Anda di halaman 1dari 18

KEMITRAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

PENERAPANNYA DI PERBANKAN SYARIAH

Oleh

MASRIADI
NIM: 200211040087

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

PASCASARAJANA

HUKUM EKONOMI SYARIAH

BANJARMASIN

2020
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Kehadiran Islam dalam mengatur segala sendi pokok kehidupan sangatlah
rinci dan jelas. Salah satunya dalam dunia keuangan dan perbankan, islam telah
mengatur jenis-jenis transaksi yang diperbolehkan dan tentunya juga
kemaslahatan untuk umut manusia. Salah satu tujuan diaturnya tata cara
bermuamlah agar sesama manusia bisa saling membantu dan bekerja sama dalam
hal yang bermanfaat karena sesuangguhnya asas muamalah ialah saling tolong
menolong.
Hadirnya perbankan syariah di Indonesia juga sangat penting bagi
masyarakat karena di Indonesia sendiri mayoritas penduduknya beragama islam,
yang tentu sudah semestinya mendukung dan menggunakan layanan keuangan
yang berbasis syariah tersebut. Di sisi lain, dukungan Pemerintah terhadap
perbankan syariah di Indonesia juga sangat serius, hal itu dapat dilihat dengan
adanya undung-undang yang mengatur mengenai keuangan dan perbankan
syariah, dari sisi para ulama juga menyambut baik dengan terbentuknya Dewan
Syariah Nasional sebagai salah satu acuan pengambilan keputusan baik oleh
perbankan maupun masyarakat.
Dalam hal memahami produk-produk syariah pada perbankan syariah di
Indonesia, penulis memaparkan jenis-jenis kemitraan dalam perspektif hukum
islam serta bagaimana penerapannya pada perbankan syariah di Indoensia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis kemitraan dalam perspektif hukum islam?
2. Bagaimana penerapan mudharabah dan musyarakah pada perbankan
syariah di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertjuan untuk mengetahui jenis kemitraan dalam perspektif
hukum islam serta penerapannya pada perbankan syariah di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Pada akhirnya, mahasiswa mampu memahami kemitraan dalam perspeptif
hukum islam dan penerapannya pada perbankan syariah di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kemitraan dalam perspektif hukum islam


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitra berarti teman,
kawan kerja, rekan. Sementara kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan
kerjasama sebagai mitra.
Dalam perspektif hukum islam, terdapat bebarapa jenis kerja sama, namun
umumnya yang sering digunakan adalah akad mudharabah dan musyarakah.
Ahmed (2014: 17) mengatakan “The traditional Islamic contracts that are
frequently used is Islamic finance can be broadly classified into equity and debt
modes. While equity instruments are partnership-based contracts of mudarabah
and musharakah, debt-instruments arise from sale transactions.” Dari penjelasan
tersebut, dia (Ahmed, 2014) mengungkapkan secara garis besar kemitraan dalam
dalam perspektif islam ada 2 (dua) jenis, yaitu mudharabah dan musyarakah.

Lai dan Samers (2017: 406) menyebutkan musyarakah dan mudharabah


merupakan kerja sama yang diperbolehkan oleh syariat, ideal dan sering
digunakan di perbankan syariah.
1. Mudharabah
Menurut bahasa kata Mudharabah semakna dengan al-Qath’u (potongan),
berjalan, dan atau bepergian. Istilah mudharabah tidak ditemukan secara langsung
di dalam Al-Qur’an, akan tetapi melalui akar kata darb yang diungkapkan
sebanyak 58 (lima puluh delapan) kali (Muhammad, 2002). Dari akar kata inilah
kemudian lahir istilah mudharabah.
Secara istilah, mudharabah adalah pemilik modal (shahibul maal)
menyerahkan modalnya kepada pekerja (mudharib) untuk perdagangan,
sedangkan keuntungan itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan
yang dibuatnya. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu maka kerugian
itu ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini dapat diketahui bahwa
yang diserahkan kepada mudharib adalah sesuatu yang berbentuk modal, bukan
manfaat seperti penyewaan rumah dan lain sebagainya (Harun, 2000).
Chenguel, dkk (2019), Mudharabah merupakan suatu akad yang mana bank
selaku penyedia modal seluruhnya dan mitra menjalankan usaha secara
professional. Dengan demikian, bank menerima proporsi keuntungan yang telah

