PENDAHULUAN
Islam Adalah yang agama fleksibel. Selain kegiatan aqidah yang tidak dapat
diotak-atik di dalamnya terdapat suatu kegiatan muamalah yang banyak menjadi lapangan
ijtihad para ulama mujtahid. Ketika terjadi kesulitan Islam selalu menawarkan solusi
kemudahan. Yang biasa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. seperti contah
dalam bermuamalat, seseorang yang ingin melakukan usaha tanpa memiliki lahan atau
objek yang dapat diusahakannya sedang ia hanya memiliki modal, atau sebuah keluaraga
ingin mengunjuki sanaknya yang jauh yang tidak memungkinnkan mereka untuk
memakai kendaraan umum, orang-orang yang demikian dapat bemuamalah dalam
pengaplikasian Ijarah atau yang biasa kita kenal dengan sewa-menyewa.
Kelompok 5 | Ijarah 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijarah
Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan.
Merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. 1
َعَقَدََعَلَىَمَناَفَعََبَعَوََض
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”
َتَمَلَيَكََبَعَوَضََمَنَافَعََشَيَءََمَبَاحَةََمَدَةََمَعَلَوَمَة
“Pemilikan manfaat dengan suatu imbalan terhadap sesuatu yang dibolehkan dalam
waktu tertentu”.2
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah
bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah
satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan
kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, akad
ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat
mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang
yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena
1
Nasrun Haroen, Fiqh muamalat, (Jakarta: Gaya media pratama ,2007)hlm.228.
2
AH.Azharudin latif,Fiqh Muamalat,UIN Jakarta Press(Jakarta:2005).hlm.120
3
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana(Jakarta:2012)hlm.247
Kelompok 5 | Ijarah 2
termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad
ijarah.
B. Dasar hukum
a. Al-Qur’an
َفَإَنََاَرَضَعَناَلَكَمََفَأَتَوَهَنََاَجَوَرَهَن
“jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka”.
(QS.at-Thalaq)
َؤانَاردتُّمَانَتسترضعواَاولَدكمَفالجناحؤعليكمَاذاَسلمتمَمآءاتيتمَبالمعروفَقلىَواتقوللاْاه
َ.َللاْاَبماتعلمونَبصي ٌر
واعلمواان ه
Artinya:
“Dan, jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan
”. (Q.S. Al-Baqoroh:233)
b. Hadits
َمَنََاسَتَجَارََأَجَيَرَاَفَلَيَعَلَمَهََأَجَرَه
“siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya”
(HR’ Abd ar-razzaq dan Baihaqi)4
ََاعطواَالجيرَاجرَهَقبلَانَيجفَعرقه:عنَابنَعمرَانَالنبيَصَقال
Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasullullah bersabda: “berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering””.
(HR Ibnu Majah)5
a. Rukun Ijarah
Menurut ulama hanafiyah :
1. Ijab
2. Qabul
Menurut jumhur ulama :
1. Orang yang berakad (Mu’jjar dan Musta’jir)
2. Sewa/imbalan
3. Manfaat
4
Nasroen Harun, Fiqh muamalat,Gaya media pratama (Jakarta:2007)hlm.231
5
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Terjemah Belughul-Maram, (Bandung: Diponegoro,2006), hadsit no (937), hlm.
407
Kelompok 5 | Ijarah 3
4. Sighat (ijabqabul)
b. Syarat-syarat ijarah :
1. untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), menurut ulama
syafi’iyah dan hanabilah telah baligh dan berakal sedangkan ulama
hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa orang tidak harus baligh
tetapi anak yang baru mumayyizpun boleh berakad ijarah namun harus
dengan persetujuan walinya.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan
akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui.
4. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara
langsungdan tidak ada cacatnya.
5. Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya
menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau
menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa.
7. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti
rumah,kendaraan, dan alat-alat perkantoran.
8. Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas,tertentu,dan sesuatu yang
memiliki nilai ekonomi.6
6
Nasrun Haroen, Fiqh muamalat, (Jakarta: Gaya media pratama ,2007)hlm.232-235.
7
Fatwa 09/DSN-MUI/IV/2000
Kelompok 5 | Ijarah 4
Manfaat dari transaksi ini adalah keuntungan sewa yang diperoleh pihak
bank dan kembalinya uang pokok. Adapun risiko yang mungkin terjadi adalah sebagai
berikut:
8
Dr.M.Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta: Gema Insani,2001).hlm.119
Kelompok 5 | Ijarah 5
akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau manfaat yang dituju dalam
akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.9
Masalah yang sering muncul dalam IMBT dalam prakteknya pada Bank Syariah
ini adalah Mengenai aturan loan to value (LTV) pada skema bagi hasil, pembiayaan
bersama dan sewa dalam syariah. Para praktisi mengamati Ada dua akad yang
menjadi kendala dalam penerapan kebijakan uang muka kredit, pertama akad
musyarakah mutanaqishah. Kedua, akad ijarah muntahiya bittamlik. Musyarakah
mutanaqishah merupakan turunan akad musyarakah. Definisinya, perjanjian antara
dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu aset. Kerjasama ini mengurangi hak
kepemilikan salah satu pihak, serta menambah kepemilikan pihak lain. Bentuk
kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.
Dalam konteks pembiayaan rumah, bank syariah dan nasabah akan bekerjasama
dalam pengadaan rumah, lalu terjadi pengambilalihan porsi kepemilikan bank oleh
nasabah dengan mengangsur. Sedangkan dalam skim ijarah muntahiya bittamlik,
bank akan meminjamkan dana ke nasabah untuk membeli rumah, lalu rumah menjadi
milik bank. Nasabah baru memiliki rumah itu jika masa ijarahnya selesai dan
memenuhi seluruh kewajiban. Pengambilalihan bisa berdasarkan akad jual beli atau
hibah.12
9
Diakses dari http://fileperbankansyariah.blogspot.com/2011/03/definisi-ijarah.html
10
Dr.M.Syafi’i Antonio,M.Ec, Bank Syariah dari teori ke praktek,(Jakarta: Gema Insani, 2001),hlm.108
11
Ali Muhayatsyah, S.E.I., M.E.I. Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) dalam Instrumen Keuangan
Syariah.(Makalah)
12
Ibid
Kelompok 5 | Ijarah 6
b) Ketentuan al-ijarah al-muntahania bit-tamlik
1. Rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam al-ijarah al-
muntahania bit-tamlik.
2. Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahania bit-tamlik harus disepakati
ketika akad ijarah disepakati.
3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
4. Pihak yang melakukan akad al-ijarah al-muntahania bit-tamlik harus melakukan akad
ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual-beli atau
pemberian hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
5. Janji kepemilikan yang dilakukan diawal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya
tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilakukan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
6. Jika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau terjadi perselisihan antara
kedua belah pihak, maka penyelsaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah
setelah tidak tercapai kesepakan melalui jalan musyawarah.13
Skema al-Ijarah
B.Milik
PENJUAL OBJEK
SUPLIER NASABAH
SEWA
3.Sewa
A.Milik Beli
13
Fatwa 27/DSN-MUI/III/2002
Kelompok 5 | Ijarah 7
b. Sesuai yang menjadi obyek ijarah harus berupa manfaat yang diperboleh
diperbolehkan.
c. Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syari’ah
dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.20/ DSNMUI/IX/ 2000
tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syari’ah dan No.40/
DSN-MUI/ X/ 2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip
syari’ah di bidang pasar modal.
d. Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI
baik asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
e. Pemegang OSI (Obligaasi Syari’ah Ijarah) sebagai pemilik asset (a’yan) atau
manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi
haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil.
f. Emiten yang bertindak sebagai wakil dari pemegang OSI dapat menyewa untuk
dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
g. Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri,maka emiten
wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan
(iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h. Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DSN atau tim ahli syari’ah yang
ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi obligasi syari’ah ijarah dimulai.
i. Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama
disepakati dalam akad.
Secara teknis, obligasi syari’ah ijarah dapat dilakukan dengan dua
cara:
Emiten dapat bertindak sebagai wakil investor yang berkedudukan
sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan property owner (pemilik
properti) sebagai pihak yang menyewakan (mu’jir).
Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan
kembali obyek sewa kepada emiten.
Prinsip dasar pembagian hak dan kewajiban dalam obligasi syari’ah ijarah,
sebagai berikut:
Kelompok 5 | Ijarah 8
Bertanggung jawab atas kerusakan yang Bertanggung jawab atas kerusakan atas
bukan disebabkan oleh kelalaian penyewa kelalaian pengguanaan
Menyatakan secara tertulis bahwa Mu’jir Menyatakan secara tertulis bahwa Musta’jir
menyerahkan pemanfaatan atas barang menerima hak pemanfaatan atas suatu
yang disewakan barang yang dimiliki (mu’jir)
Penerbitan sukuk diterbitkan dengan suatu underlying asset (jaminan aset) dengan
prinsip syari’ah yang jelas. Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah aset tertentu yang
akan menjadi obyek perjanjian (underlying asset). Aset yang menjadi obyek perjanjian
harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa asset berwujud atau tidak berwujud,
termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Fungsi underlying asset tersebut
adalah untuk menghindari riba dan sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkan di pasar
sekunder serta untuk menentukan jenis struktur sukuk.
Berkaitan dengan emiten yang menerbitkan sukuk, ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi diantaranya adalah core business yang halal,
memiliki investment grade yang baik dilihat dari fundamental usaha dan keuangan yang
kuat serta citra yang baik bagi publik.14
14
Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return, (Kluwer Law
International, 1998), hlm. 85. Lihat dalam Kamal Zubair, “Instrumen Investasi Pasar Modal (Analisis
Perbandingan Obligasi dan Sukuk),” call for paper dalam International Seminar and Symposium on
Implementation of Islamic Economics To Positive Economics in The World as Alternative of Conventional
Economics System: Toward Development in The New Era of The Holistic Economics, UNAIR, Surabaya, 1-2
Agustus 2008,
hlm. 13.
Kelompok 5 | Ijarah 9
BAB III
PENUTUP
Kelompok 5 | Ijarah 10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Fatwa 09/DSN-MUI/IV/2000
Fatwa 27/DSN-MUI/III/2002
http://fileperbankansyariah.blogspot.com/2011/03/definisi-ijarah.html
Kelompok 5 | Ijarah 11