Anda di halaman 1dari 5

Universitas Sankore

Lembaga pendidikan banyak menopang perkembangan peradaban Islam. Dan ternyata, lembaga
semacam itu tak hanya ada di kota-kota yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan,
seperti, Mesir atau Baghdad. Tapi, lembaga pendidikan serupa juga berkembang di Kota
Sankore, Timbuktu.

Kini, Timbuktu masuk wilayah Mali. Nama lembaga pendidikan ternama di sana adalah
Universitas Sankore. Universitas ini menjelma menjadi sebuah lembaga pendidikan penting di
sana. Bahkan, dianggap lembaga intelektual terbesar khususnya bagi warga Mali, Ghana, dan
Songhay.

Terutama, selama abad ke-12 hingga ke-16. Pada masa itu, Universitas Sankore menjadi penanda
kemajuan peradaban Islam di wilayah tersebut. Walaupun harus diakui, pamornya tak
secemerlang Universitas Al Azhar, Al-Qarawiyyin, dan Qurtuba. Universitas Sankore ini juga
dikenal Universitas Timbuktu, yang terletak di timur laut distrik Timbuktu. Universitas ini
berada di dalam wilayah Masjid Sankore yang didirikan pada 989 Masehi oleh Hakim Ketua
Timbuktu, Al-Qadi Aqib ibn Mahmud ibn Umar.

Ibn Umar membangun pelataran Masjid Sankore, seperti pelataran Kabah di Makkah. Seorang
perempuan Mandika yang kaya bersedia untuk memberikan sebagian hartanya untuk membiayai
operasional Universitas Sankore, yang ada di dalam wilayah masjid tersebut.

Hingga kemudian, Universitas Sankore menjadi sebuah pusat pendidikan terkemuka dan dikenal
di seluruh penjuru dunia. Apalagi, Timbuktu sebelumnya telah dikenal sebagai tujuan atau
tempat perhentian bagi para pedagang dari Timur Tengah dan Afrika Utara.

Sebagian besar pedagang dari Timur Tengah beragama Islam dan kenyataan ini membuat masjid
di Timbuktu, termasuk masjid yang ada di Sankore, banyak dikunjungi mereka. Bahkan,
perpustakaan dibangun di masjid-masjid, yang sarat dengan koleksi buku dari seluruh dunia
Muslim.

Tak heran jika Masjid Sankore tak hanya menjadi pusat ibadah, tapi juga menjadi pusat belajar.
Kondisi semacam inilah yang kemudian membuat tumbuh sebuah universitas di dalam Masjid
Sankore. Banyak mahasiswa yang menimba ilmu di sana.

Universitas Sankore mencapai puncak kemajuan saat Mansa Musa berkuasa pada 1307 hingga
1332 Masehi. Kemajuan terus berlanjut saat Dinasti Askia memegang tampuk kekuasaan pada
1493 hingga 1591 Masehi. Mereka membangun perpustakaan dengan koleksi buku yang
berlimpah.
Tak heran jika kemudian, perpustakaan Universitas Sankore mempunyai koleksi buku terbesar
kedua di Afrika setelah Perpustakaan Alexandria. Perpustakaan Universitas Sankore dipenuhi
oleh 400 ribu hingga 700 ribu naskah buku.

Dalam praktiknya, Universitas Sankore tak memiliki pusat administrasi. Namun, terdiri atas
beberapa lembaga independen, masing-masing diajar oleh seorang cendekiawan atau profesor.
Proses belajar mengajar berlangsung secara terbuka di pelataran masjid.

Belajar juga dilakukan di beberapa rumah pribadi. Mata kuliah utama yang diajarkan adalah
studi Alquran, Islam, hukum, sastra, obat-obatan, pembedahan dan operasi, astronomi,
matematika, geometri, fisika, kimia, filsafat, bahasa, geografi, sejarah, dan seni.

Para mahasiswa mempelajari pula etika bisnis dan perdagangan. Di sisi lain, universitas
membuka kelas pertukangan, pertanian, perikanan, konstruksi, pembuatan sepatu, menjahit, dan
navigasi. Semua mahasiswa bebas memilih kelas yang mereka minati.

Mengutip laman Muslimheritage, kebebasan intelektual yang muncul di universitas-universitas


di Barat terinsipirasi dari kebebasan yang diberikan di universitas, seperti di Sankore ataupun
Qurtuba, Spanyol Muslim. Terlepas dari mata kuliah yang diambil para mahasiswa, setiap
mahasiswa di Universitas Sankore wajib menghafal Alquran dan menguasai bahasa Arab. Selain
itu, bahasa Arab juga digunakan di Timbuktu sebagai bahasa komunikasi dalam perdagangan.

