Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATAKULIAH : Teori Akuntansi Keuangan Syariah

DOSEN PENGAMPU : Dr. Tettet Fitrijanti, SE MSi Ak , CA, SAS, CGRCOP, CRMPC
TOPIK : Penjelasan Istilah-Istilah Pada Akuntansi Syariah

TUGAS KELOMPOK

OLEH :

1. MUHAMAD IRFAN FLORID (20090122106)


2. INNEZ ASSYFFA ANDIEN WAHYUNINGTYAS (20090122602)
3. ZAHRA PUTRI KHOERUNNISA RAHMAT (20090122603)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM PASCASARJANA AKUNTANSI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2022
Jelaskan Istilah-istilah Berikut:

1. RAHN
2. IJARAH
3. IJARAH MUTAHIYA BITTAMLIK
4. HAWALAH
5. KAFAH
6. JU’ALAH
7. SHOHIBUL MAAL
8. MUDHARIB
9. REVENUE SHARING
10. PROFIT SHARING
11. AKAD
12. BAI’AL DAYN
13. IJARAH WA IQTINA
14. ISTISHNA’
15. KAFALAH
16. QARDH
17. QARDH UL-HASAN
18. SHARF
19. UJRAH
20. WADI’AH
21. WAKALAH
ISTILAH & PENJELASAN

Rahn

Pengertian Rahn

- Menurut Fikih Islam


Dalam Fikih Islam Rahn disebut Al Rahn yang memiliki pengertian yaitu transaksi hukum
gadai.
- Menurut bahasa Arab.
Rahn mempunyai banyak definisi, salah satunya memiliki pengertian tetap dan berkelanjutan.
- Menurut istilah Syariah
Rahn dalam istilah memiliki penjelasan dari para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan
harta benda sebagai jaminan utang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu
melunasinya.

”Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam karena ada dalil-
dalil dari Al Qur’an, Sunnah, dan ijtihad yang menjadi landasan. Ayat Al Qur’an yang dapat
dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al Baqarah ayat 282 dan 283.
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN - MUI) juga sudah mengeluarkan
beberapa fatwa yang dijadikan rujukan dalam Gadai Syariah, yaitu:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas 
Dalam Islam dianjurkan jika ingin melakukan gadai menggunakan gadai syariah karena akan
meminimalisir perbuatan riba. Pada gadai syariah tidak ada riba yang ada adalah upah jasa titip
barang yang kita jadikan jaminan tersebut (ujrah), biaya tersebut hanya ditetapkan sekali dan
dibayar dimuka sehingga tidak ada unsur riba.

Rukun Rahn
Dalam pelaksanaannya, mayoritas ulama memandang terdapat empat rukun rahn, yaitu:

1. Barang yang digadaikan (marhun)


2. Utang (marhun bihi)
3. Ijab qabul (shighat)
4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu, pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)

Ijarah

Pengertian Ijarah

Ijarah adalah perjanjian atau kontrak dalam hal upah-mengupah dan sewa-menyewa.

- Secara buku Fiqh Ekonomi Syariah.

Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa.

- Secara istilah bahasa Arab

Kata ijarah berasal dari bahasa Arab al-'Ajr yang berarti "kompensasi", "substitusi",
"pertimbangan", atau "imbalan".

- Secara Perbankan Syariah

Ijarah adalah kontrak sewa dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan
peralatan, bangunan, barang-barang dan sebagainya kepada salah satu nasabah dengan
membebankan biaya sewa yang telah ditetapkan sebelumnya secara pasti (fixed charge).

Jenis – Jenis Ijarah

1. A’mal atau Asykhas

A’mal atau asykhas adalah akad sewa atas jasa atau pekerjaan seseorang. Artnya, ijarah
digunakan untuk memperoleh jasa dari seseorang dengan membayar upah atas jasa tersebut.
Pengguna jasa disebut mustajir dan pekerja disebut ajir. Upah yang diberikan disebut ujrah.

2. Ayn (muthlaqah) atau ‘ala al-a’yan

‘Ayn (muthlaqah) atau ‘ala al-a’yan adalah akad sewa atas manfaat barang. Ijarah
digunakan untuk penyewaan aset dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari aset. Objek sewa
pada ijarah ini adalah barang dan tidak ada klausul yang memberikan pilihan kepada penyewa
untuk membeli aset selama masa sewa atau pada akhir masa sewa.
3. Muntahiya bitttamlik

Muntahiya bittamlik adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dengan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan
hak milik objek sewa, baik dengan jual beli atau pemberian (hibah) pada saat tertentu sesuai
dengan akad.

