Nama :
Gadai diistilahkan dengan Rahn dan dapat juga dinamai Al-Habsu (Pasaribu, 1996). Secara
etimologis, pengertian Rahn adalah tetap, kekal dan jaminan, sedangkan Al-Habsu berarti
penahanan terhadap suatu barang tersebut (Syafei, 1987). Sedangkan menurut Sabiq (1987),
Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang (marhun bih), hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
sebagian (manfaat) barangnya itu. Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan
marhun bih dalam bentuk rahn itu diperbolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam
hal ini pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih
dilunasi.
Beberapa pengertian Gadai (Rahn) berdasarkan ahli hukum Islam diantaranya sebagai
berikut :
a. Dari Ulama Syafi’iyah, Hanafi dan Malikiyah.
- Menurut Ulama Syafi’iyah, Rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang
tidak bisa membayar utangnya.
- Menurut Ulama Hanafi, Rahn yaitu menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berutang tidak bisa membayar hutangnya.
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-
Baqarah ayat 282 dan 283 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur”. (QS. Al-Baqarah ayat 282)
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah ayat 283)
Dasar hukum lainnya adalah Sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi Muhammad
s.a.w. Pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang dengan jaminan
berupa baju besinya.
Dasar hukum lainnya adalah Ijtihad Ulama. Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan
Hadits itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad,
dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah
mempertentangkan kebolehannya. Demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian,
perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian
menurut landasan hukumnya.
Dalam hal ini, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) juga
menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai
berikut :
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang
rahn,
b. Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang
Rahn Emas,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan Ijarah,
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang
wakalah,
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ganti Rugi.
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa Az-Zarqa’
adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak atau beberapa pihak yang
berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi
dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu
akad. Sedangkan menurut Syamsul Anwar dalam bukunya hukum perjanjian syariah menuliskan
bahwa akad adalah pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih
untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
1. Shigat
Syarat shigat adalah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan
datang. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih habis dan marhun
bih belum terbayar, maka rahn dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat itu
mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contohnya adalah pihak penerima
gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, maksudnya orang-orang yang bertransaksi
gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah bahwa kedua-duanya
harus telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri secara bebas.
4. Marhun (barang yang digadaikan), syarat marhun menurut pakar fiqh adalah :
- Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih,
- Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal)
- Marhun itu jelas dan tertentu
- Marhun itu milik sah rahin
- Marhun tidak terkait dengan hak orang lain
- Marhun merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat
- Marhun tidak boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
2. Aspek permodalan
Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk
perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek
penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan
perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan
kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang
gadaian. Permodalan gadai syariah bias diperoleh dengan system bagi hasil, seperti
mengumpulkan dana dari bebrapa orang ( musyarakah ), atau dengan mencari sumber
4. Aspek kelembagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan ssebuah perusahaan gadai dapat
bertahan. Sebagai lembaga yang relative belum banyak dikenal masyarakat,
pegadaian syariah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang berbeda
dengan gadai konvensional. Hal ini guna memperteguh keberadaannya sebagai
lembaga yang berdiri untuk memberikan ke maslahatan bagi masyarakat.
6. Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai syariah menyalahi prinsip syariah maka gadai
syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah
bertugas mengawasi operasional gadai syariah supaya sesuai dengan prinsip – prinsip
syariah.
Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah
perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan
satu sama lain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban
diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian
yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya.
Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan
melalui arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata–nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte
notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya
pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau
ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte
notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan pengamanan
barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save
deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga
dilarang dikenakan.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah)
khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), dll.
3. Akad Ijarah
Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya
sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas
penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.[9]
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : Ekonisia, 2003
Nurahayati, Sri dan Wasilah, 2016, Akuntansi Syariah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta
Soemitro, Andri, 2016, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta
Sudarsono, Heri, 2015, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi
4, Ekonisia, Yogyakarta
https://www.kompasiana.com/merry89/552a57a1f17e619078d6249b/operasional-gadai-
syariah?page=all
https://www.kompasiana.com/adikurniasandy8065/5afd1cebdd0fa85d2c51be52/mengenal-akad-
ar-rahn-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan-syarat?page=all