Pencapaian gelar tertinggi setingkat PhD, ditempuh para mahasiswa dalam kurun waktu 10
tahun. Saat upacara kelulusan atau wisuda, para sarjana harus mengenakan serban yang
merepresentasikan nama Allah dan melambangkan cahaya Ilahi, kebijaksanaan, pengetahuan,
dan moral baik.

Para sarjana dituntut untuk berperilaku baik demi menjaga nilai-nilai dan pendidikan Islam.
Seusai menerima ijazah, mereka berkumpul di luar gedung atau kampus dan melemparkan
serban mereka tinggi-tinggi ke udara. Mereka bersorak-sorai sambil saling berpegangan tangan
satu sama lain untuk menunjukkan bahwa mereka semua adalah saudara. Mereka tgrus
mempertahankan tali persaudaraan sejak menuntut ilmu di universitas tersebut.

Seperti semua universitas Islam lainnya, para mahasiswa di Universitas Sankore datang dari
seluruh penjuru dunia. Pada abad ke-12, universitas tersebut menampung 25 ribu mahasiswa.
Jumlah penduduk kota itu sendiri sebanyak 100 ribu jiwa.

Universitas ini juga dikenal memiliki syarat ketat dalam menerima mahasiswa. Tak heran jika
universitas ini menghasilkan para sarjana kelas dunia. Seorang penulis Prancis, Felix Dubois,
dalam bukunya yang berjudul Timbuctoo the Mysterious, memberikan pujiannya.

Menurut Dubois, sarjana yang merupakan lulusan Sankore bisa disejajarkan dengan mereka yang
berasal dari universitas lainnya baik dari Kairo, Fez, maupun Tunisia. Bahkan, orang Arab, kata
dia, tak selalu bisa masuk Universitas Sankore. Universitas Sankore masih berfungsi sebagai
tempat belajar walaupun kegemilangannya telah pudar. ed
Kejayaan Peradaban Islam
“Universitas Sankore”
Ke mana para pelajar Muslim di abad ke-12 hingga 16 M menimba ilmu? Universitas Sankore, pasti
jawabannya. Tinta emas sejarah peradaban Islam mencatat perguruan tinggi yang berada di Timbuktu,
Mali, Afrika Barat, itu selama empat abad lamanya sempat menjelma menjadi lembaga pendidikan
berkelas dunia.

Meski tak setenar Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko,
pada era kejayaan Islam Universitas Sankore telah menjadi obor peradaban dari Afrika Barat.
Laiknya magnet, perguruan tinggi yang berdiri pada 989 M itu mampu membetot minat para
pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam untuk menimba ilmu di universitas itu.

Pada abad ke-12 saja, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai
25 ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa
asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan abad yang lampau masih jauh lebih
banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa.

Penulis asal Prancis, Felix Dubois dalam bukunya bertajuk, Timbuctoo the Mysterious,
Universitas Sankore menerapkan standar dan persyaratan yang tinggi bagi para calon mahasiswa
dan alumninya. Tak heran jika universitas tersebut mampu menghasilkan para sarjana berkelas
dunia.

Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu
menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di
Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga
ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.

Jumlah risalah sebanyak itu dengan tema yang beragam dinilai kalangan sejarawan sungguh
sangat fenomenal. “Koleksi risalah kuno yang ditinggalkan kepada kita di Universitas Sankore
membuktikan daya tarik dan kehebatan institusi pendidikan tinggi itu,” papar Sejarawan Runoko
Rashidi. Menurutnya, fakta sejarah itu sungguh menarik untuk kembali diungkap.

Jutaan risalah yang dihasilkan para ilmuwan dan ulama di Universitas Sankore sungguh luar
biasa kaya. Baik dalam gaya, isi, serta menggambarkan kedalaman pengetahuan dan
intelektualitas para pelajar dan sarjananya. “Fakta ini juga mampu mematahkan mitos selama ini
yang menyatakan bahwa masyarakat Afrika lebih dominan dengan budaya tutur,” cetus Emad
Al-Turk, pimpinan dan salah satu pendiri Internasional Museum of Muslim Cultures (IMMC).

Menurut Emad, temuan jutaan manuskrip kuno dari Universitas Sankore itu membuktikan bahwa
masyarakat Afrika memiliki budaya baca dan kebudayaan yang sangat tinggi. Apalagi pada abad
ke-12 hingga 16 M, fakta membuktikan bahwa perdagangan buku di Mali sangat pesat dan
merupakan bisnis yang menguntungkan. “Itu membuktikan bahwa masyarakat Afrika Barat
sangat gemar membaca dan gandrung pada ilmu pengetahun,” imbuh Emad.

