Anda di halaman 1dari 11

Nama : Desi Fitriyani

Kelas : AS 2018 B
NIM : 41801009
Tugas Fiqih Muamalah 2
1. Jaminan Dalam Mudhrabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang secara etimologis berarti bepergian atau
berjalan. Al-Qur’an tidak secara langsung menunjukan arti dari mudharabah tersebut.
Namun secara implisit, kata dasar dha-ra-ba yang merupakan kata dasar mudharabah
disebutkan di dalam AlQur’an sebanyak lima puluh delapan kali . Wahbah Zuhayli
menjelaskan salah satu arti dari mudharabah adalah melakukan perjalanan di muka bumi
(al-sir fi al-ardh).
Afzalur Rahman mendefinisikan mundharabah sebagai bentuk kontrak kerja sama
yang didasarkan pada prinsip profit sharing, yang satu sebagai pemilik modal dan yang
kedua menjalankan usaha. Modal disini berupa uang dan tidak boleh berbentuk barang.
Pemilik modal dapat disebut shahibul maal, rabbul maal, atau propretior. Pengelola
modal disebut mundharib. Modal yang digulirkan disebut ra’sul maal.

a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih


Hukum mudharabah menurut jumhur ulama pada dasarnya adalah boleh selama
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Menurut ulama fikih, mudharabah dilandaskan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah


dan Ijma’ dan Qiyas. Dalil Al- Qur’an yang mendasari hukum mudharabah
diantaranya sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT QS. Al-Muzammil (73):20 yang artinya:
“....dan dari orang orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah
SWT...”
2. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (2):283 yang artinya: “...maka jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya...”.
3. Firman Allah QS. An-Nisa (4):29 yang artinya:
“...Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
sukarela di antaramu...”.

Sedangkan sumber landasan hukum mudharabah yang berasal dari Hadis Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, yaitu antara lain:
1. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib yang artinya:
”Nabi bersabda, ada tiga hal yang didalamnya mengandung berkah: jual beli tidak
secara tunai, muqharadhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jemawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Thabrani yang
artinya:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas
itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).

3. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah yang


artinya:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain” (HR.Ibnu Majah,
Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudri).

Hukum mudharabah ini juga dilandaskan pada kaidah fiqih yang berbunyi, “Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang
mengharamkannya”. Kaidah usul fiqih ini menjelaskan bahwa hukum suatu
persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya, apabila hukum asal suatu
perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat juga dilarang dan begitu juga
sebaliknya. Dalam perkara muamalah, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali
ada dalil yang melarang, maka seseorang tidak diperkenankan untuk melarang suatu
persyaratan yang telah disepakati dalam akad muamalah kecuali jika terdapat dalil
yang menunjukkan larangan pada persyaratan tersebut.

Hukum ijma’ pada akad mudharabah menurut Wahbah Zuhayli dijelaskan


bahwasanya para sahabat menyerahkan (kepada seseorang sebagai mudharib) harta
anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun mengingkari mereka.
Ijma’ tersebut termasuk ke dalam jenis ijma’ sukuti, karena para sahabat diam atau
menyatakan pendapat serta tidak ada yang mengingkari, sehingga hal tersebut dapat
dipandang sebagai ijma’ yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar penetapan
suatu hukum.
Sedangkan hukum qiyas pada akad mudharabah dianalogikan kepada akad Al-
Musaqat , dimana sebagian dari pihak memiliki modal yang cukup tetapi tidak
memiliki keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan, dan di pihak lain mempunyai
keahlian atau kompetensi yang baik tetapi tidak mempunyai modal yang memadai
untuk mengelola suatu usaha . Dengan demikian, melalui akad ini akan menjembatani
pihak-pihak yang memiliki modal dan keahlian untuk saling bekerjasama sesuai
kemampuan, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan nilai dan prinsip
syariah yang diturunkan oleh Allah SWT.

b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll


Pada Praktiknya jaminan akad mudharabah pada bank Syariah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia yang diatur pada Nomor : 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf (o)
yang menjelaskan :
o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko
apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad
karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Selain peraturan pada BI , pada fatwa DSN MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudhrib tidak
melakukan penyimpangan LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak
ketiga.

