Anda di halaman 1dari 15

Accelerat ing t he world's research.

HUKUM PEGADAIAN SYARIAH


Bintan Dzumirroh Ariny

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Gadai Syariah
Akunt ansi14 A

DESAIN KONT RAK ROHN


nurul faizah

GADAI BERAGUANAN EMAS DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA


Jurnal Qist ie
HUKUM PEGADAIAN SYARIAH

Oleh:

Bintan Dzumirroh Ariny1

Latar Belakang

Munculnya pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan


lembaga keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, pengembangan pegadaian syariah
didukung oleh mayoritas masyarakat muslim yang menjadi nasabah.
Perlu diketahui bahwa Pegadaian Syariah merupakan hasil kerjasama Perum
Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 14 Mei 2002. Kerjasama antara
keduanya dengan tujuan untuk membangun sinergitas yang dimiliki keduanya dalam
pengembangan pegadaian syariah.2
Pegadaian Syariah merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang
diperuntukkan bagi masyarakat luas yang berpenghasilan menengah ke bawah yang
membutuhkan dana dalam waktu yang segera.3 Dana ini biasa digunakan untuk
membiayai kebutuhan tertentu yang sangat mendesak.
Sebagai dasar hukum pelaksanaan gadai syariah ini tercantum dalam firman Allah
SWT Surat Al-Baqarah (2) Ayat 283. Operasional gadai syariah di Indonesia diatur oleh
regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa (keputusan)
tentang produk serta akad dalam ekonomi syariah.4
Berdasarkan uraian diatas, pada makalah ini penulis akan membahas tentang
pegadaian syariah yang ditinjau dari sistem operasional (praktek) dan regulasi.

A. Definisi Gadai dalam Islam


Pengertian “gadai” dalam fikih Islam disebut dengan Ar-Rahn, secara etimologis
berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal). Secara terminologi Rahn adalah menjadikan

1
Alumni Program Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, S1 Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan S1 Ilmu Hukum Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang
2
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Cet.2. Jakarta: Lembaga Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2001), h. 501-502
3
Abdul Ghafur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan,
dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), h. 51
4
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Cet.1. Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 2

1
harta benda sebagai jaminan hutan agar hutangnya dapat dibayarkan atau dilunasi.
Pengertian lain juga menyebutkan bahwa rahn adalah jenis perjanjian untuk menahan
suatu barang sebagai tanggungan hutang.5
Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut syara‟ sebagai jaminan hutang sehingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutan atau bisa mengambil sebagian dari manfaat barang tersebut. Pada
penjelasan singkatnya bahwa orang yang mengutangkan sesuatu biasanya meminta
jaminan dari pihak yang berhutang, baik jaminan barang bergerak maupun tidak bergerak.6
Pengertian gadai oleh para ulama madzhab didefinisikan sebagaimana berikut:
1. Menurut Syafi‟iyyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai
jaminan hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila hutang tersebut tidak bisa
dibayarkan.
2. Menurut Hanabilah, rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu hutang,
untuk dipenuhi dari harganya apabila berhutang tidak sanggup membayar hutangnya.
3. Menurut Malikiyyah, rahn adalah suatu nilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atas hutang yang tetap.7
Pengertian gadai dalam perspektif Islam dan hukum positif sedikit berbeda
sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) ,
yaitu gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain
atas namanya dan memberi kekuasaan pada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya untuk melelang tersebut dan biaya-biaya mana yang harus di
dahulukan.

B. Rukun dan Syarat Gadai


Pada pelaksanaan gadai, terdapat beberapa rukun diantaranya:8
1) Orang yang memberikan gadai (Rahin).
2) Orang yang menerima gadai (Murtahin).
3) Jaminan hutang (Marhun)

5
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h. 1
6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jilid III, Beirut:Daar al Fikr, 1403/1983 M), h. 182
7
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Cet.1, Jakarta:Prenadamedia, 2015),
h. 171
8
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia, 2001), h. 162

