Anda di halaman 1dari 21

Makalah Islam dan Psikologi

CITRA MANUSIA DALAM ISLAM

Disusun Oleh :

Annisa Nuraulia Imaniasty Permatasari 11180700000063

Luthfi Subekti 11180700000070

Nadilla Fatika Sari 11180700000072

Salma Avia Fahrina 11180700000184

Nada Nabilah Anwar 11180700000177

Siti Nuraeni 111807000000060

Frilly Dinda Lestari 11180700000216

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam
ciptaanNya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang
sempurna dengan bahasa yang sangat indah

Dengan taufiq dan hidayah Allah SWT. Kami bersyukur telah menyelesaikan makalah yang
berjudul “Citra Manusia dalam Islam”.
Dalam Kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Layyinah selaku dosen mata kuliah Islam Dan Psikologi
2. Rekan-rekan kelompok yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan, penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman
bagi kami agar lebih baik dari masa yang akan datang. Harapan kami semoga makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Jakarta, Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
C. Tujuan.......................................................................................................................... 5
BAB II ....................................................................................................................................... 6
A. Citra Manusia dalam Psikologi Barat.......................................................................... 6
B. Hakikat Fitrah .............................................................................................................. 9
C. Citra (Fitrah) Manusia dalam Islam .......................................................................... 11
BAB III .................................................................................................................................... 20
A. Kesimpulan................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai dimensi manusia telah ada sejak lampau. Dalam sejarahnya,
kajian mengenai manusia telah ada sejak zaman filosof Yunani Purba, Socrates (468-
399). Socrates adalah seorang filsuf yang memiliki pandangan berbeda dengan para
filsuf sebelumnya yang umumnya mencoba mencari hakikat alam semesta
(macrocosmos), sedangkan Socrates mencoba untuk membuka tabir misteri hakikat
manusia dan kemanusiaan (microcosmos). Oleh karenanya, tema sentral ajaran Socrates
terangkum dalam semboyan “Gnoti Theauton” (kenali diri). Motto ajaran Socrates
tersebut terus berkembang sampai saat ini, hal ini terbukti dengan pernyataan Alexis
Carrel dalam buku Man, The Unknown yang mengatakan bahwa realitas manusia dan
kemanusiaan tidak akan pernah terbuka tuntas oleh berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini
dikarenakan manusia merupakan makhluk majemuk yang mengandung rahasia.

Sejak tahun 2000-2010 psikologi lebih menitikberatkan pada pembahasan perilaku


Oleh karenanya, sejak abad ke-20 psikologi disebut sebagai “Decade of Behaviour” yang
mana semua pembahasannya tidak terlepas dari perilaku. Perhatiannya hanya pada soal
perilaku yang nampak, mengakibatkan biasnya pemahaman terhadap hakikat manusia.
Oleh karenanya, tidak heran jika para psikolog Muslim seperti Malik Badri sebagaimana
yang dikutip Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyimpulkan bahwa “pada hakikatnya
para psikolog Barat sedang membahas ilmu jiwa tanpa konsep jiwa (Abdul & Mudzakir,
2001).

Menurut Rollo Reese May, ketidakberdayaan yang dialami oleh manusia modern
tidak lain karena ketidaktahuannya akan siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya.
Ketidaktahuan akan eksistensi diri dan orientasi hidup inilah yang kemudian
menyebabkan munculnya gangguan psikologis seperti kehampaan, meaningless, dan
kekosongan spiritual. Para tokoh Psikolog Islam melihat bahwa psikologi humanistik
melihat manusia secara utuh, bahwa manusia memiliki kendali atas dirinya sendiri, tidak
seperti psikologi behaviour yang hanya menganggap manusia sebagai mekanistik dan
psikoanalisa yang menganggap perilaku adalah hasil dari masa lalu. Walaupun begitu,
terdapat perbedaan diantara psikologi humanistic dan psikologi Islam. Psikologi
humanistik berorientasi antroposentris dan berdimensi eksoterik yang netral etik
sedangkan Islam berorientasi teosentris dan berdimensi esoterik yang sarat etik.

Berangkat dari hal ini, maka penulis ingin membahas mengenai citra manusia dalam
Islam, dengan harapan dapat menambah khasanah pembaca dan penulis tersendiri.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana citra dalam sudut pandang psikologi barat?