2
disepakati sebelumnya, dan jika mengalami kerugian maka bank yang akan
menanggungnya selama pelaku usaha (mudharib) tidak melakukan hal yang
menyimpang.
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh/100 persen modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola (Az-Zuhaili, 2011).
Mudharabah merupakan suatu kontrak kemitraan (partnership) yang
berdasarkan prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya
kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi
keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.
Pembagian keuntungan bagi keduanya pemberi moda (shahibul maal) menerima
60% dan pengelola (mudharib) menerima 40% atau dengan persentase yang
mereka sepakati bersama. Jika mengalami kerugian, seluruh kerugian ditanggung
oleh shahibul maal, ia memikul seluruh tanggung jawab dan tidak ada klaim
yang diajukan kepada mudharib (Manan, 2012: 130).
Dari bebarapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mudharabah
merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
(shabib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi
pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil
yang dituangkan dalam perjanjian, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
a. Landasan Hukum Islam tentang Mudharabah
1) Al- Qur’an
 QS. al-Muzammil ayat 20:

ِ ْ‫هَّللا ِ فَضْ ِل ِمن يَ ْبتَ ُغونَ اأْل َر‬


َ‫ض فِي يَضْ ِربُونَ َوآ َخرُون‬
Artinya: “Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia
Allah”.
 QS. an-Nisa ayat 29 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di

3
antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”
 QS. al-Jumu’ah ayat 10: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
2) Hadits
 Hadits riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
Rasulullah saw. bersabda: “ada tiga hal yang mengandung berkah, yaitu
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
(HR. Ibnu Majah).
 Hadits riwayat Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath, dari Ibnu Abbas:
Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah,
ia mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan,
tidak menuruni lembah serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan
itu dilanggar, maka pengelola harus menanggung risikonya. Ketika
persyaratan Abbas didengar Rasulullah saw., beliau membenarkannya.
(HR. Thabrani).
3) Ijma’
Mudharabah disyariatkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat
dan berdasarkan kesepakatan para imam yang menyatakan kebolehannya.
Hal itu, pada zaman Rasulullah SAW. telah diketahui dan hanya tinggal
ditetapkan saja.
4) Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah
(Hidayatullah, 2020)
b. Rukun Mudharabah
Adapun rukun mudharah menurut ulama Syafi’iyah ada 6 (enam):
1) Pemilik modal (sahhibul maal)
2) Pengelola (Mudharib), yaitu pengelola modal dari shahibul maal untuk
menjalankan bisnis.
3) Aqad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola
4) Maal, yaitu harta pokok atau modal
5) Amal, yaitu bidang pekerjaan (proyek) yang dapat menghasilkan laba.
6) Keuntungan.