c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja


Mudharabah yang tidak disyaratkan adanya jaminan dapat dilakukan dalam dunia
ekonomi riil. Ini disebabkan oleh adanya hubungan personal, yang sedemikian rupa
sehingga pemilik modal yang memberikan modalnya untuk suatu usaha yang tertentu
dapat efektif dan efisien begi kepentingan bersama. Sedangkan dalam dunia
perbankan adalah sedemikian terbuka, sehingga tidak memungkinkan adanya
hubungan personal seperti yang ada dalam dunia ekonomi riil murni. Oleh karena itu
jaminan merupakan bagian dari usaha agar mudharabah dapat efektif dan efisien
diterapkan dalam dunia perbankan modern.
Tingkat resiko pembiayaan mudharabah dalam perbankan Syari’ah adalah sangat
tinggi. Tingginya tingkat resiko ini disebabkan karena dana yang diberikan kepada
nasabah yang dibiayai dengan mudharabah ini sudah terlepas dari kekuasaan dan
pengawasannya bank Syari’ah sedemikian rupa sehingga bank Syari’ah hanya
mampu mengawasi melalui laporan keuangan yang sangat mudah untuk direkayasa.
Dipersyaratkannya jaminan adalah agar nasabah yang dibiayai dengan mudharabah
bertanggung jawab.
Kedudukan jaminan dalam mudharabah adalah berbeda dengan jaminan di dalam
utang piutang sebagaimana yang ada pada perbankan konvensional. Yaitu bukan
sebagai penjamin atas utang piutang tetapi berkedudukan sebagai penjamin agar
pelaku usaha tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati. Oleh karena itu jika
pelaku usaha menderita kerugian yang murni ersifat ekonomis dan tidak ada
pelanggaran perjanjian, maka jaminan tidak dapat disita untuk mengembalikan semua
pembiayaan.
Jaminan di dalam mudharabah berfungsi sebagai penjamin tidak adanya
pelanggaran oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha menderita kerugian yang
disebabkan adanya pelanggaran perjanjian mudharabah, maka jaminan dapat disita
untuk membayar pembiayaan mudharabah yang telah dikeluarkan oleh perbankan
Syari’ah beserta bagian keuntungan yang menjadi hak bank. Karena kerugian yang
dideritanya berdasarkan kesalahan pelaku usaha.
Problematika jaminan di dalam realitas pembiayaan mudharabah belum
teridentifikasi karena sampai penelitian ini dilakukan belu terdapat pelaku usaha yang
mengalami kesulitan pembayaran atas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan
Syari’ah yang mengakibatkan disita dan dijualnya jaminan untuk mengembalikan
pembiayaan mudharabah

2. Mudharabah Muqoyadah
Muqayyadah adalah bahasa arab adalah bentuk isim maf’ul dari kata qayyada yang
menganut wazan fa’aala yang berfaidah litta’diyyah (Ma’shum bin Ali, t.th: h. 12).
Muqayyadah sebagai kata sifat dari mudharabah, sehingga secara bahasa berarti
mudharabah yang diberikan batasan tertentu. Secara istilah mudharabah muqayyadah
didefinisikan sebagai mudharabah yang dibatasi oleh beberapa ketentuan-ketentuan
khusus yang membatasi kebebasan mudharib dalam melakukan perniagaan (Khalil, 2008:
h. 169).
a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih

Dasar hukum mudharabah muqayyadah adalah sebagai berikut:


“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orangorang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-
orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah” (Al-Muzammil: 20)

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah
di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah: 198)
Landasan hukum yang lebih spesifik terkait mudharabah muqayyadah adalah
salah satu atsar dari Ibnu Abbas. Dijelaskan bahwasannya Ibnu Abbas ketika hendak
melakukan mudharabah mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak membawa
barang mudharabah menyeberangi lautan dan tidak membawanya untuk turun
lembah, dan tidak untuk membeli “yang mempunyai hati yang masih basah” (hewan).
Kalau mudharib tersebut melanggar ketetapan yang ditetapkan oleh Ibnu Abbas maka
mudharib tersebut wajib mengganti rugi. Dan Ibnu Abbas mengadukan syarat
tersebut kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menyetujuinya (AL-Zaila’i, 1995: h.
223).

b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll


Dalam pelaksanaan praktik mudhrabah muqayyadah ini diatur dalam Peranturan
Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 Pasal 7 menyatakan :
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Mudharabah
muqayyadah (restricted investment) berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut:
a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada
nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan
persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam
pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk
nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah;
h. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko
kerugian usaha yang dibiayai; dan
i. investor …
i. investor sebagai pemilik dana Mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko
kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau
menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha.