4. Ijarah maushufah fi al-dzimmah

Ijarah maushufah fi al-dzimmah adalah akad ijarah atas manfaat suatu barang dan/atau
jasa yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas).

5. Ijarah tasyghiliyyah

Ijarah tasyghiliyyah adalah akad ijarah atas manfaat barang yang tidak disertai dengan
janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada penyewa.

Rukun Ijarah

Rukun ijarah dijelaskan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah sebagai berikut :

1. Pernyataan ijab dan qabul.


2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak), terdiri dari pemberi sewa (lessor, pemilik aset,
LKS) dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset,
nasabah).
3. Objek kontrak berupa pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin
karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
5. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik
secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent dengan cara penawaran dari pemilik
aset dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Ijarah muntahiya bittamlik

Pengertian Ijarah Muntahiya Bittamlik

Ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak
guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi
pemindahan kepemilikan barang sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 19 ayat
(1) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya
disebut UU Perbankan Syariah).

Ijarah muntahiya bittamlik merupakan salah satu produk penyaluran dana yang
ditawarkan dalam Perbankan Syariah. Dalam Ijarah muntahiya bittamlik terdapat dua
penggabungan akad, yaitu kombinasi antara sewa menyewa dan jual beli atau hibah di akhir
masa sewa.

Ketentuan mengenai Ijarah muntahiya bittamlik juga diatur dalam ketentuan Pasal 322 sampai
dengan Pasal 329 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES). Pasal 322
KHES menyatakan bahwa rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan
IMBT, dimana rukun Ijarah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 295 KHES diantaranya yaitu :

1. Musta’jir/Pihak yang menyewa;


2. Mu’ajir/Pihak yang menyewakan;
3. Ma’jur/benda yang diijarahkan; dan
4. Akad

Hawalah

Pengertian Hawalah

- Secara bahasa

Dalam bahasa, kata “al-hiwalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau kadang ada juga
yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya pemidahan/pengalihan.
Akad hawalah adalah orang yang berhutang dialihkan hutangnya ke orang lain yang wajib
menanggungnya.

- Secara istilah

Akad hawalah merupakan pemindahan hutang dari yang berhutang dialihkan ke tanggungan
yang berkewajiban membayar. Akad hawalah yakni hawalah yang berbentuk utang/piutang yang
dialihkan ke pihak ketiga yang sudah melakukan proses akad atau perjanjian awal yang pihak
ketiga tersebut wajib menanggungnya.

Rukun dan syarat yang terdapat pada akad hawalah yaitu:

a.Shighat

Shighat adalah ungkapan serah terima pada pihak-pihak yang terkait, dimana didalamnya
ada prosesi ijab dari orang yang mengalihkan hutangnya (muhil), kemudian diterima dengan
pernyataan persetujuan (qabul) dari pihak yang menerima kewajiban atas pengalihan piutang
(muhal’alaihi).

b. Pihak-pihak Terkait

Pihak yang terkait dalam proses akad hawalah ada tiga yaitu: Muhil (orang yang
berhutang), Muhal (orang yang mempunyai hutang), dan Muhal’Alaih (orang yang yang
membayarkan hutangnya ke Muhil).

c. Sifat objek akad hawalah yaitu mencakup keuangan (financial). Hawalah tidak berlaku untuk
utang yang sifatnya seperti barang.

d. Dalam mengadakan pengalihan hutang untuk menunjukkan kpada mereka maka harus
disertakan dengan pernyataan ijab qabul (shigat al’aqad). Semua pernyataan ijab qabul bisa saja
datang kepada para pihak yang berhutang maupun muhal ‘alaih dalam akad hawalah

