satu Bank
Syariah (sebut saja Bank A) untuk mendapatkan tambahan modal.
Ketika Santos menjelaskan terkait kebutuhannya akan permodalan untuk usahanya kepada
Bank A maka Bank A akan melakukan screening untuk memastikan bahwa Santos adalah
mudharib yang cocok untuk diberikan pembiayaan mudharabah.
Pada awal akad, mereka akan menentukan nisbah bagi hasil dari keuntungan si Santos.
Misal, nisbah bagi hasil yang disepakati adalah 60% untuk Santos dan 40% untuk Bank A.
Maka, ketika Santos mulai menuai keuntungan dari bisnisnya, misal keuntungannya adalah
10 juta. Maka, 6 juta (60% x 10 juta) untuk si Santos dan 4 juta (40% x 10 juta) untuk Bank A.
Hasil 6 juta yang diterima oleh Bank A juga akan berdampak pada bertambahnya
pendapatan dari tabungan mudharabah si Adzkia. Pada umumnya perhitungan untuk
pembagian hasil kepada nasabah juga mencakup saldo rata-rata per bulan di seluruh Bank A.
Katakanlah rata-rata saldo di Bank A untuk tabungan mudharabah adalah 1 miliar.
Rumus yang digunakan adalah (saldo yang dimiliki Adzkia x Keuntungan Bank A x 20%)/Saldo
rata-rata tabungan mudharabah di Bank A. Bila dimasukan maka perhitungannya menjadi
(10.000.000 x 4.000.000×20%)/1.000.000.000 = 8.000. Sehingga pendapatan yang diterima
oleh Adzkia yang akan langsung bertambah ke saldo tabungan mudharabahnya adalah
sebesar Rp8.000.
Dilihat pada skema akad mudharabah dalam bentuk sederhana tersebut maka rincian atas
sistem tersebut adalah sebagai berikut :
Shahibul Maal (pemilik dana) menyerahkan uang yang ia miliki sebagai modal dan mudharib
(pengusaha) menerima uang tersebut sehingga terbentuk akad mudharabah
Dari dana yang sudah diterima oleh mudharib, maka dijalankan dalam bentuk proyek usaha.
Ketika usaha tersebut berjalan, maka keuntungan dari usaha tersebut harus dibagikan
kepada kedua belah pihak yaitu shahibul maal dan mudharib. Apabila proyek tersebut
menghasilkan keuntungan maka keuntungan tersebut harus dibagikan berdasakan nisbah
yang telah disepakati. Namun, bila mengalami kerugian maka kerugian tersebut ditanggung
penuh oleh shahibul maal.
Terdengar ribet? Tidak semua skema mudharabah seribet itu kok. Ada skema mudharabah
yang sangat sederhana yaitu mudharabah yang cukup mempertemukan 2 pihak langsung
yaitu shahibul maal dan mudharib.
Kembali pada kisah Santos dan Adzkia. Santos yang memiliki usaha namun terkendala untuk
mendapatkan modal bertemu dengan Adzkia yang memiliki modal untuk usaha Santos.
Merekapun melakukan akad mudharabah.
Adzkia menyetorkan uangnya sebanyak 10 juta kepada Santos sebagai modal. Mereka
menyepakati nisbah bagi hasil yaitu 60% untuk Santos dan 40% untuk Adzkia. Porsi besar
untuk Santos dikarenakan pada idealnya skema mudharabah memberikan porsi yang besar
pada pengusaha (mudharib).
Seiring berjalannya waktu, dalam rentang waktu setahun usaha Santos sudah balik modal
mendapatkan keuntungan sebesar 1 juta rupiah. Sehingga pada saat itu Santos harus
mengembalikan modal yang ia gunakan kepada Adzkia ditambah pembagian dari hasil
usahanya yaitu 400 ribu untuk Adzkia (40% x 1 juta) dan 600 ribu untuk Santos (60% x 1 juta)
Lalu, bagaimana kalau usaha si Santos rugi? Dalam sistem perbankan, Adzkia tidak akan
mengalami dampak terhadap kerugian yang dialami oleh Santos. Karena pada dasarnya Bank
tidak akan memberikan loss terhadap nasabah.
Lain cerita bila menggunakan konsep mudharabah yang sederhana maka, Adzkia sebagai
investor akan menanggung kerugian 100% atas modal yang diberikan. Misal, si Santos
setelah mengelola usahanya mengalami kerugian 2 juta rupiah.
Maka, Adzkia harus berlapang dada untuk mendapatkan kembali modalnya tidak utuh. Misal
si Adzkia memberikan modal sebesar 10 juta di awal. Maka, ia akan menerima uangnya
kembali sebanyak 8 juta.
Keadilan dalam Akad Mudharabah
Berarti Santos enak dong? Adzkia doang kan yang rugi. Islam itu terkenal dengan konsep
keadilannya. Bahkan dalam akad ini, tetap terjadi keadilan. Karena pada dasarnya kedua-
duanya menanggung kerugian.
