DOSEN PENGAMPU : Dr. Tettet Fitrijanti, SE MSi Ak , CA, SAS, CGRCOP, CRMPC
TOPIK : Penjelasan Istilah-Istilah Pada Akuntansi Syariah
TUGAS KELOMPOK
OLEH :
1. RAHN
2. IJARAH
3. IJARAH MUTAHIYA BITTAMLIK
4. HAWALAH
5. KAFAH
6. JU’ALAH
7. SHOHIBUL MAAL
8. MUDHARIB
9. REVENUE SHARING
10. PROFIT SHARING
11. AKAD
12. BAI’AL DAYN
13. IJARAH WA IQTINA
14. ISTISHNA’
15. KAFALAH
16. QARDH
17. QARDH UL-HASAN
18. SHARF
19. UJRAH
20. WADI’AH
21. WAKALAH
ISTILAH & PENJELASAN
Rahn
Pengertian Rahn
”Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam karena ada dalil-
dalil dari Al Qur’an, Sunnah, dan ijtihad yang menjadi landasan. Ayat Al Qur’an yang dapat
dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al Baqarah ayat 282 dan 283.
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUI) juga sudah mengeluarkan
beberapa fatwa yang dijadikan rujukan dalam Gadai Syariah, yaitu:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
Dalam Islam dianjurkan jika ingin melakukan gadai menggunakan gadai syariah karena akan
meminimalisir perbuatan riba. Pada gadai syariah tidak ada riba yang ada adalah upah jasa titip
barang yang kita jadikan jaminan tersebut (ujrah), biaya tersebut hanya ditetapkan sekali dan
dibayar dimuka sehingga tidak ada unsur riba.
Rukun Rahn
Dalam pelaksanaannya, mayoritas ulama memandang terdapat empat rukun rahn, yaitu:
Ijarah
Pengertian Ijarah
Ijarah adalah perjanjian atau kontrak dalam hal upah-mengupah dan sewa-menyewa.
Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa.
Kata ijarah berasal dari bahasa Arab al-'Ajr yang berarti "kompensasi", "substitusi",
"pertimbangan", atau "imbalan".
Ijarah adalah kontrak sewa dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan
peralatan, bangunan, barang-barang dan sebagainya kepada salah satu nasabah dengan
membebankan biaya sewa yang telah ditetapkan sebelumnya secara pasti (fixed charge).
A’mal atau asykhas adalah akad sewa atas jasa atau pekerjaan seseorang. Artnya, ijarah
digunakan untuk memperoleh jasa dari seseorang dengan membayar upah atas jasa tersebut.
Pengguna jasa disebut mustajir dan pekerja disebut ajir. Upah yang diberikan disebut ujrah.
‘Ayn (muthlaqah) atau ‘ala al-a’yan adalah akad sewa atas manfaat barang. Ijarah
digunakan untuk penyewaan aset dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari aset. Objek sewa
pada ijarah ini adalah barang dan tidak ada klausul yang memberikan pilihan kepada penyewa
untuk membeli aset selama masa sewa atau pada akhir masa sewa.
3. Muntahiya bitttamlik
Muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dengan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan
hak milik objek sewa, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai
dengan akad.
Ijarah maushufah fi al-dzimmah adalah akad ijarah atas manfaat suatu barang dan/atau
jasa yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas).
5. Ijarah tasyghiliyyah
Ijarah tasyghiliyyah adalah akad ijarah atas manfaat barang yang tidak disertai dengan
janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada penyewa.
Rukun Ijarah
Rukun ijarah dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah sebagai berikut :
Ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 19 ayat
(1) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya
disebut UU Perbankan Syariah).
Ijarah muntahiya bittamlik merupakan salah satu produk penyaluran dana yang
ditawarkan dalam Perbankan Syariah. Dalam Ijarah muntahiya bittamlik terdapat dua
penggabungan akad, yaitu kombinasi antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah di akhir
masa sewa.
Ketentuan mengenai Ijarah muntahiya bittamlik juga diatur dalam ketentuan Pasal 322 sampai
dengan Pasal 329 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES). Pasal 322
KHES menyatakan bahwa rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan
IMBT, dimana rukun Ijarah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 295 KHES diantaranya yaitu :
Hawalah
Pengertian Hawalah
- Secara bahasa
Dalam bahasa, kata “al-hiwalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau kadang ada juga
yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya pemidahan/pengalihan.
Akad hawalah adalah orang yang berhutang dialihkan hutangnya ke orang lain yang wajib
menanggungnya.