4
Sedangkan syarat sahnya mudharabah sangat berhubungan dengan rukun-rukun
mudharabah. Diantara syarat sahnya adalah:
1) Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila
barang itu berbentuk mas atau perak batangan, perhiasan, dll, maka
mudharabah tersebut batal.
2) Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf,
akad yang dilakukan oleh anak-anak kecil, orang gila dan orang yang di
bawah kekuasaan orang lain maka akad mudharabahnya batal.
3) Modal harus jelas, agar dapat dibedakan antara modal usaha dengan laba.
Sebab laba / keuntungan inilah yang akan dibagi hasil sesuai kesepakatan.
4) Prosentase keuntungan antara pemodal dengan pengusaha harus jelas.
5) Melafazkan ijab (bagi pemodal) dan qabul (bagi pengusaha).
c. Konsep Mudharabah dalam Fiqh
Mudharabah dalam fiqh adalah seseorang menyerahkan modal kepada
pengusaha/pekerja untuk diusahakan dengan syarat keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan yang telah ditetapkan dalam kontrak. Adapun kerugian
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal (Az-Zuhaili, 2011). Pengusaha
(Mudharib) dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu, fikiran
dan tenaga dalam mengelola usaha sesuai ketentuan yang disepakati dalam
kontrak, yaitu untuk mendapatkan keuntungan usaha yang akan dibagi
berdasarkan kesepakatan.
Beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam fiqh berkaitan dengan sistem
mudharabah, yaitu:
1) Modal
Modal dalam wacana fiqh diistilahkan dengan “ra’sul maal”. Para
ulama mensyaratkan bahwa modal itu harus memenuhi persyaratan: (1)
Terdiri dari mata uang yang beredar atau berlaku. Pensyaratan ini diajukan
untuk menghindari perselisihan dikemudian hari. Oleh karenanya tidak sah
memudharabahkan harta dalam bentuk piutang, karena sulit untuk
mengukur keuntungan darinya, dan dapat menimbulkan perselisihan dalam
pembagian keuntungan. (2) Modal harus diserahkan sepenuhnya kepada

5
pengusaha. Modal tersebut harus diserahkan seluruhnya pada saat ikatan
kontrak. (3). Modal harus jelas jumlah dan jenisnya (Az-Zuhaili, 2011).
2) Manajemen
Kontrak mudharabah dalam fiqh dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a) Mudharabah Mutlaqah, yaitu Pemilik dana (shahibul maal)
memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib)
dalam menentukan jenis usaha maupun pola pengelolaan yang
dianggapnya baik dan menguntungkan, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan syariah.
b) Mudharabah Muqayyadah, yaitu Pemilik dana memberikan
batasan-batasan tertentu kepada pengelola usaha dengan
menetapkan jenis usaha yang harus dikelola, jangka waktu
pengelolaan, lokasi usaha dll.
Dalam kontrak mudharabah, pihak pemodal atau investor tidak
diperkenankan untuk ikut campur dalam mengelola manajemen usaha,
ketika akad mudharabah telah diberlakukan, maka pihak mudharib
(pengusaha) memiliki kewenangan penuh dalam mengelola usaha, terlepas
apakah bentuk mudharabah yang dijalankan mutlaqah atau muqayaddah.
Para fuqaha sepakat bahwa apabila pemodal ikut campur dalam
manajemen usaha, maka secara otomatis kontrak mudha-rabah menjadi
batal (Masse, 2010).
3) Jaminan
Islam menganjurkan harta itu tidak hanya berputar pada kelompok
tertentu, tetapi harus dikembangkan dan diusahakan pada kegiatan-
kegiatan ekonomi riil, karena Esensi kontrak mudharabah adalah
terjadinya kerjasama dan saling tolong menolong antara pemilik modal
atau dengan orang yang hanya memiliki keahlian dan ketrampilan,
sehingga jurang pemisah antara kaya dan miskin dapat dikikis. Harta
dalam presfektif Islam hanyalah merupakan titipan Tuhan yang seharusnya
dikelola untuk kepentingan bersama dan untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama. Oleh sebab itu, kontrak mudharabah tidak mensyaratkan adanya
jaminan atas sejumlah modal yang diberikan kepada pengusaha

