Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT ISLAM

“PEMIKIRAN FILSAFAT IKHWAN ASH-SHAFA’ ”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih

Oleh :

Siti Mahmudah ( 210110076)

Dosen :

Khoerul Imam Mahdi, M. H

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR

KOTA BANJAR

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah Filsafat Islam dengan judul “Pemikiran Filsafat
Ikhwan Ash-Shafa’ ”. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Islam atas bimbingan yang telah diberikan serta
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.

Sidareja, 5 April 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbeda dengan kebanyakan filosof muslim yang pada masanya muncul


sebagai the single figure, Ikhwan As-Shafa membentuk kelompok yang
menyatukan berbagai figur filosof, dengan berbagai latar-belakang dan
keahlian filo saintifik. Filosoffilosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-
Razi, Al-Ghazali, Al-Amiri, Ibnu Miskawaih di Wilayah Islam Timur, atau
Ibnu Masarrah, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Ibnu Sab'in, dan Ibnu
Khaldun di bagian Barat, mereka muncul sebagai diri mereka sendiri, (dan
karenanya mengintrodusir pemikiran-pemikiran individual mereka). Ikhwan
Ash-Shafa’ muncul di Wilayah Timur dalam sebuah perkumpulan atau
organisasi yang bersifat rahasia. Kerahasiaan ini dapat mengindikasikan bahwa
kelompok cendekiawan ini memiliki pemikiran-pemikiran yang sedikit atau
banyak-kurang lazim di lingkungannya, atau dipandang kurang selaras-
mungkin karena rumit atau karena berseberangan dengan trend perkembangan
dan kehendak khalayak di sekitar mereka.

Pemikiran-pemikiran mereka, sebagaimana dikompilasikan dalam sebuah


ensiklopedi yang diberi nama al-Rasa'il, karena sifatnya yang filosofis, tampak
begitu mendasar dan rumit. Namun, seperti halnya para filosof individual
lainnya, pusat perhatian pemikiran mereka menyangkut makna-makna laten
dari keseluruhan realitas. Ikhwan Ash-Shafa’ melaksanakan pertemuan-
pertemuan ilmiah untuk membahas berbagai persoalan, di samping juga
melakukan berbagai ritual yang mereka pandang sebagai aktivitas yang
menyelaraskan jiwa dan memenuhi keyakinan-keyakinan mereka.

Ikhwan Ash-Shafa’, bagaimanapun telah berhasil mengungkapkan


misteri-misteri tersembunyi berbagai realitas fenomenal daan interrelasinya
pada tataran yang paling dalam di pusat eksistensi.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pemikiran filsafat Ikhwan Ash-Shafa’ ?

2. Apa saja karya-karya dari Ikhwan Ash-Shafa’ ?

C. TUJUAN

1. Untuk menjelaskan pemikiran filsafat Ikhwan Ash-Shafa’

2. Untuk menjelaskan karya-karya dari Ikhwan Ash-Shafa’

D. MANFAAT

1. Secara Teoritis

Untuk menemukan pemikiran baru tentang pemikiran filsafat Ikhwan


Ash-Shafa’.

2. Secara Praktis

Sebagai sumber informasi dan rujukan bagi seseorang untuk


memecahkan masalah tentang pemikiran filsafat Ikhwan Ash-Shafa’.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Filsafat Ikhwan Ash-Shafa’


