Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat
berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para
filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain
sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok
masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat
rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang
muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.1
Para filsuf tersebut mengemukakan konsep-konsep pendidikan baru di zaman
selanjutnya, konsep-konsep pendidikan itu menjadi landasan dasar pengembangan
pendidikan. Pendidikan dipilih menjadi sarana untuk memperbaiki moral bangsa penting kita
konsep secara sistematis dan struktur, baik dari segi tujuan pendidikan, pendidikan, maupun
peserta didiknya. Karena diharapkan, pendidikan mampu menciptkan insan yang lebih baik
dalam akhlak maupun kecerdasan intelektualnya.
Salah satu pandangan konsep pendidikan adalah konsep pendidikan menurut Ikhwan
al-Shafa, hal ini menjadi penting karena Ikhwan al-Shafa menitik beratkan tujuan pendidikan
itu untuk pengenalan diri. Selain itu, Ikhwan al-Shafa juga mengedepankan kepentingan
sosial diatas kepentingan pribadi. Hal ini dapat menimbulkan nilai-nilai baik pada peserta
didik, jika nilai ini terus dikembangkan, maka peserta didik akan menjadi orang yang
bermanfaat, dan tentu perbaikan-perbaikan sosial yang dilakukan di masyarakat sekarang
mudah di capai. Untuk lebih jelasnya filsafat dan konsep pendidikan Ikhwan al-Shafa akan
dibahas dalam makalah ini.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi dari Ikhwan al-Shafa?
2.    Bagaimana pemikiran tentang konsep pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa?
3.    Bagaimana ciri-ciri modern/global pemikiran Ikhwan al-Shafa?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui biografi Ikhwan al-Shafa
2. Untuk mengetahui implikasi pemikiran pendidikan Ikhwan al-Shafa di era global
3. Untuk mengetahui ciri-ciri modern/global pemikiran Ikhwan al-Shafa

1
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hlm. 181.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1.    Biografi Ikhwan al-Shafa


Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak dalam
bidang filsafat dan  ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al Safa berarti
persaudaraan yang suci dan bersih. Maka atas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan
yang dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju Ridlo Ilahi.
Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di kota Bashrah, Irak. Ikhwan al-Shafa
merupakan para perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak
memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama islam yang didasarkan pada
persaudaraan islamiyah (ukhuwwah islamiyyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman
seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia mencintai saudaranya seperti ia
mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisai ia memiliki semangat dakwah dan tablik
yang amat militan dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. 2 Semua anggota
perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di
masyarakat.3 Disinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Safa dengan pendidikan.
               Informasi lain menyebutkan bahwa organisai ini didasarkan oleh kelompok
masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan
memiliki misi politis. Namun bersamaan dengan itu pula ada yang menyatakan bahwa
organisasi ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan
pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa, dan akidah.4
Diantara anggotanya yang dapat diketahui nama-nama mereka adalah sebanyak lima orang,
yaitu:5
a.    Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti atau dikenal dengan nama al-Maqdisy
b.    Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjany
c.    Abu Ahmad al-Mahrajani
d.   Al-Qufy
e.    Zaid Ibnu Rifa’ah
Secara umum yang melatar belakangi kemunculan Ihwan al-Shafa yaitu keprihatinan
terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran diluar Islam, serta
2
Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Al-Tarbiyah Fi Al-Islam, Hlm 227. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H.
Abuddin Nata, 2005. Hlm 231
3
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm 92-93. Dalam Filsafat Pendidikan Islam, H. Abuddin
Nata, 2005. Hlm 231.
4
H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta 2005. Hlm 231-232
5
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
2014. Hlm 161.

2
untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam.
Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan untuk mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani,
Persia, dan lainnya yang kemudia dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu
ikhtisar dan mazhab filsafat sendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun
sebuah buku yang terdiri dari sebuah risalah yang berjudul “Raisail Ikhwan al-Shafa wa al-
Kullah al-Wafa” yang berjumlah 52 rasail didalamnya.6
Kitab ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang ppengetahuan yang ada ketika
itu mencangkup semua objek studi manusia, seperti:7
1)      14 risalah tentang matematika yang mencangkup: geometri, astronomi, musik, geografi,
teori, dan praktek seni logika.
2)      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, meliputi: geneologi, minerologi, botani, hidup dan
matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
3)      10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mahzab Pytagoreanisme dan kebangkitan
alam.
4)      11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencangkup kepercayaan dan keyakinan
hubungan alam dengan Tuhan, keyakinan Ikhwan al-Shafa, kenabian dan keadaanya,
tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan,magic dan jimat.

