Anda di halaman 1dari 21

PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Islam dan Psikologi

Disusun oleh:
Kelompok 5 / Kelas 7E

Desra Putri 11180700000066


Annisa Ramadhani Nurfahda 11190700000012
Shafira Nurafifah Rahma 11190700000059
Putri Annisa 11190700000066
Farah Amelia Andriyani 11190700000070
Amarylis Puan Nabila 11190700000082
Salsabila Kamal Husaini 11190700000150

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta
Inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini
tepat pada waktunya.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan
Psikologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
Psikopatologi dalam Islam bagi para pembaca dan juga penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si.
dan Ibu Layyinah, M.Si. yang telah memberikan arahan serta bimbingannya dalam proses
penulisan makalah ini, serta penugasan makalah ini yang tentunya dapat menambah wawasan
bagi penulis dan pembaca.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
proses penulisan makalah ini. Terima kasih kepada pihak yang bersedia membagi
pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat menerima apabila adanya kritik dan saran yang membangun untuk
mendukung makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, 03 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 RUMUSAN MASALAH 1

1.3 TUJUAN 1

BAB 2 PEMBAHASAN 2

2.1 PENGERTIAN DAN ASUMSI PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM 2

2.2 BENTUK-BENTUK PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM 4

2.3 DIAGNOSTIK PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM 10

BAB 3 PENUTUP 17

3.1 KESIMPULAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Psikopatologi (psychopathology) adalah cabang psikologi yang berkepentingan untuk


menyelidiki penyakit atau gangguan mental dan gejala-gejala abnormal lainnya.
Psikopatologi atau sakit mental adalah sakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi
kejiwaan yang tidak stabil. Psikopatologi merupakan istilah yang mengacu pada studi tentang
penyakit mental, tekanan mental, atau manifestasi perilaku dan pengalaman yang mungkin
menunjukkan penyakit mental atau gangguan psikologis.

Istilah psikopatologi mengacu pada sebuah sindrom yang luas, yang meliputi
ketidaknormalan kondisi indera, kognisi, dan emosi. Lebih lanjut, psikopatologi juga dapat
didefinisikan sebagai penyakit jiwa atau gangguan jiwa (mental disorder), dimana gangguan
jiwa sendiri adalah ketidakmampuan berfungsinya seseorang sehingga ia tak dapat mencapai
kepuasan yang cukup memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, perasaan, dan
persyaratan-persyaratan tingkah laku yang dituntut oleh masyarakat dimana ia hidup.

Islam mencoba memberikan alternatif baru dan menambah wacana dalam dunia
psikologi khususnya dalam bidang psikopatologi, yang dalam hal ini adalah dengan membaca
dan mengkaji isi dari kitab Al-Qur’an. Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang
universal dan sesuai dengan tuntutan zaman, mengandung berbagai macam petunjuk untuk
menjadi tuntunan hidup seluruh umat manusia termasuk juga tentang kesehatan jiwa manusia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian dari Psikopatologi dalam Islam?


2. Bagaimana Asumsi-Asumsi Psikopatologi dalam Islam?
3. Bagaimana Bentuk-Bentuk Psikopatologi dalam Islam?
4. Bagaimana Diagnostik Psikopatologi dalam Islam?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui Pengertian dari Psikopatologi dalam Islam.


2. Untuk mengetahui Asumsi-Asumsi Psikopatologi dalam Islam.
3. Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Psikopatologi dalam Islam.
4. Untuk mengetahui Diagnostik Psikopatologi dalam Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN ASUMSI PSIKOPATOLOGI ISLAM

Patologi (pathology) adalah pengetahuan tentang penyakit atau gangguan. Sedangkan,


psikopatologi (psychopathology) adalah cabang psikologi yang bertujuan untuk menyelidiki
penyakit atau gangguan mental dan gejala-gejala abnormal lainnya (Chaplin, 1999: 405).
Psikopatologi (sakit mental) adalah penyakit yang tampak dalam bentuk perilaku dan fungsi
kejiwaan yang tidak stabil. Istilah psikopatologi mengacu pada sindrom-sindrom yang luas,
yang meliputi ketidaknormalan pada kondisi indra, kognisi, dan emosi.