Filsafat, menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa', memiliki tiga taraf,
yaitu: (1) taraf permulaan, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala
yang ada, (3) taraf akhir, yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang
sesuai dengan pengetahuan. Menurut mereka, filsuf atau orang bijak
(hakim) adalah orang yang perbuatan, aktivitas dan akhlaknya kokoh,
pengetahuannya hakiki, tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan
bahaya dan tidak pula meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan
filsafat dalam pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan (at-tasyabbuh
bi al-ilah) sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu,
manusia harus berijtihad (berupaya sungguh-sungguh) menjauhkan diri dari
berkata bohong dan meyakini akidah yang batil, pengetahuan yang keliru
dan akhlak yang rendah, serta berbuat jahat dan melakukan pekerjaan
secara tak sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai
Tuhan karena Tuhan tidaklah mengatakan, kecuali yang benar dan tidak
melakukan, kecuali kebaikan. Dalam penilaian mereka, syariat telah
dikotori oleh kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya.
Tidak ada jalan untuk membersihkannya, kecuali dengan filsafat karena
filsafat mengandung hikmah dan kemaslahatan.1
1. Filsafat Alam
Sebagaimana Al-Farabi, Ikhwan Ash-Shafa' juga menganut
paham penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Namun,
paham emanasi mereka berbeda dengan paham emanasi Al-Farabi.
Menurut paham emanasi mereka, Tuhan memancarkan akal universal
atau akal aktif. Akal universal memancarkan jiwa universal. Jiwa
universal lalu memancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan
1
Abdul Aziz Dahlan, 2003, “Filsafat” dalam Ensiklopedi...., Hal 194
dari materi pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa.
Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi
pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang,
lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak dan
dengan tubuh mutlak itu tersusun alam falak/langit dan unsur yang
empat (tanah, air, udara, dan api). Karena pengaruh gerakan langit yang
berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul
mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Di alam langit, yang
lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (akal universal,
kemudian jiwa universal, dan seterusnya). Adapun di bumi. yang paling
akhir muncul adalah yang paling mulia (didahului oleh mineral,
kemudian tumbuhan, kemudian hewan dan terakhir baru muncul
manusia). Bila diurutkan kemunculan wujud itu dari yang pertama
sampai yang terakhir, urutannya adalah: (1) Tuhan, (2) akal universal,
(3) jiwa universal, (4) materi pertama dan bentuk, (5) tabiat, (6) tubuh
mutlak, (7) falak/ langit, (8) unsur yang empat (tanah, air, udara, dan
api), dan (9) yang dilahirkan dari empat unsur dan/tanpa jiwa, mulai
benda-benda mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Menurut Al-Farabi, penciptaan alam merupakan akibat aktivitas
Tuhan berpikir tentang diri-Nya, maka pada filsafat Ikhwan Ash-Shafa',
penciptaan alam oleh Tuhan adalah manifestasi kepemurahan Tuhan.
Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam raga yang
tersusun. Ia menciptakan segenap alam rohani sekaligus, sedangkan
alam raga yang tersusun diciptakan-Nya berangsur-angsur dengan
mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual.
Keberadaan ayah secara aktual lebih dahulu daripada keberadaan anak
secara aktual, tetapi keberadaan keduanya secara potensial adalah sama.
Tuhan berperan sebagai sebab pertama dan langsung bagi keberadaan
akal universal, tetapi hanya sebagai sebab pertama dan tidak langsung
bagi keberadaan dan terjadinya perubahan pada segenap ciptaan-Nya
yang lain. 2
Tuhan adalah Wujud Yang Mahasempurna. Sejak azali, pada diri-
Nya terdapat bentuk-bentuk dari (pengetahuan tentang) segala wujud
yang ada. Bentuk-bentuk dari segala yang ada itu dilimpahkan-Nya
kepada akal universal secara langsung, dan kepada jiwa universal
melalui akal universal. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Tuhan adalah
guru akal universal, akal universal adalah guru jiwa universal, jiwa
universal adalah guru para malaikat, para malaikat adalah guru para
nabi dan filsuf, sedangkan para nabi dan filsuf adalah guru segenap
manusia. Pada jiwa manusia, bentuk-bentuk atau segenap pengetahuan
itu, pada mulanya belum ada secara aktual, tetapi ada secara potensial
saja. Melalui berbagai jalan (tangkapan indra, pemikiran akal instingtif,
akal yang diupayakan, atau melalui ilham dan wahyu) pengetahuan itu
mengaktual dalam jiwa manusia secara bertahap.3
2. Filsafat dan Angka
Membaca selintas teks Rasa 'il akan menemukan betapa besar
perhatian Ikhwan pada angka. Sebaiknya, seseorang mempelajari
terlebih dahulu matematika dan bilangan sebelum mempelajari cabang-
cabang pengetahuan lain (yang lebih tinggi), seperti fisika, logika, dan
ketuhanan. Ikhwan memegang "keyakinan Pythagorean bahwa sifat
dasar hal-hal yang diciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar bilangan"
dan menyatakan, "Inilah mazhab pemikiran Ikhwan kami" . Mereka
juga mengikuti kaum Pythagorean dalam hal kepeduliannya yang besar
pada angka-angka tertentu. Secara khusus, Ikhwan memberikan
perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang
melampaui bidang matematika murni, mereka menaruh perhatian,
misalnya, pada empat musim, empat angin, empat arah mata angin, dan
empat unsur empedoclean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis

2
Abdul Aziz Dahlan, 2003, “Filsafat” dalam Ensiklopedi...., Hal 194
3
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 105
cairan dalam diri manusia. Kecapi mempunyai empat senar dan bahkan
materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan di balik pemuliaan
terhadap angka tertentu semacam ini mudah ditemukan. Tuhan
menciptakan "banyak hal dalam kelompok empat-empat dan materi-
materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan,
atau selaras, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas
mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa
Universal, dan Materi Pertama"
Menurut Ikhwan Ash-Shafa', seseorang dapat belajar tentang
keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan
angka dan mereka menyatakan, "Pythagoras percaya bahwa yang kedua
menuntun ke yang pertama. Kendatipun mencurahkan perhatian mereka
pada bilangan, Ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan
utama kaum Pythagorean, seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka
dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak gagasan-
gagasan Pythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan lebih
berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali
kehidupan di bumilah yang dapat memasukkan manusia ke dalam
surga.4
3. Manusia dan Jiwa
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash-
Shafa' memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang
bersifat imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air,
udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa
masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang
telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti dalam
kisah Adam a.s. dan pasangannya, Hawa). Karena pelanggaran itu, jiwa
diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke
dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang semulanya memiliki
pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh,

4
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 107
menjadi lupa sama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah
pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan
bantuan tubuh dan pancaindra tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur
angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara
aktual. Dalam versi lain, tidak tergambar bahwa keterusiran Adam a.s.
dari surga ke bumi adalah keterusiran jiwanya dari alam rohani, bagi
jiwa, masuk ke dalam tubuh yang terdapat di bumi. Tulisan versi in
menggambarkan bahwa Adam a.s. dan pasangannya Hawa, berada di
surga yakni taman yang subur dan menyenangkan yang terletak di suatu
tempa yang tinggi di bumi juga. Karena setan berhasil menipu
keduanya sehingga keduanya melanggar larangan Tuhan, keduanya
diusir dari tempat yang tingg itu dan harus turun ke tempat yang lebih
rendah di bumi, menjalani kehidupan yang jauh lebih susah karena
tempatnya yang baru bukan merupakan taman yang subur.5
Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia,
jiwa manusia, menurut Ikhwan Ash-Shafa', karena berada di dalam
tubuh, awalnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki kemampuan
untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia
haruslah di didik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang
diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya
pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas
maupun tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan
pendidikan yang benar, jiwa manusia menjadi suci, tidak bergelimang
dosa karena memperturutkan hawa nafsu. Jiwa manusia yang bersih ini
dikatakan oleh Ikhwan Ash-Shafa' sebagai malaikat dalam potensi. Bila
datang waktu kematian, yakni waktu berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa
manusia itu mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam
rohani, yang terletak di alam langit. Berbahagia di sana dengan segala
macam kesenangan rohani. Sebaliknya, jiwa manusia yang bergelimang
dosa, kotor karena memperturutkan hawa nafsu, mereka dikatakan

5
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 108
sebagai setan dalam potensi. Bila datang waktu kematian, jiwa manusia
itu mengaktual menjadi setan tidak bisa naik ke alam surga di langit,
tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam
neraka materi di bumi dan lapisan udara di bawah langit/falak bulan,
karena keinginan-keinginannya yang tetap membara untuk
mendapatkan kesenangan lewat jasmani tak pernah lagi terpenuhi.
Baik emanasi maupun hierarki, yang merupakan istilah-istilah
kunci Neoplatonisme klasik, tergambar dengan jelas dalam pemikiran
Ikhwan Ash Shafa. Dengan menggunakan tamsil matahari, yang
mempunyai kesamaan dengan pembandingan yang dipakai oleh
Plotinus sebelumnya, Ikhwan menyatakan,
Bagaimana kemurahan dan kebaikan yang terdapat pada Tuhan
memancar (afadhah) dari-Nya melalui keniscayaan
kebijaksanaan’
(bi-wajib al-hikmah) sebagaimana cahaya dan kecemerlangan
memancar dari matahari. Produk pertama emanasi (faidh) terus
menerus ini disebut akal aktif (al-'aql al-fa'al), yang darinya
kemudian memancar akal pasif (al-'aql al-munfa'il) atau Jiwa
Universal; dari yang terakhir inilah memancar Materi Pertama.

