Anda di halaman 1dari 14

FIQH MUAMALAH

“IJARAH”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah

Oleh :

Siti Mahmudah ( 210110076)

Dosen :

Khoerul Imam Mahdi, M. H

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR

KOTA BANJAR

TAHUN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah fiqh muamalah dengan judul “Ijarah”. Sholawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah fiqh muamalah atas
bimbingan yang telah diberikan serta pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.

Sidareja, 17 Oktober 2022

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muamalah merupakan bagian yang sangat pentung dalam kehidupan
manusia. Islam memberikan aturan-aturan yang global untuk memberikan
kesempatan bagi perkembangan hidup manusia yang seiring dengan
berkembangnya zaman, berbedanya tempat serta situasi. Karena memang
pada dasarnya alam semesta ini diciptakan oleh Allah Swt untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Oleh karena itu, manusia diharapkan bisa menjalankan
semua aturan-aturan yang telah diatur dalam al qur’an.
Persoalan muamalah merupakan persoalan yang senantiasa aktual
ditengah-tengah masyarakat. Karena ia berkembang sesuai dengan
perkembangan dan peradaban pengetahuan dan kebutuhan manusia itu
sendiri. Dengan demikian, persoalan muamalah merupakan suatu hal yang
pokok dan menjadi tujuan penting agama islam dalam memperbaiki
kehidupan manusia. Atas dasar itulah hukum muamalah diturunkan oleh
Allah dalam bentuk global dengan mengemukakan prinsip dan norma antara
sesama manusia.
Salah satu perkembangan transaksi muamalah adalah sewa-menyewa
atau upah yang dalam konsep istilah dikenal dengan ijarah. Kata ijarah
diambil dari bentuk fi’il “ajara-ya’juru ajran”. Ajran semakna dengan kata
al-iwad yang mempunyai arti ganti dan upah. Upah atau ganti rugi biasa
dilakukan oleh masyarakat bermacam-macam, misalnya pada pekerjaan
buruh tani, buruh bangunan maupun dengan pekerjaan lainnya.
Dalam pelaksanaannya, upah atau pengupahan harus ada suatu akad
perjanjian, yakni antara si pemberi upah dan penerima upah. Pada umumnya
orang yang mengadakan akad itu hanya mengatur dan menetapkan hal-hal

iii
yang pokok atau penting saja. Dalam akad perjanjian kurang adanya
spesifikasi yang jelas tentang kontrak yang mereka lakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ijarah?
2. Apa saja syarat-syarat dan rukun-rukun ijarah?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian ijarah.
2. Untuk menjelaskan syarat-syarat dan rukun-rukun ijarah
D. Manfaat
1. Secara Teoritis
Untuk menemukan pemikiran baru tentang ijarah yang seuai
dengan al qur’an dan hadist.
2. Secara Praktis
Sebagai sumber informasi dan rujukan bagi seseorang untuk
memecahkan masalah tentang ijarah secara tepat dan benar sesuai
dengan al qur’an dan hadist.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Al-ijarah mengambil dari bahasa arab yang mempunyai makna“ upah,
sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu format muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa meyewa, kontrak,
atau memasarkan jasa perhotelan dan lain-lain”. Berdasarkan pendapat
syara’ mempunyai arti “aktivitas akad untuk mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan
perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu”.1
Sedangkan beberapa definisi ijaroh dalam pandangan ulama fiqh, sebagai
berikut:
a. Berdasarkan pendapat hanafiyah
Ijarah yaitu akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b. Berdasarkan pendapat Syafi’iyah
Ijarah yaitu akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud
tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.
c. Berdasarkan pendapat Malikiyah dan Hanabiyah
Ijarah yaitu menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam
waktu tertentu dengan pengganti.