c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja

Pada contoh kasus Mudhrabah Muqayyadah disini diambil contoh


pelaksanaannya yaitu pada Bank BRI Syariah Cabang Purwokerto sebagai
Channeling dg KPRI sebagai koperasi yang menerima pembiyaan tersebut, berikut
cara kerjanya :
1. Bank BRI Syariah memberikan fasilitas pembiayaan mudharabah kepada
Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI.
2. Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI menyalurkan pembiayaan kepada
para anggotanya menggunakan perjanjian pembiayaan murabahah. Dalam hal ini
anggota Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI membeli barang secara murabahah
kepada Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI.
3. Anggota Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI membayar angsuran
kepada Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI.
4. Bank BRI Syariah dan Kopkar (koperasi karyawan) atau KPRI melakukan
bagi hasil atas pendapatan marjin angsuran murabahah yang diperoleh Kopkar
(koperasi karyawan) atau KPRI dari para anggotanya.
Skema transaksi linkage berdasarkan syariah :
1. Dalam pembiayaan menggunakan skema mudharabah
2. Rukun-rukun (unsur-unsur pokok) yang harus ada dalam transaksi
a. Shahibul maal (pemilik dana) : Bank BRI Syariah
b. Mudharib (pengelola dana) : Kopkar (koperasi karyawan)
c. Obyek mudharabah: pendapatan marjin murabahah yang diperoleh kopkar
(koperasi karyawan) dari para anggotanya.

3. Musaqah
Musaqah di ambil dari kata Saqa-Saqy yang berarti As-Saqy yang bermakna
penyiraman atau pengairan . Yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan
mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.
Sedangkan secara terminologi, musaqah adalah suatu akad antara pemilik kebun dan
pekerja untuk memelihara atau menggarap hasil kebun ataupun pertanian supaya
mendatangkan kemaslahatan, dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus
sebagai imbalan, seperti sepertiga, setengah atau bagian tertentu dari hasil pertanian .

a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih


Dasar hukum dari musaqah ialah sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari:
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan kepada
kami Anas bin 'Iyadh dari 'Ubaidullah dari Nafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar
radliallahu 'anhuma mengabarkannya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memperkerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh
dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja. Beliau membagikan hasilnya
kepada isteri-isteri Beliau sebanyak seratus wasaq, delapan puluh wasaq kurma dan
dua puluh wasaq gandum. Pada zamannya, 'Umar radliallahu 'anhu membagi-bagikan
tanah Khaibar. Maka isteriisteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ada yang
mendapatkan air
(sumur), tanah atau seperti hak mereka sebelumnya. Dan diantara mereka ada yag
memilih tanah dan ada juga yang memilih menerima haq dari hasilnya. Sedangkan
'Aisyah radliallahu 'anha memilih tanah" (HR. Bukhari).

Imam Ibnul Qayyum berkata, “ kisah di Khaibar merupakan dalil kebolehan


musaqah, dengan membagi hasil yang diperoleh antara pemilik dan pekerjanya, baik
berupa buah-buahan maupun tanaman lainnya.
Rasulullah sendiri bekerjasama dengan penduduk Khaibar dalam hal musaqah ini.
Kerjasama tersebut terus berlangsung hingga menjelang beliau wafat, serta tidak
ada nasakh (penghapusan hukum dengan hukum yang baru) sama sekali. Para
Khulafa Ur-Rasyidiin juga melakukan kerjasama tersebut. Dan ini tidak termasuk
mengupah orang untuk bekerja .

b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll


Pada praktik musaqah ini diatur pada UU No 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil menyatakan pada pasal 1 C :
“ Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak -
yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak”

Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) dalam UU No 2 Th
1960 :
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar
yang adil;
b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agara terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap.
c. Dengan terselenggarakan apa yang disebutk pada a dan b diatas, maka
bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan
berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan megusahakan
tanahnya.

