Anda di halaman 1dari 11

Aspek Hukum Jaminan Gadai Syariah

Dosen Pengampu : Hassanudin M.Sy.


Disusun Sebagai Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Hukum Jaminan Dan Pembiayaan Syariah
Oleh:
Robi Mahmud 2017301015
Khoerul Abdi 2017301023
Yayan Muhammad Bayanillah 2017301036
Alfin Rizky Muzaki 2017301045

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
PROF. K. H SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2022
PENDAHULUAN

Pegadaian merupakan salah satu lembaga keuangan yang ada di Indonesia.


Misi Perum Pegadaian adalah ikut membantu program pemerintah dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah kebawah melalui
kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang
menguntungkan.

Pada bulan Januari tahun 2003, Perum Pegadaian mendirikan sebuah Unit
Layanan Gadai Syariah (ULGS) di Jakarta. Pendirian unit syariah didasarkan pada
misi Pegadaian berdasarkan PP/10 tanggal 1 April 1990, yang dapat dikatakan
menjadi tonggak awal kebangkitan pegadaian, yaitu mencegah praktik riba. Fatwa
MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang bunga bank semakin memperkuat Perum
Pegadaian untuk mendirikan Pegadaian Syariah/ULGS di berbagai daerah di
Indonesia.

Pegadaian Syariah atau dikenal dengan istilah Rahn, dalam


pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income atau Mudharabah.
Karena nasabah dalam mempergunakan dana pinjaman mempunyai tujuan yang
berbeda-beda, misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan
modal kerja, penggunaan metode mudharabah belum tepat pemakaiannya. Oleh
karenanya, pegadaian menggunakan metode bagi hasil (Mudharabah). Secara
teoritis ada berbagai jenis akad dalam pelaksanaan gadai syariah, yakni :Jenis
Gadai Qard Al-Hasan, Jenis Gadai Akad Mudharabah, Jenis Gadai Akad Ba’i
Muqayyadah, Jenis Gadai Akad Ijarah dan Jenis Gadai Akad Musyarakah Amwal
Al-`Inan. Dalam praktek di Pegadaian Syariah, akad yang dipakai di Pegadaian
Syariah disamping akad rahn , juga dipakai akad ijarah.

Konsep operasi Pegadaian Syariah mengacu pada sistem administrasi


modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam. Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir sama dengan
pegadaian Konvensional. Seperti halnya Pegadaian Konvensional, Pegadaian
Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.
A. Gadai Syariah
Pengertian Gadai Syariah (Rahn)

Gadai dalam bahasa Arab disebut Rahn. Rahn menurut bahasa adalah jaminan
hutang, gadaian, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan.1 Sedangkan
menurut syara’ artinya akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran yang sempurna darinya.

Dalam definisinya rahn adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang
mengadaikan, sedangkan murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam kitabnya
Fathul Wahab, mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda sebagai
kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta itu bila utang tidak
dibayar.2 Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan
adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

Pegadaian menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 yang


berbunyi: “Gadai adalah hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang
atas suatu barang bergerak. Barang tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seseorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang
bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo”.

Jadi, kesimpulanya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan pemilik, baik
yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang diterima memperoleh jaminan untuk mengambil

1
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet ke-2, h.126 2
2
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h.51
kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak
yang mengadaikan tidak dapat membayar hutang tepat pada waktunaya.

Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang dan kemudian pegadaian


menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh pegadaian.
Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang
meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan
proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya
sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Keuntungan Pegadaian Syariah berasal dari biaya sewa tempat yang dipungut,
bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang
pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya
sebagai kiasan yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya
di Pegadaian.

Persyaratan yang wajib dipenuhi dalam melaksanakan gadai syariah disebut


dengan rukun gadai syariah adalah sebagai berikut:

1. Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan perjanjian (shigat). Aqid terdiri


