Anda di halaman 1dari 13

MUDHARRABAH/ KERJA

SAMA DAN PINJAM-


MEMINJAM
NAMA KELOMPOK 10 :
1. Clara Ilman Amalia ( 224110118)
2. Franciscus Purba ( 224110138)
3. Habib Muhammad ( 224110125)
PENGERTIAN MUDHARRABAH

 Mudharabah adalah bentuk akad, perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan kerja sama menjalankan suatu usaha untuk memperoleh pendapatan
atau keuntungan. Secara terminologi mudharabah adalah bentuk kontrak (perjanjian)
antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan
aktivitas yang produktif di mana keuntungan dibagi kedua belah pihak antara pemilik
modal dan pengelola dana.
LANDASAN HUKUM MUDHARRABAH

 Landasan hukum syariah yang membahas mengenai mudharabah lebih merujuk kepada anjuran untuk melakukan
kegiatan usaha. Landasan hukum mudharabah terdapat dalam Al-Quran, Al-Hadist maupun Ijma Ulama, yaitu
sebagai berikut:
 a. Al-Quran
Surat Al-Muzzammil ayat 20, yaitu:

Artinya: "Dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT".(Q.S Al-Muzzammil :
20)
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT …”
(al-Jumu’ah: 10)
“Tidak ada dosa ( halangan ) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu ….” (al-Baqarah: 198)
Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari
yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah
dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
 B. Al-Hadits
 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam dana ke
mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada
Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani).
 Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah).
 C. Ijma
 Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap
legitimasi pengolahan harta yatin secara mudharabah. Imam Zailai telah
menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi
pengolahan harta yatim secara mudharabah. Qiyas merupakan dalil lain yang
membolehkan mudharabah dengan mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi
musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam
hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram,
memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat
(penyiram) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan
dari out put perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul
maal) dianalogikan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun
dianalogikan dengan pengusaha (entrepreneur).
HIKMAH
MUDHARABAH

Dalam menjalankan bisnis sering mendengar istilah 'sistem bagi hasil ' atau 'sistem bagi
keuntungan'. Adapun dalam Islam, hal semacam ini dikenal dengan mudharabah. Berikut
penjelasannya.
Abdul Rahman Al-Juzairi dalam buku Fiqih Muamalah 1 oleh Darwis Harahap & Arbanur Rasyid,
mendefinisikan mudharabah secara bahasa cukup berbeda, yakni penyerahan harta milik oleh
seseorang kepada orang lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi dua, sementara bila
ada kerugian maka ditanggung oleh pemilik harta.
RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Menurut Suhendi (2002), rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama ada tiga, yaitu: dua
orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma'qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul).
Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah lebih memerinci lagi menjadi enam rukun, yaitu:
 Pemilik modal (shohibul maal).
 Pelaksanaan usaha (mudharib atau pengusaha).
 Akad dari kedua belah pihak (ijab dan kabul).
 Objek mudharabah (pokok atau modal).
 Usaha (pekerjaan pengelola modal).
 Nisbah keuntungan.
Menurut Afandi (2009), syarat-syarat mudharabah adalah sebagai berikut:
A. Akad
Syarat yang terkait dengan orang yang melakukan akad (Aqidain), yaitu: Cakap bertindak hukum
dan cakap diangkat sebagai orang yang berakad (aqid). Pemilik dana tidak boleh mengikat dan
melakukan intervensi kepada pengelola dana.
b. Modal
Syarat terkait dengan modal, antara lain yaitu:
 Modal harus diketahui secara pasti termasuk jenis mata uangnya.
 Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya berbentuk aset diperbolehkan asalkan berbentuk
barang niaga dan memiliki nilai atau historinya pada saat mengadakan kontrak.
 Besarnya ditentukan secara jelas di awal akad
Modal bukan merupakan pinjaman (hutang). Modal diserahkan langsung kepada pengelola dana dan
secara tunai. Modal digunakan sesuai dengan syarat-syarat akad yang disepakati. Pengembalian modal
dapat dilakukan bersamaan dengan waktu penyerahan bagi hasil atau pada saat berakhirnya masa akad
mudharabah.
Menurut Suhendi (2002), rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama ada tiga, yaitu: dua
orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma'qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul). Sedangkan
menurut ulama Syafi'iyah lebih memerinci lagi menjadi enam rukun, yaitu:
 Pemilik modal (shohibul maal).
 Pelaksanaan usaha (mudharib atau pengusaha).
 Akad dari kedua belah pihak (ijab dan kabul).
 Objek mudharabah (pokok atau modal).
 Usaha (pekerjaan pengelola modal).
HUKUM DAN RUKUN MEMIINJAM DALAM ISLAM
Hukum Pinjam Meminjam dalam Islam:
 Hukum Pinjam Meminjam
Menurut Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza'iri hukum pinjam meminjam atau 'Ariyah adalah disyariatkan. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat A
Maidah ayat 2:

‫َو َتَع اَو ُنوا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقَو ٰى ۖ َو اَل َتَع اَو ُنوا َع َلى اِإْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن ۚ َو اَّتُقوا َهَّللاۖ ِإَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب‬
"Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

Diriwayatkan dalam hadits Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‫َو ُهللا فِى َعْو ِن ْالَع ْبِد َم ا َك اَن ْالَع ْبُد فِى َعْو ِن َأِخ ْيِه‬

"Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya".

Kemudian, hukum pinjam meminjam bisa menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Contohnya, seperti meminjam pisau untuk
memotong kambing yang mendekati mati atau pakaian untuk menutup aurat.
Namun, hukum pinjam meminjam bisa menjadi haram ketika seseorang melakukan kegiatan tersebut untuk hal-hal yang dilarang. Contohnya adalah meminjam
pisau untuk membunuh orang.
 Rukun Pinjam Meminjam
Rukun pinjam meminjam dikutip dari buku 'Fikih Madrasah Tsanawiyah' karya Zainal Muttaqin
dan Drs. Amir Abyan terbagi menjadi empat macam. Semua rukunnya memiliki syarat pinjam
meminjam dalam Islam
 Orang yang meminjamkan, disyaratkan:

- Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak
sah meminjamkan
-Barang yang dipinjam itu milik sendiri atau menjadi tanggungjawab orang yang
meminjamkannya

Orang yang meminjam, disyaratkan

-Berhak menerima kebaikan. Oleh karena itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam
-Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam
BARANG YANG DIPERBOLEHKAN DALAM TRANSAKSI PINJAM
MEMINJAM

 Barang yang dipinjam, disyaratkan

-Ada manfaatnya
-Barang bersifat kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang habis tidak sah bila dipinjam

Akad pinjam meminjam

Kegiatan pinjam-meminjam berakhir bila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya. Sehingga barang tersebut harus
dikembalikan kepada pemiknya.

Selain itu, kegiatan ini juga bisa berakhir apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia atau gila. Atau karena pemiliknya
meminta barang sewaktu-waktu, sebab, kegiatan ini sifatnya tidak tetap.

Sementara itu, hukum pinjam meminjam jika terjadi perselisihan di antara keduanya Barang yang dipinjam, disyaratkan

-Ada manfaatnya
-Barang bersifat kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang habis tidak sah bila dipinjam

Akad pinjam meminjam

Kegiatan pinjam-meminjam berakhir bila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya. Sehingga barang tersebut harus
dikembalikan kepada pemiknya.

Selain itu, kegiatan ini juga bisa berakhir apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia atau gila. Atau karena pemiliknya
meminta barang sewaktu-waktu, sebab, kegiatan ini sifatnya tidak tetap.
KAIDAH TIAP PINJAMAN YANG MENDATANGKAN
KEUNTUNGAN ADALAH RIBA

Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.


Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga
bagian:
 Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
mudharabah dan lain-lain.
 Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang
lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
 Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan
hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.
Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia
membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya.
Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air
keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam
menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Anda mungkin juga menyukai