Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal,dengan
ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengankesepakatan.
Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal)membiayai sepenuhnya
suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). 
Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkandalam agama Islam, karena untuk
salingmembantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang.
Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola
uangnya.

Sementara banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal unt
uk  berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan
kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil
dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Akad mudharabah berbeda dengan akad
pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan
konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan
menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modalyang telah digunakan mudharib
dalam jangka waktu tertentu.

Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharibyang
menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharib memberikan
bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib. Pembiayaan mudharabah pada
dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami
sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan
yang ada didalamnya.

1
2. Rumusan Masalah

1. Apa itu mudharabah?


2. Bagaimana hukum dasar mudharabah?
3. Apa syarat-syarat dan rukun dalam mudharabah?
4. Bagaimana aplikasi mudharabah dalam lembaga keuangan syariah?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-MUDHARABAH
Al-Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
kerja sama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan
shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut dengan mudharib. Bagi
hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara
pihak-pihak yang bekerja sama.
Secara muamalah, pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada
pedagang/pengusaha (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan atau usaha.
Keuntungan atas usaha perdagangan yang dilakukan oleh mudharib itu akan dibagihasilkan
dengan shahibul maal. Pembagian hasil usaha ini berdasarkan kesepakatan yang telah
dituangkan dalam akad.
Mudharib adalah entrepreneur, yang melakukan usaha untuk mendapatkan
keuntungan atau hasil atas usaha yang dilakukan. Shahibul maal sebagai pihak pemilik
modal atau investor, perlu mendapat imbalan atas dana yang diinvestasikan. Sebaliknya,
bila usaha yang dilaksanakan oleh mudharib menderita kerugian, maka kerugian itu
ditanggung oleh shahibul maal, selama kerugiannya bukan karena penyimpangan atau
kesalahan yang dilakukan oleh mudharib. Bila mudharib melakukan kesalahan dalam
melaksanakan usaha, maka mudharib diwajibkan untuk mengganti dana yang
diinvestasikan oleh shahibul maal.
Surat al-Jumu’ah: 10, yang artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah
karunia Allah SWT dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Surat al-Baqarah: 198, yang artinya:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang

3
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk
orang-orang yang sesat.”

B. HUKUM DASAR MUDHARABAH


Hukum mudharabah menurut jumhur ulama pada dasarnya adalah boleh selama
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Menurut ulama fikih, mudharabah dilandaskan berdasarkan Al-
Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan Qiyas. Dalil Al-Qur’an yang mendasari hukum mudharabah
diantaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT QS. Al-Muzammil (73):20 yang artinya: “....dan dari orang
orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...”
2. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (2):283 yang artinya: “...maka jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya...”.
3. Firman Allah QS. An-Nisa (4):29 yang artinya: “...Hai orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku sukarela di antaramu...”.
Sedangkan sumber landasan hukum mudharabah yang berasal dari Hadis Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yaitu antara lain:
1. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang artinya:
”Nabi bersabda, ada tiga hal yang didalamnya mengandung berkah: jual beli tidak secara
tunai, muqharadhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jemawut untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Thabrani yang artinya: “Abbas bin Abdul
Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-
nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”
(HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).

4
3. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah yang artinya: “Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan orang lain” (HR.Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain
dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Hukum mudharabah ini juga dilandaskan pada kaidah fiqih yang berbunyi, “Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang
mengharamkannya”. Kaidah usul fiqih ini menjelaskan bahwa hukum suatu persyaratan
tergantung pada hukum pokok perkaranya, apabila hukum asal suatu perkara dilarang maka
hukum asal menetapkan syarat juga dilarang dan begitu juga sebaliknya. Dalam perkara
muamalah, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang, maka
seseorang tidak diperkenankan untuk melarang suatu persyaratan yang telah disepakati
dalam akad muamalah kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan larangan pada
persyaratan tersebut.
Hukum ijma’ pada akad mudharabah menurut Wahbah Zuhayli9 dijelaskan
bahwasanya para sahabat menyerahkan (kepada seseorang sebagai mudharib) harta anak
yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun mengingkari mereka. Ijma’ tersebut
termasuk ke dalam jenis ijma’ sukuti, karena para sahabat diam atau menyatakan pendapat
serta tidak ada yang mengingkari, sehingga hal tersebut dapat dipandang sebagai ijma’
yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar penetapan suatu hukum.
Sedangkan hukum qiyas pada akad mudharabah dianalogikan kepada akad Al-
Musaqat1 , dimana sebagian dari pihak memiliki modal yang cukup tetapi tidak memiliki
keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan, dan di pihak lain mempunyai keahlian atau
kompetensi yang baik tetapi tidak mempunyai modal yang memadai untuk mengelola suatu
usaha2. Dengan demikian, melalui akad ini akan menjembatani pihak-pihak yang memiliki
modal dan keahlian untuk saling bekerjasama sesuai kemampuan, sehingga dapat
memenuhi kebutuhannya sesuai dengan nilai dan prinsip syariah yang diturunkan oleh
Allah SWT.