dari dua pihak yaitu: pertama, rahn (yang menggadaikan), yaitu orang
yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
akan digadaiakan. Kedua, Murtahin (yang menerima gadai) yaitu orang,
bank, atau lembaga yang dipercaya aleh Rahin untuk mendapatkan modal
dengan jaminan barang (gadai).
2. Barang yang digadaikan (Marhun) yaitu barang yang digunakan rahin
untuk dijadikan jaminan mendapatkan uang.
3. Utang (Harga) yaitu sejumlah dana yang diberiakan murtahin kepada rahin
atas dasar besrnya tafsiran marhun.
4. Perjanjian (Aqad) yaitu kesepakatan antara rahin dan marhun dalam
melakukan transaksi gadai.
Dalam menjalankan transaksi rahn harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Syarat Aqid, baik rahin dan murtahin adalah harus ahli tabarru’ yaitu orang
yang berakal, tidak boleh anak kecil, gila, bodoh dan orang yang terpaksa.
Seperti tidak boleh seorang wali.
b. Marhun Bih (utang)
1) Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
2) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat
dimanfaatkan, maka tidak sah.
3) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
c. Marhun (Barang)
a) Harus berupa harta yang dapat dijual dan nilainya seimbang dengan
Marhun Bih.
b) Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c) Harus jelas dan spesifik.
d) Marhun itu sah dimiliki oleh rahin.
e) Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
d. Shighad (Ijab dan Qabul) syaratnya adalah shighad tidak boleh diselingi
dengan ucapan yang lain ijab dan qabul dan diam terlalu lama pada transaksi.
Serta tidak boleh terikat waktu.

B. Pegadaian Syariah

Telah kita ketahui bahwasanya pegadaian di definisikan sebagai suatu hak


yang di peroleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang yang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang
oleh seseorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Dengan kata lain orang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunaka barang bergerak
yang telah diserahkan untuk melunasi kewajibannya saat jatuh tempo.
Sedangkan pegadaian syariah itu sendiri merupakan sistem pegadaian
yang menggunakan sistem syari dengan berlandaskan Fatwa Dewan Syariah
Nasional nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang rahn, fatwa
nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas awal mula berdirinya
pegadaian syariah merupakan efek dari di tetapkanya PP10 tanggal 1 April 1990
yang mana di dalamnya termuat misi pegadaian yang bebas dari perkara riba yang
kemudian di ubah menjadi PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan
usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.

Pada tanggal 16 Desember di mulailah oprasi pegadaian pra Fatwa MUI


yang kemudian terus berkembang hingga terbentuklah Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain
Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara
struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian
Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah
( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003.Menyusul kemudian
pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di
tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4
Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

C. Dasar Hukum Gadai Syariah

Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan hukum


Pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Terdapat tiga landasan hukum Pegadaian Syariah,
yaitu Al Quran, hadist, dan ijtihad para ulama.

Ijtihad atau kesepakatan para ulama membolehkan akad Rahn yang


diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002
tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan
ketentuan:3
3
Rusmianto Nurmala, Damayanti, “Pegadaian Syariah Dalam Tinjauan Konseptual,” Jurnal Online
Politeknik Negeri Lampung, 2009, 1–10.
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar
pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahn dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahn.

Ada dua hal yang harus diperhatikan: Pertama, jika salah satu pihak tidak
dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Kedua, fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana
mestinya.
D. Mekanisme Gadai Syariah

Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang dan kemudian pegadaian


menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh pegadaian.
Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang
meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan
proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya
sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Keuntungan Pegadaian Syariah berasal dari biaya sewa tempat yang dipungut,
bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang
pinjaman. Sehingga dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai
kiasan yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di
Pegadaian.

E. Syarat, Rukun Dan Objek Gadai Syariah (Rahn)


a) Syarat Rahn

Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah4, sebelum dilakukan rahn, terlebih
dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara
hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk
mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi
dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan
dalam suatu akad. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn.

b) Rukun Rahn

Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:

1. Shigat (lafadz ijab dan qabul),


2. Orang yang berakad (rahin dan murtahin),
3. Harta yang dijadikan marhun,
4. Utang (marhun bih).

4
Pamonaran Manahaar, “Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang Perekonomian
Masyarakat Di Indonesia,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi 10, no. 2 (2019):
97–104, https://doi.org/10.28932/di.v10i2.1126.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn itu hanya ijab
(pernyataan penyerahan barang sebagai agunan oleh pemilik barang) dan qabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan itu). Di
samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun
kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang,
termasuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.5

c) Obejk Rahn

Objek adalah suatu benda yang berwujud atau berjasad.10 Sedangkan


menurut KUHPerdata Pasal 1150 objek gadai adalah segala benda bergerak baik
yang bertubuh maupun yang tidak bertubuh. Objek gadai yang dimaksud di sini
adalah objek gadai berupa benda bergerak yang membutuhkan perawatan khusus
seperti sepeda motor, mobil, leptop dan objek gadai lainnya yang dijadikan
sebagai tanggungan hutang atau barang gadai yang ditahan pihak Pegadaian
Syariah sebagai jaminan atas hutang si penggadai.6

F. Terhapusnya Gadai

Ketentuan tentang hapusnya gadai dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal


1152 KUHPerdata. Bahwa bagi benda bergerak yang berwujud, kembalinya
barang gadai ke tangan pemberi gadai mengakibatkan hapusnya gadai. Hal kedua
yang dapat mengakibatkan hapusnya gadai terdapat pada Pasal 1159 KUHPerdata.
Berdasarkan rumusan pada pasal ini bahwa gadai hapus dan hanya hapus apabila
perikatan pokoknya telah dilunasi sebelumnya.

