Anda di halaman 1dari 67

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi
tulang punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi
tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian adminitrasi, alat-
alat mengajar, dan lain-lain lagi aspek pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yang
akan dilaluinya dan meletakkan dasar-dasar dan prinsip tempat tegaknya.
Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai aliran
yang dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja dalam filsafat
pendidikan Barat ada yang namanya aliran Nativisme, aliran Naturalisme, aliran Empirisme,
aliran Konvergensi, dan lain-lain. Tidak berbeda pula dengan filsafat pendidikan Islam, di
dalamnya juga terdapat banyak aliran yang berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-
Quran dan al-Hadist.
Maka pentingnya makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran filsafat
pendidikan Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan. Aliran-aliran Religius
Konservatif dengan tokoh utama Imam al Ghazali, aliran Religius Rasional dengan tokoh utama
Ikhwan as Sofa dan aliran Pragmatis Instrumental dengan tokoh utaman Ibnu Khaldun.

B. Permasalahan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada latar belakang di atas, dapat diformulasikan
permasalahan sebagai berikut: Apa saja aliran-aliran filsafat pendidikan Islam?

C.Pembahasan
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu:
1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional,
dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya
adalah Ibnu Khaldun.(Mahmud Arif, 2002: 52)
1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jamaah, Sahnun,
Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan.
Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama
hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat
kelak. (Samsul Nizar, 2002: 90)
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas: 1) Ilmu ushul (ilmu
pokok), 2) Ilmu furu (cabang), 3) Ilmu pengantar (mukaddimah), dan 4) Ilmu pelengkap
(mutammimah).
2) Ilmu ghoiru syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama atau intelektual
muslim, terdiri atas: 1) Ilmu terpuji, 2) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), 3) Ilmu yang
tercela (merugikan). (Samsul Nizar, 2002: 92).
b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi: 1) Ilmu yang fardlu
ain, dan 2) Ilmu yang fardlu kifayah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan
kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan
dengan aliran Mutazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya
sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik
peserta didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-ilm hanya pada ilmu tentang Allah. (Baharuddin dan Wahyuni, 2010: 39).
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran
konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang
yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia, dan
3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-Aqlaniy)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki pemburu hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan
pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu
yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya
transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar
menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah
pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan psikomotorik.
(Ridha, 2002: 78).
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada
jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan
akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan
jiwa. (Ridha, 2002: 86) Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari
pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia
akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju linier-progresif
melalui tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah
dari substansi dirinya; 2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat
mengetahui substansi dirinya. (Ridha, 2002: 87)
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain
hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal
pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat
diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang
dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada
kesedia-kalaan ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1) Ilmu-ilmu Syariyah
(keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi
menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi
organ tubuh dan kecerdasan manusia. (SyarI, 2005: 92)
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar, 2) Modal utama
ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang
ada, 4) Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial, dan 5) Semua
ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3. Aliran Pragmatis (al-Dzaraiiy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu
John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey,
tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal
yang di luar jangkauan pancaindera. (Basri, 2009: 99).
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabii (pembawaan)
manusia karena adanya kesanggupan berfikir. (Achmadi, 2008: 125) Pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian
duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan
adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu: 1)
Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi, dan 2)
Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban
bagi ilmu syariy, dan logika bagi ilmu filsafat.(Ridha, 2002: 105).
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Ilmu aqliyah
(intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika),
ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan 2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia
dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban,
dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata
bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan,
akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya
masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan
pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara
lain: 1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar, 2) Akal
merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan
duniawi dan ukhrawi.

D. Penutup
Dari uraian pada bahasan, dapat dikemukakan beberapa poin penting sebagai kesimpulan,
yaitu:
1. Tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam yang telah dibahas di atas, memiliki pendapat-
pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain. Aliran yang pertama yaitu aliran
Konservatif (al-Muhafidz). Mereka memaknai ilmu dengan pengertian sempit, yaitu hanya
mencakup ilmu-ilmu yang bersifat keagamaan.
2. Sangat berbeda dengan aliran Konservatif ini, kalangan yang menamakan diri mereka Ikhwan
al-Shafa, menganggap semua disiplin ilmu adalah penting. Mereka lebih luwes dalam
merumuskan ilmu pengetahuan, dan indera adalah sumber utama ilmu pengetahuan. Kelompok
Ikhwan dan tokoh-tokoh yang sealiran dengannya digolongan ke dalam aliran yang ke-dua yaitu
aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-Aqlaniy).
3. Aliran yang ke-tiga yaitu aliran Pragmatis (al-Dzaraiiy). Tokoh aliran ini adalah Ibnu Khaldun.
Menurutnya, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan
tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan
keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka


pelajar, 2008.

Arif, Mahmud dalam Pengantar Penerjemah Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2002.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010.

Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Press, 2002.

Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-
Filosofis. Terj.Mahmud Arif. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.

Syari, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.


ALIRAN UTAMA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan
adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh
pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain Idealisme,
Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam
pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan,
dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan
Barat yang berkembang antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme,
Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.

Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional,
dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya
adalah Ibnu Khaldun.

Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran
pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai
salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan peta aliran itu,
kita dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan
uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.
[1]

1. ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jamaah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.

Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu
dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[2]

Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:


a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:

1) Ilmu syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi,[3] terdiri atas:

a) Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-quran, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan
ijma.

b) Ilmu furu (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.

c) Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.

d) Ilmu pelengkap (mutammimah).

2) Ilmu ghoiru syariyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama atau intelektual
muslim,[4] terdiri atas:

a) Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.

b) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.

c) Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari
filsafat.

b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:

1) Ilmu yang fardlu ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh:
ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ain ini, oleh al-Ghazali,
dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Muamalah dan ilmu Mukasyafah.

2) Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya,
maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung
dan perdagangan.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan


kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan
dengan aliran Mutazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya
sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:

a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.

b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode
etik peserta didik.

c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.

d. Pembatasan term al-ilm hanya pada ilmu tentang Allah.

Sedangkan menurut Ibnu Jamaah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan
al-Quran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan
adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:

a. Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat
di akhirat.

b. Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.

c. Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2. ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY AL-AQLANIY)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.
Aliran ini dijuluki pemburu hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan
intensifnya dengan rasionalitas Yunani.

Menurut Ikhwan al-Shafa[5], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu
yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya
transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar
menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah
pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan psikomotorik.[6]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada
jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan
akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan
jiwa.[7] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh
pemikiran Plato.

Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal.
Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju linier-progresif melalui tiga
cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari
substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui
sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui
substansi dirinya.[8]

Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain
hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal
pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat
diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.

Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang
dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada
kesedia-kalaan ilmu tanpa pembatasan.

Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:

a. Ilmu-ilmu Syariyah (keagamaan), yaitu:

1) Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)

2) Ilmu Tawil (ilmu penafsiran)

3) Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)

4) Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.

5) Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan tabir mimpi.

b. Ilmu-ilmu Filsafat
1) Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)

2) Mantiqiyyat (retorika-logika)

3) Thabiiyyat (ilmu kealaman atau fisika)

4) Teologi (ketuhanan).

c. Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)

1) Ilmu kitabah-qiraat (baca-tulis)

2) Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)

3) Ilmu hitung dan transaksi

4) Ilmu syiir dan prosa

5) Ilmu peramalan

6) Ilmu tenun dan sihir

7) Ilmu profesi

8) Ilmu jual-beli

9) Ilmu sejarah

Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara fungsional-
organik. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:

a. Potensi al-ghadziyyah (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi
ini timbul setelah manusia lahir.

b. Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.

c. Merespons dan bereaksi.

d. Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.


e. Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur
stimuli dengan aneka model.

f. Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan
yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.

Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap


perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.

Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:

a. Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.

b. Modal utama ilmu adalah indera.

c. Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.

d. Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.

e. Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3. ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAIIY)

Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu
John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey,
tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal
yang di luar jangkauan pancaindera.[9]

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabii (pembawaan)
manusia karena adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan
ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan
untuk memperoleh rizki.

Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:

a. Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b. Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban
bagi ilmu syariy, dan logika bagi ilmu filsafat.[11]

Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Ilmu aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu
Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.

b. Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu,
yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.

Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan karya-cipta khusus yang telah
didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi alim (tahu) karena
manusia belajar.

Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia
membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai
sumber otonom pengetahuan.

Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat
pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi
ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan
perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak
lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.

Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:

a. Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.

b. Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.

c. Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.


[1]Mahmud Arif, dalam Pengantar Penerjemah Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002).

[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif
Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 74-75.

[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.

[4]Ibid.

[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis,


yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui
radikal-revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.

[6]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.

[7]Ibid., 85-86.

[8] Ibid., 87.

[9]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 99.

[10]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris,


(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.

[11]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.


MAKALAH ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILFASAT
PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT PENDIDIKAN


ISLAM

(Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam)

Dosen Pengampu: Dr. Andewi Suhartini, M.Ag

Disusun oleh
Aufa el-Maram (1132020006)

Dede Tarlan (1132020028)

Dini Anggraeni Anugrah (1132020042)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kenikmatan
terutama nikmat atas diberikannya kesehatan. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami
tepat pada waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
yang telah mengembankan tugas ini kepada kami sebagai bahan pembelajaran. Kami berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membantu dalam proses perkuliahan khususnya pada
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk perbaikan kami di masa yang akan datang.

Terima Kasih.

Bandung, Februari 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Aliran-aliran filsafat pendidikan modern..............................................................3


1. Aliran Progresivisme................................................................................................3
2. Aliran Esensialisme..................................................................................................5
3. Aliran Perenialisme...................................................................................................6
4. Aliran Rekonstruksionalisme....................................................................................9
5. Aliran Eksistensialisme.............................................................................................10
B. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam..................................................................11
1. Aliran religius konserfatif (al-muhafidz)...............................................................11
2. Aliran Religius Rasional ( Ad-Diny al Aqlany)....................................................13
3. Aliran Pregmatis Instrumental................................................................................15

BAB III PENUTUP


Simpulan....................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan islam merupakan suatu proses pengembangan potensi-potensi serta kreatifitas
peserta didik, yang bertujuan mencetak atau mewujudkan manusia yang cerdas, terampil,
memiliki etos kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggung jawab terhadap
dirinya, bangsa dan Negara serta agama. Dan yang paling terpenting tujuan awal pendidikan
islam itu sendiri ialah terciptanya manusia yang sempurna yaitu beriman dan bertaqwa kepada
Allah.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan memiliki


nuansa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-
pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang
diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada
munculnya berbagai aliran pendidikan. Telah kita ketahui bahwa usaha pendidikan Islam sama
tujuannya dengan Islam itu sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada
umumnya. Karena itulah, menurut M. Qomar (2005), Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh
pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebuah model untuk
memajukan peradaban Islam yang damai, anggun dan ramah terhadap kehidupan manusia,
pendidikan Barat itu hanya maju secara lahiriyah, tetapi tidak membuahkan ketenangan rohani
lantaran pendidikan tersebut hanya berorientasi pada pengembangan yang bersifat kuantitatif.
Ukuran-ukuran hasil pendidikan lebih dilihat dari sudut, seberapa jauh pengetahuan yang diserap
oleh peserta didik untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya.

Padahal didalam Islam sendiri telah muncul para ahli filsafat dan pendidikan yang betul-
betul menguasai bidangnya dan menguasai pendapat, pemahaman, metode dan teori-teori yang
mendahului paham, pemahaman dan teori-teori ahli pendidikan eropa. Malahan paham dan
pendapat akademisi atau cendekiawan muslimlah yang semula menjadi panutan dan pegangan
para ahli barat itu.

Oleh karena itu, dengan mengetahui dan memahami filsafat pendidika islam yang murni
itulah, penulis mencoba memaparkan filsafat pendidikan islam dan filsafat pendidikan yang
umumnya dianut oleh barat, sehingga dapat dijadikan study comparative tentang filsafat
pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja aliran dalam filsafat pendidikan modern?
2. Apa saja aliran dalam filsafat pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan modern
2. Untuk mengetahui aliran-aliran filsafat Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN MODERN

Apabila melihat pada proses perkembangannya, filsafat tumbuh dan berkembang


sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat sepanjang masa dengan objek kajian segala
permasalahan hidup di dunia, telah menghasikan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan
ahli filsafat itu ada kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling menguatkan , tetapi tidak
jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini disebabkan terutama oleh pendekatan yang
dipakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan
dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda
pula. Bahkan tidak sedikit yang berlawanan. Selain itu faktor zaman dan tempat dimana mereka
bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.1[1]

Beberapa aliran dalam filsafat pendidikan modern, diantaranya:

1. Aliran Progresivisme

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Aliran ini sangat berpngaruh diseluruh dunia, terutama di Amerika serikat (Zuhairini dkk, 2012:
20). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar
di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru
atau bidang muatan.

Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan


bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri
( Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen
progresivisme, maka menurut Dewey (Zuhairini dkk, 2012: 24) tujuan umum pendidikan ialah

1[1] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.19
warga masyarakat yang demokratis, isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi,
seperti IPA, sejarah, keterampilan serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh
masyarakat.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling
eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya
pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam
kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu
dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan
lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar dunia nyata, dan juga
pengalaman teman sebaya.

Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme2[2] , diantaranya:

1. William James ( 1842-1910 )

James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik,
harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi
otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan
alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan
menempatkannya da atas dasar ilmu prilaku.

2. John Dewey ( 1859-1952 )

Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak
didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah Cild Centered
Curiculum, dan Cild Centered School. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas.

2[2] Jalaludin dan abdullah Idi, 1997:70


3. Hans Vaihinger ( 1852-1933 )

Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan
objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.

Adapun pandangan progresivisme dan penerapannya di bidang pendidikan, ialah Anak


didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh
orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang
otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai
pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik
secara fisik maupun psikis anak didik.

Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat
kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang
bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum

Dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia


dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Progresivisme tidak
menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam
unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat
berkembang secara fisik mauopun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotor.

2. Aliran Esensialisme

Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan


yang telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Menurut Joe Park, esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.3[3]

prinsp-prinsip Esensialisme, diantaranya:

a. Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif yang modern,
yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam
adalah dalam rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya.

b. Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya.
Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil.

c. Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berhubungan antara gagasan fakta secara objektif.

d. Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merfleksikan humanisme klasik yang


berkembang pada zaman renaissance.

Dalam mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham


progresivisme, tokoh-tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang bernama Essentialist
Committee for the Advancement of Education pada tahun 1930, untuk mengembangkan
pandangannya didunia pendidikan yang diwarnai sedikit banyaknya oleh konsep idealisme dan
realisme.

3. Aliran Perenialisme

Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam oxford Learners dictionary of
Current English diartikan sebagai Lasting for a very long time abadi atau kekal-. Di zaman
kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia,
terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme
memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap
cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak
mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. 4[4]

3[3] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.25
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada
masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini,kebudayaan yang
dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat
perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun peraktek bagi kebudayaan dan
pendidikan zaman sekarang.(Noor syam,1986: 296)

Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme memandang
pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan
sekarang ( zaman modern ) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke
masa lampau .

Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana


susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk
bersikap tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat
pendidikan .

Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang


cukup berat timbullah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini
dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang
komprehensif perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang berdasarkan
pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya. 5[5]

Tokoh-Tokoh Aliran Pereanialisme, diantaranya ialah Aristoteles. Ia merupakan Pendiri


utama dari aliran filsafat ini, kemudian didukung dan dilanjutkan St. Thomas Aquinas sebagai
pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.

4[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30

5[5] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997 hal.89


Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan
abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman
sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata )
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad
sekarang.

Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan
mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-
karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar dimasa lampau. Berbagai buah pikiran
mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra,
sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah
banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.

Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut,
yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni :

1. Anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-
orang besar.

2. Mereka telah memikirkan peristiwa-peristiwa dan karya-karya tokoh tersebut untuk diri sendiri
dan sebagai bahan pertimbangan ( reverensi ) zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan karya-karya buah pikiran para
ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran
para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana
peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi mereka sendiri, dan sebagai
bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan
aliran filsafat perenialisme tersebut.

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah kemasakan. Masak
dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan
tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh
dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke
arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas
utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran ( pengetahuan ) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam
akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.

4. Aliran Rekonstruksionalisme

Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris reconstruct yang berarti menyusun


kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan , aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran
perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut,
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.

Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya memepunyai visi dan cara
yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang
serasi dalam kehidupan. Aliran perenialisme memilih cara tersendari, yakni dengan kembali ke
alam kebudayaan lama atau di kenal dangan regressive road culture yang mereka anggap paling
ideal. Sedangkan itu aliran rekonsruksinisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina
suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan
umat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan


antar sesama manusia, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan
dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat
manusia.6[6]

Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930,
ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh lain dalam
aliran ini Caroline Pratt, Geaoge Count, Harold Rugg.

Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini


lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan
diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.

5. Aliran Eksistensialisme

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar
reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia II. Dengan demikian
eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan
dihadapinya.

Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh van cleve morris dalam


existensialism and education, bahwa eksitensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan
pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensisalisme dalam hal ini menolak bentuk-
bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan
eksistensialisme yang diajukan oleh morris sebagai existensialisms concept of freedom in
education, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan
deschooling society, yang banyak mengundang banyak reaksi dikalangan ahli pendidikan,
merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Disini
agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.7[7]

B. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

6[6] Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997 hal.97

7[7] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.30-31
1. Aliran religius konserfatif (al-muhafidz)

Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu
Sahnun dan Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini memaknai
ilmu dengan makna yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan
membawa manfaat di akhirat kelak.8[8] Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan
terapkan maka inilah makna ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar
menjadi orang yang lebih baik dan mau menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang
sebenarnya.

Al-Gazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan


pentingnya pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang
anak tergantung kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya.

Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali ialah diraihnya profesi manusia
sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk mencapai tujuan ini,
manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.

Al-Ghazali berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan pembelajaran, ada 2 macam


yakni talim insani dan talim rabbani.9[9] Talim insani adalah belajar dengan bimbingan
manusia. Pendekatan ini adalah cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya
dilakukan dengan menggunakan alat-alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal.

Talim insani dibagi menjadi 2:

a) Proses eksternal melalui proses belajar mengajar

Dalam proses belajar sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan sehingga


menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka
miliki dan murid berusaha untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.

b) Proses internal melalui proses tafakkur


8[8][8] Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523

9[9] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)
Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan
penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih
dahulu dari segala sifat yang mengotori hati.

Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan


kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan
dengan aliran Mutazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya
sesuatu. Rumusan tujuan pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan
penciptaan manusia yaitu Q.S. al-dzariat: 56.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada
integrasi antara materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa
dimaksimalkan pemakaiannya dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya.
Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya.

Adapun metode pendidikan yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:

Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada
pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan
pendidikan umum lainnya.

Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:

Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja,
niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya
satu jalan kepada murid, niscaya membinasakan hati mereka.

Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syariat,
terutama al-Quran. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik
secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.
Pendidikan benar-benar ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan
utama.

2. Aliran Religius Rasional ( Ad-Diny al Aqlany)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki pemburu hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan
pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.

Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang
sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah
usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain,
upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial,
agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan
adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan
psikomotorik.10[10]

Menurut Ikhwan al Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad
merupakan penjara bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit,
sedangkan ruang lingkup jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar jiwanya lebih
luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang demikian akan mensucikan jiwanya dalam mengaharap
cinta Allah.11[11]

Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan,


hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis. Tujuan pendidikan
menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang
tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.

10[10] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78

11[11] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi, h. 24


Sedikit berbeda antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa
lebih terfokus kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu kedudukan ilmu
dan budi pekerti. Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih Miskawaih menempatkan
ilmu ke dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu itu. Ilmu yang paling mulia menurutnya
adalah ilmu pendidikan, karena objek kajiannya terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut
subtansi manusia.12[12] Dan segala ilmu yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah ilmu
yang paling mulia.

Konsep pendidikan Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal


kitabnya Tahdzib al-Akhlaqialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun bisa
berubah cepat atau lambat. Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain pemikiran Yunani bahwa
karakter tidak bisa berubah karena ia berasal dari watak dan pembawaan. Miskawaih
memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan suatu cara tertentu berbeda secara
mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang luhur.

Materi pendidikan, menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan
jasmani untuk membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah
fisik, seperti: sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah
yang benar. Dan hal yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti; ilmu muamalat,
pertanian dan perkawinan.

Sesungguhnya materi pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi


faham ontologism.13[13] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara umum,
yaitu keteladanan, latihan (riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib artinya janji disertai
bujukan dan rayuan untuk memotivasi beramal shaleh. Dan tarhib artinya ancaman melalui
hukuman yang disebabkan perbuatan dosa, kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar
syariat. (al-Nahlawi, 1987). Sedangkan latihan barangkali dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai
sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat

12[12] H. Ahamad SyarI M. Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)

13
manusia pada tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan
agama. Pembentukan akhlaq dengan berlandaskan al-Quran dan al-Hadist.

Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama,
tetapi juga ilmu yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.

3. Aliran Pregmatis Instrumental

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan
manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-
sungguh dan memiliki bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang
tidak hanya membutuhkan ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan
keahliannya dibidang tertentu.

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Talim Thabiiyyun fi alUmran al-


Basyari. (Khaldun, 1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari
peradaban (al-Umran) manusia. Hal itu dimungkinkan karena manusia dibekali dengan akal,
yang dengan akal itu manusia berpikir dan memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan
berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di sekitarnya.

Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain
yang merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru
alUmran wa Taadzaa al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban.

Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:

1) Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,

2) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Quran dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta
istinbat tentang kaidah-kaidah fiqh.
3) Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Quran dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat
tentang kaidah-kaidah fiqh.

Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:

a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu.

b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).

c. Pembinaan pemikiran yang baik.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih
memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama, disampaikan permasalahan pokok
tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.

Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu
keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang
dibutuhkan oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu
bidang ilmu pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat
meningkatkan kehidupan sosialnya di masyarakat.

Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali
ahli pada bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang menjadi ahli
hingga keahliannya itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian
merupakan sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).

Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan
yang ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran
Modernis, aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial.
Masing-masing mempunyai dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan
itu sendiri.
Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Quran dan as- Sunah bersikap
regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan
kependidikan Islam yang beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-ciri pemikirannya adalah
ia menjawab persoalan pendidikan dalam konsteks wacana salafi, memahami nash secara
tekstual-lughawi, penafsiran ayat dengan ayat lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan
hadis sehingga kurang adanya perkembangan dan elaborasi. Fungsi pendidikan Islam baginya
adalah melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal serta mengembangkan potensi
dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.

Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah dan bersikap
regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya,
mengikuti aliran, pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan beriorentasi pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya
menekankan pada pemberiah syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang
adanya keberanian untuk mengkritik dan mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya.
Fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari
satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya
masyarakat yang terdahulu.

Modernis aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir
bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang
terkandung dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon
tuntutan kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidiksn Islam kontemporer.
Ciri-ciri pemikirannya adalah tidak berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan
pemikiran dan sistem pendidikan para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari
manapun dan siapapun dan selalu menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek. Tugas
pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal, aliran
ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai oleh Ikhwan al Shafa.
Sedangkan fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:

1) Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun
hati,
2) Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya,

3) Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen yang
dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.

Perenial-esensialis konstektualfalsikatif aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah,


menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan
agama, yang lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam
masa sekarang yang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan yang ada, wawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan
pemikiran pendidikan Islam dalam merespon tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial
yang ada.

Ciri-ciri aliran ini:

a) Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan
pertengahan.

b) Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks
ruang dan zamannya untuk difalsifikasi.

c) Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap kurang relevan dengan
tuntutan dan kebutuhan era kontemporer.

Fungsi pendidikan Islam menurut aliran ini adalah sebagai berikut:

a) Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungan tanpa mengabaikan tradisi yang sudah mengakar.

b) Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan Iptek dan
perubahan sosial yang ada.
Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah, di samping
menekankan sikap progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi
menghadapi perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan
menuntut kreatifitas. Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi
makhluk yang cakap dan selanjutnya manusia mampu bertanggung jawab terhadap
pengembangan masyarakat yang dilandasi iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya
manusia adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu untuk memecahkan permasalahan yang ada
dengan potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung dimensi al-nafsu, al aql dan al-
qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan potensinya dalam konteks
hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam bentuk rekonstruksi
sosial secara berkelanjutan untuk mencapai ridhoNya.

Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai:

1) Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan.

2) Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi nilai-nilai insani dan
Ilahi

3) Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit Islam.

Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat
pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang berkembang
dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas, dan kajian kritis terhadap
corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung
dalam karya para ulama dan cendekiawan muslim dalam bidang pendidikan Islam.

Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan mengamalkan aliran
mana yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat memadukan antara satu aliran
dengan aliran yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai karena satu dengan yang lainnya saling
melengkapi.
Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita. Kecenderungan pola
kajian pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai
kecenderungan tersebut terkait dengan latar belakang mereka, baik latar belakang pendidikan
maupun aktifitas mereka dalam kegiatan kemasyarakatan.

Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat dibutuhkan
oleh masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung bersifat pragmatis,
yang berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka dengan realitas simbol-
simbol pemikirannya sebagaimana tertuang dalam karya-karya mereka.

Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi sosial yang
teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:

1) Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila pertama adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang
mencangkup konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah

2) Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun
tetap bertekad ber-Bhineka Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk
menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas.

3) Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang produktif,
kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
dalam alam demokratis.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk
membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya pendidikan
tidak lepas dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan merupakan hal
yang tidak mudah untuk di jelaskan sehingga memerlukan penjelasan dan uraian yang tidak
sedikit telah bertahun-tahun lamanya para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi,dan lain-lain
memikirkan dan berusaha mencari jawaban, tentang perkembangan manusia itu sebenarnya
bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan.

Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran terdapat
persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang, terutama dengan filsafat
pendidikan yang berkembang di barat. Diantara persamaan antar aliran filsafat pendidikan islam
yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian
perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan
Islam.

Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat dipakai
sebagai alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap karya-karya
ilmiah atau buku-buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang lebih dominan dan
menonjol dalam pembahasan aliran-aliran filsafat pendidikan islam. Sehingga kita juga dapat
menentukan arah yang tepat dalam berpinjak dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan
islam dan perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana dan
positif, agar tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, 2012, Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Ahmad SyarI, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta: Pustaka Firdaus

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, 2010, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan, 1997, Jakarta: Gaya Media Pratama

Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, 2012, Jakarta: Bumi Aksara hal.29-30

Website:

Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan. html. 523


makalah: aliran-aliran dalam pendidikan islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu sendiri,

sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara

satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang

dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan.

Karena banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya

berbagai aliran pendidikan, sehingga penilis menganggap bahwa Aliran-Alira dalam Pendidikan

Islam sangat penting untuk dibahas, guna untuk mengetahui tentang pendidikan Islam dan aliran-

aliran yang terdapat di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keadaan Pendidikan Islam?
2. Apa Aliran-Aliran dalam Pendidikan Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam pendidikan Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda

antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang

dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya

banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran

pendidikan. Telah kita ketahui bahwa usha pendidikan Islam sama tujuannya dengan Islam itu

sendiri, dan pendidikan Islam tidak terlepas dari sejarah Islam pada umumnya. Karena itulah,

periodesasi sejarah pendidikan Islam berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam tersebut pada dasarnya dilaksanakan dalam upaya menyahuti kehendak

umat Islam pada masa itu dan pada masa yang akan datang yang dianggap sebagai kebutuhan

hidup (need of life). Usaha yang dimiliki, apabila kita teliti atau perhatikan lebih mendalam,

merupakan upaya untuk melaksanakan isi kandungan Al-Quran terutama yang tertuang

padasuratAl-Alaq: 1-5. Sebagimana hanya Islam yang mula-mula diterima Nabi Muhammad

SAW. Melalui Malaikat jibril di gua Hira. Ini merupakan salah satu contoh dari opersionalisasi

penyampaian dari pendidikan tersebut.

B. Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda

antara saru daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang

dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya

banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran

pendidikan.
Tujuan pendidikan islam yaitu membentuk kepribadian muslim. Mengingat untuk

mewujudkan kepribadian muslim itu sangat sulit, di samping itu sesudah terwujudnya

kepribadian muslim, diperlukan pemeliharan kestabilan kepribadian muslim tersebut di atas dan

mengingat pula sabda Rosululloh SAW itu maka batas terakhir pendidikan Islam yaitu sampai

akhir hayat.Begitu besar perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan ini, sampai-sampai

Rosululloh SAW memerintahkan kepada umatnya yang sedang menunggui orang yang akan

sakaratul maut supaya menuntunnya membaca kalimat La ilaha illalah Rosululloh bersabda

yang artinya Ajarilah orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat la ilaha ilallah.

Di dalam makalah ini akan di jelsakan tentang aliran-aliran dalam pendidikan diantaranya

adalah :

1. Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-

1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang

lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan

yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor keturunan) tidak

dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam,

dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar terhadap

perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat

penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan

menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku,

sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis.

Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis

pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami
kesukaran dan hasilnya tidak optimal. Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir

dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh

keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup

dikotadan disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama. Kelemahan

aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa

anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun

lingkungan tidak mendukung.


2. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada

tahun 1788-1880. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor

bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan

perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak

lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu

sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat,

dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak

sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya

secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah

pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu

daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang

kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia.Adayang tumbuh dan berkembang sampai pada

titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya,

seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi

seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai

pada setengah kemampuan orang tuanya. Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di
bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan

rimba belantara yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai

induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa.