- Secara istilah
Akad hawalah merupakan pemindahan hutang dari yang berhutang dialihkan ke tanggungan
yang berkewajiban membayar. Akad hawalah yakni hawalah yang berbentuk utang/piutang yang
dialihkan ke pihak ketiga yang sudah melakukan proses akad atau perjanjian awal yang pihak
ketiga tersebut wajib menanggungnya.
a.Shighat
Shighat adalah ungkapan serah terima pada pihak-pihak yang terkait, dimana didalamnya
ada prosesi ijab dari orang yang mengalihkan hutangnya (muhil), kemudian diterima dengan
pernyataan persetujuan (qabul) dari pihak yang menerima kewajiban atas pengalihan piutang
(muhal’alaihi).
b. Pihak-pihak Terkait
Pihak yang terkait dalam proses akad hawalah ada tiga yaitu: Muhil (orang yang
berhutang), Muhal (orang yang mempunyai hutang), dan Muhal’Alaih (orang yang yang
membayarkan hutangnya ke Muhil).
c. Sifat objek akad hawalah yaitu mencakup keuangan (financial). Hawalah tidak berlaku untuk
utang yang sifatnya seperti barang.
d. Dalam mengadakan pengalihan hutang untuk menunjukkan kpada mereka maka harus
disertakan dengan pernyataan ijab qabul (shigat al’aqad). Semua pernyataan ijab qabul bisa saja
datang kepada para pihak yang berhutang maupun muhal ‘alaih dalam akad hawalah
Kaffah
Kaffah berasal dari bahasa arab yang berarti seluruh atau semua, Dalam Al-Qur'an kita
menemukan kata Kaffah dalam surat Al-Baqarah [2:208] :
ٌ ِان ِإنَّهُ لَ ُك ْم َعد ٌُّو ُمب
ين ِ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا فِي الس ِّْل ِم َكافَّةً َواَل تَتَّبِعُوا ُخطُ َوا
ِ َت ال َّش ْيط
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.”
Kata Kaffah dalam ayat tersebut berarti keseluruhan dalam artian sempurna, masuklah
kamu kedalam islam secara kaffah maksudnya masuklah kamu kedalam islam secara sempurna,
jangan pilih-pilih, jika dibacakan ayat atau hadits, kita harus mempercayai dan berusaha
melaksanakannya tanpa berpikir apakah ayat tersebut sesuai dengan kondisi jaman atau tidak.
Ayat 208 dalam surat Al-Baqarah menghendaki orang-orang beriman untuk melaksanakanlah
Islam secara total, tidak setengah-setengah. Ayat tersebut juga memperingatkan akan godaan
setan yang menyeru kepada jalan tercela.
Tujuan dari kata kaffah adalah agar kita menjadi muslim yang utuh, yang sempurna, yang
sesuai tujuan diciptakannya manusia.
Menurut KH Ali Maksum, salah satu ulama Indonesia pengasuh pesantren Al-Munawwir
Krapyak menyatakan bahwa untuk menjadi muslim kafah, seseorang harus menempuh empat
jalan berikut:
Pertama, seorang muslim harus menuntut ilmu dan belajar mengenai ajaran Islam sesuai
Al-Quran dan sunah.
Kedua, setelah mempelajari ilmu, ia harus mengamalkan dan mengajarkan kembali ajaran
tersebut.
Ketiga, ia sabar berjuang dalam Islam.
Keempat, mempunyai keyakinan terhadap perjuangan Islam.
Untuk memeluk Islam secara kafah, seseorang harus belajar Islam secara konsisten dan tidak
instan. Selain itu, ia wajib mengambil ajarannya secara keseluruhan, tidak boleh memilih hukum
Islam yang ia senangi dan meninggalkan yang tidak disukai.
Ju’alah
Ju’alah berasal dari kata ja’ala yang memiliki arti jumlah imbalan, meletakkan, membuat
menasabkan. Menurut fiqih diartikan sebagai suatu tanggung jawab dalam bentuk janji
memberikan hadiah tertentu secara suka rela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan
atau memberikan jasa yang belum pasti dilaksanakan atau yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan. Jika dikaitkan dengan hukum positif maka hukum ju’alah bisa dianalogikan dengan
sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.
Kata ju’alah secara bahasa artinya mengupah, secara syar’i sebagaimana dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq:
Artinya: “Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”.
Istilah ju’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi
upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang yang
sakit, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ju’alah bukanlah hanya
terbatas pada barang yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah adalah perjanjian imbalan dari
pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh
pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Secara etimologi ju’alah berarti mengupah.
Sedangkan secara terminologi, definisi ju’alah sebagaimana diterangkan oleh Wahbah Az-
Zuhaili dalam Fiqh al Sunnah, adalah :
الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل
Artinya: “al-Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan
imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”
Dalam implementasinya akad ju’alah adalah suatu kontrak antara dua pihak. Pihak
pertama menjanjikan untuk memberikan sejumlah imbalan tertentu kepada pihak kedua atas
suatu usaha yang sifat, jenis dan batasan nya termaktub dalam perjanjian.