2.    Konsep Pendidikan Ihwan al-Shafa


               Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran.
Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilam
dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah
diberikan sejak masa janin dalam rahim.8 Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif
dalam gerakan reformatif pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran)
dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat
intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang
diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi
karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.9  
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya, sementara
jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini membuat perumpamaan
bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah, ibarat kertas putih bersih, belum ternoda

6
Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
7
Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005. Hlm 46
8
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168
9
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 232

3
apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas
yang tidak akan dihilangkan.10
a.    Cara mendapat ilmu
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan pengetahuan
manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan melalui perlimpahan. Proses
perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu
melalui proses imanasi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam
sekitarnya. Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara,
yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang
perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah
perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan
cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru
dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari
Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi,
dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.11 Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan
al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.12
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu harus
diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian dapat
diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis dalam pemikiran itu
bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran, melainkan lukisan tersebut
merupakan pantulan yang terjadi karena adanya kiriman dari panca indra. Jadi  bukan karena
ide dari alam pikiran. Dengan panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu
pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78
.‫وهللا اخرجكم من بطون امهاتكم التعلمون شيأ وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون‬
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan
tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai
sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan
adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme.
Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang dapat mengetahui segala

10
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 232
11
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 185-186
12
www.mindarakyat2.tripod.com

4
sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus
berhubungan dengan alam ide. Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.13
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme.
Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan
alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan cara
membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang dapat
memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.14

b.    Tipe ideal guru


Nilai seorang guru bergantung pada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu mereka mensyariatkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan
pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan penyiaran dakwahnya.
Keberhasilan siswa tergantung pada kepada guru yang cerdas, baik akhlaknya, lurus
tabi’atnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran, dan tidak bersifat
fanatisme terhadap suatu aliran.15
Syarat-syarat guru demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada dalam
organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka memiliki aturan tentang jenjang seorang guru
yang oleh istilah mereka dikenal dengan nama ashhab al-namus. Mereka itu
adalah mua’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab al-namus adalah malaikat, dan guru
malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya
Allah-lah sebagai guru dari sesuatu. Guru, ustadz atau mu’addib dalam hal ini berada pada
posisi ketiga. Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa,
terbagi menjadi:16
1)   Al-Abrar al-Ruhama’ (yang baik pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahun-
an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata dan cepat paham.
2)   Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30
tahun-an. Mereka bercirirkan concern terhadap ikhwah, murah hati, lembut, santun dan
peduli pada ikhwah.
3)   Al-Fudlala’ al-kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40
tahun-an. Bercirikan otoritatif, direktif, dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan
cara bijak, santun,dan rekonstruktif,
4)   Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu kelompok yang
berusia 50 tahun-an. Bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa, dan penyaksian kebenaran.

13
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, hal. 232-234
14
Ahmad Fu’ad al-Ahnawi, Op. Cit., Hlm 227-228 dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234.
15
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 234
16
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 147-148.

5
Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan menjadi empat dimensi:
a)    Kitab suci yang diturunkan, misal Taurat, Injil, dan Al-Qur’an.
b)   Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ (orang-orang bijak) dan filosof, baik beruppa
Matematika, fisika-kealaman, Sastra dan filsafat.
c)    Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya.
d)   Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut sebagai noumenon,
ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).

Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan


Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri hanya pada satu
sumber, melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan menyeluruh tentang sumber-
sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa mereka menolak
fanatisme dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga
mereka mampu untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan
perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinameka
keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya melalui sistem
pendidikan yang efektif.17
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran
Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta Para sejarawan kontemporer pun
mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan
pemikiran Islam, yaitu berupa:18
a.    Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad
ke-empat hijriah, hingga merekalah yang paling fasih berbicara tentang masalah ini.
b.    Perintisan program penyusunan karya ensiklopedia pemikiran keislaman, yaitu dengan
risalah-risalah populer mereka.
c.    Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam
ilmu dan filsafat.