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa upah ialah salah
satu format hak pekerjan untuk memperoleh imbalan dalam format sesuatu
yang bernilai dan yang dibayarkan oleh jasa kepada pekerja yang telah
ditetapkan berdasarkan pendapat kesepakatan atas dasar perjanjian kerja
anatara pengusaha dan pekerja. Dengan demikian sewa-menyewa
mengandung unsur-unsur sebagi berikut:

1
Akhmad Farroh Hasan, M. SI, Fiqh Muamalah dari Klasik hingga Kontemporer (Teori dan
Praktik), (UIN Maliki Malang Press, 2018), hal. 49

v
a. Adanya pihak penyewa dan yang menyewa.
b. Adanya akad antara kedua belah pihak.
c. Adanya objek sewa yang dapat dipergunakan manfaatnya.
d. Adanya imbalan/harga terhadap pemanfaatan objek sewa tersebut.
e. Manfaat objek sewa diketahui dengan jelas
f. Dilaksanakan dalam periode tertentu.2
B. Syarat-Syarat Ijarah
Terkait dengan syarat-syarat ijarah M. Ali Hasan menjelaskan, sangat
gamblang, diantaranya ialah:
a. Syarat bagi kedua orang yang berakad ialah: telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi’i Dan Hambali). Dengan demikian bilamana orang itu
belum atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa
hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh
disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan
maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia
baligh , tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan akad
Ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.
b. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya
untuk melakukan akad Ijarah itu, bilamana salah seorang keduanya
terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas,
sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak
jelas. Maka, akad itu tidak sah.
d. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan
bahwa tidak boleh menyewa sesuatu yang tidak dapat diserahkan,
dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya rumah harus siap
pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa apakah dia mau
melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu atau toko itu

2
Ibid, hal. 51

vi
disewa oleh orang lain maka setelah itu habis sewanya baru dapat
disewakan oleh orang lain.
e. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu
ulama fikih sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak
boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak
boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi
(pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada
non-muslim untuk tempat mereka beribadat.3
C. Rukun-Rukun Ijarah
Berdasarkan pendapat Jumhur ulama, Rukun ijarah ada empat (4)
diantaranya ialah:
a. Orang yang berakad (Aqid)
“ Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu Mu’jir
ialah: orang yang memberikan upah atau yang menyewakan, dan
Musta’jir ialah: orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu
dan yang menyewa sesuatu”.
Bagi Mu’jir dan Musta’jir, pertama harus mengetahui manfaat
barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya
perselisihan, kedua berakal maksudnya ialah orang yang dapat
membedakan baik dan buruk.
b. Sighat Akad
Mu’jir dan Musta’jir, Yaitu melakukan ijab dan qabul ialah
Ungkapan, pernyataan dan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad
ijarah.
Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan “ suatu
pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu” . Sedangkan qobul ialah “suatu
pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir)

3
Ibid, hal. 52-53

vii
untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya
ijab”.
Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli,
hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau
waktu yang ditentukan.

c. Upah (Ujroh)
Ujroh yaitu diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat, sebagai
berikut:
1) Jumlahnya diketahui secara jelas dan detail.
2) Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari
pemerintah.
3) Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang
yang disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang
sewanya harus lengkap”.
d. Manfaat
Salah satu cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) ialah
“dengan menjelaskan manfaatnya, batasan waktu, dan jenis pekerjaan”.4
Segala sesuatu yang berkaitan dengan harta benda boleh diakadkan
ijarah, asalkan memenuhi persyaratan dibawah ini:
1) Harta benda dalam ijarah dapat dimanfaatkan secara langsung dan
harata bendanya tidak cacat yang berdampak terhadap penghalangan
fungsinya. Tidak bolehkan akad ijarah atas harta benda yang masih
dalam penguasaan pihak lain, bukan pihak keduanya.
2) Pemilik menjelaskan secara transparan tentang kualitas, kuantitas
manfaat barang, tanpa ada yang disembunyikan tentang keadaan
barang tersebut.