Perbedaan besar antara Plotinus dan Ikhwan Ash-Shafa' terlihat


dalam hierarki wujud Ikhwan. Plotinus memostulatkan suatu struktur
yang relatif "sederhana", setidak-tidaknya dalam komposisinya jika
tidak dalam elaborasi teologisnya, tentang Yang Esa, Akal, dan Jiwa.
Ikhwan mengembangkan hierarki wujud ini menjadi sembilan tingkat
struktur emanasi.
Neoplatonisme Rasa'il yang dihasilkan oleh Ikhwan Ash-Shafa'
tidak mungkin ditekankan. Penyerapan karya-karya ini, di samping
elemen Aristotelian dan elemen-elemen lainnya, menjadikan Rasa'il
sebagai salah satu paling sinkretis yang dikenal dalam sejarah
perkembangan intelektual pemikiran Islam. Namun, perlu disebutkan di
sini, kita tidak boleh membiarkan tulisan-tulisan mereka memberikan
kesan suatu sinkretisme yang sama sekali tidak orisinal dan tidak berarti
apa-apa. Rasa'il bukan sekadar penggabungan total dari berbagai
pengaruh. Realitasnya jauh lebih subtil, seperti yang saya harap akan
menjadi jelas dari paragraf-paragraf penutup. Sinkretisme barangkali
menjelaskan sebagian kontradiksi dalam teks mereka, tetapi tujuan
mereka ini menerangkan orisinalitas mereka yang sebenarnya.
Apa yang sesungguhnya diinginkan Ikhwan Ash-Shafa’ dan apa
tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan setiap doktrin Islam
dan non-Islam yang dapat mereka kumpulkan adalah keselamatan yang
hendak dicapai melalui penyucian diri dalam kehidupan ini.
Apakah Ikhwan Ash-Shafa' benar-benar Muslim? Pertanyaan ini
dapat dijawab dengan dua cara, bergantung pada sejauh mana eksklusif
atau inklusifnya citra yang dimiliki seseorang mengenai Islam.
Barangkali, cara yang baik untuk mencirikan atau mengikhtisarkan
mereka adalah menyebut Ikhwan sebagai "Orang-Orang Muslim yang
Bijak" . Mereka sangat menghormati pengetahuan dan kebijaksanaan.
Karena menghargai intelek, mereka sering melalaikan tubuh dalam cara
yang betul-betul asketis dan Platonik. Minat mereka pada kecermatan
pemikiran, dan pandangan: pandangan yang mendukung gagasan
mereka, kadang telah membawa mereka pada eklektisisme rumit yang
mencakup pandangan orang Kristen atau orang India dan membuahkan
capaian-capaian lanjut mereka dalam matematika. Apakah mereka
benar benar filsuf atau sekadar intelektual pembual (magpies) tanpa
suatu sistem yang jelas? Jika seseorang mendefinisikan filsuf menurut
pengertian etimologis aktual kata itu, jawabnya "ya". Mereka mungkin
tidak melahirkan suatu sistem tunggal yang "rapi", teks mereka kadang
tampak sarat dengan kontradiksi-kontradiksi, tetapi tidak diragukan lagi
bahwa teks itu ditopang oleh pendirian filosofis dan teologis yang asli,
suatu pendirian tentang keselamatan melalui asketisme dan
kebijaksanaan. Begitulah Ikhwan Ash Shafa'-misteri sejarah yang
memberikan nilai sejarah tinggi dalam filsafat Islam.6
B. Karya-Karya Ikhwan Ash-Shafa’
Ikhwan Ash-Shafa' menghasilkan sebagai magnum opus
[masterpiece]-nya yang terhimpun ke dalam sebuah kumpulan tulisan yang
terdiri dari 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam yang
mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang dari musik
sampai sihir. Tekanannya bersifat amat didaktik, sedangkan kandungannya
sangat eklektik. Ini memberikan cerminan pedagogis dan kultural zaman
mereka serta beragam filsafat dan kredo masa itu. Rasa'il sendiri dibagi
dengan apik menjadi empat bagian utama: 14 terfokus pada ilmu
matematis, 17 membahas ilmu kealaman, 10 berhubungan dengan ilmu
psikologis dan intelektual, dan 11 mengakhiri empat jilid edisi Arab
terakhir dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut metafisika
atau ilmu teologis.
Aspek pokok Rasa'il adalah bagian utamanya yang menampilkan
perdebatan panjang antara manusia dan para utusan dari kerajaan binatang:
ini mengisi sebagian besar Risalah ke-22 yang berjudul On How the
Animals and Their Kinds are Formed (Netton [1982]: 2). Bagian ini telah
ditelaah secara ilmiah, dianalisis serta diterjemahkan oleh L.E. Goodman
(1978).
Namun, Seyyed Hossein Nasr (1978: 39) memperingatkan bahwa
"sumber-sumber mengenai Ikhwan, hendaknya tidak dianggap sebagai teks
historis semata." Dia menerjemahkan bagian dari suatu wacana (Rasa'il, 4:
42), yang di dalamnya "mereka sendiri menginformasikan kepada pembaca
mengenai universalitas sumber-sumber mereka, dengan memasukkan
wahyu dan alam, di samping teks-teks tertulis," sebagai berikut:
Kita telah mengambil pengetahuan dari empat buku. Buku pertama
berisi ilmu-ilmu matematis dan kealaman yang telah dibangun oleh orang-
orang bijak dan para filsuf. Kedua, terdiri atas kitab-kitab wahyu, seperti

