Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MASAIL FIQIHIYYAH

IJARAH MUNTAHANIYAH AL-TAMLIK

Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Masail Fiqihiyyah
Dosen Pengampu : Mohammad Fathudin, S.SY., MHI.

Disusun Oleh
Hamzah Nur Islam

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
2020

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 1


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sewa beli merupakan salah satu bentuk perjanjian campuran antara jual-
beli dan sewa menyewa, namun dalam praktek seringkali disamakan dengan
leasing. Para ulama menilai perjanjian sewa-beli ini merupakan bentuk
perjanjian yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah karena dianggap
mengumpulkan dua akad dalam satu akad yang dilarang oleh Rasulullah.
Oleh karena perjanjian ini telah marak dipraktikkan oleh masyarakat dan
dipandang banyak manfaatnya, maka perlu dicarikan solusinya agar perjanjian
seperti itu tetap dapat dilaksanakan, namun tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah. Konstruksi hukum yang ditawarkan oleh para ahli hukum Islam
melalui apa yang disebut “Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik”.
Di Indonesia telah ada ketentuan yang mengatur tentang Ijarah
Muntahiyah Bit Tamlik, yaitu fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Dari kedua ketentuan tersebut terdapat
perbedaan yang cukup prinsipil, sehingga perlu dilakukan pengkajian agar
diperoleh pemahaman yang benar yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 2


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Ijarah
Ijarah adalah“Akad pengambilan manfaat atau jasa dengan cara
membayar imbalan.”
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas
dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa.1
Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.2
Ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.3
Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat
yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.
Jenis-jenis Ijarah
Dalam hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu:4
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa
seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang
mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang
dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada
orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan

1
Habib Nazir & Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan S yari’ah, (Bandung: Kaki Langit, 2004),
hal. 246.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid 3, (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1983), hal. 177.
3
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet. Ke-5, hal. 115.
4
Ascarya, Akad dan produk Syari’ah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 99.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 3


leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee)
disebut musta’jir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir
dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa
perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai
bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah.

Dasar Hukum Ijarah


Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah:5
a. Al-Qur’an surat al-Zukhruf ayat

Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
b. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233:

Artinya:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

5
Dewan Syari’ah Nasional MUI dan Bank Indonesia (2001), Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
untuk Lembaga Keuangan Syari’ah, Edisi Pertama, hal. 54.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 4


bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”
c. Hadits riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa nabi Muhammad SAW
bersabda:
Artinya: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
d. Hadits riwayat Abd. Razaq dari Abu Hurairah, bahwa nabi Muhammad
SAW bersabda:
Artinya: “Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah
upahnya.”

Rukun dan Syarat Ijarah


1. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah:6
a. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa
aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang
menyewakan aset.
b. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga
sewa).
c. Sighat yaitu ijab dan qabul.
2. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum
Islam, sebagai berikut :
a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut
harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung
jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi
manfaat kepada penyewa.
c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti
memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak
dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset

6
Ascarya, op.cit, hal. 99

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 5


`akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
3. Ketentuan Objek Ijarah :

a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syariah.
e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa.
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik


Al-Ba’i wa al-ijarah Muntahiya bi al-Tamlik merupakan rangkaian dua
buah akad, yakni akad al-ba’i dan akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik. Al-
ba’i merupakan akad jual beli, sedangkan al-ijarah muntahia bi al-tamlik
merupakan kombinasi sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di
akhir masa sewa.7
Ijarah muntahiyah bi al-tamlik adalah transaksi sewa dengan
perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode
sehingga transaksi ini diakhiri dengan kepemilikan objek sewa.8
Ijarah muntahiyah bit al-tamlik disebut juga ijarah wa iqtina. Habib
Nazir dan Muhammad Hasanuddin9 memberikan makna ijarah muntahiyah bit
tamlik dengan leasing disertai opsi beli (financing-lease), sedangkan fatwa

7
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisi Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004)
hal.149.
8
Ascarya, op.cit, hal.103.
9
Habib Nazir dan Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, (Bandung: Kaki Langit,2004),
hal. 246.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 6