c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja


Pelaksanaan Perjanjian
UU No.2 Tahun 1960 tentang
Keteranga Hukum
Bagi Hasil Lahan Sawah
n Islam
Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
di Kecamatan Gamping
Subjek SESUAI: Secara etimologi,
SESUAI: pemilik perorangan/
Perjanjia badan hukum yang berdasarkan kerjasama dalam pertanian
Pemilik sawah sebagai per suatu hak menguasai tanah (Pasal
menurut hukum Islam adalah
orangan dan penggarap 1 huruf b) dan petani penggarap per
adanya kerjasama dalam bidang
n sawah sebagai per orangan yang luas tanah yang
pertanian antara pemilik dan
orangan. digarap tidak lebih dari tiga hektar
penggarap.
(Pasal 2 ayat 1).
SESUAI: Tanah yang biasanya SESUAI: Objek perjanjian bagi
dipergunakan untuk penanaman hasil pertanian menurut jumhur
bahan makanan dan untuk jenis ulama yaitu manfaat dan hasil
Objek Hasil dari tanah sawah dan
tanaman yang ditanam tidak harus kerja petani penggarap dalam
perjanjia tenaga kerja penggarap
selalu bahan makanan asal kerjasama tersebut sehingga
n sawah.
tanaman tersebut berumur penggarap mendapatkan hak dari
pendek (Penjelasan Pasal 1 Huruf hasil tanah tersebut.
a).
Tidak tertulis (lisan),
atas dasar kepercayaan,
tidak ada saksi. Tidak
dilaporkan kepada Lurah TIDAK SESUAI: seharusnya SESUAI: rukun kerjasama dalam
dan tidak disahkan oleh dibuat secara tertulis dihadapkan pertanian menurut jumhur ulama
Camat (100%). Kepala Desa dan disaksikan dua tidak terdapat penjelasan yang
saksi dari dua belah pihak, Kepala menyatakan kerjasama dalam
Bentuk
73,33% informan Desa memberikan surat keterangan pertanian harus dilakukan secara
Perjanjia
menyatakan cukup sebagai bukti pernjian kepada tertulis. Adanya syarat ijab dan
n
dengan lisan saja, tidak pemilik dan penggarap, kemudian kabul dapat dipenuhi dengan kata
mau repot dan ditakutkan memerlukan pengesahan dari sepakat antara pemilik dan
disangka tidak percaya. Camat (Pasal 3 ayat 1 dan PMA penggarap secara lisan yang
No.4 Tahun 1964) berdasar atas saling percaya.
26,77% informan
menyatakan lebih baik
dengan bentuk tertulis.

4. Muzaraah
Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan Muzara’ah dan
Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama, hanya
dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Secara etimologi kata muzara’ah berasal dari
bahasa arab yaitu al-zar’u, yang berarti tanaman. Muzara’ah secara bahasa merupakan
suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar alzar’u yang
mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan)
muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap atau pengelola, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase)
dari hasil panen..
a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih

Dasar hukum yang mengatur tentang Muzarah diatur pada Q.s Zuhruf ayat 3
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan “(Qs. Zuhruf :32)
Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra
( Sahrani, Abdullah. 2011)
“Sesungguhnya Nabi saw menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah
bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang
lain,dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya
atau memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan
saja tanah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab
senantiasa mengolah tanahnya secara muzaraah dengan rasio bagi hasil 1/3;2/3,
¼;3/4, 1/2/1/2 maka rasullalah bersabda” hendaklah menannami atau
menyerahkannya untuk di garap, barang siapa tidak melakukakn salah satu dari
keduannya, tuhanlah tanahnya, (Antonio, 2009)
b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll
Pada praktik musaqah ini diatur pada UU No 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi
hasil menyatakan pada pasal 1 C :
“ Perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak -
yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak”

Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) dalam UU No 2 Th
1960 :
d. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar
yang adil;
e. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan
penggarap agara terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap.
f. Dengan terselenggarakan apa yang disebutk pada a dan b diatas, maka
bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan
berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan megusahakan
tanahnya.

c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja


Dalam perkembangannya, praktek muzara’ah lebih cenderung kepada
mudharabah (kerjasama dengan sistem profit sharing). Secara teknis mudharabah
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahib al
maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya disebut mudharib
sebagai pengelola usaha, Keuntungan dalam mudharabah akan dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan kerugiannya akan
ditanggung oleh pihak yang membuat kelalaian, Secara umum, aplikasi muzara’ah
dalam bank Islam dapat digambarkan dalam skema berikut ini (Antonio, 2001):
Perjanjain Bagi
Hasil