Sesuai dengan sifat perjanjian pemberian jaminan yang merupakan


jaminan accesoir, dapat diartikan bahwa ada atau tidaknya hak gadai itu
ditentukan oleh eksistensi perjanian pokok atau perjanjian pendahulunya yang
menjadi dasar adanya perjanjian pemberian jaminan.
5
Fatikul Himami, “Mekanisme Gadai Syariah (Rahn) Pada BMT-UGT Sidogiri,” Jihbiz Jurnal
Ekonomi Keuangan Dan Perbankan Syariah 4, no. 2 (2020): 172–95,
https://doi.org/10.33379/jihbiz.v4i2.861.
6
Studi Kasus et al., “Mekanisme Pertanggung Jawaban Terhadap Objek Gadai Oleh Pegadaian
Syariah Ditinjau Menurut Fiqh Muamalah,” 2016.
Ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu
perjanjian (perikatan) hapus karena empat alasan, diantaranya yaitu, pelunasan,
perjumpaan utang (dispensasi), pembaharuan utang (novasi), dan pembebasan
utang.Selain alasan-alasan hapusnya hak gadai yang telah disebutkan di atas,
terdapat alasan lagi yang dapat menyebabkan hapusnya hak gadai yaitu, terjadinya
penyalahgunaan barang-barang atau kebandaan yang digadaikan oleh kreditur
(pemegang gadai) ketentuan ini seperti yang tercantum dalam Pasal 1159
KUHPerdata.

Menurut Frieda Husni Hasbullah, berakhirnya gadai dikarenakan:

a. Hak gadai hapus dengan hapusnya perikatan pokok yaitu perjanjian


hutang-piutang sehubungan telah dibayarnya hutang pokok ditambah
bunga dan biaya lainnya seperti biaya pemeliharaan bendagadai.
b. Jika benda gadai lepas atau tidak lagi berada dalam kekuasaan
pemeganggadai.

Sedangkan menurut Hadi Suprapto, hak gadai berakhir atau hapusadalah


ketika terjadinya hal-hal berikut:

b) Apabila barang jaminan keluar dari kekuasaan pemegang jaminan.


c) Apabila perjanjian pokok hapus, yakni ketika hutang piutang itu sudah
dibayar.
d) apabila barang jaminan hilang atau musnah ataupun dilepaskan
secarasukarela oleh pemeganggadai.
e) Pemegang gadai oleh karena sesuatu sebab menjadi pemilik atas
barang jaminan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Himami, Fatikul. “Mekanisme Gadai Syariah (Rahn) Pada BMT-UGT Sidogiri.”
Jihbiz Jurnal Ekonomi Keuangan Dan Perbankan Syariah 4, no. 2 (2020):
172–95. https://doi.org/10.33379/jihbiz.v4i2.861.

Kasus, Studi, Pada Pt, Pegadaian Syariah, Kabupaten Aceh, and Besar Cabang.
“Mekanisme Pertanggung Jawaban Terhadap Objek Gadai Oleh Pegadaian
Syariah Ditinjau Menurut Fiqh Muamalah,” 2016.

Manahaar, Pamonaran. “Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang


Perekonomian Masyarakat Di Indonesia.” Dialogia Iuridica: Jurnal
Hukum Bisnis Dan Investasi 10, no. 2 (2019): 97–104.
https://doi.org/10.28932/di.v10i2.1126.

Nurmala, Damayanti, Rusmianto. “Pegadaian Syariah Dalam Tinjauan


Konseptual.” Jurnal Online Politeknik Negeri Lampung, 2009, 1–10.

Suprapto, Hartono Hadi, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum


Jaminan.Yogyakarta: Liberty, 1984.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk


Wetboek). Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.

Susilo, Y. Sri dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat,
2000.

Hadi, Sholikul dan Muhammad, Pegadaian Syari’a,. Jakarta : Salemba Diniyah,


2003.

Kartini, Muljdi dan Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek,
Jakarta: Kencana, 2007.

Anda mungkin juga menyukai