Dewan Syariah Nasional (DSN), dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) cenderung mengartikannya sebagai sewa-beli dalam bentuk khusus.
Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin membagi ijarah ke dalam dua
jenis yaitu operating-ijarah dan Ijarah muntahiyah bit tamlik. Operating-ijarah
menurut mereka merupakan ijarah yang didasarkan atas periode/masa sewa
yang obyeknya biasanya berupa peralatan. Apabila setelah berakhirnya masa
perjanjian itu terdapat pengalihan hak kepemilikan atas dasar opsi beli, maka
perjanjian itu disebut ijarah muntahiyah bit tamlik.10
Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik Menurut Fatwa DSN
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dewan Syari“ah Nasional (DSN) telah
mengeluarkan fatwa tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah bit Al-tamlik
sebagaimana tertuang dalam fatwanya Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002.
Bagian pertama fatwa ini mengatur ketentuan umum, bahwa akad al-
ijarah al-muhtahiyah bi al-tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah (Fatwa DSN
nomor 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-ijarah al-
muntahiyah bi al-tamlik.
b. Perjanjian untuk melakukan akad al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik
harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
c. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Selanjutnya pada bagian kedua mengatur ketentuan khusus tentang al-
ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik yaitu:
a. Pihak yang melakukan al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik harus
melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan,
baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa
ijarah selesai.
b. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah
wa“d, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin

10
Habib Nazir dan Muh. Hasan, Ibid. hal. 250.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 7


dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang
dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Dalam fatwa DSN ini ada dua hal yang menarik untuk dicermati yaitu:
(1) pemindahan hak milik bisa dilakukan melalui jual beli atau melalui
pemberian, dan (2) janji pemindahan hak milik tersebut sifatnya tidak
mengikat.
Pemindahan hak milik melalui jual beli sama dengan opsi beli dalam
financing-ijarah atau ijarah muntahiyah bit tamlik yang dikemukakan oleh
Habib Nazir dan Muhammad Hasanuddin, dan sama pula dengan financing-
lease dalam hukum perdata, sedangkan pemindahan hak milik melalui
pemberian merupakan konstruksi hukum baru yang selama ini tidak dikenal
dalam hukum perdata.
Pemindahan hak milik melalui pemberian, “barangkali“ didasarkan
kepada suatu pemikiran, oleh karena dalam sewa-beli niat utamanya untuk
memiliki benda dan harga yang dibayarpun harga jual-beli, maka konstruksi
hukum yang dipandang tepat untuk pemindahan kepemilikan adalah melalui
pemberian. Dengan cara ini, maka pembeli tidak perlu lagi membayar harga
apapun dan benda akan menjadi milik debitur.
Perbedaan yang menyolok antara sewa-beli dan ijarah muntahiyah bit
tamlik versi DSN adalah dalam sewa-beli antara akad sewa dan akad beli
dicampur dalam satu akad, sedangkan dalam ijarah muntahiyah bit tamlik
masing-masing dari dua akad itu dipisah satu sama lain dan berdiri sendiri serta
dilaksanakan dalam waktu yang berbeda. Melalui konstruksi hukum demikian,
maka fatwa DSN telah mampu menghilangkan sifat mengumpulkan dua akad
dalam satu akad yang dilarang oleh Rasulullah.
Permasalahan lain yang perlu dicermati adalah mengenai janji
pemindahan hak milik yang sifatnya tidak mengikat. Ketentuan ini
mengundang penafsiran ganda. Ketidakterikatan itu bisa dimaknai tidak terikat
untuk membuat janji pemindahan hak milik, dan bisa dimaknai tidak terikat
untuk melaksanakan janji yang sudah disepakati dalam akad.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 8