Asumsi yang berlaku pada bidang psikopatologi yaitu bahwa sindrom psikopatologis
atau sebuah gejala tidak semata-mata berupa respon yang dapat diprediksi terhadap gejala
tekanan kejiwaan yang khusus, seperti kematian orang yang dicintai, tetapi hampir
menyerupai manifestasi psikologis atau disfungsi biologis pada diri seseorang seseorang
(Mujib & Mudzakir, 2001: 164).

Dalam tinjauan psikologi, psikopatologi didasarkan pada tiga asumsi yang


masing-masing memiliki aplikasi psikologis yang berbeda. Asumsi pertama yaitu aliran
psikoanalisa yang dipelopori oleh tokoh Sigmund Freud, yaitu pada dasarnya jiwa manusia
itu dilahirkan dalam keadaan sakit, jahat, buruk, bersifat negatif atau merusak. Untuk
membuat manusia berkembang secara positif diperlukan teknik-teknik pendamping yang
bersifat interpersonal dan direktif (pengarahan). Dalam aliran psikoanalisis berasumsi bahwa
ada kehidupan mental yang tidak disadari, dengan pengembangan psikoterapi melalui
asosiasi bebas dan interpretasi mimpi.

Asumsi kedua yaitu aliran behavioristik oleh tokoh B.F. Skinner, di mana dikatakan
bahwa pada dasarnya jiwa manusia dilahirkan dalam kondisi netral (tidak sakit dan tidak
sehat) seperti “tabularasa” (atau dianalogikan dengan kertas putih), ada pengaruh lingkungan
yang menentukan arah perkembangan jiwa tersebut. Lingkungan yang baik dan positif akan
menumbuhkan suasana psikologis yang baik dan selaras, sebaliknya jika lingkungan buruk
akan berdampak pada gejala psikologis yang kurang baik atau malah memburuk. Asumsi
tersebut bersifat deterministik dan mekanistik juga memperlakukan manusia seperti makhluk
yang tidak memiliki jiwa yang unik. Dalam aliran behavioristik berasumsi bahwa banyak
perilaku maladaptif yang disebabkan oleh kesalahan dalam proses belajar.

2
Asumsi ketiga dikembangkan oleh aliran humanistik oleh tokoh Abraham Maslow
dan Carl Rogers, yaitu dikatakan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi yang sadar, bebas,
bertanggung jawab, dan dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari diri sendiri ke
arah pengembangan seluruh potensi manusia secara utuh. Untuk berkembang ke arah yang
positif, manusia membutuhkan suasana yang mendukung, penyemangat secara personal,
penerimaan, dan penghargaan demi berkembangnya potensi positif yang terinternalisasi
dalam diri, daripada pengarahan yang disebutkan dalam aliran behavioristik. Dalam aliran
humanistik berasumsi bahwa manusia memiliki kesadaran dan kemauan. Asumsi aliran
humanistik dikenal sebagai asumsi yang optimistik dan mengakui adanya kekuatan jiwa dan
diri manusia, tetapi sifatnya antroposentris yang hanya memfokuskan pada kekuatan manusia,
tanpa menghubungkan teorinya pada kehendak mutlak Allah SWT.

Meskipun, dalam psikopatologi Islam didasarkan pada ketiga kerangka asumsi


tersebut dan menggunakannya dalam membangun teori psikopatologi Islam, tetapi dalam
Islam tidak terlepas pula dari paradigma teosentris. Asumsi psikopatologi dalam Islam yaitu
hakikat jiwa manusia yang bukan hanya sehat dan sadar, melainkan juga terbebas dari dosa
asal, dosa waris, dan bertanggung jawab atas penebusannya (al-Faruqi, 1988: 68). Allah SWT
merupakan zat yang baik dan suci tentu tidak memberikan jiwa manusia kecuali dalam
bentuk jiwa yang memiliki kecenderungan sehat, baik, dan suci. Kesehatan jiwa manusia
tidak sekedar alami dan fitri, melainkan telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT.