6
(mudharib). Tolak ukur atas terjaminnya modal hanyalah kejujuran.
sehingga kegiatan mudharabah harus diiringi dengan tingkat kejujuran
yang tinggi dari mudharib (Masse, 2010)
4) Jangka waktu
Mengenai pembatasan jangka waktu mudharabah diperdebatkan oleh
para ahli fiqh. Sebagian ulama berpendapat bahwa dengan adanya batasan
waktu berlakunya kontrak akan menjadikan kontrak itu batal, sebab hal
tersebut dapat menghilangkan kesempatan pengusaha untuk
mengembangkan usahanya, sehingga keuntungan maksimal dari kegiatan
itu sulit untuk tercapai. Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa
boleh saja terjadi kesepakatan antara pemodal dan pengusaha mengenai
jangka waktu mudharabah, dengan catatan apabilah salah satu pihak ingin
mengundurkan diri dari ikatan kontrak harus terlebih dahulu memberitahu
yang lainnya (Masse, 2010)
5) Nisbah keuntungan
Nisbah keuntungan merupakan rukun khas yang ada pada akad
mudharabah, hal inilah yang mem-bedakannya dengan akad-akad yang
lain. Nisbah ini merupakan bagian yang akan diperoleh oleh masing-
masing pihak yang berkontrak. Penetapan nisbah dilakukan diawal dan
dicantunkan dalam akad. Dalam proses tersebut, boleh jadi terjadi tawar
menawar dan negosiasi pembagian nisbah. Negosiasi dilakukan dengan
prinsip musyawarah dan antaradin minkum (saling ridha).
6) Bentuk Mudharabah
Dalam kajian fiqh klasik, bentuk mudharabah yang dijalankan dalam
akad dilakukan dengan modus pembiayaan / investasi langsung (direct
financing), dimana shahibul maal bertindak sebagai surplus unit
melakukan investasi langsung kepada mudharib yang bertindak sebagai
deficit unit. Ciri dari model mudharabah ini adalah, biasanya hubungan
antara shahibul maal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan
langsung serta transaksi dilandasi atas kepercayaan/amanah (Masse, 2010).

7
2. Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata Syirikah yang berarti percampuran. Para ahli
fikih mendefinisikan sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam
modal maupun keuntungan (Susanto (2017: 2279). Musyarakah adalah sebuah
bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih mengabungkan modal dan kerja
mereka, untuk berbagi keuntungan menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang
sama (Lewis dan Alqaoud, 2001).
Malik (2015), Musyarakah merupakan kerja sama yang disepakati oleh
setidaknya 2 (dua) pihak. Di sisi lain, Saqib, dkk (2014: 36) menyebutkan bahwa
Musyarakah adalah salah satu jenis kemitraan yang sangat penting dalam dunia
keuangan syariah.
a. Landasan Hukum Islam tentang Musyarakah
1) Al-Quran
 QS. an-Nisa/4: 12
“…Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…”
Arti Ayat al-Quran di atas menjelaskan tentang syirkah al-milk (kepemilikan)
yang disebabkan karena warisan.
 QS. Shad/38: 24
“…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat
sedikitlah mereka ini...”

2) Al-Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Allah swt. berfirman: ‘aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak
tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat,
Aku keluar dari mereka’.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim).

b. Jenis Musyarakah
Syirkah secara general terbagi menjadi dua jenis, yaitu syirkah amlak
(kepemilikan) dan syirkah ‘uqud (kontrak). Ghoniyah (2011), Musyarakah ada
dua jenis, yaitu: musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak).
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainya yang
berakibat pemilikan satu oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad
tercipta dengan kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang

8
dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagai keuntungan dan
kerugian.
1) syirkah amlak (kepemilikan)
Merupakan perserikatan kepemilikan suatu aset kekayaan bukan
karena sebuah kontrak. Syirkah amlak terbagi lagi menjadi dua macam,
yaitu syirkah ikhtiyar dan syirkah jabar. Syirkah ikhtiyar (sukarela) adalah
syirkah yang timbul karena kehendak dua orang yang berserikat, misalkan
dua orang yang menerima hibah atau wasiat dan mereka berserikat atas
apa yang mereka terima dalam hak milik, atau dua orang yang sama-sama
memutuskan untuk berserikat dalam membeli barang. Syirkah jabar
(paksaan) adalah syirkah yang timbul tanpa didahului kehendak
(otomatis), misalkan tercipta karena warisan.
2) syirkah ‘uqud (kontrak)
Merupakan perserikatan dua orang atau lebih yang tercipta karena
adanya akad atau kontrak untuk bermitra usaha dengan menerima
pembagian keuntungan dan kerugian. Syirkah ‘uqud terbagi lagi menjadi
empat macam, yaitu syirkah al-‘inan, syirkah mufawadhah, syirkah a’mal
dan syirkah wujuh, kemudian mazhab hambali memasukkan syirkah
mudharabah sebagai syirkah yang kelima, sedangkan pendapat lain
mudharabah dimasukkan dalam pembahasan tersendiri atau berbeda
dengan syirkah.
a) Syirkah Al Inan
Merupakan akad kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-
masing memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja. Porsi
dana dan bobot partisipasi dalam kerja tidak harus sama, bahkan
dimungkinkan hanya salah seorang yang aktif mengelola usaha yang
ditunjuk oleh partner lainnya Sementara keuntungan atau kerugian yang
timbul dibagi menurut kesepakatan bersama.
b) Syirkah mufawadhah
Merupakan akad kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-
masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan dalam
kerja dengan bobot yang sama pula. Tidak diperkenankan salah seorang