2
4) Pinjaman hutang (Marhum Bih)
5) Ijab Qabul (kesepakatan)
Terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan gadai menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, sebagaimana berikut:
1) Penerima dan pemberi gadai haruslah memiliki kecakapan hukum. Oleh karena itu
tidak sah gadai yang dilakukan oleh para pihak yang tidak memiliki kecakapan hukum
dalam hal ini orang gila.
2) Akad gadai sempurna apabila harta gadai telah dikuasai oleh penerima gadai.
3) Akad gadai harus dinyatakan oleh para pihak secara lisa, tulisan, atau isyarat.
4) Harta gadai harus bernilai dan dapat diserah terimakan.
5) Harta gadai harus ada ketika akad dibuat.9

C. Hukum Pemanfaatan Barang Gadai (Marhun)


Pada pandangan Ulama Madzhab terdapat perbedaan dalam hal pemanfaatan barang
yang dijaminkan dalam gadai. Menurur Sayyid Sabiq, pada prinsipnya penerima gadai tidak
boleh memanfaatkan harta gadai atau mengambil keuntungan dari benda yang digadaikan,
meskipun diizinkan oleh pihak penggadai, karena utang-piutang yang mengambil manfaat itu
riba.10 Berikut perbedaan pandangan ulama madzhab terhadap pemanfataan rahin atas
marhun:11
1) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa
seizin murtahin. begitupula sebaliknya bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkannya
tanpa seizin rahin.
2) Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika barang gadai sudah berada di tangan
murtahin, rahin mempunyai hak untuk memanfaatkan.
3) Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rahin diperbolehkan untuk memanfaatkan barang
gadai tersebut namun jika tidak mengurangi barang tersebut, tidak perlu meminta izin,
seperti mengendarainya, dan menyimpannya. Akan tetapi jika menyebabkan barang
berkurang maka rahin harus meminta izin kepada murtahin.
Selanjutnya pandangan Ulama Madzhab tentang pemanfaatan murtahin atas barang
yang digadaikan:12

9
Pasal 372 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
10
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 188
11
Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Cet..1, Yogyakarta:UGM Press, 2010),
h. 127
12
Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, h. 128

3
1) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkannya, sebab
dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkan.
2) Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang tersebut, jika
diizinkan oleh rahin atau diisyartkan ketika akad dan barang tersebut adalah barang
yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini juga
disampaikan oleh Ulama Syafiyyah.
3) Ulama Hanabilah berbeda dengan ulama madzhab lainnya. Mereka berpendapat
bahwa jika barang yang digadaikan tersebut adalah hewan, murtahin boleh
memanfaatkan seperti mengendarainya atau sekedar memerah susunya sekedar
mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun benda gadai selain
hewan, tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.

D. Musnahnya Barang Jaminan Gadai


Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang bertanggung jawab ketika kerusakan
atas musnahnya barang jaminan gadai. Perbedaan itu sebagai berikut:13
1) Ulama Syafii, Ahmad, Abu Tsur menyatakan bahwa pemegang gadai sebagai
pemegang amanah tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan
tanggungannya. Pendapat mereka sebagaimana hadist Rasullulah SAW:
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena
hasil/keuntungan (dari barang jaminan) dan risiko/kerugian (yang timbul atas
barang itu) menjadi tanggung jawabnya)”. (H.R. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah)
2) Menurut Abu Hanifah dan Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa kerugian atau
kehilangan barang gadai ditanggung oleh penerima gadai. Alasannya adalah barang
itu merupakan jaminan atas hutang, sehingga jika barang itu musnah, kewajiban
melunasi hutang juga hilang dengan musnahnya barang tersebut. Hal ini sebagaimana
dalam Hadist Rasulullah: “Seseorang laki-laki menerima gadai seekor kuda dari
lelaki lain, kemudian kuda tersebut lepas (hilang), Maka Nabi SAW bersabda,
Hilanglah hakmu.”

Ketentuan rusaknya barang gadai telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) sebagai berikut:14

13
Fathurahman Jamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah,
(Cet.1, Jakarta:Sinar Grafika), h. 242-243

4
a. Pasal 410: “Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya, penerima gadai harus
mengganti harta gadai” .
b. Pasal 411: “Jika yang merusak harta gadau adalah pihak ketiga, maka yang
bersangkutan harus menggantinya.”
c. Pasal 412: “Penyimpanan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai itu
rusak karena kelalaiannya.”

