Pada bulan Januari tahun 2003, Perum Pegadaian mendirikan sebuah Unit
Layanan Gadai Syariah (ULGS) di Jakarta. Pendirian unit syariah didasarkan pada
misi Pegadaian berdasarkan PP/10 tanggal 1 April 1990, yang dapat dikatakan
menjadi tonggak awal kebangkitan pegadaian, yaitu mencegah praktik riba. Fatwa
MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang bunga bank semakin memperkuat Perum
Pegadaian untuk mendirikan Pegadaian Syariah/ULGS di berbagai daerah di
Indonesia.
Gadai dalam bahasa Arab disebut Rahn. Rahn menurut bahasa adalah jaminan
hutang, gadaian, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan.1 Sedangkan
menurut syara’ artinya akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak
yang mungkin diperoleh bayaran yang sempurna darinya.
Dalam definisinya rahn adalah barang yang digadaikan, rahin adalah orang
mengadaikan, sedangkan murtahin adalah orang yang memberikan pinjaman.
Adapun pengertian rahn menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshary, dalam kitabnya
Fathul Wahab, mendefinisikan rahn adalah menjadikan benda sebagai
kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta itu bila utang tidak
dibayar.2 Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir Rahn adalah menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan
adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Jadi, kesimpulanya bahwa rahn adalah menahan barang jaminan pemilik, baik
yang bersifat materi atau manfaat tertentu, sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang diterima memperoleh jaminan untuk mengambil
1
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet ke-2, h.126 2
2
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h.51
kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai tersebut apabila pihak
yang mengadaikan tidak dapat membayar hutang tepat pada waktunaya.
a. Syarat Aqid, baik rahin dan murtahin adalah harus ahli tabarru’ yaitu orang
yang berakal, tidak boleh anak kecil, gila, bodoh dan orang yang terpaksa.
Seperti tidak boleh seorang wali.
b. Marhun Bih (utang)
1) Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.
2) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat
dimanfaatkan, maka tidak sah.
3) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
c. Marhun (Barang)
a) Harus berupa harta yang dapat dijual dan nilainya seimbang dengan
Marhun Bih.
b) Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.
c) Harus jelas dan spesifik.
d) Marhun itu sah dimiliki oleh rahin.
e) Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.
d. Shighad (Ijab dan Qabul) syaratnya adalah shighad tidak boleh diselingi
dengan ucapan yang lain ijab dan qabul dan diam terlalu lama pada transaksi.
Serta tidak boleh terikat waktu.
B. Pegadaian Syariah
Ada dua hal yang harus diperhatikan: Pertama, jika salah satu pihak tidak
dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Kedua, fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana
mestinya.
D. Mekanisme Gadai Syariah
Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah4, sebelum dilakukan rahn, terlebih
dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara
hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk
mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi
dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan
dalam suatu akad. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn.
b) Rukun Rahn
4
Pamonaran Manahaar, “Implementasi Gadai Syariah (Rahn) Untuk Menunjang Perekonomian
Masyarakat Di Indonesia,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi 10, no. 2 (2019):
97–104, https://doi.org/10.28932/di.v10i2.1126.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun rahn itu hanya ijab
(pernyataan penyerahan barang sebagai agunan oleh pemilik barang) dan qabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan itu). Di
samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini,
maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun
kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang,
termasuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.5
c) Obejk Rahn
F. Terhapusnya Gadai
DAFTAR PUSTAKA
Himami, Fatikul. “Mekanisme Gadai Syariah (Rahn) Pada BMT-UGT Sidogiri.”
Jihbiz Jurnal Ekonomi Keuangan Dan Perbankan Syariah 4, no. 2 (2020):
172–95. https://doi.org/10.33379/jihbiz.v4i2.861.
Kasus, Studi, Pada Pt, Pegadaian Syariah, Kabupaten Aceh, and Besar Cabang.
“Mekanisme Pertanggung Jawaban Terhadap Objek Gadai Oleh Pegadaian
Syariah Ditinjau Menurut Fiqh Muamalah,” 2016.
Susilo, Y. Sri dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat,
2000.
Kartini, Muljdi dan Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek,
Jakarta: Kencana, 2007.