Pemilik lahan Penggarap


-Lahan -keahlian
Benih - Waktu
Pupuk dsb Lahan Pertanian - tenaga

Penggarap

Sedangkan aplikasi muzara’ah dalam kegiatan muamalah non bank, yakni seperti
kebanyakan yang terjadi dalam masyarakat adalah muzara’ah dengan sistem sewa
tetap. Di mana seorang pemilik tanah melakukan kerjasama pengolahan tanah dengan
pihak lain di mana pihak lain (penyewa) harus membayar sejumlah uang tertentu,
atau barang senilai tertentu, sebagai biaya sewa atas tanah yang diolahnya tersebut.
Besarnya biaa sewa ini bersifat tetap, tidak tergantung kepada hasil produktifitas
tanah yang diolahnya tersebut. Jadi, hasil panenan sepenuhnyamenjadi hak dari
penyewa tanah sebagaimana juga resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi
tanggungan penyewa. Hak dari pemilik tanah hanyalah menerima biaya sewa. (Anto,
2003)
Dalam perbankan Islam, prinsip yang paling banyak dipakai adalah musyarakah
dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Bahkan
dalam bank-bank Islam sekarang khususnya di Indonesia sama sekali belum
mengeluarkan produknya baik muzara’ah maupun musaqah. Di bank-bank syari’ah
luar negeri, untuk usaha pertanian biasanya dengan skim musyarakah atau salam.
Sudah sangat terkenal dengan keberhasilan penerapan skim musyarakah untuk
pertanian oleh bank-bank syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini
diterapkan skim muzara’ah untuk kredit usaha tani (Karim, 2001).

5. Qismah
Al-Qismah adalah memisahkan sebagian dari berbagai macam bagian yang lain. Qasim
atau qussamadalah seseorang yang bertindak membagi-bagikan berbagai macam perkara
di antara sekian banyak orang, dan kedudukan qasim sama seperti seorang hakim.

a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih


Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 1 Ayat (9) disebutkan bahwa
harta adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan dan dialihkan, baik
benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda terdaftar maupun yang tidak
terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang
mempunyai nilai ekonomis (Mardani, 2013, p. 60). Oleh karena itu, pengertian harta
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah lebih lengkap dan lebih luas.
Dalam Alquran juga dijelaskan pada QS Annisa ayat 8
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.”
Dan Rasulullah Saw. bersabda :
“Setiap rumah yang dibagi pada masa jahiliyah, maka pembagian rumah itu
berdasarkan pembagian masa jahiliyah. Dan setiap rumah yang belum dibagi hingga
mencapai masa Islam, maka pembagian rumah itu berdasarkan pembagian Islam”

b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll


c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja
6. Muhayaah
Muhayaah atau tahayu’ adalah pembagian hak guna suatu benda yang dimiliki
bersama secara bergilir.
a. Analisa Fikih, Maqashid Syariah, Kaidah Fikih
ٍ ُ‫قَا َل ٰهَ ِذ ِه نَاقَةٌ لَهَا ِشرْ بٌ َولَ ُك ْم ِشرْ بُ يَوْ ٍم َم ْعل‬
‫وم‬

Shaleh menjawab: "Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan
air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu.
(QS As Syua’ara:155)

b. Sisi Regulasi OJK,BI, KUHP, Hukum Perdata Dll


c. Sisi Analisa Bisnis, Praktik di Industri, atau Praktik di Lapangan Kerja
Daftar Pustaka

Hulam, T. (1998). Jaminan dalam transaksi.

Ojk. (n.d.). Standar Produk Mudharabah 1.

Harahap, B. (2006). KEDUDUKAN , FUNGSI DAN PROBLEMATIKA JAMINAN DALAM


PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARI ’ AH.

Saepudin, E. (n.d.). PRODUK PEMBIAYAAN LINKAGE PADA BANK BRI untuk memenuhi
kebutuhan pasar . Dari produk penghimpun dana bank umum peserta KUR dengan
koperasi dalam rangka meningkatkan.

Saddam, J., & Shidiqie, A. (2017). Bagi Hasil Pertanian Ditinjau dari Undang-Undang dan
Hukum Islam. 2, 22–31.

Indonesia, G. B. (2005). PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/46/PBI/2005.

Belakang, A. L. (n.d.). Qawa’id Al-‘Ammah. 1–9.

Ngasifudin, M. (2016). APLIKASI MUZARA ’ AH DALAM PERBANKAN SYARIAH. 38–44.

Ridlwan, A. A., & Surabaya, U. N. (n.d.). IMPLEMENTATION AKAD MUZARA ’ AH IN


ISLAMIC BANK : ALTERNATIVE TO ACCESS. 7(1), 34–48.

Kediri, K., Dari, D., & Fiqh, P. (2019). Diversi Jurnal Hukum. 5(April), 68–88.

Indonesia, R. (1960). UU No 2 TH 1960.

Anda mungkin juga menyukai