2. Apa yang dimaksud dengan fitrah?
3. Bagaimana citra (fitrah) dalam sudut pandang Islam?

C. Tujuan

1. Mengetahui citra manusia dalam sudut pandang psikologi barat


2. Mengetahui hakekat fitrah
3. Mengetahu citra (fitrah) manusia dalam sudut pandang Islam

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Citra Manusia dalam Psikologi Barat

1. Psikoanalisis
Citra manusia diartikan sebagai gambaran umum mengenai manusia. Menurut
psikoanalisis Sigmund freud citra manusia lebih ditujukan kepada totalitas struktur
kepribadian yang membangunnya. Adapun struktur kepribadian yang membangun
citra manusia menjadi utuh yaitu id, ego, dan superego (Zilbersheid, dalam Maslahat,
2020) ; nafsu hewani, intelektual, dan moral. Id merupakan sistem kepribadian yang
dibawa sejak lahir yang darinya muncul ego dan superego. Id berperan sebagai pusat
instink dan beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle).
Sedangkan ego berfungsi sebagai fasilitator untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan
id dengan jalan yang dapa diterima. Dan superego merupakan nilai-nilai sosial
berdasarkan norma yang berlaku di masyarakat. komponen biologis (Das Id),
psikologis (Das Ego), dan sosial (Das Superego); atau unsur hewani, rasional, dan
moral (hewani, akali, dan moral). Hanna Djumhana Bastaman menyimpulkan bahwa
konsep citra dan kepribadian manusia dalam pandangan psikoanalisis dinilai sebagai
makhluk yang berkeinginan (homo volens) yang terus mengejar kenikmatan-
kenikmatan jasmani, buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois serta pesimis terhadap
potensi yang dimiliki (Bastaman dalam Maslahat, 2020). Manusia sebagai makhluk
yang perilaku-perilaku nya dikendalikan oleh alam bawah sadar.

Achmad Mubarok juga menjelaskan bahwa antara id, ego, dan superego memiliki
fungsi dan mekanisme yang berbeda-beda. Id merupakan sistem kepribadian asli yang
dibawa sejak lahir yang darinya muncul struktur ego dan superego yang kemudian
berperan sebagai pusat instink dan beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan
(pleasure principle) (Mubarak, 2014). Menurut Roger Frie, usaha manusia yang selalu
mengejar kenikmatan ini dipengaruhi oleh dua instink yang terdapat dalam sub sistem
id. Adapun kedua instink tersebut yaitu libido atau eros dan thanatos. Libido (instink
reproduktif) atau eros (instink kehidupan) merupakan energi dasar untuk melakukan
kegiatan yang sifatnya konstruktif dan mendatangkan kenikmatan (pleasure
principle), sedangkan thanatos (instink kematian) merupakan instink destruktif dan
agresif yang mendorong untuk melawan dan merusak segala sesuatu yang
menghalangi kenikmatan. Ego merupakan sub sistem yang beroperasi berdasarkan
prinsip realitas dan berfungsi sebagai penengah antara dorongan-dorongan hewani
manusia (id) dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan realistik kehidupan

6
yang dihadapinya. Sedangkan superego merupakan sub sistem yang beroperasi
berdasarkan prinsip idealitas dan berfungsi sebagai self-control yang jika akan
berperilaku ia akan menyesuaikannya dengan norma-norma sosial dan kultural
masyarakat (Frie, 2013dalam Maslahat, 2020)

Menurut freud bahwasannya perilaku manusia didasari oleh hasrat seksualitas yang
pada awalnya dirasakan manusia sejak kecil dari ibunya (Alwisol dalam Alisyahbana
& Pasiska, 2020) sedangkan erikson mengatakan bahwa dalam setiap perkembangan
manusia tidak hanya dipengaruhi oleh aspek seksual tetapi juga dipengaruhi oleh
sosial. (Boeree dalam Alisyahbana & Pasiska, 2020). Freud juga mengatakan bahwa
manusia dipengaruhi oleh masa lalunya dari pada tujuan individu kedepannya. Dan
perilaku manusia muncul terkait dengan doronngan ketidaksadaran manusia.
(Fatwakiningsih, 2020)

Menurut Allfort manusia adalah organisme yang pada waktu lahirnya adalah
mahluk biologis, lalu berubah atau berkembang menjadi individu yang egonya selalu
berkembang, struktur sifat-sifatnya meluas dan merupakan inti dari tujuan-tujuan
serta aspirasi masa depan. (Fatwakiningsih, 2020)

2. Behavioristik
Aliran behavioristik dipelopori oleh John Broades Watson psikolog dari Amerika
Serikat yang terkenal dengan teori reinforcement (reward and punishment),
mengemukakan bahwa citra manusia dan kepribadiannya ditentukan oleh lingkungan
(Feist & Feist dalam Maslahat, 2020). Perilaku manusia dibentuk oleh proses belajar
dan pengondisian. (Fatwakiningsih, 2020). Aliran behavioristik ini lebih banyak
memfokuskan kajiannya terhadap perilaku real manusia yaitu perilaku yang dapat
diukur, dinilai, diobservasi dan dilukiskan. disimpulkan bahwa dalam aliran
behavioristik perilaku manusia sangat ditentukan oleh lingkungan dan pengalamannya
saat ini (here and now). Menurut mereka, lingkungan yang relevan dan baik akan
membentuk pribadi yang baik, sebaliknya lingkungan yang tidak baik maka akan
membentuk pribadi yang tidak baik pula (Maslahat, 2020).