Akhirnya, Crussoe mempunyaigayahidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala,

padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori Nativisme, sebab

gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan

membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.


3. Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-

1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai

pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan,

sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme. Dalam aliran Naturalisme memiliki tiga

prinsip tentang proses pembelajaran dintaranya adalah :


a) Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara

pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan didalam dirinya secara alami.
b) Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan

sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong

keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk

memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri

anak didik sendiri.


c) Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan

lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas

diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan

perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang

bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan

proses belajar-mengajar.

4. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia

mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah

yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini

memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan

fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat

dinamis dan kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan

memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori

mengerti karakter peserta didiknya. Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan

jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang

berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan.

Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian

dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di

dalam maupun di luar sekolah.


5. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang

diberikan keduanya bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung

Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat

mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi pedoman

hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang

berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu zaman

Renaisans.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama

adalah Johan Amos Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra,

karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich Herbart (1776-

1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan

kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Proses untuk

mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart disebut sebagai pengajaran. Tokoh ketiga adalah

William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan

terbukanya realitas berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke-satuan

spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan

menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan

bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial,

yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke

zaman sejak zaman Renaisans.


6. Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles, dan Thomas Aquino. Perenialisme

memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan

dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk

berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini. Pada

awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis, dan

berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih tinggi seperti berlogika,

retorika, dan bahasa.


7. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la

dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. Vico mengatakan bahwa Tuhan

adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Mengerti berarti
mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu

karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang

dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang

dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.


Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget

mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan

lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut

Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan

pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru Piaget juga

berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi,

akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang

telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan

ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan

akomodas
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil

konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra,

yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran

ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain,

dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran

ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan

berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.


8. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman

yang hidup tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari

aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah
memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi

oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang

baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan

berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu

sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara

optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang di bawaanak. Dengan demikian, aliran

Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau

bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa besar

perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor

tersebut belum bisa ditetapkan.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbeda antara

satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang

dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya

banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran

pendidikan.
2. Aliran-aliran dalam pendidikan Islam diantaranya adalah aliran Empirisme, Nativisme,

Naturalisme, Esensialisme, Progresivisme, Perenialisme, Konstruktivisme, Konvergensi.


B. Saran

Dengan terselesainya makalah ini diharapkan kita mampu menyaring aliran-aliran yang ada

dalam pendidikan Islam itu sendiri agar dapat bermanfaat dalam keseharian.

DAFTAR PUSTAKA

Asrohan, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. 1999.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. 2008.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung : PT Remaja


Rosda Karya.2005.

Uhbiyati, Nur. 1997. Ilmu Pendidikan Islam .Bandung : CV Pustaka Setia.


ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. PENDAHULUAN

Filsafat pendidikan merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan, juga menjadi tulang
punggung kemana bagian-bagian yang lain dalam pendidikan itu bergantung dari segi tujuan-tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, metode mengajar, penilaian adminitrasi, alat-alat mengajar, dan lain-
lain lagi aspek pendidikan yang memberinya arah, menunjuk jalan yang akan dilaluinya dan meletakkan
dasar-dasar dan prinsip tempat tegaknya.

Banyak orang yang termenung pada saat tertentu, kadang-kadang karena membingungkan dan
kadang-kadang karena rasa ingin tahu dan berfikir sesuatu yang yang dianggap pokok. Apakah
kehidupan? Bagaimana dapat terjadi cinta yang kuat antara suami istri? Mengapa diciptakan langit dan
bumi? Apakah hubungan adanya siang dan malam? Dan lain sebagainya. Banyak sekali pertanyaan yang
berdengung-dengung di benak kita yang kadang kita sendiri tidak tahu apa alasannya, bak lebah yang
mencari bunga untuk dihinggapi.

Sebelum memasuki segmen pengertian Filsafat Pendidikan Islam tentu harus diawali dengan
bahasan tentang pengertian filsafat pendidikan secara umum. Menurut Imam Barnadib, filsafat
pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan dalam
lapangan pendidikan. (Said, 1996) Jadi filsafat pendidikan berusaha akan menjawab semua problematika
dalam masalah pendidikan berdasarkan analisa filosofis sehingga tujuan pendidikan itu dapat tercapai
dengan maksimal.

Sebab masyarakat yang akan kita bicarakan itu adalah masyarakat Islam yang sebagian besar
anggota-anggotanya ingin melaksanakn Islam dengan sempurna dalam segala urusan kehidupan dan
berusaha member corak Islam atas seluruh sistemnya. Filsafat pendidikan berfungsi sebagai pedoman
bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan dasar yang kokoh bagi tegaknya system
pendidikan.

Sebelum kita menginjak dalam pembahasan tentang aliran-aliran yang ada dalam Islam, sebaiknya
kita mengetahui dahulu tentang makna dan arti Filsafat Pendidikan Islam. Adapun filsafat pendidikan
Islam, dalam hal ini al-Syaibani menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai prinsip-
prinsip dan berbagai kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam atau sesuai dengan jiwa Islam yang
mengandung kepentingan pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.

Filsafat pendidikan yang berdasarkan pada Islam ini tidak lain adalah pandangan dasar pendidikan
yang bersumberkan ajaran Islam dan orientasi pemikirannya bedasarkan ajaran tersebut. Dari pengertian
tersebut, berarti terdapat beberapa unsure dalam pendidikan Islam yaitu landasan-landasan pendidikan
Islam berupa al-Quran dan as-Sunnah, bersifat filosofis yang mendasar sampai ke akar persoalan,
memberikan tujuan dan proses yang beriorentasi ajaran Islam. (al-Syaibani, 1979)

Menurut Zuhairini, dkk (1995) Filsafat Pendidikan Islam adalah studi tentang pandangan filosofis dari
system dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia muslim umat Islam. Sedangkan
Abuddin Nata (1997) mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu kajian secara filosofis
mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qura
dan hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli khususnya filosof muslim sebagai sumber
skunder.[1]

Mungkinkah seorang dapat dianggap sebagai filosof Islam? Apabila ia sendiri tidak paham landasan-
landasan pemikirannya. Menurut Ibnu Miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi
lurusnya karakter manusia. Pendidikan juga berpengaruh terhadap corak hitam putih dalam pemikiran
seorang insan.

Setiap filosof pendidikan Barat maupun filosof pendidikan Islam pasti mempunyai aliran yang
dicetuskan maupun yang dianut oleh masing-masing orang. Misalnya saja dalam filsafat pendidikan Barat
ada yang namanya aliran Nativisme, aliran Naturalisme, aliran Empirisme, aliran Konvergensi, dan lain-
lain. Tidak berbeda pula dengan filssafat pendidikan Islam, di dalamnya juga terdapat banyak aliran yang
berbeda tetapi konteks dan rujukan tetap kepada al-Quran dan al-Hadist.
Maka pentingnya makalah ini di buat untuk mengetahui tentang aliran-aliran filsafat pendidikan
Islam dan juga implikasinya dalam pemikiran dan pendidikan. Aliran-aliran Religius Konservatif dengan
tokoh utama Imam al Ghazali, aliran Religius Rasional dengan tokoh utama Ikhwan as Sofa dan aliran
Pragmatis Instrumental dengan tokoh utaman Ibnu Khaldun.

Pemetaan demikian berdasarkan pada konsep keilmuan yang berlandaskan aliran pendidikan Islam
yang telah mereka pelajari. Menariknya, konsep keilmuan ternyata diakui sebagai tema sentra ataupun
spektrum tradisi intelektual. Berdasarkan peta aliran itu, bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam
tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural seperti tradisi pemikiran plural lainnya.[2]

Dalam buku karya bapak Muhaimin dijelaskan selain aliran yang telah disebutkan diatas masih ada
aliran yang lain yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis, aliran
Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai dan
ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.