Terhadap makna pertama yaitu tidak mengikat untuk membuat janji
pemindahan hak milik, kiranya ketentuan ini tidak sejalan dengan maksud
diadakannya akad yakni diakhiri dengan kepemilikan (muntahiyah bit tamlik).
Apalah artinya membuat akad ijarah muntahiyah bit tamlik jika tidak diakhiri
dengan pemindahan hak kepemilikan.
Adapun terhadap makna kedua yakni tidak terikat untuk melaksanakan
janji yang sudah disepakati, ketentuan seperti ini tidak lazim dalam hukum
perjanjian karena telah menjadi asas hukum bahwa setiap perjanjian yang
dibuat dipandang sebagai undang-undang yang selalu mengikat dan harus
ditaati.
Keterikatan para pihak terhadap janji telah menjadi ketentuan hukum
universal dan dalam hukum Islam telah ditunjuki secara tegas dalam surah al-
Maidah ayat 1: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji” serta hadits
Rasulullah yang menyatakan: Orang Islam itu terikat akan janji yang mereka
buat.
Jika suatu janji boleh tidak dilaksanakan, maka janji itu tidak ada
gunanya dan akan kehilangan makna dan tujuannya, bahkan dapat
menimbulkan kezaliman. Penyewa yang sejak semula berniat untuk memiliki
benda dan telah melunasi seluruh angsurannya, sudah pasti merasa dirugikan
(dizalimi) jika ternyata ia tidak dapat memiliki barang karena pemberi sewa
tidak mau menghibahkannya dengan alasan janji itu tidak mengikat.
Pelaksanaan akad seperti ini tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya akad yakni
diakhiri dengan pemindahan hak milik (muntahiyah bit tamlik).
Memperhatikan permasalahan-permasalahan di atas, kiranya lebih tepat
jika janji itu bersifat mengikat. Janji tersebut dikonstruksikan sebagai janji
pihak pemberi sewa kepada penyewa untuk memberikan opsi beli atau
menghibahkan kepadanya setelah berakhirnya masa ijarah. Janji opsi beli
merupakan konstruksi hukum leasing (finacing-lease), sedangkan janji
menghibahkan merupakakn konstruksi hukum sewa-beli. Jani-janji itu secara
tegas harus dituangkan dalam akad ijarah muntahiyah bit tamlik sehingga
pemberi sewa terikat untuk memenuhinya.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 9


Mengenai cara penyelesaian apabila penyewa tidak mampu melunasi
angsuran, fatwa DSN tidak mengatur secara rinci, namun jika memperhatikan
bagian pertama nomor 3 dari fatwa tersebut terdapat ketentuan umum yang
menyatakan: hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad,
memberi kebebasan bagi para pihak untuk menyepakati cara penyelesaiannya.

Ijarah Muntahiya Bit Tamlik Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi


Syariah (KHES)
Dalam KHES akad ijarah muntahiyah bit tamlik selalu diakhiri dengan
pemindahan hak milik melalui jual beli tanpa digantungkan adanya janji atau
klausul dalam akad seperti ketentuan dalam fatwa DSN atau pendapat Habib
Nazir dan Muhammad Hasanuddin. Artinya, ketika akad ijarah muntahiyah bit
tamlik dibuat, kedua belah pihak sudah dengan sendirinya (dianggap) sepakat
untuk mengakhirinya dengan pemindahan hak milik melalui jual beli.
Kesimpulan ini diperoleh dari pemahaman bunyi pasal 323.
Pasal 323 KHES menyebutkan: “Dalam akad ijarah muntahiyah bit
tamlik suatu benda antara mu“jir/pihak yang menyewakan dengan
musta“jir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian ma“jur/obyek ijarah oleh
musta“jir/pihak penyewa”. Dari kalimat “....diakhiri dengan pembelian...” serta
tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang opsi beli memberikan
pengertian bahwa setiap ijarah muntahiyah bit tamlik menurut KHES selalu
diakhiri dengan pembelian.
Kepastian diakhirinya dengan jual beli dikuatkan oleh bunyi pasal 326
yang menyatakan: “Harga ijarah dalam akad ijarah muntahiyah bit tamlik
sudah termasuk dalam pembayaran benda secara angsuran”. Bunyi pasal ini
memberi arti bahwa harga yang dibayar oleh musta“jir meliputi dua harga
sekaligus yakni harga ijarah dan harga bai“. Oleh karena itu, ketika musta“jir
sudah melunasi seluruh angsuran berarti ia telah membayar seluruh harga bai“.
Memperhatikan cara pembayaran sebagaimanan ketentuan pasal 326 di
atas, ada permasalahan yang perlu mendapat perhatian antara lain:

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 10


1. Apakah pembayaran dua harga secara bersama-sama dan sekaligus (harga
ijarah dan harga bai“) tidak memberi arti bahwa dalam akd ijarah
muntahiyah bit tamlik ini telah mengumpulan dua aktivitas muamalah
dalam satu aktivitas muamalah.
2. Apakah pembayaran harga angsuran benda atau harga bai“ sebelum
adanya akad bai“, tidak berarti telah mewajibkan suatu prestasi sebelum
adanya akad. Apakah yang demikian ini sejalan dengan prinsip-prinsip
akad.
3. Ketika dibuat akad bai“ untuk memindahkan kepemilikan pada akhir masa
ijarah, harga mana yang ditetapkan dalam akad bai“ pada akhir masa
ijarah, apakah seluruh harga yang telah dibayar meliputi harga ijarah dan
harga bai“, atau ada perhitungan lain. Jika yang ditetapkan dalam akad
bai“ itu seluruh harga yang telah dibayar, akan semakin kuat kesan
pengumpulan dua akad dalam satu akad. Sedangkan jika ada perhitungan
lain, tentunya diperlukan ketentuan yang mengatur agar akad menjadi
jelas.
Permasalahan lainnya adalah tentang cara penyelesaian ketika musta“jir
tidak mampu melunasi sisa angsuran. Pasal 327 ayat (2) pada pokoknya
menyatakan bahwa cara penyelesaiannya dapat ditempuh melalui perdamaian
dan/atau melalui pengadilan.
Selanjutnya pasal 328 menyatakan, pengadilan dapat menjual obyek
ijarah muntahiyah bit tamlik berdasarkan harga pasar untuk melunasi utang
penyewa. Apabila harga jualnya melebihi sisa utang, maka kelebihannya
dikembalikan kepada musta“jir (pasal 329 ayat 1), sedangkan jika harga
jualnya lebih kecil dari sisa utang, maka musta“jir harus membayar sisanya
(pasal 329 ayat 2). Apabila penyewa tidak mampu membayar, pengadilan dapat
membebaskannya atas izin mu“jir (pasal 329 ayat 3).
Pemberian hak semacam itu telah medudukkan musta“jir sebagai pemilik
(sebagian) benda, padahal tidak ada alas hak yang mendasari kepemilikan
tersebut. Dalam hukum ijarah kedudukan musta“jir tidak lain kecuali hanya
sebagai penikmat manfaat ma“jur, bukan sebagai pemilik. Oleh karena bukan

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 11


sebagai pemilik, tentunya musta“jir tidak berhak atas hasil penjualan benda
tersebut.
Cara penyelesaian sebagaimana diatur dalam pasal 329 ayat (1)
sebenarnya sangat tepat dan adil jika dikontruksikan sebagai kesepakatan yang
disebutkan secara tegas dalam perjanjian sebagaimana yang dimaksud oleh
fatwa DSN, bukan timbul dengan sendirinya karena hukum. Atas dasar
kesepakatan inilah musta“jir diberikan hak menerima pengembalian sisa.
Kesepakatan ini harus secara tegas dituangkan dalam perjanjian setiap akad
ijarah muntahiyah bit tamlik sebagai bentuk khusus sewa beli dalam ekonomi
syariah.
Ringkasnya, karena akad ijarah muntahiyah bit tamlik merupakan bentuk
khusus dari ijarah yang tidak ditemukan pengaturannya dalam nash, maka
segala kekhususan itu harus dituangkan dalam akad sebagai manifestasi
kehendak kedua belah pihak (‘an taradlin). Atas dasar kesepakatan inilah
mereka terikat untuk memenuhinya.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 12