Penganut behaviorisme memandang manusia sebagai homo mechanicus atau manusia


mesin. Individu sangat plastis bisa dibentuk menjadi apa dan siapa saja. Atau
berperilaku apa saja sesuai dengan lingkungannya. Perilaku manusia terbentuk atas
dasar pembelajaran atau kondisioning. Prinsip lainnya, perilaku yang mendapat
hadiah (reward) cenderung diulangi. Sebaliknya, perilaku yang mendatangkan
hukuman (punishment) cenderung dihindari. (Tondok, 2018)

3. Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif memandang bahwa manusia tidak begitu saja dipengaruhi


oleh lingkungan seperti yang dianut oleh aliran behavioristik. Menurut tokoh
psikologi kognitif seperti Max Wertheimer, Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, Kurt
Levin, dan Jean Piaget menyatakan bahwa manusia tidak hanya menerima stimulus

7
dari lingkungan, namun manusia mencoba memahami lingkungan yang dihadapi dan
merespon dengan pikiran yang dimiliki. Dengan berpikir manusia mampu mengolah
informasi mengenai lingkugan dan dirinya dengan baik yang nantinya akan
mengahsilkan sebuah perilaku. Dalam otak organisme, khususnya manusia, sudah
terdapat suatu struktur kognitif yang akan mengelola informasi yang diterima dari
lingkungan. Pengetahuan dan persepsi organisme akan lingkungannya memiliki
peranan yang amat besar dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, respon atau perilaku organisme terhadap lingkungan merupakan
proses pengambilan keputusan. Maka tidaklah mengherankan jika penganut teori
kognitif menyebut manusia disebut sebagai homo sapiens, yakni makhluk yang
berpikir. (Tondok, 2018)
4. Humanistik
Humanistik dipelopori oleh Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Rollo Reese May
yang ikut andil dalam mengkaji citra dan kepribadian manusia . Sejak tahun 1950,
ketiga tokoh ini mengembangkan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk unik
yang mengerti makna hidup (homo ludens), memiliki potensi, kreativitas, cinta,
makna, dan memiliki kualitas-kualitas pribadi lainya. Hadirnya aliran humanistik
merupakan reaksi kritis terhadap aliran sebelumnya, psikoanalisis yang memandang
manusia buruk dan behavioristik yang memandang manusia netral. (Maslahat, 2020)

Menurut Maslow sebagaimana yang dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman


kepribadian manusia dipengaruhi oleh motivasi yang ada dalam dirinya, bukan dari
lingkungan ataupun alam bawah sadarannnya. Hal ini dikarenakan manusia
dianugerahi keinginan untuk berkehendak, bertanggung jawab, dan beraktualisasi diri.
Adapun motivasi yang memengaruhi seseorang pada dasarnya dipengaruhi oleh lima
kebutuhan (hirarki kebutuhan) di antaranya yaitu kebutuhan biologis dan psikologis
(makan, minum dan tempat tinggal), kebutuhan akan rasa aman dan nyaman,
kebutuhan dicinta dan mencinta, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan aktulisasi
diri. Dalam pandangan Calr Rogers, perilaku manusia dikuasai oleh (yang disebutnya)
the actualizing tendency, yaitu suatu kecenderungan yang ada dalam diri (inhern)
manusia untuk mengembangkan kapasitasnya sedemikian rupa guna memelihara dan
mengembangkan diri. Motivasi yang timbul akibat kecenderungan ini meningkatkan
kemandirian dan mengembangkan kreativitas individu. (Tondok, 2018)

5. Psikologi Transpersonal

Menurut aliran transpersonal dalam bukunya bastaman, citra manusia


dipandang sebagai mahluk yang memiliki potensi tinggi (Highest Potential) dan
mampu merasakan fenomena kesadaran transenden (transcendent states of
consciousness). Menurut grof dalam pandangan aliran transpersonal bahwa manusia
dapat merasakan pengalaman spiritual, pengalaman meditasi, kesatuan mistik, dan
pengalaman batin yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. (Maslahat, 2020)