Selanjutnya, akan dibahas secara rinci akan pengertian dan implikasi aliran filsafat pendidikan Islam
dalam pendidikan.

1. Aliran Religius Konserfatif ( al Muhafid)

Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Imam al Ghazali, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Sahnun dan
Nasirudin at Thusi. Aliran ini cenderung murni keagamaan dan aliran ini memaknai ilmu dengan makna
yang sempit. Menurut at Thusi ilmu adalah yang berguna di hari ini dan akan membawa manfaat di
akhirat kelak.[3] Bila kita mau mengamalkan apa yang kita dapatkan dan terapkan maka inilah makna
ilmu yang sebenarnya. Dimana ilmu dapat menjadi sarana agar menjadi orang yang lebih baik dan mau
menjadikan orang lain untuk lebih baik, inilah ilmu yang sebenarnya.

Al-Gazali termasuk filosof pendidikan Islam berpaham empiris, yang menekankan pentingnya
pendidikan terhadap pertumbuhan perkembangan anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung
kepada kedua orang tuanya yag mendidiknya. Telah tertulis dalam hadist Nabi SAW " :.
" Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali
ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (al-Ibrashi, 1990) syarat untuk
mencapai tujuan ini, manusia harus memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai
dengan bakatnya.

Al Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:

a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua:

1. Ilmu Syariyah, ilmu yang berasal dari para Nabi,[4] terdiri atas:

a. Ilmu Ushul/ilmu pokok. Contoh: ilmu al Quran dan ilmu Hadis

b. Ilmu Furu/ilmu cabang. Contoh: ilmu Fiqh dan Akhlaq

c. Ilmu Pengantar/muqoddimah. Contoh: ilmu Bahasa dan Gramatika

d. Ilmu Pelengkap/mutammimah.

2. Ilmu Ghoiru Syariyah, ilmu yang berasal dari ijtihad ulama dan intelektual muslim.

b. Berdasarkan sifatnya, ilmu dibagi menjadi dua yaitu

ilmu terpuji(mahmudah) dan ilmu tercela( madzmumah). Menurut Imam al Ghazali ilmu yang terpuji
wajib dipelajari dan dipahami, sementara ilmu yang tercela wajib dihindari.

Al-Ghazali juga berpendapat bahwa di dalam proses pendekatan pembelajaran, ada 2 macam yakni
talim insani dan talim rabbani.[5] Talim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan
ini adalah cara umum yang biasanya dilakukan orang dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-
alat peraga inderawi yang diakui oleh orang-orang berakal. Talim insani dibagi menjadi 2:

a) Proses eksternal melalui proses belajar mengajar

Dalam proses belajar sebenarnya terjadi proses eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan
perubahan-perubahan perilaku. Seorang guru menyampaikan ilmu yang mereka miliki dan murid
berusaha untuk menggali dan menggali dan mengerti apa yang ingin diketahui.

b) Proses internal melalui proses tafakkur

Tafakkur diartikan dengan membaca realitas dalam dimensi wawasan spiritual dan penguasaan
pengetahuan hikmah. Proses tafakkur dilakukan dengan pembersihan jiwa terlebih dahulu dari segala
sifat yang mengotori hati.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan
rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari
Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mutazilah yang
berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.

Pola umum pemikiran imam al Ghazali antara lain:

a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.

b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta
didik.

c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.

d. Pembatasan term al-ilm hanya pada ilmu tentang Allah.

e. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, agar dapat mensucikan jiwa dengan akhlaq
al-karimah ( Q.S.Al Anaam/6:162;Adz Dzariyat/ 51:56).

f. Belajar dengan bertahap dengan memulai pelajaran yang mudah ke sukar atau dari fardhu ain menuju
fardhu kifayah ( Q.S.Al Fath/48:49)

Rumusan tujuan pendidikan aliran ini didasarkan pada firman Allah swt, tentang tujuan penciptaan
manusia yaitu :

Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku ( Q.S. al-dzariat: 56).

Sedangkan menurut Ibnu Jamaah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran,
menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-
Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan, mengenai proses pembelajaran harus ada integrasi antara
materi, metode dan media pendidikan. Seluruh komponen harus bisa dimaksimalkan pemakaiannya
dalam pendidikan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
baik dalam hal usia, integrasi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran
yang justru merusak akidah dan akhlaknya.
Adapun metode pendidikan yang diklasifikasikan oleh al-Ghazali menjadi dua bagian:

Pertama, metode khusus pendidikan agama, metode ini memiliki orientasi kepada pengetahuan
aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan dengan pendidikan umum
lainnya.

Kedua, metode khusus pendidikan akhlaq, al-Ghazali (1991) mengungkapkan:

Sebagaimana dokter, jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan
membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkkan hanya satu jalan kepada
murid, niscaya membinasakan hati mereka.

Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syariat, terutama al-
Quran. Begitu pula metode/media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis,
sosiologis, maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran. Pendidikan benar-benar ditujukan
untuk mendekatkan diri kepada Allah, dunia bukanlah tujuan utama.

2. Aliran Religius Rasional ( ad Diny al Aqlany)

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini
dijuluki pemburu hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan
rasionalitas Yunani.

Menurut Ikhwan al-Shafa[6], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang
diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif
terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif
terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu
(mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi
potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan psikomotorik.[7]

Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan
dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi
penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[8] Pandangan
dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.

Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah
yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju linier-progresif melalui tiga cara, yaitu: (1)
Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan
jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan
(3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[9]

Dari hasil pembahasannya Ikhwan al Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah
yang berjudul Rasail Ikhwan al Shafa wa al-Kullah al-Wafa. Kitab ini terdiri atas empat jilid yang
berisikan ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia,
seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi, kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika,
alam akhirat dan lain sebagainya.

Menurut Ikhwan, setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat yang perlu diaktualisasikan dan
pendidik seharusnya mengangkat potensi laten yang terdapat dalam anak tersebut. Di sini pendidik dan
orang tua dituntut untuk memberikan contoh yang baik dalam perilaku sehari-harinya, sehingga menjadi
panutan ke arah yang lebih baik.

Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa.
Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk
selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.

Menurut Ikhwan al Safa, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Sementara jasad merupakan
penjara bagi jiwa. Oleh karena itu, ruang lingkup jasad hendaknya dipersempit, sedangkan ruang lingkup
jiwa diperluas. Manusia hendaknya hidup zuhud agar jiwanya lebih luasa atas tubuhnya. Kehidupan yang
demikian akan mensucikan jiwanya dalam mengaharap cinta Allah.[10]

Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah,
kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-
Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci),
agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Sedikit berbeda antara Ikhwan al Safa dan Ibnu Miskawaih, apabila Ikhwan al Shafa lebih terfokus
kepada anak didik, Ibnu Miskawaih terkonsentrasi dengan suatu kedudukan ilmu dan budi pekerti.
Menurut Busyairi Majidi (1997) Ibnu Miskawaih Miskawaih menempatkan ilmu ke dalam suatu
kedudukan berdasarkan objek ilmu itu. Ilmu yang paling mulia menurutnya adalah ilmu pendidikan,
karena objek kajiannya terletak pada budi pekerti manusia, menyangkut subtansi manusia. [11] Dan
segala ilmu yang mengembangkan quwwatu al-nathiqoh adalah ilmu yang paling mulia.

Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam alam ini, misalnya
ilmu tentang manusia lebih mulia dari ilmu hewan, dan ilmu hewan lebih mulia daripada ilmu tumbuh-
tumbuhan, dan ilmu tumbuhan lebih mulai daripada ilmu geologi, geologi (ilmu jamadat). (Basyir, 1993).

Konsep pendidikan Ibnu Miskawaih, sebagaimana yang tercermin dalam awal kitabnya Tahdzib al-
Akhlaq ialah terwujudnya pribadi susila. Khuluq adalah alamiah, namun bisa berubah cepat atau lambat.
Pemikiran Miskawaih ini, menolak sebagain pemikiran Yunani bahwa karakter tidak bisa berubah karena
ia berasal dari watak dan pembawaan. Miskawaih memberikan ilustrasi; bahwa anak yang dididik dengan
suatu cara tertentu berbeda secara mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlaq yang luhur.

Materi pendidikan, menurut Ibnu Miskawaih adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jasmani
untuk membentuk akhlaq yang mulia yaitu materi yang berhubungan dengan ibadah fisik, seperti:
sholat, puasa dan zakat. Dan hal-hal yang berhubungan dengan jiwa yaitu aqidah yang benar. Dan hal
yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti; ilmu muamalat, pertanian dan perkawinan.

Sesungguhnya materi pendidikan yang dianut oleh Ibnu Miskawaih dipengaruhi faham ontologism.
[12] Ibnu Miskawaih mengisyaratkan tiga metode pendidikan secara umum, yaitu keteladanan, latihan
(riyadhah) dan tarqhib dan tarhib. Tarqhib artinya janji disertai bujukan dan rayuan untuk memotivasi
beramal shaleh. Dan tarhib artinya ancaman melalui hukuman yang disebabkan perbuatan dosa,
kesalahan atuapun perbuatan yang melanggar syariat. (al-Nahlawi, 1987). Sedangkan latihan barangkali
dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.

Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara fungsional-organik. Ia
membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:

a. Potensi al-ghadziyyah (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul
setelah manusia lahir.

b. Potensi perasa, yaitu bisa merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c. Merespon dan bereaksi.

d. Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli


dengan aneka model.

e. Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek,
memungkinkan berkreasi dan berinovasi.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah ilmu pengetahuan tidak hanya sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga sebagai saran untuk meningkatkan derajat manusia pada
tingkatan yang tinggi, baik dalam lingkungan sosial maupun dalam pandangan agama. Pembentukan
akhlaq dengan berlandaskan al-Quran dan al-Hadist.

Intisari daripada aliran religius rasional adalah tidak hanya mengedepankan agama, tetapi juga ilmu
yang lainnya dianggap penting juga. Karena kita hidup di dunia dan akhirat.

3. Aliran Pregmatis Instrumental

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan ilmu pembelajaran adalah pembawaan manusia
karena adanya kesanggupan berfikir. Dalam proses belajar manusia harus sungguh-sungguh dan memiliki
bakat. Dalam mencapai pengetahuan yang beraneka ragam, seseorang tidak hanya membutuhkan
ketekunan, tapi juga bakat. Seseorang perlu mengembangkan keahliannya dibidang tertentu.

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa: al-Ilm wa al-Talim Thabiiyyun fi alUmran al-Basyari. (Khaldun,
1979). Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami dari peradaban (al-Umran) manusia. Hal
itu dimungkinkan karena manusia dibekali dengan akal, yang dengan akal itu manusia berpikir dan
memiliki motivasi untuk mengetahui sesuatu. Dengan berpikir berarti bersosialisasi dengan realitas di
sekitarnya.

Ide tentang adanya hubungan antara ilmu dan peradaban memunculkan sesuatu ide yang lain yang
merupakan konsekuensi logisnya yaitu: al-Ulum innama Takastsrat Haisu yaksuru alUmran wa Taadzaa
al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban.

Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok:


a. Ilmu lisan (bahasa), tata bahasa dan sastra,

b. Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Quran dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang
kaidah-kaidah fiqh.

c. Ilmu naqli, ilmu yang diambil dari al-Quran dan Hadits, berupa ilmu tafsir, sanad, serta istinbat tentang
kaidah-kaidah fiqh.

Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:

a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti,
pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-
malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan
mendalami suatu disiplin tertentu.

b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal
ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu.
Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat
manusia di muka bumi.

c. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia
dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih
dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.

Implikasi aliran ini terhadap pendidikan adalah dalam pembelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih
metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab,
lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik,
hingga selesai materi per-bab.

Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu
keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan
oleh filsafat. Pendidikan diupayakan agar peserta didik benar-benar menguasai suatu bidang ilmu
pengetahuan yang memang telah menjadi bakatnya, yang nantinya dapat meningkatkan kehidupan
sosialnya di masyarakat.
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam bidang tertentu jarang sekali ahli pada
bidang lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini lantaran sekali seseorang menjadi ahli hingga keahliannya
itu tertanam berurat akar di dalam jiwanya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat atau corak jiwa
yang tidak dapat tumbuh serempak. (Abuddin Nata, 1997).

Selain aliran-aliran yang telah disebutkan diatas ada beberapa aliran filsafat pendidikan Islan yang
ditinjau dari tipologi yaitu, aliran Perenial-Esensial Salafi, aliran Perenial Madzhabi, aliran Modernis,
aliran Perenial-Esensialis Konstektual Falsikatif dan aliran Rekonstruksi Sosial. Masing-masing mempunyai
dan ciri-ciri pemikiran, yang berimplikasi pada fungsi pendidikan itu sendiri.

Perenial-Esensial Salafi aliran yang bersumber dari al Quran dan as- Sunah bersikap regresif dan
konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang
beriorentasi pada masa silam (era salafi). Ciri-ciri pemikirannya adalah ia menjawab persoalan
pendidikan dalam konsteks wacana salafi, memahami nash secara tekstual-lughawi, penafsiran ayat
dengan ayat lain, ayat dengan hadis maupun hadis dengan hadis sehingga kurang adanya perkembangan
dan elaborasi.

Fungsi pendidikan Islam baginya adalah melestarikan budaya masyarakat salaf yang dianggap ideal
serta mengembangkan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya masyarakat era salaf.

Perenial-esensialis mazhabi aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah dan bersikap regresif
dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran,
pemahaman dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang
tradisional dan beriorentasi pada masa silam. Ciri-ciri pemikirannya menekankan pada pemberiah syarh
dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, dan kurang adanya keberanian untuk mengkritik dan
mengubah subtansi materi pendidikan pendahulunya.

Fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai, budaya, dan tradisi dari
satu generasi ke generasi, serta pengembangan potensi dan interaksinya dengan nilai dan budaya
masyarakat yang terdahulu.

Modernis aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah, menekankan perlunya berfikir bebas
dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana yang terkandung
dalam wahyu Illahi; progressif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan kebutuhan
lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidiksn Islam kontemporer. Ciri-ciri pemikirannya
adalah tidak berkepentingan untu mempertahankan dan melestarikan pemikiran dan sistem pendidikan
para pendahulunya, lapang dada dan menerima pemikiran dari manapun dan siapapun dan selalu
menyesuaikan perkembangan sosial dan iptek.

Tugas pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal,
aliran ini hampir sama dengan aliran religius rasional yang diprakarsai oleh Ikhwan al Shafa. Sedangkan
fungsi daripada pendidikan Islam adala sebagai:

1. Upaya pengembangan potensi peserta didik secara optimal, baik potensi jasmani, akal maupun hati,

2. Upaya interaksi potensi dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya,

3. Rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus agar dapat berbuat sesuatu secara intelegen yang
dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah Swt.