1
Al-Musaqat adalah salah satu bentuk akad kerjasama yang digunakan pada sektor pertanian, dimana
pemilik dan pengelola tanah melakukan kontrak kerjasama (kongsi) pada lahan pertanian dengan imbalan
hasil panen yang disepakati.
2
Zuhayli, Op.Cit., 493

5
C. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Rukun adalah segala sesuatu yang menyebabkan suatu akad dapat dilaksanakan,
karena rukun merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan sehingga akad tersebut
tidak rusak/batal (fasad) dalam pelaksanaannya.
Berikut adalah rukun mudharabah menurut jumhur ulama:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik dana (shahibul maal) dan
pengelola modal (mudharib);
2. Modal (Ra’sul Maal);
3. Usaha yang dijalankan (al-‘amal);
4. Keuntungan (ribh); dan
5. Pernyataan ijab dan kabul (sighat akad).
Sedangkan syarat mudharabah berkaitan dengan rukunnya, yaitu sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah disyaratkan harus memiliki
kemampuan untuk dibebani hukum/cakap hukum (mukallaf) untuk melakukan
kesepakatan, dalam hal ini pemilik modal (shahibul maal) akan memberikan kuasa
dan pengelola modal (mudharib) menerima kuasa tersebut, karena di dalam akad
mudharabah terkandung akad wakalah/kuasa.
2. Objek Mudharabah (Modal dan Kerja)

Objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dengan dilakukannya akad mudharabah.

1) Modal
a) Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau aset lainnya (dinilai besar nilai
wajar), harus jelas jumlah dan jenisnya.
b) Modal harus tunai dan tidak utang. Tanpa adanya setoran modal, berarti pemilik
dana tidak memberikan kontribusi apapun padahal pengelola dana harus bekerja.
c) Modal harus diketahui dengan jelas jumlahnya sehingga dapat dibedakan dari
keuntungan.
d) Pengelola dana tidak diperkenankan untuk memudharabahkan kembali modal
mudharabah, dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran keduali atas
seizin pemilik dana.

6
e) Pengelola dana tidak diperbolehkan untuk meminjamkan modal kepada orang lain
dan apabila terjadi maka dianggap terjadi pelanggaran kecuali atas seizin pemilik
dana.
f) Pengelola dana memiliki kebebasan untuk mengatur modal menurut kebijaksanaan
dan pemikirannya sendiri, selama tidak dilarang secara syari’ah.
2) Kerja
a) Kontribusi pengelola dana dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill,
management skill, dan lain-lain.
b) Kerja adalah hak pengelola dana dan tidak boleh diintervensi oleh pemilik dana.
c) Pengelola dana harus mematuhi semua ketetapan yang ada dalam kontrak.
d) Pengelola dana harus menjalankan usaha sesuai dengan syari’ah.
e) Dalam hal pemilik dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan, pengelola dana sudah menerima modal dan sudah bekerja
maka pengelola dana berhak mendapatkan imbalan atau ganti rugi atau upah.
3) Ijab Kabul

Adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha atau rela di antara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.

4) Nisbah Keuntungan
a) Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan,
mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang
bermudharabah atas keuntungan yang diperoleh. Pengelola dana mendapatkan
imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat imbalan atas penyertaan
modalnya. Nisbah keuntungan harus diketahui dengan jelas oleh kedua pihak, inilah
yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai
cara pembagian keuntungan. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan
masing-masing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%.
b) Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

7
c) Pemilik dana tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai
nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba. 3

D. JENIS AKAD MUDHARABAH


a. Mudharabah Muthlaqoh

Mudharabah Muthlaqoh adalah bentuk kerjasama antara shohibuul maal dan


Mudharib yang cakupanya sangat luas dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, waktu,
tempat, perusahaan, dan pelanggan. Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini
dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk
penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.

Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah:

a) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.

b) Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti
penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk
deposito Mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan
(bilyet) deposito kepada deposan.

c) Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan
perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.

d) Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah
disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama
seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis
maka tidak perlu dibuat akad baru.

3
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta:Salemba Empat, 2012,
h.124-125.

8
e) Ketentuan- Ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqoh, mudharib


dibatasi dengan je nis usha, waktu, dan tempat usaha.

Jenis Mudharabah Muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

a) Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat) Mudharabah


muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat) yaitu pemilik dana (shahibul maal)
membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam penglolaan dana seperti
misalnya hanya melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat
tertentu saja. Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment)
dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi
oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan
digunakan untuk nasabah tertentu. Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah
sebagai berikut:

a. Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank
dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

b. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.

c. Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana ini dari rekening lainya.

d. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan
(bilyet) deposito kepada deposan.

b) Al Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet

9
Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet ini merupakan jenis mudharabah
dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana
bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan
pelaksanaan usahanya.

Adapun kerakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

a) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana ini dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri
dalam rekening administrative.

b) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang
diamanatkan oleh pemilik dana.

c) Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara
pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.

E. BIAYA PENGELOLAAN MUDHARABAH


Fatwa Dewan Syariah Nasional No:07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah. Menimbang, Mengingat, Memperhatikan, Memutuskan, Menetapkan
tentang Pembiayaan Mudharabah:
1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada
pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam prmbiayaan ini LKS LKS sebagai pemilik dana membiayai 100%
kebutuhan suatu usaha, sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai
pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syariah serta LKS tidak ikut serta dalam managemen

10
perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
5. Jumlah dan pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kekrugian akibat dari
mudharabah kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, atau
menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya,dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar
nasabah tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari
nasabah atau pihak ketiga. Jaminan ini dapat dicairkan apabila nasabah
terbukkti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama oleh akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada nasabah.
10. Dalam hal ini penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, nasabah berhak mendapatkan rugi atau biaya
yang dikeluarkan.
Merujuk pada fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSNMUI/IV/2000 mengenai
pembiayaan mudharabah, dijelaskan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha
antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai shahibul maal (pemilik modal) yang
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua adalah mudharib (pengelola modal)
yang bertindak sebagai penerima dan pengelola modal yang diberikan. Mengenai jangka
waktu, mekanisme pengembalian modal pokok serta pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
Pengelola modal boleh menentukan jenis usaha apa yang akan dikembangkan
berdasarkan kesepakatan bersama dan sesuai dengan aturan syari’ah. Dalam hal ini pemilik
modal tidak boleh ikut dalam manajemen dalam usaha tersebut, tetapi mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terkait usaha tersebut. Pada prinsipnya dalam
pembiayaan mudharabah ini tidak terdapat jaminan, namun untuk memastikan dan

11
meminimalisir risiko yang akan terjadi di waktu yang akan 30 datang, pemilik modal dapat
meminta jaminan yang telah disepakati bersama dari penerima modal atau pihak ketiga
untuk menjamin usaha serta personal penerima modal. Jaminan ini tidak boleh dicairkan
kecuali jika mudharib sebagai pengelola modal terbukti secara sah sesuai hukum yang
berlaku melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II Bab VII di
pasal 187 dijelaskan mengenai syarat mudharabah sebagai berikut:
1) pemilik modal wajib menyerahkan dana atau barang kepada pihak lain (penerima
modal) untuk melakukan kerjasama dalam usaha yang disepakati kedua belah
pihak,
2) penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang telah disepakati,
3) kesepakatan mengenai bidang usaha yang akan dijalankan ditetapkan di awal
dalam akad antara kedua belah pihak. Jika dalam usaha tersebut mengalami sebuah
kerugian, maka baik pemilik modal atau penerima modal tidak berhak mendapatkan
keuntungan atau imbalan.
Di dalam pasal 200 dan 201 KHES tersebut dijelaskan bahwa mudharib sebagai
pengelola modal tidak boleh menyertakan modal/hartanya sendiri dengan modal
mudharabah kecuali bila menjadi kebiasaan di kalangan pelaku usaha dan jika telah
mendapatkan izin dari shahibul maal pada usaha-usaha tertentu

F. APLIKASI PRODUK MUDHARABAH DALAM LEMBAGA KEUANGAN


SYARIAH (LKS)
Secara sederhana aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah adalah
digambarkan sebagai berikut:

12
Keterangan:

1. Nasabah investor mendapatkan dananya dalam bentuk tabungan mudharabah.


2. Bank Syariah akan menyalurkan seluruh dana nasabah penabung dalam bentuk
pembiayaan.
3. Bank Syariah mendapatkan pendapatan atas pembiayaan yang telah disalurkan.
4. Bank Syariah akan menghitung bagi hasil atas dasar Revenue Sharing. Yaitu
pembiayaan bagi hasil atas dasar pendapatan sebelum dikurangi biaya. Jumlahnya
disesuaikan dengan saldo rata-rata tabungan dalam bulan laporan.
5. Pada akhir bulan, nasabah penabung akan mendapatkan keuntungan dari bagi hasil
yang telah ditentukan sebelumnya.

Ketentuan umum skema pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:

1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus
diserahkan tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya
dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan bertahap, harus jelas tahapannya dan
disepakati bersama.

13
2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan
dengan cara yakni:
 Perhitungan dari pendapatan proyek (Revenue Sharing).
 Perhitungan dari keuntungan proyek.

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau
waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian
kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan,
kecurangan, dan penyalahgunaan dana.

4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak


mencampuri urusan/usaha nasabah. Jika nasabah cedera janji dengan sengaja,
misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban,
maka ia dapat dikenakan sanksi administrasi.

Penyertaan modal (pembiayaan) dengan sistem bagi hasil meliputi penyertaan


melalui akad-akad mudharabah dan musyarakah. karakteristik dari akad mudharabah ialah
adanya dua pihak, yang satu sebagai pemilik dana (shahibul al-mal) dan yang lain sebagai
pengelola usaha (mudharib).

Pada akad mudharabah di perbankan syariah dekenal dengan sebutan “dua tahap”
atau “two tier” mudharabah. Hal ini karena perbankan syariah merupakan lembaga
“perantara” atau “intermediaries” sebagai dasar penghimpunan dana masyarakat untuk
disalurkan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk pembiayaan dan penyertaan
modal.

Bank syariah sebagai mudharib akan membagi keuntungan-keuntungan kepada


shahib al-mal sesuai dengan nisbah (persentase) yang telah disetujui bersama. Pembagian
keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap
selama periode tersebut. Misalnya, seseorang memiliki saldo tabungan mudharabah
sebesar Rp 5 juta. Nisbah (perbandingan) bagi hasil 50% : 50%.

14
Diasumsikan total saldo rata-rata dana tabungan mudharabah yang ada di bank
syariah Rp 100 juta dan keuntungan yang di peroleh untuk dana tabungan (profit
distribution) sebesar Rp3 juta. Pada akhir bulan, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil
sebagai berikut;

Rp5.000.000,00

x Rp3.000.000,00 x 50% =Rp75.000,00 (belum dipotong


Rp100.000.000,00 pajak)

Adapun deposito mudharabah, yang disebut dengan deposito investasi mudharabah,


merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan
mendapat imbalan bagi hasil. Imbalan ini dibagi dalam bentuk berbagai pendapatan
(revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut secara syariah dengan proporsi
pembagian, misalnya, 70 : 30. Artinya untuk deposan sebesar 70% dan untuk bank 30%.
Jangka waktu deposito mudharabah ini berkisar antara 1 tahun, 6 bulan, 3 bulan, dan 1
bulan. Misalnya, seseorang menempatkan dana deposito investasi mudharabah sebesar
Rp10 juta untuk jangka waktu 1 bulan. Diasumsikan total dana investasi mudharabah
sebesar Rp250 juta dan keuntukan yang diperoleh untuk dana deposito (profit sharing)
sebesar Rp6 juta. Pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh bagi hasil sebagai
berikut:

Rp10.000.000,00

x Rp6.000.000,00 x 70% = Rp168.000.000,00 (belum dipotong

Rp250.000.000,00 pajak)

Dalam investasi tidak langsung pihak perbankan menerima dari shahibul mal dalam
benuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana yang disalurkan ke pihak
perbankan syariah dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan
jangka waktu yang bervariasi. Kemudia dana yang sudah terkumpul disalurkan kembali

15
oleh pihak bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan atau earning
assets. Keuntungan dari penyaluran pembiayaan ini yang akan dibagi hasilkan antara bank
dengan pemilik modal, sehingga neraca suatu bank syariah.