8
B. Hakikat Fitrah

1. Al-fitrah (citra asli)


Allah telah menciptakan semua makhluknya berdasarkan fitrahnya. Tetapi
fitrah Allah untuk manusia, berupa potensi dan kreativitas yang dapat dibangun dan
membangun, yang memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga
kemampuannya jauh melampaui kemampuan fisiknya. Pengertian fitrah sangat
beragam. Meskipun demikian, kalau potensi dan kreativitas tersebut tidak dibangun
dan tidak dikembangkan, niscaya ia kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena
itu potensi dan kreativitas manusia perlu dibangun dan dikembangkan.
Keberagaman itu dikarenakan oleh pemilihan sudut makna. Fitrah dapat difahami
dari sudut etomologis (harfiyah), termonologis (ishtilah) bahkan makna kontkes
dalam pemahaman dalam suatu ayat (nasabi). Secara etimologis, asal kata fitrah
berasal dari bahasa Arab, yaitu fithrah (‫ ) فطرهه‬jamaknya fithar (‫) فطر‬,yang suka
diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan.

Menurut M. Quraish Shihab, istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang
berarti belahan. Dari makna ini kemudian lahir makna-makna lain, antara lain
pencipta atau kejadian. Dalam gramatika bahasa Arab, kata fitrah sewazan degan
kata fi'lah, yang artinya al- ibtida', yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Dalam
al-Maarif al-Islamiyah dan Nahjul Balaghah, dan kitab-kitab lain, sebagaimana
dikutip oleh Muthari, ditegaskan bahwa Allah tidak pernah mencontoh dalam
penciptaan yang dilakukannya. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia
merupakan suatu karya yang tanpa contoh dan tidak meniru karya sebelumnya.
Fi'lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukkan arti keadaan.
Demikian pula menurut Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, karena fithir artinya
menciptakan, maka fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu.
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, fitrah adalah awal mula
penciptaan manusia. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Quran
dalam konteksnya, selain yang berkaitan dengan manusia. Makna fitrah yang berarti
penciptaan merupakan makna yang lazim dipakai dalam penciptaan manusia, baik
penciptaan fisik (al-jism), maupun fsikis (an-nafs). Pemaknaan penciptaan pada kata
fitrah biasanya disejajarkan dengan kata al-'amr, al-bad', al-ja'l, al-khalq, al-shum'u,
dan al-nasy'. Semua term tersebut secara umum memiliki makna yang sama.

9
Fitrah yang dimaksud pada intinya secara umum (general) fithrah manusia
meliputi tiga hal, yaitu; fithrah jasmani, fithrah ruhani, dan fithrah nafs.
a. Fithrah jasmani
Aspek biologis yang dipersiapkan sebagai wadah dari fithrah ruhani. Ia
memiliki arti bagi kehidupan manusia untuk mengembangkan proses
biologisnya. Daya ini disebut dengan daya hidup (al-hayat), kendatipun sifatnya
abstrak tetapi ia belum mampu menggerakkan tingkah laku. Tingkah laku baru
terwujud jika fithrah jasmani ini telah ditempati fithrah ruhani. Proses ini terjadi
pada manusia ketika berusia empat bulan dalam kandungan --(pada saat yang
sama berkembang fithrah nafs). Oleh karena natur fithrah jasmani inilah maka
ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.
b. Fithrah ruhani,
Aspek psikis manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah yang sifatnya
ghaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi dan esensi pribadi manusia.
Eksistensinya tidak hanya di alam imateri, tetapi juga di alam materi (setelah
bergabung dengan jasmani), sehingga ia lebih dahulu dan lebih abadi adanya
dari pada fithrah jasmani. Naturnya suci dan mengejar pada dimensi-dimensi
spiritual tanpa memperdulikan dimensi material. Ia mampu bereksistensi
meskipun tempatnya di dunia abstrak, selanjutnya akan menjadi tingkah laku
aktual jika fithrah ruhani ini menyatu dengan fithrah jasmani.
c. Fithrah nafs,