Perenial-esensialis konstektual falsikatif aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah,
menekankan perlunya sikap konserfatif dan regresif terutama dalam konteks pendidikan agama, yang
lebih mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta
uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras
dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang ada, wawasan
kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon
tuntutan perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada.

Ciri-ciri aliran ini:

1. Menghargai pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada era salaf, klasik dan pertengahan.

2. Mendudukan pemikiran pendidikan Islam era salaf dan klasik serta pertengahan dalam konteks ruang
dan zamannya untuk difalsifikasi.

3. Rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam terdahulu yang di anggap kurang relevan dengan tuntutan dan
kebutuhan era kontemporer.

Fungsi pendidikan Islam menurut aliran ini adalah sebagai:

1. Upaya pengembangan potensi secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungan tanpa mengabaikan tradisi yang sudah mengakar.
2. Menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan Iptek dan perubahan
sosial yang ada.

Rekonstruksi sosial aliran yang bersumber dari al Quran dan as-Sunah, di samping menekankan sikap
progressif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipasif dalam menghadapi menghadapi
perkembangan Iptek, tuntutan perubahan, dan beriorentasi pada masa depan dan menuntut kreatifitas.

Tugas pendidikan Islam terutama membantu agar manusia menjadi makhluk yang cakap dan
selanjutnya manusia mampu bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat yang dilandasi
iman dan taqwa kepada Allah. Karena hakikatnya manusia adalah khalifah Allh fil ardhi yang mampu
untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan potensi jismiah dan nafsiah yang mengandung
dimensi al-nafsu, al aql dan al-qalb (temuan Baharuddin, 2001), sehingga ia siap mengaktualisasikan
potensinya dalam konteks hubungan horisontal (habl min al-nas), yang diwujudkan dalam bentuk
rekonstruksi sosial secara berkelanjutan untuk mencapai ridhoNya.

Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai:

1. Upaya menumbuh kembangkan kreativitas secara berkelanjutan

2. Upaya memperkaya khazanah budaya manusia, dengan memperkaya isi nilai-nilai insani dan Ilahi

3. Upaya menyiapkan tenaga kerja yang produktif yang berjiwa spirit Islam.

Kelima aliran ini dikonseptualisasikan dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada
umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan
dan perubahan zaman serta era modernitas, dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendekiawan
muslim dalam bidang pendidikan Islam.

Sebagai calon pendidik bukankah kewajiban kita untuk memahami dan mengamalkan aliran mana
yang sesuai dengan pendidikan saat ini? Atau kita dapat memadukan antara satu aliran dengan aliran
yang lainnya tanpa harus mengurangi nilai karena satu dengan yang lainnya saling melengkapi.

Contohnya saja, Filsafat Pendidikan Islam yang ada pada negara kita. Kecenderungan pola kajian
pemikiran pendidikan Islam Indonesia, sebagaimana diamati oleh Azra, berbagai kecenderungan
tersebut terkait dengan latar belakang mereka, baik latar belakang pendidikan maupun aktifitas mereka
dalam kegiatan kemasyarakatan.
Terbatasnya literatur filsafat pendidikan Islam di Indonesia yang notabene sangat dibutuhkan oleh
masyarakat akademis, juga mendorong penulisannya yang cenderung bersifat pragmatis, yang
berimplikasi pada kesenjangan antara idealitas pemikiran mereka dengan realitas simbol-simbol
pemikirannya sebagaimana tertuang dalam karya-karya mereka.

Menurut Muhaimin, yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah rekonstruksi sosial yang
teosentris, dengan landasan pemikiran bahwa:

1) Bangsa Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar Negara, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam konstek ajaran Islam, sila tersebut dimaknai dengan konsep tauhid, yang mencangkup
konsep-konsep tauhid uluhiyah, ububiyah, mulkiyah dan rahmaniyah

2) Bangsa Indonesia hidup dalam pluralisme yang sangat rentan terhadap konflik-konflik, namun tetap
bertekad ber-Bhineka Tunggal Ika. Pengembangan Pendidikan Islam berusaha untuk menciptakan
ukhuwah Islamiyah dalam arti luas.

3) Perlunya pendidikan Islam untuk menyiapkan keunggulan manusia dalam Iptek, yang produktif,
kompetitif, dengan tetap memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama dalam
alam demokratis.

Dari dulu sampai sekarang ini pendidikan merupakan hal yang paling penting untuk membawa
mereka kepada kehidupan yang lebih baik, dan masalah sukses tidaknya pendidikan tidak lepas dari
faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan dan lingkungan merupakan hal yang tidak mudah untuk
di jelaskan sehingga memerlukan penjelasan dan uraian yang tidak sedikit telah bertahun-tahun lamanya
para ahli didik, ahli biologi, ahli psikologi,dan lain-lain memikirkan dan berusaha mencari jawaban,
tentang perkembangan manusia itu sebenarnya bergantung kepada pembawaan ataukah lingkungan.

Dari aliran-aliran di atas dapat disimpulkan pula bahwa pada masing-masing aliran terdapat
persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang diantaranya yakni persamaannya
sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan
fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan Islam.

Manfaat dengan kita mempelajari atau mengetahui aliran-aliran di atas juga dapat dipakai sebagai
alat untuk memahami model-model pemikiran melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau buku-
buku, sehingga dapat dijelaskan aliran manakah yang lebih dominan dan menonjol dalam pembahasan
aliran-aliran filsafat pendidikan islam. Sehingga kita juga dapat menentukan arah yang tepat dalam
berpinjak dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan islam.

Perbedaan aliran-aliran yang ada sebaiknya disikapi dengan cara yang bijaksana dan positif, agar
tercapai hakikat dan tujuan yang diharapkan.

PENUTUP

SIMPULAN

1. Dari pembahasan di atas dapat kita kerucutkan ada dua macam aspek aliran filsafat pendidikan Islam,
yaitu segi konsep keilmuan dan segi pola-pola pemikiran dan sumbernya. Aliran filsafat pendidikan Islam
dari segi konsep keilmuan ada tiga yaitu aliran religius konserfatif, aliran religius rasional dan aliran
pragmatis instrumental. Aliran filsafat pendidikan Islam dari segi pola pemikiran dan sumbernya ada lima
yaitu aliran perenial-esensial salafi, aliran perenial-esensial salafi, aliran modernis, aliran perenial-
esensialis konstektual-falsikatif dan aliran rekonstruksi sosial.

2. Masing-masing aliran terdapat persamaan dan perbedaan yang dapat kita lihat dengan gamblang
diantaranya yakni persamaannya sama-sama bersumber dari al-Quran dan as sunnah, kemudian
perbedaannya terletak pada ciri-ciri dan fungsi aliran-aliran tersebut dalam filsafat pendidikan Islam.

SARAN

1. Penggunaan setiap aliran dalam metode pendidikan hendaknya diselaraskan dengan tujuan pendidikan
yang telah dirumuskan, tingkat usia peserta didik, kecerdasan bakat dan fitrahnya.

2. Bersikap positif dan bijaksana untuk menyikapi semua perbedaan aliran yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Arif, dalam Pengantar Penerjemah Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002)

Dr. H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan


Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003)

Dr. Jalaludin & Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: Rajawali Pers)

H. Ahmad SyarI M.Pd, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-utama-filsafat-pendidikan.html

/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/aliran-filsafat-pendidikan-islam.html

/Filsafat Pendidikan Islam/Silabus/Resume aliran-aliran filsafat pendidikan islam _ elamin.htm

Anda mungkin juga menyukai