Perkembangan transaksi mudharabah hingga saat ini memunculkan modifikasi atas akad
mudharabah pada lembaga keuangan syariah (LKS). Akad tersebut dinamakan akad
mudharabah musytarakah. Berbeda dengan dua akad sebelumnya, mudharabah
musytarakah adalah penggabungan antara akad mudharabah dengan akad musyarakah.
Tahap pertama adalah pembagian keuntungan dari akad musyarakah LKS. Pada tahap ini LKS
mendapatkan keuntungan sebagai pemodal (musytarik). Rasio porsi modal menjadi penentu
jumlah keuntungan yang akan didapatkan oleh LKS.
Tahap kedua adalah pembagian keuntungan dari akad mudharabah. Pada tahap ini
keuntungan yang telah dikurangi dari hasil akad musyarakah kemudian dibagikan kembali
dengan pembagian LKS sebagai pengelola (mudharib) dan nasabah sebagai pemilik modal
(shahibul maal).
Cara Investasi dengan Akad Mudharabah
Jikalau kamu ingin memulai untuk berinvestasi dengan menggunakan skema mudharabah.
Kamu dapat memilih jalur investasi antara lain:
Perbankan Syariah, pada umumnya bank syariah memiliki 2 bentuk akad sebagai produk
mereka yang ditawarkan kepada nasabah yaitu mudharabah dan wadiah. Kamu bisa memilih
mudharabah agar kamu bisa merasakan hasil investasi dari uang yang kamu tabungkan pada
bank syariah tersebut.
Lembaga Keuangan Syariah non Bank, dalam hal ini kamu bisa memilih untuk investasi di
asuransi syariah, BPRS, BMT dan sebagainya yang umumnya juga menggunakan akad
mudharabah.
https://qazwa.id/blog/Mudharabah
Sebagaimana diketahui bahwa akad musaqah merupakan akad bagi hasil perawatan dan
pengelolaan tanaman anggur dan kurma, dengan ketentuan bagi hasil berupa hasil
perkebunan. Sebagian hasil menjadi milik dari pengelola dan sebagian lagi milik pemilik
tanah dan kebun.
Para ulama bersepakat akan kebolehan akad ini pada tanaman anggur dan kuma. Tetapi
mereka berselisih pendapat mengenai berlakunya untuk jenis tanaman selain kedua
tanaman yang manshush (tertuang dalam teks) tersebut. Kali ini kita menghadirkan
pendapat dari kalangan lain, yaitu Mazhab Syafi‘i.
Mazhab Syafi’i pada dasarnya menyatakan bahwa bahwa akad musaqah hanya khusus
berlaku untuk kurma dan anggur. Adapun untuk selainnya, qaul yang paling kuat dari
mazhab ini menyatakan hukum ketidakbolehnnya. Namun, ada satu dialektika yang penting
kita perhatikan dari pendapat Al-Mawardi, ketika ia mengajukan sebuah tesis tentang pohon
dari jenis pohon buah-buahan. Al-Mawardi dalam hal ini mengambil manhaj pemikiran
bahwa maksud dari kurma dan anggur di sini yang menjadi titik penekanannya adalah
kategori buah-buahan.
Al-Mawardi mengajukan tiga tesis mengenai jenis pohon yang diambil buah-buahannya,
yaitu :
1. Mazhab Syafi‘i tidak menampik akan kebolehan akad musaqah dengan obyek akad
berupa kurma dan anggur.
2. Mazhab Syafi‘i juga tidak menampik akan batalnya akad musaqah pada jenis
tanaman yang tidak bisa disirami, seperti semangka, mentimun, bawang dan
sejenisnya yang tidak memiliki pokok yang bersifat tetap dan hanya bisa dipetik
sekali dalam setiap penanamannya. Adapun bila tanaman itu berupa jenis yang bisa
diproduksi berkali-kali, tidak hanya sekali dalam satu tahun, namun dari jenis selain
kurma dan anggur, pendapat yang ashah menyatakan hukum ketidakbolehannya.
Berangkat dari pendapat ini, maka bisa ditarik simpulan bahwa ada qaul
pembanding yang juga berstatus shahih dalam mazhab ini dan menyatakan bahwa
akad musaqah juga boleh diterapkan pada tanaman selain anggur dan kurma.
3. Jika buah-buahan masuk kategori tanaman tingkat tinggi (pohon), dan bukan
sekadar tanaman tingkat rendah (perdu), maka dalam hal ini, mazhab Syafi‘i
memiliki dua pendapat.
Pertama, menurut qaul qadim, hukumnya boleh mengambil akad musaqah dari jenis pohon
buah seperti ini dengan alasan pohon buah adalah semakna dengan pengertian kurma, yaitu
sama-sama diambil buahnya. Kedua, menurut qaul jadid.