Aspek psiko-fisik manusia. Aspek ini merupakan paduan integral (totalitas


manusia) antara fithrah jasmani (biologis) dengan fithrah ruhani (psikologis),
sehingga dinamakan psiko-fisik. Ia memiliki tiga komponen pokok, yaitu:
kalbu, akal, dan nafsu yang saling berinteraksi dan mewujud dalam bentuk
kepribadian. Hanya saja, ada salah satu yang lebih dominan dari ketiganya.
Fithrah ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian
Allah kepada manusia di alam arwah. Fithrah nafs merupakan anugerah yang
diberikan khusus untuk species manusia. Pemberian fithrah nafs masih dalam
wujud potensi atau daya sehingga manusia mampu bertingkah laku. Allah swt,
meskipun telah menciptakan fithrah nafs bukan berarti Dia tidak berbuat atau
tidak aktif lagi. Dalam keatifan tingkah laku manusia sebenar-nya bercampur

10
dalam keaktifan Allah. Tanpa keaktifan-Nya, maka manusia (termasuk seluruh
alam ini), akan hancur dan rusak. Keaktifan Allah diwujudkan dalam bentuk
pemberian sunnah dan hidayah (Qs. Thaha [20] ayat 50 dan Qs. al- ‘Ala [87]
ayat 2-3). Sunnah dan hidayah merupakan pertolongan (inayah) dan ketentuan
(taqdir)-Nya untuk manusia. Sunnah Allah adalah hukum-hukum dan aturan-
aturan Allah yang ditetapkan untuk fithrah nafs manusia agar tetap lestari dan
berdaya fungsi. Sedangkan hidayah adalah petunjuk Allah berupa al-Quran (Qs.
al-Baqarah [2] ayat 2) yang mengandung ajaran agama. Apabila fithrah nafs
manusia mau mengikuti sunnah dan hidayah Allah, maka akan mewujudkan
pribadi yang baik.

Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana
aktualisasi nya tergantung pilihan nya. Fitrah yang baik merupakan citra asli
yang premier. sedangkan fitrah yang buruk merupakan citra yang sekunder.
Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada system-sistem
psikofisik manusia dan adapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra
unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Fitrah ini ada sejak zaman
azali dimana penciptaan jasad manusia belum ada, seluruh manusia memiliki
fitrah yang sama meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling
esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba
Allah di muka bumi.

C. Citra (Fitrah) Manusia dalam Islam

Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) dimensi–dimensi fitrah


manusia meliputi tiga aspek yaitu aspek jismiyyah atau jasmaniah, aspek nafsiyyah
dan aspek rūhiyyah. Masing-masing dimensi ini akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Aspek jismiyyah atau jasmaniah.

Yang dimaksud aspek jismiyyah, jasmaniah atau jasadiyyah adalah organ


fisik dan biologis manusia dengan segala perangkat-perangkatnya. Organ fisik-
biologis manusia adalah organ fisik yang paling sempurna di antara semua
makhluk. Hal ini dijelaskan dalam Q.S Al-Tīn:4

11
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya .

Aspek jismiyyah ini memiliki beberapa karakteristik seperti memiliki


bentuk, rupa, kuantitas, berkadar, bergerak, diam, tumbuh, kembang, serta
berjasad yang terdiri dari beberapa organ, dan bersifat material yang substansinya
sebenarnya mati dan lain-lain. Menurut Baharuddin ini sejalan dengan dimensi
bio atau Al-basyar yakni memenuhi segala aspek yang berkaitan dengan fisik
seperti ingin makan, minum, ingin terlihat cantik, terlihat tampan bahkan
kengingan untuk menikah dengan lawan jenis. Penjagaan fitrah manusia dari sisi
jasadiyah ini terdapat dalam aturanaturan Allah, di antaranya menjaga struktur
makanan dan minuman yang halālan thayyiban yaitu nutrisi yang halal secara
hukumnya maupun memiliki kadar gizi yang mencukupi untuk pertumbuhan
jasad manusia.

2. Aspek Rūhiyyah

Aspek rūhiyyah adalah aspek psikis manusia yang bersifat spiritual dan
transandental. Sedangkan pengertian lain dari ruh adalah substansi yang memiliki
natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jiwa alami
manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Ruh memiliki nilai
multidimensi karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga dapat keluar
masuk dari dalam tubuh manusia. Kematian tubuh bukan-lah kematian ruh. Ruh
masuk kedalam tubuh ketika tubuh tersebut siap me-nerimanya. Berkaitan dengan
ruh ini, dijelaskan dalam Q.S.Al-A’raf:172:

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-


anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Dalam hal ini, ruh dibagi menjadi dua yaitu, pertama ruh yang berhubungan
dengan zatnya sendiri (al-munazallah), berkaitan dengan esensi asli ruh yang

12
diturunkan secara langsung pada manusia dan esensinya pun tidak berubah sebab
jika berubah maka berubah juga eksistensi manusia. Kedua adalah ruh yang
berhubungan dengan badan atau jasmani (al-gharizah). Dalam hadits nabi
disebutkan bahwa masuknya ruh ke dalam jasad manusia yaitu ketika manusia
berusia 4 bulan dalam kandungan. Ruhani manusia dapat terhubung dengan
Tuhan karena sesungguhnya ruh yang ada pada diri manusia pada dasarnya
berasal dari Tuhan. Berdasarkan Q.S. Shaad:72

Artinya: “Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku


tiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tunduk dengan
bersujud kepada-Nya.