9
memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang
lebih besar pula dibandingkan dengan partner lainnya.
c) Syirkah a’mal
Merupakan kesepakatan kerjasama antara dua orang atau lebih
yang memiliki profesi dan keahlian tertentu untuk menerima serta
melaksanakan suatu pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan
dari hasil yang diperoleh.
d) Syirkah wujuh
Syirkah ini terbentuk antara dua orang atau lebih, tanpa setoran
modal. Modal yang digunakan hanyalah nama baik yang dimiliki, terutama
karena kepribadian dan kejujuran masing-masing dalam berniaga. Dengan
reputasi seperti itu, maka dapat membeli barang-barang tertentu dengan
pembayaran tangguh dan menjualnya kembali secara tunai.
c. Rukun dan Syarat Musyarakah
Beberapa rukun akad musyarakah yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
b. Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh)
c. Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah dapat dibagi menjadi
syarat yang berlaku umum dan syarat khusus pada jenis syirkah tertentu.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu: a) yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya setengah,
sepertiga, dan yang lainnya.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah amwal (harta) seperti syirkah
al-‘inan dan al-mufawadhah dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus
dipenuhi yaitu: a) modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat
pembayaran (nuqud) seperti junaih, riyal dan rupiah, namun dibolehkan
dengan barang dengan syarat barang tersebut dinilai terlebih dahulu dengan

10
ukuran nominal uang, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad
syirkah dilakukan baik jumlahnya sama maupun berbeda.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa dalam
mufawadhah disyaratkan: a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah
harus sama, jika yang diserahkan berupa dua mata uang yang berbeda, maka
harus disamakan dulu nominalnya, b) masing-masing pihak yang berserikat
hendaklah cakap untuk kafalah, yakni sama-sama merdeka, berakal dan
beragama sama, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum,
yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.

B. Penerapan Mudharabah dan Musyarakah di Perbankan Syariah


Indonesia
Istilah perbankan tentu sudah tidak asing lagi bagi dewasa sekarang ini,
yang mana semakin meluasnya produk-produk perbankan di kalangan masyarakat.
Perbankan juga terus melalakukan inovasi dan memperluas jangkauan masyarakat
serta menciptakan produk-produk yang mereka anggap bisa memperluas
bisnisnya, di antaranya menghadirkan layanan perbankan berbasis syariah dan di
Indonesia disebut perbankan syariah.
Utama (2018:38), Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia. Perkembangan awal perbankan syariah dalam sistem perbankan
nasional direspon dengan cepat oleh pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 1992,
disahkan Undang - Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menggantikan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan guna
mengakomodir berdirinya bank syariah di Indonesia (Utama, 2020: 294).
Arbouna (2007) menyinggung jenis kontrak kerja sama (contracts of
partnership) ini didasari atas prinsip bagi hasil (PLS). Di sisi lain, Rosita (2011),
dalam pembiayaan di perbankan syariah, mudharabah adalah akad kerja sama
usaha antara bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah
pembagian hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan dimuka.