Praktik pembiayaan mudharabah di perbankan syariah Indonesia mengalami sedikit


perbedaan dengan konsep klasik. Penerapan mudharabah pada perbankan syariah Indonesia
juga terdapat beberapa kendala antara lain;

1. Kesulitan menarik kembali dana apabila terjadi wan prestasi,


2. Kesulitan perhitungan keuntungan/bagi hasil karena cicilan pengembalian dana, dan
3. Tidak boleh ada jaminan.

Dengan memperhatikan beberapa kendala tersebut diupayakan adanya keseriusan


dari pihak bank untuk menjelaskan secara detail tentang operasional pembiayaan dengan
akad mudharabah.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arianto menyebutkan


bahwa ada beberapa upaya untuk praktik mudharabah pada bank syariah antara lain adalah:
Pertama, kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan.
Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap
usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang actual, rinci,
dan factual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim
usaha tersebut.

Kedua, Pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah.
Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah.

Ketiga, Membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip
syariah.

Namun, pada kenyataanya produk mudharabah dalam perbankan syariah belum


terlalu diminati masyarakat, karena kurangnya pemahaman dan pengenalan masyarakat
mengenai perbankan syariah. Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa

16
memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan sector riil, khususnya
UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang diberikan didominasi oleh pembiayaan
non bagi hasil (murabahah dan ijarah). Padahal menurut Irfan Syauqi Beik dalam tingginya
porsi pembiayaan berbasis bagi hasil mempunyai beberapa keunggulan, yaitu:

1. Pembiayaan mudharabah akan menggerakkan sektor riil karena pembiayaan ini


bersifat produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Jika
investasi di sector riil meningkat tentunya akan menciptakan kesempatan kerja baru
sehingga dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan
masyarakat.
2. Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada
bank syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan antara
expected rate of return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga
bank konvensional. Dimana selama ini, kecenderungannya rate of return bank
syariah lebih tinggi daripada suku bunga bank konvensional. Dengan demikian
diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah nasabah di bank syariah.
3. Peningkatan persentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya
pengusaha atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko.
Pada akhirnya akan berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan
daya saing bank syariah.
4. Pola pembiayaan mudharabah adalah pola pembiayaan berbasis produktif yang
memberikan nilai tambah bagi perekonomian dan sector riil sehingga kemungkinan
terjadinya krisis keuangan akan dapat dikurangi.

Dengan pemahaman yang menyeluruh terhadap akad mudharabah pada perbankan


syariah diharapkan meningkatkan kepercayaan masyarakat akan perbankan syariah dalam
mendukung distribusi pendapatan, dan mampu memberdayakan sekaligus memberdayakan
perekonomian rakyat.

17
G. BERAKHIRNYA MUDHARABAH
Lamanya kerja sama dalam akad mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas,
tetapi semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerja sama
dengan memberitahukan pihak lainnya. Namun, akad mudharabah dapat berakhir karena
hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir
pada waktu yang telah ditentukan.
b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri.
c. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal.
d. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha
untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang
mengemban amanah ia harus beritikad baik dan hati-hati.
e. Modal sudah tidak ada.4

H. BAGI HASIL
1. Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil menurut terminologi memiliki arti profit sharing. Profit sharing secara
istilah merupakan distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu
perusahaan. Distribusi pembagian laba ini dapat berbentuk pembagian laba akhir,
bonus prestasi, dan juga dalam bentuk yang lain. Dengan demikian, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa bagi hasil merupakan sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana. 5 Bagi hasil ini dapat
dilakukan oleh pihak bank dengan nasabah atau pemilik dana maupun antara
pengelola dana (mudharib) dengan pihak bank. Dalam kegiatan tersebut, akad yang cocok
diterapkan adalah mudharabah dan musyarakah. Dan lebih spesifik lagi, akad
mudharabah ini dapat diterapkan di dunia perbankan dan sejenisnya untuk produk
tabungan dan deposito mudharabah.