6
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 110
Taurat, Injil, dan Al-Quran, dan lembaran-lembaran catatan (shehufpenerj.)
lain yang dibawa oleh para nabi melalui malaikat Wahyu. Ketiga, buku-
buku tentang alam yang merupakan gagasan-gagasan (shawar) dalam
pengertian Platonik mengenai bentuk-bentuk (asykal) ciptaan yang secara
aktual ada, dari susunan benda-benda langit, pembagian zodiak, gerak
bintang, dan sebagainya, hingga perubahan unsur-unsur, produksi pelbagai
jenis mineral, tumbuhan dan binatang, dan berbagai ragam industri
manusia... Keempat, terdiri atas buku-buku ilahiah yang hanya menyentuh
orang-orang suci dan malaikat mana yang dekat dengan makhluk-makhluk
pilihan, serta jiwa-jiwa yang mulia dan suci.
Pengetahuan
Ikhwan Ash-Shafa' membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu:
1. pengetahuan adab/sastra.
2. pengetahuan syariat, dan
3. pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat, mereka bagi menjadi empat
bagian, yaitu;
a. pengetahuan matematika,
b. pengetahuan logika,
c. pengetahuan fisika, dan
d. pengetahuan ilahiah/metafisika. Pengetahuan syariat adalah pengetahuan
nubuwwah yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan
adab/sastra dan pengetahuan filsafat merupakan hasil upaya jiwa
manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah
pengetahuan syariat atau nubuwwah, yakni pengetahuan yang diperoleh
para nabi melalui wahyu, sedangkan yang paling mulia sesudahnya
adalah pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh tidak
melalui wahyu, tetapi melalui pemikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan Ash
Shafa', pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan
dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, kemudian menyusul pengetahuan
tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan hubungannya dengan raga (tubuh),
keberadaannya yang sementara dalam tubuh, kelepasannya dari tubuh, dan
keberadaannya kembali di alam jiwa. Selanjutnya adalah pengetahuan
tentang hari berbangkit (kiamat), hari berhimpun, hari penghitungan amal,
hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka
mengajarkan supaya para anggota jemaah Ikhwan Ash-Shafa' mempelajari
semua pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik
terhadap salah satu mazhab.7

7
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 102
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat, menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa', memiliki tiga taraf,
yaitu: (1) taraf permulaan, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala
yang ada, (3) taraf akhir, yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang
sesuai dengan pengetahuan.
Pemikiran filsafat menurut Ikhwan Ash-Shafa’ dibagi menjadi tiga :
1. Filsafat alam
2. Filsafat dan angka
3. Manusia dan jiwa

Karya-Karya Ikhwan Ash-Shafa’

Ikhwan Ash-Shafa' menghasilkan sebagai magnum opus


[masterpiece]-nya yang terhimpun ke dalam sebuah kumpulan tulisan yang
terdiri dari 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam yang
mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang dari musik
sampai sihir.
B. Saran

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih


banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan
dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz Dahlan, Abdul. 2003. “Filsafat” dalam Ensiklopedi. Bandung

Supriyadi, M.Ag, Dedi. 2019. Pengantar Filsafat Islam. Bandung

Anda mungkin juga menyukai