11
Dalam hal penerapan mudharabah dan musyarakah:
1. Mudharabah
Basir, dkk (2020) menjelaskan bahwa secara teknis pembiayaan berbasis
mudharabah terdiri dari dua pihak yakni pihak bank syariah selaku pemilik
modal dengan pihak mitra kerja sama atau nasabah sebagai pengelola modal.
Bank syariah akan memberikan seluruh kebutuhan pembiayaan sesuai yang
diperjanjikan bersama mitra kerja sama atau nasabah untuk kebutuhan
produktif. Keuntungan akan dibagi sesuai dengan isi akad atau kontrak yang
telah disepakati bersama. Pendapatan atas bagi hasil mengikuti keuntungan
yang didapatkan oleh mitra kerja sama atau nasabah. Jika keuntungan mitra
meningkat, maka pendapatan bank syariah akan mengikuti pendapatan
tersebut. Selain pembiayaan, Mudharabah juga dapat diterapkan pada produk
penghimpunan dana. Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah
diimplementasikan pada tabungan berjangka, yaitu tabungan yang
dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan qurban dan
sebagainya. Lalu depostio biasa maupun deposito spesial (special investment),
dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya
murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diimplementasikan untuk:
1) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2) Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana
sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-
syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal (Hidayatullah, 2020).
Berdasarkan MUI (2000), skema bagi hasil pembiayaan mudharabah
didasarkan pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DNS) No. 07/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah yang mendefenisikan
keuntungan sebagai jumlah pendapatan mitra atau nasabah yang melebihi dari
modal pembiayaan. Syarat yang harus dipenuhi dalam bagi hasil yaitu,
keuntungan harus dibagi kepada masing-masing pihak yang terikat sesuai
dengan isi kontraknya (bank syariah dengan mitra atau nasabah), keuntungan
dibagi secara proporsional dan dinyatakan sebelumnya di dalam kontrak
secara jelas dalam bentuk presentase (nisbah) sebagai acuan bersama dalam

12
proses bagi hasil. Adapun kerugian merupakan tanggung jawab pihak bank
sebagai suatu resiko dalam bagi hasil PLS, kecuali jika dapat dibuktikan
adanya kesalahan, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan oleh mitra atau
nasabah secara disengaja.
2. Musyarakah
Musyarakah dapat diterapkan untuk pembiayaan proyek di mana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. Setelah proyek itu selesai, maka nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Selain itu
saat ini musyarakah pula dijadikan akad alternatif selain akad murabahah
dan istishna’ untuk pembiayaan hunian syariah atau pembiayaan
pemilikan rumah yang disebut akad musyarakah mutanaqisah. Menurut
Fatwa DSN No: 73/DSN-MUI/ XI/2008, Musyarakah mutanaqisah adalah
musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh
pihak lainnya. Jadi dalam akad ini, bank syariah dan nasabah bersyirkah
(berkongsi) dengan sama-sama menyertakan modal dalam pembelian suatu
aset, misalkan bank syariah dengan modal 65 % dan nasabah dengan
modal 35 % dari porsi total nilai harga suatu rumah. Kemudian secara
bertahap nasabah mengangsur pembelian porsi modal milik bank syariah.

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Ada 2 (dua) jenis kerja sama (kemitraan) yang sering digunakan dan bisa
diterapkan pada perbankan syariah, termasuk perbankan syariah di
Indonesia, yaitu:
1. Mudharabah
Merupakan suatu kerja sama (akad) yang di sepakati oleh dua
pihak (bank dan nasabah). Pada akad ini bank bertindak selaku pemodal
(shahibul maal) dan nasabah sebagai penerima modal untuk menjalankan
usaha (mudharib) dengan prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan
yang telah disepakati. Bank syariah akan memberikan seluruh kebutuhan
pembiayaan sesuai yang diperjanjikan bersama mitra kerja sama atau
nasabah untuk kebutuhan produktif. Keuntungan akan dibagi sesuai
dengan isi akad atau kontrak yang telah disepakati bersama. Pendapatan
atas bagi hasil mengikuti keuntungan yang didapatkan oleh mitra kerja
sama atau nasabah. Jika keuntungan mitra meningkat, maka pendapatan
bank syariah akan mengikuti pendapatan tersebut. Selain pembiayaan,
Mudharabah juga dapat diterapkan pada produk penghimpunan dana. Pada
sisi penghimpunan dana, mudharabah diimplementasikan pada tabungan
berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan qurban dan sebagainya.
2. Musyarakah
Musyarakah dapat diterapkan untuk pembiayaan proyek di mana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek
tersebut. Setelah proyek itu selesai, maka nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Selain itu
saat ini musyarakah pula dijadikan akad alternatif selain akad murabahah
dan istishna’ untuk pembiayaan hunian syariah atau pembiayaan pemilikan
rumah yang disebut akad musyarakah mutanaqisah.