E. Berakhirnya Akad Gadai


Akad gadai akan berakhir jika terjadi hal-hal sebagaimana berikut:
1) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2) Rahin telah membayar hutangnya.
3) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
4) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak
rahin.
5) Pembatalan oleh pihak murtahin.
6) Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
7) Meninggalnya rahin (menurut Malikiyyah) dan/atau murtahin (menurut Hanafiah),
sedangkan menurut Syafiyyah dan Hanabilah menganggap kematian para pihak tidak
mengakhiri akad rahn.15

F. Pegadaian Syariah

Di Indonesia, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP)10 Tanggal 1 April 1990 dapat


dikatakan sebagai tonggak awal kebangkitan pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa
PP/10 menegaskan misi yang harus diemban pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini
tidak berubah hingga terbitnya PP/103/2000 yang dijadikan landasan kegiatan usaha perum
pegadaian sampai sekarang.16

Pegadaian Syariah merupakan suatu lembaga yang relatif baru di Indonesia. Konsep
lembaga keuangan yang melaksanakan tugas utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman
atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain dengan prinsip syariah. Konsep

14
Pasal 410-412 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
15
Fathurrahman Jamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah,
h. 243
16
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, h. 188

5
pegadaian syariah mengacu kepada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas,
efisiensi dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam.17
Usaha pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan
Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari 2003. Menyusul kemudian
pendirian ULGS di beberapa kota, Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta
ditahun yang sama September 2003.
Pada konsep perbankan syariah, aplikasi rahn digunakan sebagaimana:
1) Sebagai tambahan (pelengkap), digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan
yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan.
2) Sebagai produk dalam pegadaian syariah dengan melakukan kesepakatan (akad) kepada
nasabah yang disertai pembebanan biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta
penaksiran yang dihubungkan dengan akad ijarah.18

Pada dasarnya pegadaian syariah dilaksanakan dengan dua akad transaksi syariah
yaitu:19

1) Akad Qardu Hasan (Akad Rahn), yaitu suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi
gadai kepada penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan
untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif. Hal ini
dimaksudkan pemberi gadai (rahin) dikenakan upah (fee/ujrah) oleh penerima gadai
(murtahin) yang telah menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).
2) Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa. Melalui akad inilah dimungkinkan bagi pegadaian syariah
untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah
melakukan akad.

Perkembangan saat ini, bentuk perolehan pendapatan pegadaian syariah dapat


berupa transaksi yang berasal dari biaya administrasi (qardh hasan), jasa penyimpanan, jasa
taksiran. Diantara produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah kepada masyarakat,
diantaranya:20

1) Gadai syariah/rahn. Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai syariah. Artinya,
dengan menyerahkan barang yang dijaminkan oleh rahin. Dengan konsekuensi,

17
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, h. 189
18
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Cet. 5. Jakarta:Prenadamedia, 2015), h. 393
19
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.390
20
Sasli Rais, Pegadaian Syariah:Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta:UI Press, 2005), h. 66

6
jumlah pinjaman yang diberikan kepada peminjam sangat dipengaruhi oleh nilai
barang yang di gadaikan.
2) Penaksiran nilai barang. Jasa ini diberikan kepada masyarakat yang memerlukan
harga/nilai harta benda miliknya yang ditaksir oleh pegadaian syariah karena dengan
juru taksir yang berpengalaman. Barang yang ditaksir, terutama perhiasan: seperti
emas, perak dan berlian. Biasanya masyarakat menggunakan jasa ini untuk mngetahui
nilai jual wajar atas barang berharganya yang akan dijual.
3) Jasa Titipan. Layanan titipan barang berharga seperti perhiasan, emas, batu permata,
kendaraan bermotor, surat-surat berharga (sertifikat tanah,Ijazah) kepada masyarakat.
Untuk menjamin rasa aman terhadap harta yang ditinggalkan terutama hendak
meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama.
4) ARRUM (Ar-Rahn untuk Usaha Mikro Kecil Menengah) merupakan pembiayaan
bagi para pengusaha mikro kecil, untuk usaha pengembangan usaha yang berprinsip
syariah.

G. Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dengan Pegadaian Syariah


Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pegadaian konvensional dan pegadaian
syariah yaitu sebagai berikut:21
Persamaan Perbedaan
a. Hak gadai atas pinjaman uang a. Rahn dalam Hukum Islam dilakukan atas
b. Adanya agunan sebagai jaminan hutang dasar prinsip tolong-menolong tanpa
c. Tidak boleh mengambil manfaat barang mencari keuntungan, sedangkan gadai
yang digadaikan menurut hukum perdata disamping
d. Biaya barang yang digadaikan berprinsip tolong-menolong namun
ditanggung oleh para pemberi gadai. menarik keuntungan dengan bunga.
e. Apabila batas waktu pinjaman habis, b. Dasar hukum perdata hak gadai hanya
barang yang digadaikan boleh dijual berlaku pada benda bergerak, sedangkan
atau dilelang Hukum Islam Rahn berlaku pada seluruh
benda baik bergerak maupun tidak
bergerak.
c. Dalam Rahn tidak ada bunga.

21
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet.2,
Yogyakarta:Ekonisia, 2012) h. 173

7
d. Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu lembaga yang
di Indonesia disebut Pegadaian,
Sedangkan Rahn menurut Hukum Islam
dapat dilaksanakan tanpa melalui
lembaga.

Pada hal teknis (operasional) terdapat perbedaan pegadaian konvensional dan


pegadaian syariah, sebagaimana berikut ini:22
Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional
1. Biaya administrasi berdasarkan barang Biaya administrasi berupa presentase
yang didasarkan pada golongan barang
2. Apabila pinjaman tidak dilunasi, Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang
barang jaminan akan dijual kepada jaminan dilelang kepada masyarakat.
masyarakat.
3. Uang pinjaman 90% dari taksiran Uang pinjaman untu golongan A 92%,
sedangkan untuk golongan B, C, D 88-
86%
4. Maksimal jangka waktu 3 bulan Maksimal jangka waktu 4 bulan
5. Kelebihan uang dari penjualan tidak Kelebihan hasil lelang tidak diambil oleh
diambil oleh nasabah, tetapi nasabah, tetapi menjadi milik pegadaian.
diserahkan kepada lembaga ZIS

H. Regulasi Gadai Syariah/Rahn di Indonesia


Adapun dasar hukum rahn dalam Al-Quran Surat Al Baqarah (2) Ayat 283
sebagaimana sebagai berikut:

“ Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”

22
M. Nur Riyanto Arif, Lembaga Keuangan Syariah:Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, (Cet.1,
Bandung:Pustaka Setia), h.296

8
Selanjutnya dalam Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari „Aisyah r.a., ia
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari
seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”

Hadist kedua, Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.

Pada pelaksanaan gadai syariah di Indonesia, terdapat beberapa fatwa dan peraturan
yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai
lembaga yang berwenang menerbitkan regulasi produk dalam perbankan syariah dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengawasi usaha pegadaian di Indonesia.

Berikut adalah regulasi gadai syariah/rahn yang telah diterbitkan oleh DSN-MUI dan
OJK sebagai berikut:

No Regulasi Ketentuan Regulasi


1. Fatwa No. 25/DSN- Ketentuan Hukum:
MUI/III/2002 bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
tentang Rahn jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut.
Ketentuan Umum :
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang
menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada
prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin
kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun
dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh
Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban Rahin
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

9
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan
Rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka
Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang,
biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
2. Fatwa No. 26/DSN- 1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn
MUI/III/2002 (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
tentang Rahn Emas Rahn).
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun)
ditanggung oleh penggadai (rahin).
3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan
pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan
berdasarkan akad Ijarah
3. Fatwa No. 43/DSN- Ketentuan Umum
MUI/VIII/2004 1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
tentang Ganti Rugi dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu
(Ta’widh) yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta‟widh sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-
biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg
seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai
kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam
transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan

10
terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dha-i‟ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi
(akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam,
istishna‟ serta murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi
hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu
pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya
sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Ketentuan Khusus:
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat
diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang
menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan
kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung
kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam
akad. 4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya
perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses
penyelesaian perkara
4. Fatwa No. 68/DSN- Ketentuan Umum:
MUI/III/2008 Rahn Tasjily –disebut juga dengan Rahn Ta‟mini, Rahn
tentang Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi-- adalah jaminan dalam bentuk
Tasjily barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang
diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti
sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut
(marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan
pemberi jaminan (rahin).
Ketentuan Khusus
Rahn Tasjily boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Rahin menyerahkan bukti sah kepemilikan atau sertifikat
barang yang dijadikan jaminan (marhun) kepada murtahin.

11
b. Penyerahan barang jaminan dalam bentuk bukti sah
kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan
kepemilikan barang ke Murtahin.
c. Rahin memberikan wewenang (kuasa) kepada murtahin
untuk melakukan penjualan marhun, baik melalui lelang atau
dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah, apabila terjadi
wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya;
d. Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas
kewajaran sesuai kesepakatan.
e. Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan
penyimpanan barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan
atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin, berdasarkan akad
Ijarah.
f. Besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf e tersebut
tidak boleh dikaitkan dengan jumlah utang rahin kepada
murtahin.
g. Selain biaya pemeliharaan, murtahin dapat pula
mengenakan biaya lain yang diperlukan pada pengeluaran
yang riil.
h. Biaya asuransi Rahn Tasjily ditanggung oleh Rahin
5. Peraturan OJK No. Peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan usaha
31/POJK.05/2016 pergadaian yang memberikan kemudahan akses terhadap
tentang Usaha pinjaman, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah
Pergadaian dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Baik disektor
pegadaian konvensional ataupun pegadaian dengan prinsip
syariah. Dengan mengatur beberapa ketentuan diantaranya:
a) Bentuk Badan Hukum, Permodalan, Kepemilikan.
b) Pendaftaran dan Perizinan Usaha
c) Penyelenggara Usaha
d) Pelaporan
e) Asosiasi Perusahaan Pegadaian.
f) Pengawasan dan Pemeriksaan.
g) Pencabutan Izin Usaha

12
h) Perusahaan Pegadaian Pemerintah
i) Sanksi

Kesimpulan

Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut syara‟
sebagai jaminan hutang sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutan atau
bisa mengambil sebagian dari manfaat barang tersebut. Terdapat beberapa rukun rahn,
diantaranya 1) Orang yang memberikan gadai (Rahin), 2) Orang yang menerima gadai
(Murtahin), 3) Jaminan hutang (Marhun), 4) Pinjaman (Marhum Bih), 5) Ijab Qabul
(kesepakatan).
Pada pelaksanaan Rahn di Indonesia, terdapat beberapa regulasi yang telah
diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),
diantaranya: Fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, Fatwa No. 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi
(Ta‟widh), Fatwa No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily, dan Otoritas Jasa
Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.

Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah. Cet.1. Jakarta:Sinar Grafika. 2008.


Anshori, Abdul Ghafur. Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga
Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2008.

Arif, M. Nur Riyanto. Lembaga Keuangan Syariah:Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, (Cet.1,
Bandung:Pustaka Setia
______________Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. Cet..1. Yogyakarta:UGM Press.
2010.

Jamil, Fathurahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan


Syariah. Cet.1, Jakarta:Sinar Grafika

Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Cet.1.


Jakarta:Prenadamedia. 2015.
Rais, Sasli. Pegadaian Syariah:Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta:UI Press. 2005.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jilid III, Beirut:Daar al Fikr. 1403/1983 M.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Cet.2. Jakarta: Lembaga Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2001.
13
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi. Cet.2.
Yogyakarta:Ekonisia. 2012.
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Cet. 5. Jakarta:Prenadamedia, 2015.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung:Pustaka Setia. 2001.

Perundang-Undangan
Fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.
Fatwa No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh).
Fatwa No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily
Peraturan OJK No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.

14

Anda mungkin juga menyukai