Dimensi ruh yang ada dalam diri manusia adalah dimensi yang terus
mencari hakikat kebenaran sejati dan yang selalu menarik manusia dari kondisi
rendah (asfala safilin) untuk kembali ke derajat yang lebih tinggi (ahsan taqwim).
Menurut Abdul Razak al-Kasyani (salah satu murid syaikh Ibn Arabi)
sebagaimana yang dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, substansi ruh inilah yang
membuat manusia merindukan Tuhan dan ingin selalu berbuat kebajikan.

3. Aspek Nafsiyyah

Aspek nafsiyyah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa


pikiran, perasaan, kemauan dan kebebasan. Aspek ini merupakan persentuhan
antara aspek jismiyyah dengan aspek rūhiyyah. Aspek ini menjembatani kedua
aspek yang saling berbeda dan mungkin berlawanan. Dari dua dimensi yang ada
(ruh dan jasad) ini, maka untuk memperantarai atau menjembatani keinginan ruh
yang sifatnya suci (teomorfis) dan keinginan jasad yang sifatnya materialistik
maka terciptalah nafs (kondisi psikologis manusia).

Menurut al-Ghazali, nafs inilah yang kemudian memainkan peranan penting


dari terciptanya kepribadian dalam diri manusia. Jika kondisi nafs ini dipengaruhi
oleh dimensi hati maka kepribadiannya akan mencerminkan kepribadian yang
tenang. Orang yang memiliki hati bersih dan berkepribadian tenang inilah yang
mampu mencerminkan tindakan, nama, dan sifat Tuhan. Namun demikian, jika
kondisi nafs ini dipengaruhi oleh dimensi akal maka kepribadiannya akan

13
mencerminkan kepribadian yang terkadang tenang namun juga terkadang
dihinggapi kebimbangan. Jika kondisi nafs ini dipengaruhi oleh dimensi hawa
nafsu maka kepribadiannya akan mencerminkan kepribadian yang tidak tenang
(Kartanegara, 2007).

Aspek nafsiyyah ini memiliki tiga dimensi utama lagi yaitu al-nafs, al-‘aql dan
al-qalb yang menjadikan aspek nafsiyyah ini mewujudkan peran dan fungsinya.

a. Al-Nafs

Dalam Al-Qur’an kata nafs menunjukkan sesuatu di dalam diri manusia


yang menghasilkan tingkah laku seperti yang tertera dalam Q.S. Al-Ra’d:11)

Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya


bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.”

Pada surat lain juga dijelaskan bahwa al-nafs adalah merupakan potensi
manusia yang menunjukan kearah keburukan maupun kebaikan yaitu Q.S. Al-
Syams:7-8:

Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (7) Maka


Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
(8)

Dari berbagai penjelasan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, al-nafs adalah daya-


daya psikis yang memiliki kekuatan ganda yaitu daya al-ghadlabiyyah dan
daya alsyahwaniyah. Al-ghadlab adalah suatu daya yang berpotensi untuk
menghindar-kan diri dari segala yang membahayakan. Ghadlab dalam
terminologi psikoanalisa disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan dan
penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindugi ego
dari kesalahan, kecemasan dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri

14
sendiri; memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Al-
syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala
yang menyenangkan. Al-syahwah dalam terminologi psikologi disebut dengan
appetite yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls
berdasarkan perubahan keadaan dalam fisiologi. Dalam konsepnya, secara
psikologi, nafs ini berkedudukan di perut dan alat kelamin dalam berbentuk
syahwah (menginduksi yang menyenangkan) dan ghadlab (menghindar dari
yang merugikan), berdaya konasi karsa, mengikuti natur jasad, potensinya
bersifat indrawi, berkedudukan pada alam bawah atau prasadar manusia,
apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang
jahat (alnafs al-ammārah).

Al-nafs al-ammārah bekerja dengan prinsip kebinatangan untuk mengejar


kenikmatan, agresif seperti pada binatang buas maupun jinak. Apabila dimensi
ini tidak terkendali maka akan timbul kepribadian binatang yang mengumbar
nafsu baik itu dorongan birahi maupun dorongan lainnya sehingga
menimbulkan sifat ketamakan, keserakahan, dan sebagainya. Seperti
dijelaskan dalam Q.S. Al-A’raf:179:

Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)


kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orangorang yang lalai.”