14
DAFTAR PUSTA

Ahmed, H. 2014. Islamic Banking and Shari’ah Compliance: A Product


Development Perspective. Journal of Islamic Finance, 3 ( 2), p. 015 -029.

Arbouna, M., B. 2007. The Combination of Contracts in Shariah: A Possible


Mechanism for Product Development in Islamic Banking and Finance.
Thunderbird International Business Review, 49 (3), p. 341–369.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani.

Basir, A., Wulandari, A., S., R. 2020. Penerapan Prinsip Bagi Hasil pada
Pembiayaan di Bank Syariah Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah.
Khatulistiwa Law Review, 1 (1), p. 61-76.

Chenguel, M., B., Derbali, A., Jouiro, M. 2019. Installing Islamic banking
windows in conventional bank: Effects on performance. International Journal
of Financial Engineering, 6 (4), p. 1-11.

Ghoniyah, N., Wakhdah, N. 2012. Pembiayaan Musyarakah dari Sisi


Penawaran pada Perbankan Syariah di Indonesia. Dharma Ekonomi, 19 (36),
p. 1-20.

Harun, N. 2000. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

Indonesia, M., U. 2000. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 07/DSN-


MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).

Lai, K., P.,Y., Samers, M. 2017. Conceptualizing Islamic banking and


finance: a comparison of its development and governance in Malaysia and
Singapore. The Pacific Review, 30 (3), 405–424.

Lewis dan Alqoud. 2001. Perbankan Syariah, Praktik dan Prospek


(terjemahan). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Malik, B., A., Khaki, G., N. 20. 2015. Scope and Feasibility of Islamic
Banking and Finance Model Kazakhstan & Indian Perspective. The Journal of
Central Asian Studies, 22 (), p. 84-98.

15
Manan, Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif Kewenangan
Peradilan agama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Masse, R., A. 2010. Konsep Mudharabah Antara Kajian Fiqh dan Penerapan
Perbankan. Jurnal Hukum Diktum, 8 (1), P. 77-85.

Muhammad. 2002. Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam,


(Cet. I; Jakarta: Salemba Empat.

Rosita, S., Rahman, A. 2011. Evaluasi Penerapan Pembiayaan Mudharabah


dan Pengaruhnya Terhadap Laba Perusahaan. Jurnal Ilmiah Ranggagading,
11 (1), p. 57-64.

Saqib, L., Roberts, K., W., Zafar, M., A., Khan, K., Zafar, A. 2014.
Mushärakah- A Realistic Approach to the Concept in Islamic Finance and its
Application to the Agricultural Sector in Pakistan. Arab Law Quarterly, 28 (),
p. 1-39.

Susanto, N., F., Morasa, J., Wokas, H., R., N. 2017. Analysis the
Implementation of Musharakah Financing Profit Sharing System of Psak
No.106 at Branch Office PT. Bank Syariah Mandiri Manado. Jurnal EMBA, 5
(2), p. 2277-2285.

Utama, A., S. 2018. History and Development of Islamic Banking Regulations


in the National Legal System of Indonesia. Jurnal Al-‘Adalah, 15 (1), p. 37-
50.

Utama, A., S. 2020. Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia. Unes


Law Review. 2 (3), p. 290-298

16

Anda mungkin juga menyukai