Kaffah
Kaffah berasal dari bahasa arab yang berarti seluruh atau semua, Dalam Al-Qur'an kita
menemukan kata Kaffah dalam surat Al-Baqarah [2:208] :
ٌ ِ‫ان ِإنَّهُ لَ ُك ْم َعد ٌُّو ُمب‬
‫ين‬ ِ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا فِي الس ِّْل ِم َكافَّةً َواَل تَتَّبِعُوا ُخطُ َوا‬
ِ َ‫ت ال َّش ْيط‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.”
Kata Kaffah dalam ayat tersebut berarti keseluruhan dalam artian sempurna, masuklah
kamu kedalam islam secara kaffah maksudnya masuklah kamu kedalam islam secara sempurna,
jangan pilih-pilih, jika dibacakan ayat atau hadits, kita harus mempercayai dan berusaha
melaksanakannya tanpa berpikir apakah ayat tersebut sesuai dengan kondisi jaman atau tidak.
Ayat 208 dalam surat Al-Baqarah menghendaki orang-orang beriman untuk melaksanakanlah
Islam secara total, tidak setengah-setengah. Ayat tersebut juga memperingatkan akan godaan
setan yang menyeru kepada jalan tercela.

Tujuan dari kata kaffah adalah agar kita menjadi muslim yang utuh, yang sempurna, yang
sesuai tujuan diciptakannya manusia.
Menurut KH Ali Maksum, salah satu ulama Indonesia pengasuh pesantren Al-Munawwir
Krapyak menyatakan bahwa untuk menjadi muslim kafah, seseorang harus menempuh empat
jalan berikut:
 Pertama, seorang muslim harus menuntut ilmu dan belajar mengenai ajaran Islam sesuai
Al-Quran dan sunah.
 Kedua, setelah mempelajari ilmu, ia harus mengamalkan dan mengajarkan kembali ajaran
tersebut.
 Ketiga, ia sabar berjuang dalam Islam.
 Keempat, mempunyai keyakinan terhadap perjuangan Islam.
Untuk memeluk Islam secara kafah, seseorang harus belajar Islam secara konsisten dan tidak
instan. Selain itu, ia wajib mengambil ajarannya secara keseluruhan, tidak boleh memilih hukum
Islam yang ia senangi dan meninggalkan yang tidak disukai.

Ju’alah
Ju’alah berasal dari kata ja’ala yang memiliki arti jumlah imbalan, meletakkan, membuat
menasabkan. Menurut fiqih diartikan sebagai suatu tanggung jawab dalam bentuk janji
memberikan hadiah tertentu secara suka rela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan
atau memberikan jasa yang belum pasti dilaksanakan atau yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan. Jika dikaitkan dengan hukum positif maka hukum ju’alah bisa dianalogikan dengan
sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.
Kata ju’alah secara bahasa artinya mengupah, secara syar’i sebagaimana dikemukakan
oleh Sayyid Sabiq:
Artinya: “Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”.
Istilah ju’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi
upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang yang
sakit, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ju’alah bukanlah hanya
terbatas pada barang yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah adalah perjanjian imbalan dari
pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh
pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Secara etimologi ju’alah berarti mengupah.
Sedangkan secara terminologi, definisi ju’alah sebagaimana diterangkan oleh Wahbah Az-
Zuhaili dalam Fiqh al Sunnah, adalah :
‫الجعالة عقد على منفعة يظن حصولها كمن يلتزم بجعل‬
Artinya: “al-Ju’alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan mendapatkan
imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”
Dalam implementasinya akad ju’alah adalah suatu kontrak antara dua pihak. Pihak
pertama menjanjikan untuk memberikan sejumlah imbalan tertentu kepada pihak kedua atas
suatu usaha yang sifat, jenis dan batasan nya termaktub dalam perjanjian.

Dasar Hukum Ju’alah
Para ulama berbeda pendapat mengenai dilarangnya atau diperbolehkannya ju’alah
diantaranya adalah:
a. Malik berkata, “Hal tersebut diperbolehkan dalam perkara yang ringan dan dua syarat:
yang pertama tidak memberikan batas tempo, dan kedua adalah harganya(upahnya)
jelas.”
b. Abu Hanifah berkata. “Tidak boleh”. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan oleh
ulama yang melarang ju`alah adalah resiko yang ada padanya, yang diqiyaskan kepada
sewaan yang lain.
c. Syafi`i memiliki dua pendapat (diatas).
d. Dalil yang dijadikan landasan hukum ulama yang membolehkan akad ju‟alah adalah
firman Allah SWT, al-Qur‟an surat Yusuf ayat: 72
Mayoritas ulama memperbolehkan transaksi ju’alah dengan berpedoman atas ayat
Alquran, surah Yusuf ayat 72:
 ‫ير َوَأن َ۠ا بِِۦه َز ِعي ٌم‬ ۟ ُ‫قَال‬
ِ ِ‫وا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْٱل َمل‬
ٍ ‫ك َولِ َمن َجٓا َء بِِۦه ِح ْم ُل بَ ِع‬
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya”
Ayat diatas menjelaskan bahwa saat itu raja melakukan praktik ju’alah dalam bentuk
sayembara, karena raja kehilangan alat takar kerajaan. Di situ tercantum pengumuman bagi siapa
saja yang bisa menemukan alat takar tersebut akan diberikan komisi berupa bahan makanan
seberat beban unta. (At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil Ayil Qur’an).
Ayat ini juga menunjukkan bahwa praktik ju’alah atau sayembara sudah ada sejak lama
sebelum masa Nabi Muhammad, sebelum ada ajaran Islam tentunya. Dan seperti biasa, Alquran
tidak detail menjelaskan ketentuan tradisi tersebut ke tataran teknis. Jadi, secara historis Alquran
membenarkan adanya tradisi ju’alah atau sayembara. 
Para ulama sepakat tentang kebolehan ju’alah, karena memang diperlukan untuk
mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada
orang yang bisa membantu secara sukarela.

Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan


1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang
belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini
bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Rukun dan Syarat Ju’alah


Rukun ju’alah ada empat yaitu, kedua belah pihak yang berakad (aqidain), ucapan
(shighat), pekerjaan, upah (‘iwadh). Adapun syarat ju’alah adalah:
A. Kedua belah pihak yang berakad harus dengan syarat :
1) Pihak penyelenggara adalah orang yang bebas dalam mengalokasikan harta benda.
Maka tidak sah pelaku dari golongan anak kecil, orang gila atau orang yang
mengalokasikannya terbatasi sebab tidak cakap dalam mengelola harta.
2) Merupakan inisiatif dari pihak penyelenggara, bukan atas unsur paksaan.
3) Pengikut sayembara mengetahui adanya sayembara tersebut.
4) Pengikut sayembara yang ditentukan termasuk kategori orang yang cakap untuk
melakukan pekerjaan.
B. Ucapan dengan syarat:
Madzab Maliki, Syafi`i dan Hambali berpendapat, bahwa agar perbuatan hukum
yang dilakukan dalam bentuk ju‟alah itu dipandang sah, harus ada ucapan (shigat) dari
pihak yang menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain
untuk melaksanakan perbuatan yang di harapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti
iklan dalam surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti. Ucapan
tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain
seperti wakilnya, anaknya atau bahkan orang lain yang tersedia memberikan hadiah atau
upah. Kemudian ju`alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa
ucapan qabul (cukup sepihak).
C. Pekerjaan
1) Pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi
pekerjaan yang tidak ada beban seperti ucapannya siapa yang menunjukan harta
saya, maka dia mendapat begini, lalu ditinjukan hartannya yang ada di tangan
orang lain sebab apa yang di bebankan kepadannya tidak perlu ada bayarannya.
2) Pekerjaan yang di tawarkan kepadanya bukan satu pekerjaan yang wajib bagi si
pekerja secara syar’i, jika wajib secara syar’i lalu dia mengembalikannya, maka
dia tidak berhak mendapat upah, jika dia mengatakan siapa yang mengembalikan
hartaku, maka dia mendapat begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang
memang wajib untuk mengembalikannya karena dia seorang perampas dan yang
lainnya, maka dia tidak berhak mendapat upah yang telah disebutkan sebab
sesuatu yang wajib baginya secara syar’i tidak ada upah jika dikerjakan.
3) Hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada
pemiliknya, seandainya ia rusak sebelum diserahkan walaupun sudah masuk
rumah si pemilik, maka tidak ada ganti.
D. Upah (‘iwadh)
Upah dalam ju’alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai harta dan dalam jumlah
yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram maka ju’alah tersebut batal.
2) Bayaran itu harus diketahui dan ada pengetahuan tentangnya.
3) Upah tidak boleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan ju’alah).

Shahibul maal
Shahibul Maal adalah kontrak mudharabah untuk seseorang atau pihak yang
menginvestasikan modalnya. Penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau rnetode bagi
pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. Mudharabah dapat diartikan sebagai akar kerjasama usaha antara dua pihak, yaitu
antara pengelola usaha yang disebut sebagai mudharib dan pihak memiliki modal disebut sebagai
shahibul maal. Melalui pembiayaan ini, pemberi modal memperoleh bagi hasil secara terus
menerus selama usaha masih berjalan. Besar keuntungan yang diperoleh dibagi atas dasar
kesepakatan yang telah ditentukan di kontrak awal.
Mudharabah adalah bentuk perjanjian kerja sama antara pemilik harta dengan pengelola
harta. Pemilik harta (shahibul amal) menyerahkan hartanya kepada pihak lain (mudharib) untuk
dibisniskan. Jika untung, keuntungannya dibagi kepada pemilik harta dan pihak pengelola harta,
sesuai dengan kesepakatan di awal. Sementara itu, jika rugi, kerugian hanya dibebankan kepada
pemilik harta. Pengelola harta tidak dibebani dengan kerugian. Kerja sama ini terdiri dari
kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen
proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab
atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal.
Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk
menciptakan laba yang optimal.

Rukun dan Syarat Pembiayaan


1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk
satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan
pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktivitas itu.
Revenue Sharing
Pengertian Revenue Sharing
Menurut Slamet Wiyono (2005 : 57) Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang
terdiri dari dua kata yaitu revenue yang berarti hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah
bentuk kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue Sharing berarti pembagian hasil,
penghasilan atau pendapatan.
Menurut Taufan Maulamin (2012 : 34) Revenue Sharing adalah perhitungan bagi hasil
yang mendasarkan pada revenue (pendapatan) dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha
sebelum dikurangi dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut. Revenue
(pendapatan) adalah semua penerimaan, baik maupun bukan tunai yang merupakan hasil dari
penjualan barang atau jasa dalam jangka tertentu atau penerimaan dana sebagai hasil dari suatu
investasi. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa arti revenue pada prinsip
ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang
merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun biasa dikalikan dengan harga
tersebut. Unsur yang terdapat didalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah
dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut.
Perbankan syariah memperkenalkan bagi hasil revenue sharing, yaitu sistem bagi hasil
yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan
dana. Revenue Sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil yang mendasarkan
pada revenue (pendapatan) dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi
dengan beban usaha untuk mendapatkan pendapatan usaha tersebut.

Profit Sharing
Bagi laba (profit sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi
biaya pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan
distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah

Akad
Pertalian ijab dan qabul dalam suatu perjanjian yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Bai’ al Dayn
Akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang
atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini
bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang
memiliki nilai rating investasi yang baik.
Rukun Bai' al Dayn:
* Penjual (Bai’)
* Pembeli (Musytari)
* Obyek/barang (Mabi`)
* Harga (Tsaman)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Bai 'al Dayn:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. AlBaqarah:275)
Ijarah
Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa
sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.
Ijarah wa iqtina
Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji
bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.
Rukun Ijarah:
* Penyewa (Musta’jir)
* Pemberi Sewa (Mu’ajjir)
* Objek sewa (Ma’jur)
* Harga sewa (Ujrah)
* Ijab qabul (Sighat)
* Manfaat Sewa (Manfaah)
Landasan syariah ijarah:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. AlBaqarah:233)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Istishna'
Akad jual-beli (Mashnu’) antara pemesan (Mustashni’)dengan penerima pesanan (Shani).
Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan
secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagai Shani kemudian menunjuk
pihak lain untuk membuat barang (Mashnu’) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
Rukun Istishna`:
* Produsen (Shani`)
* Pemesan (Mustashni`)
* Barang (Mashnu`)
* Harga (Tsaman)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Istishna':
Ijma' : Istishna’ dibolehkan atas dasar Istihsan (maslahat) karena banyak orang yang
menggunakannya dan membolehkannya. Hal ini didasarkan atas hadist Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani: “Ummatku tidak mungkin bersepakat atas
kesesatan.”
Kafalah
Akad pemberian jaminan (Makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan (Kafiil) bertanggung- jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang
menjadi hak penerima jaminan (Makful).
Rukun Kafalah:
* Pihak penjamin (Kaafil)