Namun demikian, dimensi al-nafs ini dapat diarahkan kepada


kemanusiaan setelah mendapat pengaruh yang besar dari pemahaman dalam
aturan-aturan pengendalian dimensi psikis manusia yang lain yaitu akal dan
ruh. Dengan begitu, keadaan alnafs ini dapat terkendali sebagaimana fitrah
manusia.

b. Al-‘aql atau akal

15
Secara etimologis, akal memiliki arti al-imsāk (menahan), al-ribāth (ikatan),
al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan al-man’ (mencegah). Berdasarkan
makna bahasa ini maka yang disebut orang berakal (al-‘āqil) adalah orang
yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya sehingga mampu
bereksistensi.

Menurut Baharuddin, akal dapat memiliki dua makna yaitu akal jasmani
yang merupakan satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini
menggunakan daya kognisi (al-mudrikah) dalam otak (al-dimāgh) untuk
proses berfikir. Obyek pemikirannya adalah hal-hal yang bersifat sensoris dan
empiris. Kedua adalah akal ruhani yaitu akal abstrak yang mampu
memperoleh pengetahuan abstrak atau metafisika, seperti memahami proses
penciptaan langit dan bumi.

Dalam Al-Qur’an, penjelasan akal ini terdapat dalam berbagai macam surat
dan ayat yang menjelaskan bagaimana fungsi akal yang sebenarnya, yaitu daya
untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S Al- ‘Ankabut:43:

Artinya : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia;


dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”

Selain itu, akal dalam konteks Al-Qur’an juga mengandung pengertian


bahwa orang berakal itu lebih dari sekedar berpengetahuan namun juga
memiliki daya pemahaman yang lebih tinggi untuk memahami Dzat Yang
Maha Agung sebagai wujud eksistensi akal ruhani. Hal ini dijelaskan dalam
Q.S Al-Baqarah:164:

Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih


bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

16
Selain itu, akal berfungsi sebagai dorongan moral untuk meninggalkan hal-
hal yang bersifat al-nafs al-ammārah sehingga manusia tidak keluar dari
konsep fitrahnya. Seperti termaktub dalam Q.S. Al-An’am:151:

Artinya : “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas


kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).’”

Fungsi terakhir akal adalah sebagai daya untuk mengambil pelajaran,


kesimpulan dan hikmah sehingga manusia dapat memahami, menganalisis dan
menyimpulkan, serta memberikan dorongan moral yang disertai dengan
kematangan berfikir.17 Hal tersebut telah dijelaskan dalam Q.S. Al-Mulk:10:

Artinya : “Dan mereka berkata: ‘Sekiranya Kami mendengarkan atau


memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala".

Dalam hal ini, akal berkedudukan di otak, berdaya kognisi (cipta),


mengikuti aturan ruh dan jasad yang berpotensi argumentatif dan logis,
berkedudukan pada alam kesadaran manusia. Apabila dimensi ini
mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadia yang labil (al-
nafs al-lawwāmah).

c. al-qalb atau kalbu


Merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya
emosi. Al-Ghazali secara tegas melihat kalbu dari dua aspek yaitu kalbu
jasmani dan kalbu rohani. Kalbu jasmani adalah daging sanubari yang
berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Kalbu ini
lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan kalbu rohani adalah sesuatu yang

17
bersifat halus (lathīf), rabbanī dan rohani yang berhubungan dengan kalbu
jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Kata qalb terambil dari akar
kata yang bermakna membalik karena seringkali berbolak-balik; sekali senang,
sekali susah, sekali setuju, dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk
tidak konsisten.

Beberapa hal mengenai kalbu adalah berkedudukan di jantung, berdaya


afeksi atau rasa, mengikuti natur ruh yang ilahiyah. Potensinya bersifat cita
rasa dan intuitif, berkedudukan pada alam supra kesadaran manusia, apabila
mendomi-nasi jiwa maka menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al-
muthmain-nah). Dalam AlQur’an ada beberapa ayat yang mengulas tentang
keberadaan kalbu ini yaitu Q.S. Qaf:37:

Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat


peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.”

Q.S.Al-Hadid:27:

Artinya :“Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul


Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan
kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya
rasa santun dan kasih sayang.”

Q.S.Ali Imran:151:

Artinya : “Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa


takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. tempat kembali mereka
ialah neraka; dan Itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang
zalim.”

