Kelas : AS 2018 B
NIM : 41801009
Tugas Fiqih Muamalah 2
1. Jaminan Dalam Mudhrabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang secara etimologis berarti bepergian atau
berjalan. Al-Qur’an tidak secara langsung menunjukan arti dari mudharabah tersebut.
Namun secara implisit, kata dasar dha-ra-ba yang merupakan kata dasar mudharabah
disebutkan di dalam AlQur’an sebanyak lima puluh delapan kali . Wahbah Zuhayli
menjelaskan salah satu arti dari mudharabah adalah melakukan perjalanan di muka bumi
(al-sir fi al-ardh).
Afzalur Rahman mendefinisikan mundharabah sebagai bentuk kontrak kerja sama
yang didasarkan pada prinsip profit sharing, yang satu sebagai pemilik modal dan yang
kedua menjalankan usaha. Modal disini berupa uang dan tidak boleh berbentuk barang.
Pemilik modal dapat disebut shahibul maal, rabbul maal, atau propretior. Pengelola
modal disebut mundharib. Modal yang digulirkan disebut ra’sul maal.
Sedangkan sumber landasan hukum mudharabah yang berasal dari Hadis Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yaitu antara lain:
1. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang artinya:
”Nabi bersabda, ada tiga hal yang didalamnya mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, muqharadhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Thabrani yang
artinya:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas
itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hukum mudharabah ini juga dilandaskan pada kaidah fiqih yang berbunyi, “Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang
mengharamkannya”. Kaidah usul fiqih ini menjelaskan bahwa hukum suatu
persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya, apabila hukum asal suatu
perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat juga dilarang dan begitu juga
sebaliknya. Dalam perkara muamalah, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali
ada dalil yang melarang, maka seseorang tidak diperkenankan untuk melarang suatu
persyaratan yang telah disepakati dalam akad muamalah kecuali jika terdapat dalil
yang menunjukkan larangan pada persyaratan tersebut.
2. Mudharabah Muqoyadah
Muqayyadah adalah bahasa arab adalah bentuk isim maf’ul dari kata qayyada yang
menganut wazan fa’aala yang berfaidah litta’diyyah (Ma’shum bin Ali, t.th: h. 12).
Muqayyadah sebagai kata sifat dari mudharabah, sehingga secara bahasa berarti
mudharabah yang diberikan batasan tertentu. Secara istilah mudharabah muqayyadah
didefinisikan sebagai mudharabah yang dibatasi oleh beberapa ketentuan-ketentuan
khusus yang membatasi kebebasan mudharib dalam melakukan perniagaan (Khalil, 2008:
h. 169).
a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah
di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah: 198)
Landasan hukum yang lebih spesifik terkait mudharabah muqayyadah adalah
salah satu atsar dari Ibnu Abbas. Dijelaskan bahwasannya Ibnu Abbas ketika hendak
melakukan mudharabah mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak membawa
barang mudharabah menyeberangi lautan dan tidak membawanya untuk turun
lembah, dan tidak untuk membeli “yang mempunyai hati yang masih basah” (hewan).
Kalau mudharib tersebut melanggar ketetapan yang ditetapkan oleh Ibnu Abbas maka
mudharib tersebut wajib mengganti rugi. Dan Ibnu Abbas mengadukan syarat
tersebut kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menyetujuinya (AL-Zaila’i, 1995: h.
223).
3. Musaqah
Musaqah di ambil dari kata Saqa-Saqy yang berarti As-Saqy yang bermakna
penyiraman atau pengairan . Yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan
mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.
Sedangkan secara terminologi, musaqah adalah suatu akad antara pemilik kebun dan
pekerja untuk memelihara atau menggarap hasil kebun ataupun pertanian supaya
mendatangkan kemaslahatan, dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus
sebagai imbalan, seperti sepertiga, setengah atau bagian tertentu dari hasil pertanian .
Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) dalam UU No 2 Th
1960 :
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar
yang adil;
b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agara terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap.
c. Dengan terselenggarakan apa yang disebutk pada a dan b diatas, maka
bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan
berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan megusahakan
tanahnya.
4. Muzaraah
Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan Muzara’ah dan
Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama, hanya
dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Secara etimologi kata muzara’ah berasal dari
bahasa arab yaitu al-zar’u, yang berarti tanaman. Muzara’ah secara bahasa merupakan
suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar alzar’u yang
mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan)
muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap atau pengelola, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase)
dari hasil panen..
a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih
Dasar hukum yang mengatur tentang Muzarah diatur pada Q.s Zuhruf ayat 3
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan “(Qs. Zuhruf :32)
Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra
( Sahrani, Abdullah. 2011)
“Sesungguhnya Nabi saw menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah
bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang
lain,dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya
atau memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan
saja tanah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab
senantiasa mengolah tanahnya secara muzaraah dengan rasio bagi hasil 1/3;2/3,
¼;3/4, 1/2/1/2 maka rasullalah bersabda” hendaklah menannami atau
menyerahkannya untuk di garap, barang siapa tidak melakukakn salah satu dari
keduannya, tuhanlah tanahnya, (Antonio, 2009)
b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll
Pada praktik musaqah ini diatur pada UU No 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil menyatakan pada pasal 1 C :
“ Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak -
yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak”
Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) dalam UU No 2 Th
1960 :
d. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar
yang adil;
e. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agara terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap.
f. Dengan terselenggarakan apa yang disebutk pada a dan b diatas, maka
bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan
berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan megusahakan
tanahnya.
Penggarap
Sedangkan aplikasi muzara’ah dalam kegiatan muamalah non bank, yakni seperti
kebanyakan yang terjadi dalam masyarakat adalah muzara’ah dengan sistem sewa
tetap. Di mana seorang pemilik tanah melakukan kerjasama pengolahan tanah dengan
pihak lain di mana pihak lain (penyewa) harus membayar sejumlah uang tertentu,
atau barang senilai tertentu, sebagai biaya sewa atas tanah yang diolahnya tersebut.
Besarnya biaa sewa ini bersifat tetap, tidak tergantung kepada hasil produktifitas
tanah yang diolahnya tersebut. Jadi, hasil panenan sepenuhnyamenjadi hak dari
penyewa tanah sebagaimana juga resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi
tanggungan penyewa. Hak dari pemilik tanah hanyalah menerima biaya sewa. (Anto,
2003)
Dalam perbankan Islam, prinsip yang paling banyak dipakai adalah musyarakah
dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Bahkan
dalam bank-bank Islam sekarang khususnya di Indonesia sama sekali belum
mengeluarkan produknya baik muzara’ah maupun musaqah. Di bank-bank syari’ah
luar negeri, untuk usaha pertanian biasanya dengan skim musyarakah atau salam.
Sudah sangat terkenal dengan keberhasilan penerapan skim musyarakah untuk
pertanian oleh bank-bank syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini
diterapkan skim muzara’ah untuk kredit usaha tani (Karim, 2001).
5. Qismah
Al-Qismah adalah memisahkan sebagian dari berbagai macam bagian yang lain. Qasim
atau qussamadalah seseorang yang bertindak membagi-bagikan berbagai macam perkara
di antara sekian banyak orang, dan kedudukan qasim sama seperti seorang hakim.
Shaleh menjawab: "Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan
air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu.
(QS As Syua’ara:155)
Saepudin, E. (n.d.). PRODUK PEMBIAYAAN LINKAGE PADA BANK BRI untuk memenuhi
kebutuhan pasar . Dari produk penghimpun dana bank umum peserta KUR dengan
koperasi dalam rangka meningkatkan.
Saddam, J., & Shidiqie, A. (2017). Bagi Hasil Pertanian Ditinjau dari Undang-Undang dan
Hukum Islam. 2, 22–31.
Kediri, K., Dari, D., & Fiqh, P. (2019). Diversi Jurnal Hukum. 5(April), 68–88.