4
Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi,…, h. 125-126.
5
Muhammad dan Dwi Suwiknyo, Akuntansi Perbankan Syariah, Yogyakarta: Trust Media,
2009, h.10.

18
Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penyimpan dana (shahibul maal),
sedangkan bank akan bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Selaku pengelola
dana, bank akan memutarkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan. Hasil yang
didapatkan oleh bank dalam kegiatan tersebut akan dibagi hasilkan kepada nasabah
selaku pemilik dana. Sebelum melakukan kontrak, bank akan membuat kesepakatan
dengan nasabah mengenai perbandingan perolehan bagi hasil yang akan didapat
masing-masing pihak. Adapun faltor yang mempengaruhi besarnya perolehan bagi hasil
tersebut antara lain adalah; kesepakatan dari nasabah, prediksi keuntungan yang akan
diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan barang dan masa berlakunya kontrak.6

2. Perbedaan Antara Bagi Hasil Dan Bunga

Dalam perbankan konvensional, instrumen bunga menjadi yang paling identik.


Akan tetapi instrumen bunga ini tidak berlaku untuk ekonomi Islam yang diterapkan
dalam dunia perbankan Islam atau yang dikenal dengan perbankan syariah. Perbankan
syariah menggunakan prinsip bagi hasil dalam operasionalnya. Terbukti menggunakan
prinsip bagi hasil ini jauh relatif efisien karena kecilnya risiko atas kerugian yang akan
ditanggung oleh bank. Karena bagi hasil didapat apabila bank selaku pengelola dana
nasabah memperoleh pendapatan dari usaha yang dijalankan. Adapun perbedaan bagi
hasil dan bunga dapat dilihat dalam table berikut.7

3. Pola Pembiayaan Bagi Hasil


Pembiayaan bagi hasil adalah pola pembiayaan yang mencerminkan spirit
perbankan syariah. Dengan alasan ada sebagai berikut :
 Pembiayaan bagi hasil dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan
kritis keuangan. Hal ini dikarenakan bank syariah adalah institusi keuangan yang
berbasis asset artinya bank syariah bertransaksi berdasarkan asset riil dan bukan
mengandalkan pada kertas kerja semata. Sementara disis lain, bank konvensional

6
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, h.
97.
7
Rahmat Hidayat, Efisiensi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik, Bekasi: Gramata Publishing,
2014, h. 28.

19
bertransaksi berdasarkan paper work dan dokumen semata, kemudian
membebankan bunga dengan prosentase tertentu kepada calon investor .
 Investasi akan menigkat yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru
akibatnya tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat
akan bertambah
 Pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pngusaha/investor yang bernai
mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Hal ini akan menyebabkan
perkembangan berbagai inovasi baru yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya
saing bangsa ini bila ditinjau dari nasabah, nasabah akan membandingkan secara
cermat antara expected rate of return yang ditawarkan oleh bank syariah dengan
dingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional

Dari uraian diatas terlihat bahwa pembiayaan yang tepat sebagai mesin akselerasi
pembangunan kesejahteraan ekonomi masyarakat adalah pembiayaan mudharabah (bagi
hasil) yang tentunya harus dilaksanakan secara professional.

20
Dalam buku milik Muhammad diteka

nkan dalam hal penentuan

bagi hasil melalui langkah-langkah berikut:8

a) Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung rugi

b) Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

c) Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
dengan kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan di masing-
masing pihak tanpa adanya unsur paksaan

d) Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak
mendapatkan keuntungan maka kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

e) Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

I. DEPOSITO MUDHARABAH
1. Pengertian Deposito

Deposito adalah simpanan berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan


pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dana dengan bank yang
bersangkutan.9Dalam hal ini, nasabah selaku pihak penyimpan dana mempercayakan
dananya kepada bank untuk dikelola. Nasabah terikat dengan perjanjian, dimana
nasabah tidak dapat mengambil dananya sewaktu-waktu.

8
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing Di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press,
2012, h. 96.
9
Wiroso, Penghimpun Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia, 2005,
h. 54.