* Pihak yang dijamin (Makful)


* Objek penjaminan (Makful alaih)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Kafalah:
"Penyeru-penyeru itu berseru, kami kehilangan piala raja, barangsiapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat beban unta dan Aku menjamin
terhadapnya” (QS.Yusuf: 72)
Rasulullah SAW telah dihadapkan kepadanya mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan.
Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai warisan?” Sahabat menjawab: “Tidak.” Rasulullah
bertanya lagi: “Apakah ia mempunyai hutang?”, sahabat menjawab: “Ya, sejumlah 2 dinar.”
Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menyalatkannya (tapi beliau sendiri tidak). Dalam
pada itu Abu Qatadah berkata: “Saya menjamin hutangnya ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun
menyalatkan mayat tersebut.
Qardh
Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan
dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman
kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
Qardh-ul Hasan
Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang
wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.
Rukun Qardh;
* Peminjam (Muqtaridh)
* Pemberi Pinjaman (Muqridh)
* Dana (Qardh)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Qardh:
Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa : Nabi SAW berkata : "Tidaklah seorang muslim yang
meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sadaqah" (HR.
Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Dari Anas berkata, berkata Rasulullah SAW : "Aku melihat pada waktu malam di isra'kan, pada
pintu surga tertulis : Sedeqah dibalas 10 kali lipat dan qard 18 kali. Aku bertanya: Wahai Jibril
Mengapa Qard lebih utama dari sadaqah ? ia menjawab : Karena peminta-minta sesuatu dan ia
punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan". (HR. Ibnu
Majah dan Baihaqi).
Ijma': Kaum Muslimin telah sepakat akan bolehnya qard ini.
Sharf
Akad jual-beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
Rukun Sharf:
* Penjual (Ba’i)
* Pembeli (Musytari)
* Mata uang yang diperjual-belikan (Sharf)
* Nilai tukar (Si’rus Sharf)
* Ijab kabul (Sighat)
Landasan syariah Sharf:
Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: “Emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu
jual sekehendakmu asal tunai."
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: “(boleh menjual) emas dengan emas dengan
setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding.” HR. Ahmad, Muslim &
Nasa’i.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: “(Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang
siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya.”
HR. Muslim.
Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas,
kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli
emas dengan perak sesuka kami pula.” HR. Bukhari-Muslim.
Ujrah
Imbalan yang diberikan atau yang dimintakan atas suatu pekerjaan yang dilakukan.
Rukun Ujrah:
* Penyewa (Musta’jir)
* Pemberi Sewa (Mu’ajjir)
* Objek sewa (Ma’jur)
* Harga sewa (Ujrah)
* Ijab qabul (Sighat)
* Manfaat Sewa (Manfaah)
Landasan syariah Ujrah:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. AlBaqarah:233)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Unit Usaha Syariah
Unit kerja di kantor pusat Bank yang bertugas mengawasi dan mengatur seluruh kegiatan Kantor
Cabang Syariah.
Wadi’ah
Akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang
diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan
barang/uang. Berdasarkan jenisnya, Wadi’ah terdiri dari Wadi’ah Yad Amanah dan Wadi’ah
Yad Dhamanah.
Rukun Wadi’ah:
* Barang berharga/uang yang disimpan (Wadi’ah)
* Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)
* Pihak yang menyimpan/bank (Mustawda’)
* Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)
Landasan syariah Wadi'ah :
“…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…” (Qs. Al
Baqarah ayat 283)
Berkata Rasulullah SAW: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan
jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih).
Ijma : Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma (konsensus) akan legitimasi al-
Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlibat seperti yang dikutip Dr.
Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn
Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy.
Wakalah
Akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (Muwakkil) kepada penerima kuasa (Wakil) untuk
melaksanakan suatu tugas (Taukil) atas nama pemberi kuasa.
Rukun Wakalah:
* Pemberi kuasa (Muwakkil)
* Penerima kuasa (Wakil)
* Objek yang dikuasakan (Taukil)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Wakalah:
"Maka suruhlah seseorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan
itu untukmu…” (QS. AlKahfi: 19)
"Sesungguhnya Rasulullah mengutus Assa’ah untuk memungut zakat.” (HR. Bukhari Muslim)

Anda mungkin juga menyukai