MAKALAH
Oleh :
Dosen :
KOTA BANJAR
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah Filsafat Islam dengan judul “Pemikiran Filsafat
Ikhwan Ash-Shafa’ ”. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Islam atas bimbingan yang telah diberikan serta
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. TUJUAN
D. MANFAAT
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
PEMBAHASAN
2
Abdul Aziz Dahlan, 2003, “Filsafat” dalam Ensiklopedi...., Hal 194
3
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 105
cairan dalam diri manusia. Kecapi mempunyai empat senar dan bahkan
materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan di balik pemuliaan
terhadap angka tertentu semacam ini mudah ditemukan. Tuhan
menciptakan "banyak hal dalam kelompok empat-empat dan materi-
materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan,
atau selaras, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas
mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa
Universal, dan Materi Pertama"
Menurut Ikhwan Ash-Shafa', seseorang dapat belajar tentang
keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan
angka dan mereka menyatakan, "Pythagoras percaya bahwa yang kedua
menuntun ke yang pertama. Kendatipun mencurahkan perhatian mereka
pada bilangan, Ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan
utama kaum Pythagorean, seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka
dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak gagasan-
gagasan Pythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan lebih
berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali
kehidupan di bumilah yang dapat memasukkan manusia ke dalam
surga.4
3. Manusia dan Jiwa
Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash-
Shafa' memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang
bersifat imateri, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air,
udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa
masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang
telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti dalam
kisah Adam a.s. dan pasangannya, Hawa). Karena pelanggaran itu, jiwa
diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke
dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang semulanya memiliki
pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh,
4
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 107
menjadi lupa sama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah
pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan
bantuan tubuh dan pancaindra tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur
angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara
aktual. Dalam versi lain, tidak tergambar bahwa keterusiran Adam a.s.
dari surga ke bumi adalah keterusiran jiwanya dari alam rohani, bagi
jiwa, masuk ke dalam tubuh yang terdapat di bumi. Tulisan versi in
menggambarkan bahwa Adam a.s. dan pasangannya Hawa, berada di
surga yakni taman yang subur dan menyenangkan yang terletak di suatu
tempa yang tinggi di bumi juga. Karena setan berhasil menipu
keduanya sehingga keduanya melanggar larangan Tuhan, keduanya
diusir dari tempat yang tingg itu dan harus turun ke tempat yang lebih
rendah di bumi, menjalani kehidupan yang jauh lebih susah karena
tempatnya yang baru bukan merupakan taman yang subur.5
Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia,
jiwa manusia, menurut Ikhwan Ash-Shafa', karena berada di dalam
tubuh, awalnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki kemampuan
untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia
haruslah di didik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang
diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya
pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas
maupun tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan
pendidikan yang benar, jiwa manusia menjadi suci, tidak bergelimang
dosa karena memperturutkan hawa nafsu. Jiwa manusia yang bersih ini
dikatakan oleh Ikhwan Ash-Shafa' sebagai malaikat dalam potensi. Bila
datang waktu kematian, yakni waktu berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa
manusia itu mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam
rohani, yang terletak di alam langit. Berbahagia di sana dengan segala
macam kesenangan rohani. Sebaliknya, jiwa manusia yang bergelimang
dosa, kotor karena memperturutkan hawa nafsu, mereka dikatakan
5
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 108
sebagai setan dalam potensi. Bila datang waktu kematian, jiwa manusia
itu mengaktual menjadi setan tidak bisa naik ke alam surga di langit,
tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam
neraka materi di bumi dan lapisan udara di bawah langit/falak bulan,
karena keinginan-keinginannya yang tetap membara untuk
mendapatkan kesenangan lewat jasmani tak pernah lagi terpenuhi.
Baik emanasi maupun hierarki, yang merupakan istilah-istilah
kunci Neoplatonisme klasik, tergambar dengan jelas dalam pemikiran
Ikhwan Ash Shafa. Dengan menggunakan tamsil matahari, yang
mempunyai kesamaan dengan pembandingan yang dipakai oleh
Plotinus sebelumnya, Ikhwan menyatakan,
Bagaimana kemurahan dan kebaikan yang terdapat pada Tuhan
memancar (afadhah) dari-Nya melalui keniscayaan
kebijaksanaan’
(bi-wajib al-hikmah) sebagaimana cahaya dan kecemerlangan
memancar dari matahari. Produk pertama emanasi (faidh) terus
menerus ini disebut akal aktif (al-'aql al-fa'al), yang darinya
kemudian memancar akal pasif (al-'aql al-munfa'il) atau Jiwa
Universal; dari yang terakhir inilah memancar Materi Pertama.
6
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 110
Taurat, Injil, dan Al-Quran, dan lembaran-lembaran catatan (shehufpenerj.)
lain yang dibawa oleh para nabi melalui malaikat Wahyu. Ketiga, buku-
buku tentang alam yang merupakan gagasan-gagasan (shawar) dalam
pengertian Platonik mengenai bentuk-bentuk (asykal) ciptaan yang secara
aktual ada, dari susunan benda-benda langit, pembagian zodiak, gerak
bintang, dan sebagainya, hingga perubahan unsur-unsur, produksi pelbagai
jenis mineral, tumbuhan dan binatang, dan berbagai ragam industri
manusia... Keempat, terdiri atas buku-buku ilahiah yang hanya menyentuh
orang-orang suci dan malaikat mana yang dekat dengan makhluk-makhluk
pilihan, serta jiwa-jiwa yang mulia dan suci.
Pengetahuan
Ikhwan Ash-Shafa' membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu:
1. pengetahuan adab/sastra.
2. pengetahuan syariat, dan
3. pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat, mereka bagi menjadi empat
bagian, yaitu;
a. pengetahuan matematika,
b. pengetahuan logika,
c. pengetahuan fisika, dan
d. pengetahuan ilahiah/metafisika. Pengetahuan syariat adalah pengetahuan
nubuwwah yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan
adab/sastra dan pengetahuan filsafat merupakan hasil upaya jiwa
manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah
pengetahuan syariat atau nubuwwah, yakni pengetahuan yang diperoleh
para nabi melalui wahyu, sedangkan yang paling mulia sesudahnya
adalah pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh tidak
melalui wahyu, tetapi melalui pemikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan Ash
Shafa', pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan
dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, kemudian menyusul pengetahuan
tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan hubungannya dengan raga (tubuh),
keberadaannya yang sementara dalam tubuh, kelepasannya dari tubuh, dan
keberadaannya kembali di alam jiwa. Selanjutnya adalah pengetahuan
tentang hari berbangkit (kiamat), hari berhimpun, hari penghitungan amal,
hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka
mengajarkan supaya para anggota jemaah Ikhwan Ash-Shafa' mempelajari
semua pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik
terhadap salah satu mazhab.7
7
Dedi Supriyadi, M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Hal 102
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat, menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa', memiliki tiga taraf,
yaitu: (1) taraf permulaan, yakni mencintai pengetahuan, (2) taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala
yang ada, (3) taraf akhir, yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang
sesuai dengan pengetahuan.
Pemikiran filsafat menurut Ikhwan Ash-Shafa’ dibagi menjadi tiga :
1. Filsafat alam
2. Filsafat dan angka
3. Manusia dan jiwa