1
211002091@student.unsil.ac.id, 2211002504@student.unsil.ac.id,
3
211002511@student.unsil.ac.id, 4211002519@student.unsil.ac.id
ABSTRACT
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Agama Islam mengajarkan kepada segenap umat manusia agar mereka dapat hidup
saling tolong menolong yang didasarkan pada rasa tanggung jawab bersama dalam hidup
bermasyarakat. dengan harapan agar dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan dari
kesewnang-wenangan. Dalam islam ada peraturan yang membatasi tentang tingkah laku
manusia yang dinamakan "muammalat". Yakni sebuah ketentuan yang mengatur mengenai
hubungan antar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan tujuan agar penyimpangan
tingkah laku akan dapat diatasi. Salah satu institusi atau pranata social yang mengandung nilai
social ekonomi dalam Islam adalah gadai yaitu agar untuk manusia saling membantu antar
sesamanya yakni dengan memberikan pinjaman dengan menggunakan jaminan.
Menurut Rokhmat Pegadaian merupakan Salah satu solusi bagi masyarakat, ketika
seseorang membutuhkan dana dalam kondisi yangmendesak dan cepat, sedangkan yang
bersangkutan tidak memilikidana cash atau tabungan maka pendanaan pihak ketiga menjadi
alternative pemecahannya. Saat mengakses jasa perbankan bagi beberapa masyarakat akan
menghadapi administrasi dan persyaratan yang rumit, sehingga sebagian orang akan datang
pada rentenir, meski dengan bunga yang cukup tinggi. Bagi sebagian orang memiliki harta
yang bisa dijadikan agunan, maka pegadaian pilihannya, sebab transaksi gadai paling aman,
legal dan terlembaga. Pegadaian sampai saat ini merupakan satu-satunya lembaga formal di
Indonesia yang berdasarkan hukum dibolehkan melakukan pembiayaan dengan bentuk
penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. Tugas pokok Pegadaian adalah menjembatani
kebutuhan dana masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasarkan hukum gadai.
LITERATUR REVIEW
Teori Rahn
Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berati tetap, kekal, dan
jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa yang disebut barang jaminan,
agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan. Gadai merupakan perjanjian
penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan. Dalam
terminologinya gadai mempunyai banyak pengertian dan pemaknaan. Dalam kitab undang
undang hukum perdata, gadai diartikan sebagai suatu hak yang di peroleh kreditor (si
berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berhutang),
atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah di
keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan dan biaya- biaya yang harus
didahulukan.
Rahn atau gadai merupakan salah satu kategori perjanjian hutang-piutang yang mana
untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang mengadaikan
barang jaminan atas utang yaitu. Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik
nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang atau pinjaman atau
marhunbih yang diterimanya. Pengertian Ar-rahn ialah menahan salah satu harta milik si
pemilik sebagai jaminan atau penjamin yang diterimanya. Rahn juga dapat diartikan menjadi
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah, yang mana menahan sesuatu
dengan cara yang dibenarkan yang kemungkinan ditarik kembali.
Pegadaian Syariah merupakan perusahaan yang modern dan dinamis. Tujuannya adalah untuk
memudahkan pemberian pinjaman dengan hukum syariah dan memberantas rentenir yang
tanpa kita sadari ternyata sudah merajalela dikalangan masyarakat. Pegadaian syariah adalah
salah satu lembaga keungan syariah di Indonesia yang menyalurkan dana kepada masyarakat
muslim kelas menengah kebawah, dalam bentuk pinjaman uang dengan jaminan berupa barang
yang berharga. Salah satu produknya yang menjadi unggulan adalah produk Rahn. Dalam
hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara
tunai, dengan ketentua si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali.
Fiqih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut rahn yaitu perjanjian menahan suatu
barang sebagai tanggungan utang. Adapun ta’rif ar-Rahn (definisi) menurut Al-Imam Abu
zakaria al_Anshori menetapkan di dalam kitab Fatkhul Wahab artinya sebagai berikut:
menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari (harga) benda itu
bila utang tidak di bayar.
Dari ketiga ta’rif di atas terdapat kesamaan pendapat yaitu;
1. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dari utang piutang.
2. Untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang
menggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap utangnya itu, yang
disebut dalam ta’rif dengan kata watsiqatin (kepercayaan.)
3. Barang jaminan itu dapat dijual untuk membayar utang orang yang berhutang , baik
sebagian maupun seluruhnya. Dan bila terdapat kelebihan dari penjualan benda itu.,
sedangkan orang yang menerima jaminan (yang berpiutang) ia mengambil
sebagiannya yaitu sebesar uang yang dipinjamkannya.
4. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berpiutang), tetapi
di kuasai oleh penggadai (orang yang berpiutang).
5. Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga dengan
akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang
punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang yang berpiutang
bertanggungjawab menjamin keutuhan barang jaminanya. Dan bila utang telah dibayar
maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas, sehingga
pertanggungan jawab orang yang menggadai dan yang menerima gadai hilang untuk
menjalankan kewajiban dan bebas dari tanggung jawab masing-masing.
6. Di dalam ketiga ta’rif tersebut ada kata yajalu dan ja’ala yang berarti menjadikan dan
dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah orang yang memiliki harta
benda itu., karena harta benda yang bukan miliknya tidak dapat di gadaikan.
Adapun istilah–istilah yang di gunakan dalam perjanjian gadai menurut hukum islam
adalah sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan peyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin namun
dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun:
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
Pemanfaatan
Namun dana hasil denda harus dialokasikan ke dalam dana sosial yang Menurut
pendapat para fuqaha’, lembaga keuangan syariah boleh mengenakan sanksi keterlambatan
berupa nominal uang tertentu kepada nasabah yang sanggup tetapi justru menunda
pembayaran.
Apabila barang yang dijaminkan itu telah diterima oleh orang yang berpiutang,
maka yang berpiutang wajib menjaga bendajaminan itu sampai batas waktu akad yang telah
ditentukan. Dan orang yang menggadaikan, maka orang yang memegangnya harus tetap
menjaganya dengan baik, tidak boleh menjual atau memberikannya kepada orang lain
kecuali atas izin orang yang berpiutang. Dengan kat a lain, didalam prinsip gadai saling
menghomati dalam menjaga barang jaminan adalah tanggung jawab kedua belah pihak.
Dari sekian banyak masalah yang berkembang di sekitar gadai, yang pemanfaatan barang
yang digadaikan.
Dalam arti kata, bolehkah orang yang berpiutang mengambil manfaat dari barang
yang digadaikan kepadanya. Masalah ini semakin berkembang terus hingga kini, dari akibat
diversifikasi- menggiurkannya keuntungan dari pemanfaatan barang-barang gadaian.
Karena itu, prinsip hutang-piutang yang ada didalam gadai berupa keingingan untuk
menolong orang lain, menjadi pencarian keuntungan atas barang-barang yang dijadikan
anggunan bagi suatu akad hutang piutang . penyerahan milik sesuatu benda dan
memanfaatkannya.
Hak milik atas benda masih dimiliki oleh orang yang berhutang secara terbatas.
Karena itu hak yang muncul dari pemegang gadai bukan hak memiliki tetapi hanya hak
menahan (al-habs) sampai batas tertentu yang telah ditentukan dalam akad. Karena itu
dalam masalah pemanfaatan barang gadaian oleh pemegang gadai, nampaknya seluruh
ulama telah sepakat (ijmak) bahwa itu tidak dibolehkan. Karena barang itu, meski telah
digadaikan masih merupakan milik sah dari orang yang menggadaikan.
Oleh karena barang gadaian tetap menjadi milik orang yang menggadaikan, maka
berlaku pula ketentuan berikut ini :
1. Adanya penambahan dari barang gadaian, seperti telur atau anak yang lahir setelah
diaminkan, maka hasil tambahan itu tidak termasuk barang yang digadaikan dan
tetap menjadi milik orang yang menggadaikan Kalaupun pada akhirnya orang
yang memegang barang gadai itu menjual barang gadaian, maka dia tidak boleh
menjual hasil tambahan itu;
2. Barang gadaian itu pada sesungguhnya menjadi tanggung jawab orang yang
menerima gadai (murtahin) dari kerusakan dan kehilangan, Jika rusak dan hilang
karena kelalaian orang yang memegang gadai, maka ia harus memperbaikinya
atau menggantinya. Jika dibutuhkan biaya pemeliharaan untuk barang gadaian itu,
maka dapat diambil dari hasil benda itu.
Fatwa DSN MUI
Dalam Bahasa Arab, gadai disebut juga sebagai rahn. Sedangkan dalam istilahnya
gadai merupakan suatu barang yang dijadikan sebagai jaminan atas suatu utang dengan
ketentuan apabila terjadi kesulitan saat membayarnya, maka utang bisa dibayar dari hasil
penjualan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Adapun dasar hukum yang dapat dijadikan landasan dari adanya gadai tertuang dalam
QS. Al-Baqarah ayat 283:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 283).
Hukum gadai adalah sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Adapun ang termasuk
rukun dan syarat gadai menurut jumhur ulama, yaitu: