Anda di halaman 1dari 11

STUDI KASUS PERBANDINGAN GADAI EMAS SECARA KONVENSIONAL

DENGAN RAHN DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH

Muhammad Dzikry Rizkyawan1, Sofia Isma Nurjanah2, Azka Muhammad Mufti3,


Dea Mustafiani4
1234
Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam

1
211002091@student.unsil.ac.id, 2211002504@student.unsil.ac.id,
3
211002511@student.unsil.ac.id, 4211002519@student.unsil.ac.id

ABSTRACT

ABSTRAK
PENDAHULUAN

Agama Islam mengajarkan kepada segenap umat manusia agar mereka dapat hidup
saling tolong menolong yang didasarkan pada rasa tanggung jawab bersama dalam hidup
bermasyarakat. dengan harapan agar dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan dari
kesewnang-wenangan. Dalam islam ada peraturan yang membatasi tentang tingkah laku
manusia yang dinamakan "muammalat". Yakni sebuah ketentuan yang mengatur mengenai
hubungan antar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan tujuan agar penyimpangan
tingkah laku akan dapat diatasi. Salah satu institusi atau pranata social yang mengandung nilai
social ekonomi dalam Islam adalah gadai yaitu agar untuk manusia saling membantu antar
sesamanya yakni dengan memberikan pinjaman dengan menggunakan jaminan.

Menurut Rokhmat Pegadaian merupakan Salah satu solusi bagi masyarakat, ketika
seseorang membutuhkan dana dalam kondisi yangmendesak dan cepat, sedangkan yang
bersangkutan tidak memilikidana cash atau tabungan maka pendanaan pihak ketiga menjadi
alternative pemecahannya. Saat mengakses jasa perbankan bagi beberapa masyarakat akan
menghadapi administrasi dan persyaratan yang rumit, sehingga sebagian orang akan datang
pada rentenir, meski dengan bunga yang cukup tinggi. Bagi sebagian orang memiliki harta
yang bisa dijadikan agunan, maka pegadaian pilihannya, sebab transaksi gadai paling aman,
legal dan terlembaga. Pegadaian sampai saat ini merupakan satu-satunya lembaga formal di
Indonesia yang berdasarkan hukum dibolehkan melakukan pembiayaan dengan bentuk
penyaluran kredit atas dasar hukum gadai. Tugas pokok Pegadaian adalah menjembatani
kebutuhan dana masyarakat dengan pemberian uang pinjaman berdasarkan hukum gadai.

Perbandingan dengan Pegadaian syari’ah adalah salah satu lembaga keuangan


pemerintah yang bergerak di bidang jasa penyaluran pinjaman kepada masyarakat atas dasar
hukum gadai, yang ditunjukkan untuk mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba, serta
pinjaman tidak wajar lainnya. Pegadaian merupakan salah satu alternative bagi masyarakat
untuk mendapatkan pinjaman, dengan pelayanan yang mudah, cepat dan aman. Dalam
kenyataan menunjukkan bahwa sistem pelayanan yang mudah, cepat dan aman memang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah. Kemudahan dan
kesederhanaan dalam prosedur memperoleh pinjaman merupakan modal dasar dalam
mendekati pangsa pasar pegadaian. Pegadaian syariah dalam menjalankan operasionalnya
berpegang kepada prinsip syariah. Payung hukum gadai syariah berpegang pada Fatwa DSN
MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 juni 2002 tentang rahn yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan, dan
fatwa DSN MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai emas.

Pembentukan Pegadaian Syariah selain karena tuntutan idealisme juga disebabkan


keberhasilan terlembaganya Bank, BMT, BPR dan asuransi syariah, pegadaian mendapat
perhatian untuk dibentuk di bawah naungan suatu lembaga tersendiri. Atas dasar evaluasi dari
perkembangan rahn sebagai produk perbankan syariah yang belum begitu baik, disebabkan
oleh terbatasnya keberadaan komponen pendukung produk rahn seperti, sumber daya penafsir,
alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan, bank tidak mampu
memfasilitasi keberadaan rahn, tetapi rahn sangat dibutuhkan masyarakat. Sebab lain kurang
baiknya perkembangan pegadaian syariah adalah masyarakat belum banyak mengenal rahn
sebagai lembaga keuangan mandiri. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah
tidak bisa ditunda lagi sehingga pada tahun 2003 didirikan Pegadaian Syariah. (Heri, 2015)
yang bertujuan membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi masayarakt islam.

LITERATUR REVIEW

Teori Rahn

Gadai dalam bahasa arab disebut dengan rahn. Secara etimologi berati tetap, kekal, dan
jaminan. Gadai istilah hukum positif di indonesia adalah apa yang disebut barang jaminan,
agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan. Gadai merupakan perjanjian
penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembiayaan yang diberikan. Dalam
terminologinya gadai mempunyai banyak pengertian dan pemaknaan. Dalam kitab undang
undang hukum perdata, gadai diartikan sebagai suatu hak yang di peroleh kreditor (si
berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berhutang),
atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan pada kreditor itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur
lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah di
keluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan dan biaya- biaya yang harus
didahulukan.

Rahn atau gadai merupakan salah satu kategori perjanjian hutang-piutang yang mana
untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang mengadaikan
barang jaminan atas utang yaitu. Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik
nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang atau pinjaman atau
marhunbih yang diterimanya. Pengertian Ar-rahn ialah menahan salah satu harta milik si
pemilik sebagai jaminan atau penjamin yang diterimanya. Rahn juga dapat diartikan menjadi
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah, yang mana menahan sesuatu
dengan cara yang dibenarkan yang kemungkinan ditarik kembali.

Pegadaian Syariah merupakan perusahaan yang modern dan dinamis. Tujuannya adalah untuk
memudahkan pemberian pinjaman dengan hukum syariah dan memberantas rentenir yang
tanpa kita sadari ternyata sudah merajalela dikalangan masyarakat. Pegadaian syariah adalah
salah satu lembaga keungan syariah di Indonesia yang menyalurkan dana kepada masyarakat
muslim kelas menengah kebawah, dalam bentuk pinjaman uang dengan jaminan berupa barang
yang berharga. Salah satu produknya yang menjadi unggulan adalah produk Rahn. Dalam
hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara
tunai, dengan ketentua si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali.

Fiqih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut rahn yaitu perjanjian menahan suatu
barang sebagai tanggungan utang. Adapun ta’rif ar-Rahn (definisi) menurut Al-Imam Abu
zakaria al_Anshori menetapkan di dalam kitab Fatkhul Wahab artinya sebagai berikut:
menjadikan benda yang bersifat harta (harta benda) sebagai kepercayaan dari (harga) benda itu
bila utang tidak di bayar.
Dari ketiga ta’rif di atas terdapat kesamaan pendapat yaitu;

1. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dari utang piutang.
2. Untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang
menggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap utangnya itu, yang
disebut dalam ta’rif dengan kata watsiqatin (kepercayaan.)
3. Barang jaminan itu dapat dijual untuk membayar utang orang yang berhutang , baik
sebagian maupun seluruhnya. Dan bila terdapat kelebihan dari penjualan benda itu.,
sedangkan orang yang menerima jaminan (yang berpiutang) ia mengambil
sebagiannya yaitu sebesar uang yang dipinjamkannya.
4. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berpiutang), tetapi
di kuasai oleh penggadai (orang yang berpiutang).
5. Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga dengan
akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang
punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang yang berpiutang
bertanggungjawab menjamin keutuhan barang jaminanya. Dan bila utang telah dibayar
maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas, sehingga
pertanggungan jawab orang yang menggadai dan yang menerima gadai hilang untuk
menjalankan kewajiban dan bebas dari tanggung jawab masing-masing.
6. Di dalam ketiga ta’rif tersebut ada kata yajalu dan ja’ala yang berarti menjadikan dan
dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah orang yang memiliki harta
benda itu., karena harta benda yang bukan miliknya tidak dapat di gadaikan.

Adapun istilah–istilah yang di gunakan dalam perjanjian gadai menurut hukum islam
adalah sebagai berikut:

1. Pemilik barang (yang berhutang) atau menggadai di Istilahkan dengan Rahn.


2. Orang yang memberi utang atau penerima gadai, di istilahkan dengan Murtahin.
3. Obyek atau barang yang digadaikan, di istilahkan dengan Marhun.

Adapun skema pembiayaan akad rahn yaitu sebagai berikut :

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan peyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin namun
dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun:
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi
utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

Pemanfaatan

• Pemanfaatan Dana Denda/Sanksi dalam Presepektif Islam


Jika masa gadai sudah sampai jatuh tempo, maka nasabah akan dikenakan sanksi
berupa denda. Sedangkan dalam fatwa DSNMUI terkait pengenaan denda/sanksi yang
diperbolehkan dalam Islam, yakni sebagai berikut: Sanksi yang dikenakan oleh Lembaga
Keuangan Syariah kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan sengaja tidak membayarnya, dan nasabah yang tidak atau belum
mampu membayar disebabkan force majeur tidak wajib dikenakan sanksi denda tersebut,
dan nasabah yang menunda-nunda pembayaran yang tidak beri’tikad baik boleh dikenakan
sanksi, kemudian sanksi berdasarkan prinsip ta’zir, yaitu bertujuan supaya nasabah lebih
berdisplin dalam melunasi utangnya, dan saksi yang besarnya ditentukan berdasarkan
kesepakatan, terakhir dana yang bersumber dari denda ditujukan sebagai dana sosial (DSN-
MUI, 2000).

Namun dana hasil denda harus dialokasikan ke dalam dana sosial yang Menurut
pendapat para fuqaha’, lembaga keuangan syariah boleh mengenakan sanksi keterlambatan
berupa nominal uang tertentu kepada nasabah yang sanggup tetapi justru menunda
pembayaran.

Berdasarkan hadist Rasulullah SAW bersabda : “,Menundanunda pembayaran


utang yang dilakukan oleh orang yang sanggup menghalalkan harga diri dan pemberian
sanksi kepadanya.” (HR. Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Selain hadist
tersebut Rasulullah SAW bersabda : “Menunda-nunda pelunasan utang yang dilakukan
oleh orang yang sanggup adalah sebuah kedzaliman. Maka apabila seseorang diantara
kamu dipindahkan hak penagihan utangnya kepada pihak yang mampu, terimalah.” (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Masa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Darami)
(Sahroni, 2018).

Adapun untuk nasabah yang mampu dan menun-nunda pembayaran atau


mempunyai iktikad buruk untuk membayar utangnya boleh dikenakan sanksi dengan tujuan
supaya nasabah lebih berdisiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Sanksi dapat berupa
denda sejumlah uang yang sudah disepakati dalam akad, kemudian dari dana tersebut
diperuntukkan sebagai dana sosial (Sahroni, 2018).

• Pemanfaatan Barang Gadai

Apabila barang yang dijaminkan itu telah diterima oleh orang yang berpiutang,
maka yang berpiutang wajib menjaga bendajaminan itu sampai batas waktu akad yang telah
ditentukan. Dan orang yang menggadaikan, maka orang yang memegangnya harus tetap
menjaganya dengan baik, tidak boleh menjual atau memberikannya kepada orang lain
kecuali atas izin orang yang berpiutang. Dengan kat a lain, didalam prinsip gadai saling
menghomati dalam menjaga barang jaminan adalah tanggung jawab kedua belah pihak.
Dari sekian banyak masalah yang berkembang di sekitar gadai, yang pemanfaatan barang
yang digadaikan.

Dalam arti kata, bolehkah orang yang berpiutang mengambil manfaat dari barang
yang digadaikan kepadanya. Masalah ini semakin berkembang terus hingga kini, dari akibat
diversifikasi- menggiurkannya keuntungan dari pemanfaatan barang-barang gadaian.
Karena itu, prinsip hutang-piutang yang ada didalam gadai berupa keingingan untuk
menolong orang lain, menjadi pencarian keuntungan atas barang-barang yang dijadikan
anggunan bagi suatu akad hutang piutang . penyerahan milik sesuatu benda dan
memanfaatkannya.

Hak milik atas benda masih dimiliki oleh orang yang berhutang secara terbatas.
Karena itu hak yang muncul dari pemegang gadai bukan hak memiliki tetapi hanya hak
menahan (al-habs) sampai batas tertentu yang telah ditentukan dalam akad. Karena itu
dalam masalah pemanfaatan barang gadaian oleh pemegang gadai, nampaknya seluruh
ulama telah sepakat (ijmak) bahwa itu tidak dibolehkan. Karena barang itu, meski telah
digadaikan masih merupakan milik sah dari orang yang menggadaikan.

Oleh karena barang gadaian tetap menjadi milik orang yang menggadaikan, maka
berlaku pula ketentuan berikut ini :

1. Adanya penambahan dari barang gadaian, seperti telur atau anak yang lahir setelah
diaminkan, maka hasil tambahan itu tidak termasuk barang yang digadaikan dan
tetap menjadi milik orang yang menggadaikan Kalaupun pada akhirnya orang
yang memegang barang gadai itu menjual barang gadaian, maka dia tidak boleh
menjual hasil tambahan itu;
2. Barang gadaian itu pada sesungguhnya menjadi tanggung jawab orang yang
menerima gadai (murtahin) dari kerusakan dan kehilangan, Jika rusak dan hilang
karena kelalaian orang yang memegang gadai, maka ia harus memperbaikinya
atau menggantinya. Jika dibutuhkan biaya pemeliharaan untuk barang gadaian itu,
maka dapat diambil dari hasil benda itu.
Fatwa DSN MUI

Dalam Bahasa Arab, gadai disebut juga sebagai rahn. Sedangkan dalam istilahnya
gadai merupakan suatu barang yang dijadikan sebagai jaminan atas suatu utang dengan
ketentuan apabila terjadi kesulitan saat membayarnya, maka utang bisa dibayar dari hasil
penjualan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.

Adapun dasar hukum yang dapat dijadikan landasan dari adanya gadai tertuang dalam
QS. Al-Baqarah ayat 283:

ٰ ‫ضا فَ ْلي َُؤد الَّذى اؤْ تُمنَ اَ َمانَت َه َو ْليَتَّق‬


‫ّللاَ َربَّه ۗ َو َل‬ ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬
ُ ‫ضة ۗفَا ْن اَمنَ بَ ْع‬ َ ‫سفَر َّولَ ْم ت َجد ُْوا كَاتبًا فَر ٰهن َّم ْقب ُْو‬ َ ‫ع ٰلى‬ َ ‫َوا ْن ُك ْنت ُ ْم‬
‫عليْم‬ ٰ ‫ش َهادَ ۗة َ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْم َها فَانَّه ٰاثم قَ ْلبُه ۗ َو‬
َ َ‫ّللاُ ب َما تَ ْع َملُ ْون‬ َّ ‫ࣖ ت َ ْكت ُ ُموا ال‬

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 283).

Hukum gadai adalah sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Adapun ang termasuk
rukun dan syarat gadai menurut jumhur ulama, yaitu:

1) aqid (rahin, murtahin);


2) shighat (Ijab, qabul);
3) marhun (barang jaminan);
4) marhun bih (hutang).
Berbicara tentang gadai, ada beberapa fatwa yang dapat dijadikan rujukan dalam
menjalankan gadai, diantaranya:

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn;


2) Fatwa DSN-MUI No: 26/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn Emas;
3) Fatwa DSN-MUI No: 09/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
4) Fatwa DSN-MUI No: 10/DSNMUI/IV/2000 tentang Wakalah;
5) Fatwa DSN-MUI No: 43/DSNMUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
6) Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III 2008 tentang rahn tas-jily.
7) Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/ 2010 tentang jual beli emas secara tidak tunai.
Dalam Fatwa DSN MUI No 25 tersebut dijelaskan adanya proses pelelangan. Adaun
yang dimaksud lelang adalah penjualan secara umum atau terbuka yang dilakukan secara
tertulis ataupun secara lisan dengan ketentuan harga yang semakin meningkat atau menurun
untuk mencapai harga teringgi, sebelumnya dilakukan pengumuman lelang baik melalui media
sosial ataupun surat kabar ataupun yang lainnya untuk jangka waktu tertentu.
Dalam proses pelelagan ini tidak seenaknya melakukan pelelangan. Jadi terdapat tata
cara dalam pelelangan yang harus dipatuhi oleh seluruh pihak yang terlibat. Sebelum
pelelangan dimulai, maka harus dibacakan tata tertib terlebih dahulu saat proses pelelangan
terjadi. Pada proses berlangsungnya pelelangan tersebut terjadi tawar-menawar antara pihak
penggadaian dan pembeli. Pelepasan atas barang gadai dilakukan dengan melihat tawaran yang
paling tinggi. Dari pelelangan tersebut nasabah dapat mengambil uang sisa dari proses
pelelangan tersebut.
Sedangkan, untuk pelelangan di Pegadaian Syariah menurut Kep. Menteri Keuangan
RI No.337/KMK.01/2000 Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud dengan lelang adalah penjualan
barang yang dilakukan di muka umum termasuk melalui media elektronik dengan cara
penawaran lisan dengan harga yang semakin meningkat atau harga yang semakin menurun dan
atau dengan penawaran harga secara tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan
peminat. Penjualan barang yang dilakukan dimuka umum ini dimaksudkan untuk menawarkan
barang jaminan yang dimiliki pihak yang memberikan pinjaman dalam hal ini pegadaian
syariah.Penjualan ini bertujuan untuk melunasi hutang atau pinjaman yang tidak dapat
dibayarkan sesuai dengan jatuh tempo. Biasanya penjualan ini dilakukan dengan
mengumumkan melalui surat edaran atau pemberitahuan, media elektronik. Penjualan ini
dilakukan dengan penaksir atau pihak pegadaian membuka harga atas barang secara tinggi dan
kemudian para peminat atau penawar dari barang dapat menawar barang tersebut dibawah
harga yang telah ditawarkan atau sebaliknya.
Adapun lelang secara syariah djelaskan dalam fatwa DSN MUI No. 25 yaitu proses
penjualan marhun (objek yang digadaikan) apabila rahin (orang yang menggadai) tidak dapat
melunasi utangnya setelah jatuh tempo dan sebelumnya murtahin (orang yang menerima gadai)
telah memberikan peringatan untuk segera melunasi utangnya, maka murtahin (orang yang
menerima gadai) berhak menjual atau melelang barang yang dijadikan jaminan (marhun)
sebagai upaya untuk melunasi atau membayar utangnya, biaya pemeliharan dan penyimpanan
(jasa simpanp). Barang yang belum dibayar serta biaya penjualan, kelebihan hasil penjualan
menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Hal tersebut sudah sesuai dengan Fatwa DSN MUI No. 25/DSN-MUI/2002 fatwa kedua
ayat 5 yang berbunyi “Apabila jatuh tempo Murtahin harus memperingati Rahin untuk segera
melunasi kewajibannya atau hutangnya, apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya
atau kewajibannya walaupun sudah diperpanjang jangka waktu pinjaman maka Marhun dijual
atau dilelang sesuai dengan syariah, hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang,
biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan, kelebihan dari
hasil penjualan Marhun menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin”.
Selain dalam fatwa DSN MUI No. 25 ini juga pegadaian syariah dijelaskan dalam fatwa DSN
MUI No. 26. Dalam fatwa tersebut dijelaskan mengenai sistem gadai emas dengan ketentuan
ketentuannya. Adapun ketentuan umum mengenai akad dalam gadai emas diantaranya:
a. Rahn (emas diperbolehkan berdasarkan prinsip Rahn (mengacu pada Fatwa Dewan
Syariah Nasional No. 25 tahun 2002).
b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhūn) ditanggung oleh penggadai (rahin).
c. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang
nyata-nyata diperlukan.
d. Biaya penyimpanan barang (marhūn) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.
Dapat disimpulkan bahwasannya dalam pelaksanaan gadai emas harus sesuai dengan
prinsip yang telah ditentukkan dalam fatwa DSN MUI sebelumnya yaitu pada DSN MUI No.
25. Selain itu, dalam hal pembiayaan penyimpanan barang ditanggung oleh rahin (ora yang
menggadai) dengan menggunakan akad ijarah. Akad ijarah ini merupakan pemindahan hak
guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa di ikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.
Dalam perkembangannya sampai saat ini, pegadaian syariah belum memiliki peraturan
khusus dalam bentuk Undang-Undang kecuali dalam dua fatwa tersebut yaitu Fatwa DSN MUI
No. 25 dan 26. Meskipun demikian, dengan adanya fatwa Dewan Syariah Nasional ini mampu
mengokohkan eksistensi pegadaian syraiah. Namun, secara hirarkis dalam tata urutan hukum
Indonesia, kedudukan fatwa belum mendapat pijakan atau posisi yang jelas untuk menjadi
dasar bagi suatu landasan hukum formal yang diberlakukan.

Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad


Rahn secara sederhana dapat diartikan sebagai jaminan hutang atau gadai. Akad yang
digunakan adalah akad qardh wal ijarah yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk nasabah
yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.
Ada beberapa hak dan kewajiban dalam pelaksanaan akad pegadaian baik pada
konvensional ataupun pada syariah, yaitu:
a. Hak dan Kewajiban Bagi Murtahin (Penerima Gadai)
Hak Murtahin (Penerima Gadai) diantaranya:
1) Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo,
murtahin berhak untuk menjual marhun.
2) Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan
penggantian biaya yang dikeluarkan.
3) Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman
belum dilunasi.
Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai) diantaranya:
1) Apabila terjadi sesuatu (hilang atau cacat) terhadap marhun akibat kelalaian,
maka marhun harus bertanggung jawab.
2) Tidak boleh menggunakan marhun (objek yang digadaikan) untuk kepentingan
pribadi.
3) Sebelum diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin.
b. Hak dan Kewajiban Bagi Rahin (Pemberi gadai)
Hak Rahin (Pemberi Gadai) diantaranya:
1) Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan
kepada murtahin.
2) Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalain murtahin,
rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
3) Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak
menerima sisa hasil penjualan marhun.
4) Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin
berhak untuk meminta marhunnya kembali.
Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai) diantaranya:
1) Melunasi pinjmana yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun
waktu yang telah ditentukan.
2) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi
pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya

Anda mungkin juga menyukai