4
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung, Pustaka Setia, 2010) cet 4, hal 86.

viii
3) Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang
bersifat isti’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan
berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan
sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki ialah harta
benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti
makanan, buku tulis, tidak sah ijarah diatasnya.
4) Manfaat dari objek ijarah tidak bertentangan dengan hukum islam.
seperti menyewakan menyewakan tempat untuk melakukan
maksiat.
5) Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda, seperti
sewa warung untuk usaha, sepeda untuk dikendarai, dan lain-lain.
Tidak dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang
sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon duren untuk diambil
buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil susunya,
telurnya, keturunannya, ataupun bulunya.5
D. Macam-Macam Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian
pertama ini, objek akadnya ialah manfaat dari suatu benda.
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah . Dalam ijarah
bagian kedua ini, objek akadnya ialah amal atau pekerjaan seseorang”.

Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya ialah sewa menyewa


rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Bilamana manfaat itu
merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para
ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa. Al-
ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya boleh
bilamana jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit,
buruh pabrik, tukang salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini biasanya

5
Opchit, hal 55

ix
bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang
bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh
pabrik, dan tukang jahit. Kedua format ijarah terhadap pekerjaan ini
berdasarkan pendapat ulama fiqh hukumnya boleh.6

E. Berakhirnya dan pembatalan Ijarah


Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, maka
bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiah
berpendirian bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh
dibatalkan secara sepihak bilamana terdapat udzur dari salah satu pihak
yang berakad seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
berpindah dalam hukum. Adapun jumhur ulama’ dalam hal ini mengatakan
bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu
tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati
dalam kasus bilamana seorang meninggal dunia. Berdasarkan pendapat
ulama’ Hanafiah, bilamana seorang meninggal dunia maka akad al ijarah
batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama’
mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karna termasuk harta (al-
maal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak
membatalkan akad al ijarah”.
Berdasarkan pendapat Al-Khasani dalam kitab Al-Badaa’iu ash
Shanaa’iu, menyatakan bahwa akad al ijarah berakhir bila ada hal-hal
sebagai berikut:
1. Objek al ijarah hilang atau musnah seperti rumah yang disewakan
terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.
2. Renggang waktu yang disepakati dalam ijarah telah berakhir. Bilamana
yang disewakan itu rumah maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan bilamana yang disewa itu jasa seseorang maka orang
tersebut berhak menerima upahnya.

6
Opchit, hal 56

x
3. Wafatnya salah seorang yang berakad
4. Bilamana ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan
disita negara karna terkait adanya hutang, maka akad al ijarahnya tetap”.

Sementara itu, berdasarkan pendapat Sayyid Shabiq, al ijarah akan


menjadi batal dan berakhir bilamana ada hal-hal sebagai berikut:

1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.


2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan
runtuhnya bangunan gedung.
3. Rusaknya barang yang diupahkan seperti bahan baju yang dupahkan
untuk dijahit.
4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang
telah ditentukan selesainya pekerjaan.
5. Berdasarkan pendapat hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh
membatalkan al ijarah ika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti
terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagang, dan kehabisan
modal”.7

7
Opchit, hal 57

xi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-ijarah mengambil dari bahasa arab yang mempunyai makna“ upah,
sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu format muamalah
dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewameyewa, kontrak,
atau memasarkan jasa perhotelan dan lain-lain”. Berdasarkan pendapat
syara’ mempunyai arti “aktivitas akad untuk mengambil manfaat sesuatu
yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan
perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu”.
Syarat-syarat ijarah :
1. Syarat bagi kedua orang yang berakad ialah: telah baligh dan berakal.
2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya
untuk melakukan akad Ijarah itu, bilamana salah seorang keduanya
terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas,
sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak
jelas. Maka, akad itu tidak sah.
4. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak ada cacatnya.
5. Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara.

Rukun-rukun ijarah :

1. Orang yang berakad (Akid)


2. Sighat akad
3. Upah (Ujroh)
4. Manfaat

xii
B. Saran

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih


banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan
dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

xiii
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Farroh Hasan, M. SI, Fiqh Muamalah dari Klasik hingga Kontemporer
(Teori dan Praktik), (UIN Maliki Malang Press, 2018),

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung, Pustaka Setia, 2010)

xiv

Anda mungkin juga menyukai