21
Disisi lain, pihak bank selaku pengelola dana akan mengusahakan dana tersebut
dalam bentuk pebiayaan kepada nasabah yang membutuhkan dana tersebut. Hasil usaha
yang nantinya diperoleh bank tersebut akan dibagi hasilkan kepada pihak
penyimpandana sesuai porsi bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya pada saat akad.
Desposito memiliki dua jenis yang umumnya digunakan di Lembaga Keuangan
Syariah. Adapun jenis deposito itu sendiri antara lain:10

1) Deposito berjangka biasa

Deposito yang berakhir pada jangka waktu yang diperjanjikan, perpanjangan


hanya dapat dilakukan setelah adanya permohonan baru atau pemberitahuan dari pihak
penyimpan dana.

2) Deposito berjangka otomatis (automatic roll over)

Pihak pengelola dana akan secara otomatis memperpanjang jangka waktu yang
sama tanpa perlu adanya pemberitahuan dari pihak penyimpan dana (nasabah).

2. Metode yang Digunakan dalam Perhitungan Bagi Hasil Deposito

Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah dapat dilakukan dengan melaui dua
metode, yaitu:11

1) Anniversary Date

Pembayaran bagi hasil ini dilakukan tiap bulan, pada tanggal yang sama saat
nasabah pertama kali melakukan pembukaan deposito. Bagi hasil yang diterima oleh
nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai dengan permintaan nasabah.

2) End of Month

10
Wiroso, Penghimpun …, h. 54.
11
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, h.
354.

22
Berbeda dengan metode anniversary date, pada metode end of monthini
melakukan pembayaran bagi hasil kepada nasabah pada tanggal tutup buku pada tiap
akhir bulannya (menyesuaikan jumlah hari pada tiap bulannya).

Bank syariah dapat mengenakan denda kepada nasabah apabila nasabah


tersebut melakukan pencairan dan meminta pembayaran deposito mudharabah sebelum
tanggal jatuh tempo. Besarnya denda yang harus ditanggung oleh nasabah harus
ditulis secara jelas oleh bank dan ditulis dalam akad, serta bank harus menjelaskan
kepada nasabah bersangkutan dengan adanya denda tersebut.Dalam penerapannya bank
menggunakan akad mudharabah muthlaqah, dimana pihak yang terkait yaitu nasabah
selaku pemilik dana dan bank sebagai pengelola dana tidak memberikan syarat atau
spesifikasi untuk bank dalam mengelola dana tersebut. Adapun rumus yang digunakan
dalam menghitung bagi hasil deposito mudharabah muthlaqah ini adalah:12

Hari basil x nominal deposito mudharabah x tingkat basil

Hari kalender yang bersangkutan

*basil = bagi hasil

3. Ketentuan tentang deposito mudharabah

1) Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

2) Dalam kepastiannya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam


usaha yang tidak bertentangan dengan pronsip syariah dan mengembangkannya, termasuk
didalamnya nudharabah dengan pihak lain

3) Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya dalam bentuk tunai dan bukan
piutang

4) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan


dalam akad pembukaan rekening
12
Adiwarman Karim, Bank …, h. 352.

23
5) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

6) Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan.13

13
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia,
2005, h. 56.

24
BAB III

KESIMPULAN

Al-Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
kerja sama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan
shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut dengan mudharib. Bagi
hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai dengan nisbah yang disepakati antara
pihak-pihak yang bekerja sama.

Bagi hasil menurut terminologi memiliki arti profit sharing. Profit sharing secara
istilah merupakan distribusi beberapa bagian laba pada para pegawai dari suatu
perusahaan. Distribusi pembagian laba ini dapat berbentuk pembagian laba akhir,
bonus prestasi, dan juga dalam bentuk yang lain. Dengan demikian, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa bagi hasil merupakan sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana.

25
DAFTAR PUSTAKA

Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta:Salemba Empat,


2012.
Muhammad dan Dwi Suwiknyo, Akuntansi Perbankan Syariah, Yogyakarta: Trust
Media, 2009.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani,
2001.
Rahmat Hidayat, Efisiensi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik, Bekasi: Gramata
Publishing, 2014.
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing Di Bank Syariah, Yogyakarta: UII
Press, 2012.
Wiroso, Penghimpun Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT
Gramedia, 2005.

Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers,
2011.

https://www.kompasiana.com/muhammad-talqiyuddin-alfaruqi/problematika-akad-
murabahah-danakad-mudharabah_5590eb76f492731e0d31dc3

https://www.kompasiana.com/zasyaku/analisis-perhitungan-nisbah-bagi-hasil-bank-
syariah-1_55000039a33311e36f50f8ef

26

Anda mungkin juga menyukai