3.    Ciri-Ciri Modern/Global Pemikiran Ikhwan Al-Shafa


a.    Al-Tawfiq Dan Al-Talfiq
Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan al-Shafa terlihat pada tujuan pokok bidang
keagamaan yang hendak dicapainya, yakni merekosiliasikan atau menyelaraskan antara
agama dan filsafat dan antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan
mereka bahwa syariah telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai
kesesatan, satu-satunya jalan membersihkannya adalah dengan filsafat.19

17
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 148-149
18
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 150-151
19
Sirajudin Zar, Filsafat Islam : Filosof Dan Filsafatnya, Jakarta, 2004. Hlm.143

6
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan
metafisika dan ilmu pengertian dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau
secara aktif-praktis. Dengan demikian, harus dimunculkan satu tingkat kepercayaan yang
menengahi tingkat kepercayaan yang telah ada, tingkat yang cocok bagi orang-orang pilihan
dan bagi orang kebanyakan yaitu tinggkat kepercayaan yang cocok bagi keduanya, yang
berakar pada akal, dipotong oleh kitab suci, dan dapat diterima oleh semua kelompok pencari
kebenaran.20
          Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang berkembang pada
waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi dan lain karena,
menurut mereka tujuan agama adalah sama yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan.21
b.    Metafisika
Adapun mengenai ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikiran kepada bagian.
Menurut mereka, ilmu bilangan adalah lidah yang mempercayakan tentang tauhid, al-
tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih, serta dapat menolak sikap orang yang mengingkari
keesaan Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang angka membawa kepada pengakuan
tentang keesaan Tuhan, karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu belum angka dua dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka pemula dan ia lebih dahulu
dari angka dua atau angka lainnya. Karena itu keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni
angka satu. Sedangkan angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Karena itu terbuktilah bahwa
lainya bahwa yang Esa (Tuhan) lebih dahulu dari lainnya seperti dahulunya angka satu dari
angka yang lain.22
Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih, meniadakan sifat dan tasybih kepada
Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi
bentuk tanpa waktu dan tempat, cukup dengan firman-Nya kun fa kana. Maka adalah segala
yang dikendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti
adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu tidak dapat dibagi
dan tidak serupa deng an bilangan lain. Demikian pula Tuhan tidak ada menyamai dan
menyerupai-Nya. Tetapi, ia jadikan fitrah manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.23
Tentang ilmu Tuhan, Ikhwan al-Shafa beranggapan bahwa seluruh pengetahuan (al-
ma’lumat) berada dalam ilmu Tuhan sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam satu.
Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Tuhan dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang

20
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47.
21
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 47.
22
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 48.
23
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 48.

7
banyak dari bilangan yang satu yang merupakan seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Tuhan
terhadap segala sesuatu yang ada.24
Berkaitan dengan penciptaan alam, pemikiran Ihwan al-Shafa merupakan perpaduan
antara pendapay Aristoteles, Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan al-Shafa, Tuhan adalah
pencipta dan mutlak Esa. Dengan kemauannya sendiri Tuhan menciptakan Akal Pertama atau
Akal Aktif (al-‘aql al-fa’al) secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan materi pertama
(al-hayula al-ula).n demikian, jika Allah kadim, lengkap dan sempurna, maka akal pertama
ini juga demikian halnya. Pada Akal Pertama ini lengkap segala potensi yang akan muncul
pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaran akal,
maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Dengan demikian juga halnya materi
pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaran jiwa, maka Materi Pertama
adalah kadim, dan tidak lengkap, dan tidak sempurna.
Jadi, berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian tauhid
dapat pelihara dengan sebaik-baiknya. Lengkapnya rangkaian proses emanasi adalah:
Allah maha pencipta dan dari-Nya timbullah:25
1)   Akal Pertama atau Akal Aktif (al-Aql wa al-Fa’al)
2)   Jiwa Universal (al-nafs al-kulliyah)
3)   Materi Pertama (al-hayula al-ula)
4)   Potensi Jiwa Universal (al-thabi’ah al-fa’ilah)
5)   Materi Absolut atau Materi Kedua (al-jism al-muthlaq)
6)   Alam Planet-planet (‘alam al-falak)
7)   Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang mutlak, semournalah jumlah
bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini membentuk substnsi organik pada tubuh
manusia yaitu tulang, sumsum, daging, urat saraf, kulit, rambut dan kuku.26
            Segala sesuatu di alam ini adakalnya berupa materi, bentuk, jauhar
atau aradh. Jauhar yang pertama adalah materi dan bentuk. Sedangkan aradh yang pertama
adalah tempat, gerak dan zaman.
                        Salah satu pemikiran Ikhwan al-Shafa yang mengagumkan adalah rentetan emanasi ke
delapan. Mereka telah mendahului Charles Darwin (1809-1882 M) tentang rangkaina
kejadian alam secara evolusi. Menurut mereka, alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam
hewan merupakan satu rentetan yang sambung menyambung. Obyek-obyek fisik tersusun
atas empat unsur yang menimbulkan, melalui perantaran empat kualitas utama, onyek-obyek
gabungan di dunia ini, yaitu meneral tumbuh-tumbuhan dan hewan. Jadi, tingkatan
penciptaan yang paling rendah adalah meneral dan paling tinggi mencapai puncaknya pada

24
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 49.
25
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 149
26
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 49.