Dasar Hukum Ju’alah
Para ulama berbeda pendapat mengenai dilarangnya atau diperbolehkannya ju’alah
diantaranya adalah:
a. Malik berkata, “Hal tersebut diperbolehkan dalam perkara yang ringan dan dua syarat:
yang pertama tidak memberikan batas tempo, dan kedua adalah harganya(upahnya)
jelas.”
b. Abu Hanifah berkata. “Tidak boleh”. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan oleh
ulama yang melarang ju`alah adalah resiko yang ada padanya, yang diqiyaskan kepada
sewaan yang lain.
c. Syafi`i memiliki dua pendapat (diatas).
d. Dalil yang dijadikan landasan hukum ulama yang membolehkan akad ju‟alah adalah
firman Allah SWT, al-Qur‟an surat Yusuf ayat: 72
Mayoritas ulama memperbolehkan transaksi ju’alah dengan berpedoman atas ayat
Alquran, surah Yusuf ayat 72:
ير َوَأن َ۠ا بِِۦه َز ِعي ٌم ۟ ُقَال
ِ ِوا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْٱل َمل
ٍ ك َولِ َمن َجٓا َء بِِۦه ِح ْم ُل بَ ِع
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya”
Ayat diatas menjelaskan bahwa saat itu raja melakukan praktik ju’alah dalam bentuk
sayembara, karena raja kehilangan alat takar kerajaan. Di situ tercantum pengumuman bagi siapa
saja yang bisa menemukan alat takar tersebut akan diberikan komisi berupa bahan makanan
seberat beban unta. (At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayil Qur’an).
Ayat ini juga menunjukkan bahwa praktik ju’alah atau sayembara sudah ada sejak lama
sebelum masa Nabi Muhammad, sebelum ada ajaran Islam tentunya. Dan seperti biasa, Alquran
tidak detail menjelaskan ketentuan tradisi tersebut ke tataran teknis. Jadi, secara historis Alquran
membenarkan adanya tradisi ju’alah atau sayembara.
Para ulama sepakat tentang kebolehan ju’alah, karena memang diperlukan untuk
mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada
orang yang bisa membantu secara sukarela.
Shahibul maal
Shahibul Maal adalah kontrak mudharabah untuk seseorang atau pihak yang
menginvestasikan modalnya. Penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau rnetode bagi
pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. Mudharabah dapat diartikan sebagai akar kerjasama usaha antara dua pihak, yaitu
antara pengelola usaha yang disebut sebagai mudharib dan pihak memiliki modal disebut sebagai
shahibul maal. Melalui pembiayaan ini, pemberi modal memperoleh bagi hasil secara terus
menerus selama usaha masih berjalan. Besar keuntungan yang diperoleh dibagi atas dasar
kesepakatan yang telah ditentukan di kontrak awal.
Mudharabah adalah bentuk perjanjian kerja sama antara pemilik harta dengan pengelola
harta. Pemilik harta (shahibul amal) menyerahkan hartanya kepada pihak lain (mudharib) untuk
dibisniskan. Jika untung, keuntungannya dibagi kepada pemilik harta dan pihak pengelola harta,
sesuai dengan kesepakatan di awal. Sementara itu, jika rugi, kerugian hanya dibebankan kepada
pemilik harta. Pengelola harta tidak dibebani dengan kerugian. Kerja sama ini terdiri dari
kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen
proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab
atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal.
Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk
menciptakan laba yang optimal.
Profit Sharing
Bagi laba (profit sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi
biaya pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan
distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah
Akad
Pertalian ijab dan qabul dalam suatu perjanjian yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Bai’ al Dayn
Akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang
atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini
bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang
memiliki nilai rating investasi yang baik.
Rukun Bai' al Dayn:
* Penjual (Bai’)
* Pembeli (Musytari)
* Obyek/barang (Mabi`)
* Harga (Tsaman)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Bai 'al Dayn:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. AlBaqarah:275)
Ijarah
Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa
sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.
Ijarah wa iqtina
Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji
bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.
Rukun Ijarah:
* Penyewa (Musta’jir)
* Pemberi Sewa (Mu’ajjir)
* Objek sewa (Ma’jur)
* Harga sewa (Ujrah)
* Ijab qabul (Sighat)
* Manfaat Sewa (Manfaah)
Landasan syariah ijarah:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. AlBaqarah:233)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Istishna'
Akad jual-beli (Mashnu’) antara pemesan (Mustashni’)dengan penerima pesanan (Shani).
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan
secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagai Shani kemudian menunjuk
pihak lain untuk membuat barang (Mashnu’) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
Rukun Istishna`:
* Produsen (Shani`)
* Pemesan (Mustashni`)
* Barang (Mashnu`)
* Harga (Tsaman)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Istishna':
Ijma' : Istishna’ dibolehkan atas dasar Istihsan (maslahat) karena banyak orang yang
menggunakannya dan membolehkannya. Hal ini didasarkan atas hadist Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani: “Ummatku tidak mungkin bersepakat atas
kesesatan.”
Kafalah
Akad pemberian jaminan (Makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan (Kafiil) bertanggung- jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang
menjadi hak penerima jaminan (Makful).
Rukun Kafalah:
* Pihak penjamin (Kaafil)