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran,
kasih sayang, takut dan keimanan. Secara analisa psikologi, kalbu ini memiliki
3 fungsi yaitu fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta berupa berfikir,
memahami, mengetahui, memperhatikan dan lainya; fungsi emosi atau daya

18
rasa seperti tenang, sayang, santun, tunduk, bergetar, kasar, dengki, sombong,
panas, kesal; dan fungsi konasi atau daya karsa seperti kemauan berusaha,
semangat, dan sebagainya.

Dalam aktualisasinya, kalbu tidak selalu menghasilkan kebaikan namun


juga keburukan atau yang biasa disebut terkena penyakit hati sehingga rasa
yang negatif mendominasi dalam diri manusia. Dalam taraf fatal, kalbu bisa
menimbulkan kekafiran dan keingkaran. Oleh sebab itu qalb yang kotor, sebab
ia menerima kebenaran tetapi kadang-kadang menolaknya, kotoran dan
penyakitnya masih dapat dibersihkan dengan cara taubat.

Dimensi-dimensi fitrah manusia telah tergambar dengan jelas sehingga


dapat diperoleh gambaran bahwa struktur kejiwaan manusia (nafsani)
bersumber dari peran-peran ruh dan jasad dengan berbagai sisi kealamiahanya.
Kepribadian manusia sangat tergantung pada substansi yang lebih dominan
dalam menguasai dirinya dari aspek nafsu, akal ataupun kalbunya. Konteks
keselarasan dari dimensi-dimensi tersebut semua terpapar dengan jelas dalam
Al-Quran.’

19
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Fitrah manusia merupakan sebuah citra asli manusia yang sudah ada sejak
awal penciptaanya. Hakekatnya, fitrah yang bersifat primer adalah perilaku yang
dihasilkan manusia secara baik, sedangkan sebaliknya perilaku yang buruk dihasilkan
dari fitrah sekunder. Dalam Psikologi Barat, hal ini berkaitan dengan teori
Psikoanalisis milik Sigmund Freud, yaitu id, ego, dan super-ego. Freud menjelaskan
jika manusia memiliki id yang merupakan suatu kebutuhan secara alamiah yang harus
dipenuhi, namun dalam perilaku yang dihasilkan (ego) ditentukan oleh super-ego
sebagai nilai-nilai kebaikan yang berlaku.
Secara hakekat penciptaannya, manusia memiliki citra asli atau fitrah yang
ditentukan dari aspek biologisnya, di mana aspek ini merupakan penggerak manusia
dalam bertingkah laku. Kemudian aspek biologis ini memiliki korelasi dengan ruh,
yang secara eksistensinya berisikan kebaikan dari Allah SWT. Dan yang terakhir
adalah nafs sebagai aspek psiko-fisik manusia yang menentukan perilaku seperti apa
yang akan dihasilkan. Nafs memiliki dimensi nafsu amarah, akal dan kalbu. Nafsu
amarah merupakan nafsu amarah ini membutuhkan pengendalian akal dan ruh agar
menghasilkan perilaku yang baik. Akal sebagai tempat untuk pengetahuan berfungsi
untuk mencegah dan mengendalikan perilaku. Sedangkan yang terakhir kalbu sebagai
tempat manusia mengakui kesalahan atau kebenaran akan suatu hal yang telah
dilakukannya. Kalbu juga merupakan tempat kebenaran dari nilai-nilai ruh berada.

20
DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Takdir & Pasiska. (2020). Manusia Dalam Pandangan Psikologi. Deepublish:
Sleman.

Fatwikiningsih, Nur. (2020). Teori Psikologi Kepribadian Manusia. CV Andi Offset:


Yogyakarta

Maslahat, Meta S. (2020). Citra Dan Kepribadian Manusia Dalam Perspektif Psikologi Barat
Dan Psikologi Islam. Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik

Mujib, A. (2019). Teori Kepribadian Perspektif Psikologi Islam (2 ed.). Rajawali Pers.

Mujib, A. 2017. Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo.

Paryontri, R. A. (2018). Kepribadian Islami dan Kualitas Kepemimpinan. UNISIA, 37(82),


57-67.

Ramayulis Psikologi Agama, Bandung : Kalam Mulis, Cet. VI, 2003

Sukanto dan A.Dardiri Hisyam, Nafsiologi Refleksi Analisa Tentang Diri dan Tingkah laku
Manusia Surabaya: Risalah Gusti, 1995

Yudiani, E. (2013). Dinamika Jiwa Dalam Perspektif Psikologi Islam. JIA.

21

Anda mungkin juga menyukai