Qaul ini mengadopsi pendapat Abu Yusuf yang merupakan salah satu ulama Mazhab Hanafi.
Dalam qaul jadid disebutkan bahwa meski buah-buahan itu berasal dari jenis pepohonan,
hukum melakukan akad musaqah untuk kategori jenis tanaman buah ini adalah tidak boleh.
Kebolehan akad musaqah hanya berlaku atas pohon anggur dan kurma, dan lainnya tidak.
Ada dua alasan yang disampaikan dalam qaul jadid mazhab ini terkait kekhususan akad
musaqah pada anggur dan kurma saja, antara lain sebagai berikut:
1. Zakat berlaku atas dua jenis tanaman ini, yakni dengan ketentuan pengambilan
persentase-nya.
2. Tanaman buah yang lain sulit diambil bagian persentasenya sebagaimana
dipraktikkan dalam zakat.
Namun, ada pengecualian untuk kebun yang memiliki dua komposisi tanaman (tumpang
sari), yaitu terdiri atas kurma dan pohon buah lainnya di tempat yang sama. Jika zakat itu
hanya diambil dari persentase kurma, maka jumlahnya terlalu sedikit/kecil.
Oleh karena itu, dalam hal ini kedua hasil tanaman tumpang sari tersebut dapat diambil
ketentuan akad musaqah, disebabkan alasan satu pengelolaan dan sedikitnya persentase
kurma. Jadi, hukum musaqah tanaman sandingan dari tanaman kurma adalah mengikut
pada tanaman utama, yaitu kurma.
Walhasil, sebagai simpulan dari akad musaqah menurut mazhab Syafi‘i adalah:
1. Qaul ashah menyatakan akad ini hanya berlaku untuk kurma dan anggur (qaul jadid).
Adapun untuk tanaman produktif lainnya tidak berlaku ketentuan musaqah, kecuali
berdasar qaul awal, yaitu qaul qadim.
2. Mazhab ini bersepakat bahwa akad musaqah hanya berlaku untuk kategori tanaman
pohon dan bersifat menahun (baik qaul qadim maupun qaul jadid). Sedangkan untuk
jenis tanaman sekali petik langsung habis, dan tanaman umur pendek, akad
musaqah tidak berlaku.
3. Tanaman usia pendek bisa diberlakukan dalam ketentuan bagian dari akad musaqah,
dengan syarat bila tanaman tersebut menjadi tanaman pendamping dari tanaman
utamanya yang terdiri atas kurma dan anggur.
Untuk keterangan lebih lengkap, kita dapat merujuk pada Al-Hawi juz IX, halaman 169 dan
Raudlatut Thalibin, juz V, halaman 150-151.
Wallahu a’lam bis shawab.
https://islam.nu.or.id/post/read/113625/akad-musaqah-dan-jenis-tanamannya-menurut-
mazhab-syafi-i
6. Apa yang di maksud dengan muzaraah? & 7. Apa yang dimaksud dengan Mukhabarah?
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
benihnya ditanggung pemilik tanah
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut
karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu
Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif
muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al
Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang
lain) yang hasilnya dibagi.
Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka
yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil,
maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
ٍ ْصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َم َل َأ ْه َل خَ ْيبَ َر بِشَرْ ِط َمايَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا ِم ْن ثَ َم ٍر اَوْ زَ ر
)ع (رواه مسلم َ ع َْن اِب ِْن ُع َم َراَ َّن النَّبِ ِّي
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
B. Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan
katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan
tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas
Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun
mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka
mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari
sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian
di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan
dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil
dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada
muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang
bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan
penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang
didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib
atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang
yang mengerjakan.
Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak
pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah.
Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap
hidupnya
http://www.anakciremai.com/2008/06/makalah-fiqih-tentang-muzaraah-dan.html
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perbankan islam?
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية اإلسالمية, al-Mashrafiyah al-Islamiyah)
adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta
larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha yang bersifat (haram).
Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perbankan Islam
Asuransi adalah pertanggungan atau perjanjian antara dua belah pihak, di mana pihak satu
berkewajiban membayar iuran/kontribusi/premi.
Pihak yang lainnya memiliki kewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar
iuran/kontribusi/premi apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang
miliknya sesuai dengan perjanjian yang sudah dibuat)[1]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Asuransi
Pegadaian syariah adalah lembaga keuangan non bank yang memberikan fasilitas berupa
pembiayaan dan jasa gadai dengan berdasarkan prinsip syariah.
Akad utama yang digunakan adalah akad rahn. Penjelasan tentang akad ini terdapat pada
fatwa DEWAN SYARI’AH NASIONAL (DSN) Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn.
Dalam fatwa DSN MUI tersebut dijelaskan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan beberapa ketentuan,
diantaranya:
Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.
Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi
melalui lelang sesuai syariah.
Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
https://qazwa.id/blog/pegadaian-syariah/