Tingkat keilmuan para alumni Sankore juga diperhitungkan universitas lain di dunia Islam.
“Secara mengejutkan, banyak sarjana lulusan Universitas Sankore diakui sebagai guru besar di
Maroko dan Mesir. Padahal, belum tentu kualitas keilmuan sarjana lulusan Al-Azhar dan Al-
Qarawiyyin memenuhi standar di Sankore,” imbuh Felix Dubois.

Pada era kejayaan Islam di Timbuktu, banyak sarjana berkulit hitam terbukti lebih pandai
dibandingkan sarjana asal Arab. Sejarawan terkemuka, Al-Hasan bin Muhammad Al-Wazzan
atau Leo Africanus dalam bukunya, The Description of Africa (1526), mengungkapkan geliat
keilmuan di Timbuktu pada abad ke-16 M.

“Ada banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semuanya mendapatkan gaji yang
layak dari Raja Askia Muhammad. Dia menghormati orang-orang yang terpelajar,” papar Al-
Wazzan. Kisah sukses dan keberhasilan perabadan Islam di benua hitam Afrika yang ditulis Leo,
konon telah membuat masyarakat Eropa terbangun dari jeratan era kegelapan hingga mengalami
Renaisans.

Lalu, bagaimana asal muasal berdirinya Universitas Sankore? Seperti halnya Universitas Al-
Qarawiyyin di Kota Fez, Maroko, aktivitas keilmuan di Timbuktu juga bemula dari masjid.
Alkisah, pada 989 M, kepala hakim di Timbuktu bernama Al-Qadi Aqib ibnu Muhammad ibnu
Umar memerintahkan berdirinya Masjid Sankore.

Masjid itu dibangun secara khusus meniru Masjidil Haram di Makkah. Pada bagian dalamnya
dibuatkan halaman yang nyaman. Di masjid itulah kemudian aktivitas keilmuan tumbuh pesat.
Seorang wanita Mandika yang kaya raya lalu menyumbangkan dananya untuk mendirikan
Universitas Sankore dengan tujuan sebagai pusat pendidikan terkemuka.

Perlahan namun pasti, Universitas Sankore pun mulai berkembang. Universitas ini lalu menjadi
sangat dikenal dan disegani sebagai pusat belajar terkemuka di dunia Islam pada masa kekuasaan
Mansa Musa (1307 M-1332 M) dan Dinasti Askia (1493 M-1591 M). Pada masa itulah, Sankore
menjadi tujuan para pelajar yang haus akan ilmu agama dan pengetahuan lainnya.

Universitas ini dilengkapi dengan perpustakaan yang lengkap. Jumlah risalah yang dikoleksi
perpustakaan itu berkisar antara 400 ribu hingga 700 ribu judul. Dengan fasilitas buku dan kitab
yang lengkap itu, para mahasiswa akan belajar sesuai tingkatannya. Jika telah lulus dari berbagai
ujian dan mengikuti pelajaran, para mahasiswa akan diwisuda dan dianugerahkan sorban.

Sorban itu melambangkan kecintaan pada Ilahi, kebijaksanaan, moral, dan pengetahuan yang
tinggi. Pada zaman modern ini, para wisudawan diberikan toga. Tingkat paling tinggi yang
ditawarkan Universitas Sankore adalah ‘superior’ (setara PhD), lamanya kuliah selama 10 tahun.

Ulama dan ilmuwan terkemuka yang dimiliki Universitas Sankore adalah Ahmad Baba as-
Sudane (1564 M-1627 M). Ia adalah rektor terakhir Universitas Sankore yang menulis 60 buku
dengan beragam judul, termasuk hukum, kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, serta ilmu
lainnya.

Ilmuwan dan ulama kenamaan lainnya yang dimiliki universitas itu antara lain; Mohammed
Bagayogo as-Sudane al-Wangari al-Timbukti mendapat gelar doktor saat berkunjung ke
Universitas Al-Azhar, Mesir; Modibo Mohammed al-Kaburi; Abu al-Abbas Ahmad Buryu ibn
Ag Mohammed ibn Utman; Abu Abdallah; dan Ag Mohammed Ibn Al-Mukhtar An-Nawahi.

Kebebasan intelektual yang dinikmati di universitas-universitas di dunia Barat pada zaman


modern ini, konon telah terinspirasi oleh Universitas Sankore dan Universitas Qurtuba di
Spanyol Muslim. Tak hanya itu, universitas ini juga menjadi salah satu model perguruan tinggi
yang benar-benar multikultural. Mahasiswa dan beragam latar belakang etnis dan agama
menimba ilmu di Universitas Sankore.

Anda mungkin juga menyukai