8
manusia sebagai khalifoah Allah di muka bumi, yang merupakan tapal batas antara urutan
malaikat dan hewan.27
                        Menurut Ikwan al-Shafa, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kaum stoik, tubuh
manusia merupakan munuatur alam sementara sebagai keseluruhan (ikosmos).28
Tentang logika, Ikhwan al-Shafa mengajukan konsep alur berpikir yang lurus, yaitu urutan
berpikir sistematis: (1) analisis (al-tahlil), untuk mengetahui obyek inderawi secara rinci, (2)
definitif (al-had) untuk mengetahui hakikat species (naw’) dan (3) deduktif (al-burhan),
untuk mengetahui henus (al-jins).29
c.    Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia
banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam
perkembangannya, jiwa dibatu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk
berkembang.30
            Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya seperti
kertas putih bersih dan belum ada coretan. Lembaran pytih tersebut akan tertulis dengan
adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki
daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhayyilat). Dari sini meningkat ke daya berpikir (al-
quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pda tingkat ini manusia
sanggip membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan
ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhat) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada
tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya
berpikir. Tingkatan terakhr adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu
kemampuanmengungkapkan pikiran dan ingatan lewat bahasa tulis kepada pembaca.31

d.   Moral
Adapun tentang moral, Ikhwan al-Shafa bersifat rasionalitas. Untuk itu suatu tindakan
harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus
melepaskan diri dari ketergantungan materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai
kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia.32
            Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih kasayang, keadilan,
rasa syukur, mengutakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus
menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, hahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kedzaliman,

27
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 50.
28
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 51.
29
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52.
30
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
31
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152
32
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 52

9
dan kepalsuan harus dikiks habis hingga timbul kesucian perasaan, cinta terhadap sesaman
manusia, dan keramahan terhadap alam.33
            Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu bentuk-bentuk cahaya sepiritual dan
entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa, maka semakin dapat memahami makna
dasae yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaianya dengan pengetahuan rasional
dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat keinginan-keinginan dan
kesenangan-kesenangannya, ia tidak dapat mengetahui makna kitab suci dan tidak bisa
merenungkan apa yang ada di dalamnya. Demikian juga setelah peristiwa kematian, dia tidak
akan bisa terbebas dari beban-bebanya dan tidak bisa masuk syurga dan dia akan dimasukkan
ke dalam neraka. Itu adalah akibat dari kekufuran, kesalahan, kebodohan dan kebutaan
terhadap makna dasar kitab suci.
e.    Bilangan
Tujuan Ikhwan al-Shafa membicarakan bilangan untuk mendemonstrasikan bagaimana
sifat bilangan itu bila diterapka dalam sesuatu, sehingga siapa saja yang mendalami bilangan
dengan segala hukum-hukumnya, sifat-sifat dasarnya, jenis-jenisnya akan memahami jumlah
macam-macam benda.34

4.    Implikasi Dan Relevansi Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al- Shafa Di Era Global
Ada beberapa implikasi dari pemikiran pendidikan Ikwan al-Shafa di era global,
diantaranya sebagai konsekuensi formulasi relasi komplementar dari konsepsi Ikhwan al-
Shafa tentang manusia, pengetahuan, ilmu/program kurikuler dan belajar, maka mereka
membangun teori pendidikan yang komprehensif, sempurna dan gradual.35
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
indera, akal untuk berpikir murni dan inisiasi.36 Melalui panca indera yang dengannya
manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang dapat ditangkap
oleh indera. Dengan akal prima atau berpikir murni yang dibantu dengan indera, sebagai alat
untuk memahami dan menggambarkan sesuatu agar seseorang mencapai hakikat yang
menuntunya beriman, akal yang dapat menangkap hal-hal abstrak, akal sebagai dorongan
moral dan untuk mengambil pelajaran/hikmah.37 Melalui inisiasi yang berkaitan erat dengan
doktrin esoteris Ihwan al-Shafa, yakni melalui cara ini seseorang mendapatkan ilmu
pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan

33
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 53.
34
Hasyimsah  Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media, 2005. Hlm 55.
35
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 164.
36
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 2005. Hlm. 182
37
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
2014. Hlm 71-72

10
sedalam-dalamnya.38 Dalam artian bahwa manusia dapat belajar pengetahuan melalui apapun,
termasuk melalui alam. Dengan begitu akan membuat seseorang akan mengenal sumber dari
segala sumber ilmu, yakni Allah swt.
Secara tersirat bahwa dalam konsep manusia (peserta didik) Ihkwan al- Shafa secara
halus menguatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi psikomotorik, kognitif, dan
efektif pada masing-masing individu.39 Hal ini tentu releva dengan pendidikan yang ada pada
zaman sekarang ini yang dalam pembelajaran dikelas sangat mengutamakan ketiga ranah
tersebut dalam setiap aspek yang diajarkan didalam kelas, tidak terkecuali penilaian dan
evaluasi dalam pembelajaran yang bersifat autentik yang mencangkup ketiga ranah tersebut.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat efektif
pada hirarki paling atas dan mulia dibanding dengan fungsi-fungsi lainnya.40 Hal ini bisa
dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan akhlak seseorang
sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan luhur kependidikan
yaitu pengenalan diri. 41 Melalui pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan
dapat mengenal Tuhannya.
Busyairi Madjidi menjelaskan bahwa beberapa contoh pokok pikiran mereka mengenai
pendidikan dan pengajaran masih relevan dengan pendidikan dan pengajaran dengan
pendidikan modern sekarang. Diantaranya ialah tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan.42
a. Mengenai tujuan pendidikan Ikhwan al-Shafa melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah
dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya
bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada akhirat.
Dalam hal ini Ikhwan al-Syafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan (aqliyah) kepada 3
(tiga) kategori, yaitu: matematika, fisika,dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada
pada kedudukan yang sama, yaitu sama bertujuan menghantar peserta didik mencapai dunia
dan akhirat.43
b.    Kurikulum pendidikan tingkat akademis mereka berpendapat agar dalam kurikulum tersebut
mencangkup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, kenabian, ilmu
syariat dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih diberi perbatian adalah ilmu keagamaan yang
merupakan tujuan akhir dan pendidikan (M. Athiyah al-Abrasyi, 1975).

38
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005. Hlm 18
39
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 156
40
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 156
41
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama  Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis.
Hlm 152
42
Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
2016. Hlm 164
43
 Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Hlm 184

11
c.    Mengenai metode pengajaran Ikhwan al-Shafa mengemukakan prinsip: “hal yang konkrit
kepada abstrak” berkata dalam Rasailnya: “Seharusnya orang yang akan mempelajari dasar-
dasar segala yang ada (maujudat), ialah agar mengetahui dasar-dasar menurut hakekatnya
yaitu agar mempelajari segala yang konkrit dan dapat diraba. Dengan demikian akan terbuka
pikirannya dan menjadi kuat untuk mempelajari yang abstrak.
d.   Perbedaan bakat individu dan sebab-sebabnya
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapat menerima suatu
kepandaian  bila sesuai dengan pembawaan mereka masing-masing. Sementara ada orang
yang berbakat pada satu macam kepandaian atau beberapa macam kepandaian. Mereka
dengan gampang menerima kepandaian itu sampai mencapai prestasi yang tinggi. Dalam
waktu yang singkat sudah dapat diketahui dari pekerjaan mereka, bahwa mereka betul-betul
berbakat. Tapi ada juga orang yang memerlukan dorongan yang besar dan upaya yang keras
untuk mengejar suatu kepandaian, karena tak sesuai dengan bakat pembawaannya, dan tidak
ada bintang yang membawa bekal pada hari kelahirannya lalu gagal. Dalam pada itu terdapat
pula sebagian orang yang sama sekali tidak mempelajari kepandaian, dia kosong dari
berbagai macam kepandaian. Hal ini disebabkan pada waktu kelahirannya tidak ada
bintang  di buruj yang menyambutnya dan membekalinya dengan suatu bakat. Sekiranya
pada waktu kelahirannya terdapat salah satu dari tiga bintang yang menyambutnya tentuulah
dia punya bekal kepandaian yang akan dipelajarinya. Ketiga bintang itu ialah Mirrich (Mars),
kejora (Venus) dan Uthaarid (Mercury). Setiap macam kepandaian memerlukan gerak
kelincahan dan ketekunan (rajin) dan kecerdasan. Bintang Mars mempunyai gerak/lincah,
bintang kejora (Zahrah) mempunyai sifat-sifat rajin (ketekunan) dan bintang Mercury
mempunya kepintaran. Adapun empat benda di langit lainnya, tidaklah memberi suatu
kepandaian profesional, tapi pekerjaan pada umumnya yang cocok baginya. Empat benda
langit itu ialah matahari, bintang Zuhal (saturnus), bintang Musytari (Yupiter) dan bulan. 44
     Bila hari kelahiran disambut Matahari dia tidak punya kepandaian karena sombongnya,
seperti halnya anak-anak para raja. Bila kelahiranya disambut oleh Yupiter, dia tidak akan
belajar kepandaian dan tidak pula tahu karenazuhud dan wara’, dia sudah rela dan ikhlas
menerima sedikit saja dari kebutuhan duniawi, dan perhatiannya yang besar pada kepentingan
akhirat.  Seperti halnya nabi-nabi dan orang-orang mengikuti jejaknya. Bila lahirnya
disambut oleh Bintang Saturnus, maka dia tidak bekerja dan tidak belajar karena malas,  dan
tabiatnya yang berat untuk bergerak. Dia sudah merasa senang dengan kehinaan dan
kemiskinan, seperti halnya orang yang minta-minta. Bila hari kelahiranya disambut oleh
bulan yang berada di buruj (gugusan bintang) maka dia tidak akan bekerja karena rendah dan

Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus


44

Global, 2016. Hlm 165


12
lembeknya tabiatnya dan lemah pikirannya. Seperti halnya kaum wanita dan sebagian laki-
laki yang menyerupai wanita.45

Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus


45

Global, 2016. Hlm 166.


13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ikhwan al-Shafa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat
yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Perkumpulan ini dibentuk di kota Bashrah
Irak sekitar tahun 340/941 olah Zayd Ibn Rifa'ah dan berkemb ang pada abad ke dua Hijriah.
Ikhwan al-Shafa merupakan para perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang
banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab,
kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilam dan
kesehatan sang ibu yang hamul. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah
diberikan sejak masa janin dalam rahim.46 Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil
eksklusif dalam gerakan reformatif pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun
(pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang
pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara
pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran
dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran
manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.
Pandangan Ikwan al-Shafa menempatkan fungsi-fungsi spiritual yang bersifat efektif
pada hirarki paling atas dan mulia dibanding dengan fungsi-fungsi lainnya. Hal ini bisa
dikatakan bahwa Ikhwan al-Shafa sangat mengedepankan religiousitas dan akhlak seseorang
sebagai bagian dari tujuan pendidikan. Selain itu, tujuan luhur kependidikan yaitupengenalan
diri. Melalui pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri maka ia akan dapat mengenal
Tuhannya.
B. Saran
Apapum di setiap ilmu, pastilah memberikan sumbangan besar terhadap Pendidikan, baik
dalam konsep dan teori, maupun dalam hal praktis. Demikian pula dengan hadirnyailmu
filsafat islam yang mempelajari pemikiran-pemikiran para tokoh mengenai filsafat islam,
tentunya terdapat hikmah yang baik dalam meningkatkan Pendidikan. Dan Ketika kita
menyadari bahwa berfilsafat dapat melatih kita berfikir secara radikal dan sampai pada akar-
akarnya.
Dengan demikian, kami berharap agar pembaca dapat mengambil hikmah dari apa yang
telah kami susun di atas. Meski begitu, kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami harap
pembaca sekalian dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini
dapat menjadi jauh lebih bermanfaat di masa yang akan datang.
46
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis, Yogyakarta 2002. Hlm 168

14
DAFTAR PUSTAKA

Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus


Global, kurnia kalam semesta, Yogyakarta 2016.

Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu.2005.


Hasyim Nasution, Filsafat Islam, Jakarta; Gaya Media,2005.

  M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-


Filosofis, Yogyakarta 2002.
Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya,.Hlm 152

http://fuadmukti.blogspot.com/2016/01/pendidikan-islam-dalam-pandangan-ikhwan_65.html?
view=mosaic  dikutip pada hari selasa 11-09-2018 pukul 14.21WIB
Harefa Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar On Becoming A Learner: Pemberdayaan Diri,
Transformasi Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, Kompas, Jakarta
2000.
  Ramayulis, Pendidikan Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Kalam
Mulia, Jakartta, 2015.

15

Anda mungkin juga menyukai