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sewa-beli yang ada dalam hukum perdata umum dipandang tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip syariah karena adanya sifat mengumpulkan dua akad
dalam satu akad. Oleh karena perjanjian ini banyak dipraktikkan oleh
masyarakat, perlu dibuat konstruksi hukum yang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.
Upaya yang telah dilakukan antara lain: Majelis Ulama Indonesia Cq.
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 27/DSN-
MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah bit Al-tamlik dan Mahkamah
Agung telah menerbitan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari“ah (KHES). Dari
kedua pedoman ini terdapat beberapa permasalahan yang perlu mendapat
perhatian, antara lain:
1. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam fatwa DSN pada dasarnya
merupakan konstruksi hukum yang tepat dalam mengakomodir sewa-beli
dan leasing dan telah pula mampu menghilangkan sifat mengumpulkan
dua akad dalam satu akad, namun pengaturan mengenai janji pemindahan
hak kepemilikan yang sifatnya tidak mengikat, kiranya kurang sejalan
dengan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat (1) dan hadits Rasullah
serta bertentangan dengan asas hukum yang mewajibkan setiap orang
mentaati janji yang dibuatnya.
2. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam fatwa DSN masih bersifat
garis besar sehingga tidak ditemukan cara penyelesaian secara tegas dan rinci
ketika penyewa tidak mampu membayar seluruh harga ijarah.
3. Pengaturan ijarah muntahiyah bit tamlik dalam KHES lebih lengkap dan lebih
rinci dibandingkan dengan yang ada dalam fatwa DSN, namun mekanisme
pelaksanaan akadnya masih terdapat beberapa permasalahan yang belum
sepenuhnya dapat menghilangkan kesan sifat mengumpulkan dua akad dalam
satu akad.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 13


Untuk menjawab permasalahan tersebut, ijarah muntahiyah bit tamlik
dapat dibuat konstruksi hukum sebagai berikut:
1. Ijarah muntahiyah bit tamlik dikonstruksikan dalam dua bentuk yaitu
ijarah muntahiyah bit tamlik dengan “opsi beli” dan ijarah muntahiyah bit
tamlik dengan “janji hibah”.
2. Ijarah muntahiyah bit tamlik dengan opsi beli merupakan konstruksi
hukum sewa guna usaha (financing-lease). Ijarah muntahiyah bit tamlik
dalam bentuk ini murni termasuk kategori sewa menyewa (ijarah)
sehingga selama berlangsungnya masa ijarah segala ketentuan hukum
ijarah berlaku dalam akad ini.
3. Ijarah muntahiyah bit tamlik dengan janji hibah merupakan konstruksi
hukum sewa-beli (hak kepemilikan atas benda belum berpindah kepada
debitur). Ketika masa ijarah berakhir, maka mu“jir wajib menghibahkan
benda objek akad kepada musta“jir. Untuk mengatasi keadaan apabila
musta“jir tidak mampu melunasi angsurannya dapat ditempuh dengan cara
sebagaimana diatur dalam pasal 327 sampai dengan 329, namun harus
disebutkan secara tegas dalam akad sebagai bentuk kesepakatan.
4. Janji memberikan opsi beli dan janji menghibahkan merupakan janji yang
sifatnya sepihak dari mu“jir kepada musta“jir dan janji itu bersifat
mengikat yang harus ditaati oleh mu“jir.
5. Terhadap perjanjian sewa-beli (leasing) yang hak kepemilikannya sudah
berpindah kepada debitur sebagaimana yang banyak dipraktikkan di
masyarakat, konstruksi hukumnya melalui bai“ bi tsamanin ajil (jual beli
angsuran) yang diikuti dengan penjaminan benda obyek akad.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 14


DAFTAR PUSTAKA

Nazir, Habib dkk. 2004. Ensiklopedia Ekonomi dan Perbankan Syari’ah.


Bandung: Kaki Langit.
Sabiq, Sayid. 1983. Fiqh al-Sunnah Jilid 3. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Syari’ah. Jakarta: Raja Grafindo.
A Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
Raja Grafindo.

Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik Page 15

Anda mungkin juga menyukai