Dalam pengertian dan asumsi psikopatologi dalam Islam, kriteria neurosis dan
psikosis dalam psikopatologi Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan saraf atau
gangguan kejiwaan alamiah, melainkan juga disebabkan oleh ketidaktaatan dan pengingkaran
terhadap aturan-aturan Allah SWT. Berdasarkan pandangan Islam, penyakit (psikopatologi)
salah satu contohnya adalah dosa. Hal tersebut didasarkan atas hadist Nabi Muhammad SAW
“Bukankah Aku telah mengajarimu tentang apa yang disebut obat (psikoterapi) dan penyakit
(psikopatologi). Mereka menjawab: “tentu ya Rasulullah SAW.” Beliau mengatakan:
“penyakit itu adalah dosa, sedangkan obatnya adalah dengan bertaubat”. (dikutip dalam
al-Risalah al-Qusyairiyah).

Dalam Islam yang dapat menyembuhkan segala dan semua aspek psikopatologi yaitu
psikoterapi dalam Islam, baik yang bersifat duniawi, ukhrawi, maupun penyakit
manusia-manusia modern. Teori psikopatologi dalam Islam selain berdasarkan aliran dan

3
asumsi psikologi Barat, tetapi juga banyak memfokuskan diri pada perilaku spiritual dan
religius kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT.

Pada dasarnya, psikopatologi (gangguan kepribadian) dalam Islam banyak sekali


aliran dan tokoh yang mencoba mengklasifikasikannya. Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
jenis psikopatologi dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, gangguan kepribadian yang
berhubungan dengan akidah atau dengan Tuhan, seperti menyekutukan Allah SWT (syirik),
mengingkari, berbuat dosa, bermuka dua, pamer, dan menuruti bisikan setan. Kedua,
gangguan kepribadian yang berhubungan dengan kemanusiaan seperti iri hati, dengki, buruk
sangka, marah, benci, penakut, pelit, menipu, mengolok-olok, menyakiti, memfitnah,
menceritakan keburukan orang lain, rakus, adu domba, putus asa, menganiaya, boros, dan
materialism. Ketiga, gangguan kepribadian yang berkaitan dengan pemanfaatan alam semesta
sebagai realisasi tugas-tugas kekhilafan, seperti menyebabkan kerusakan alam.

2.2 BENTUK-BENTUK PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM

Dalam Islam, hakikat jiwa manusia bukan hanya sehat dan sadar, melainkan juga
terbebas dari dosa asal, dosa waris, dan bertanggung jawab atas penebusannya. Sebagai Dzat
yang baik dan suci, Tuhan tidak memberikan jiwa manusia kecuali jiwa yang memiliki
kecenderungan sehat, baik dan suci. Kesehatan jiwa manusia tidak sekedar alami dan fitri,
melainkan telah diatur sedemikian rupa oleh sang Kholiq.

Dari kerangka ini, kriteria neurosis dan psikosis dalam psikopatologi Islam bukan
hanya disebabkan oleh gangguan saraf atau gangguan kejiwaan alamiah melainkan juga
pengkhianatan terhadap aturan-aturan Tuhan. Oleh karena itu, teori psikopatologi Islam
mendasarkan teorinya pada teori-teori psikologi barat, juga banyak memfokuskan diri pada
perilaku spiritual dan religius.

Al-razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah, menyatakan bahwa salah satu bentuk


psikopatologi adalah perilaku (akhlak) tercela, sedangkan akhlak yang mahmudah merupakan
pengobatan ruhani. Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu
mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau sosial. Dosa
adalah kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang setelah ia melakukan suatu
perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan merasa tidak enak jika perbuatan itu
diketahui oleh orang lain. Perbuatan dosa biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
sebab jika diketahui oleh orang lain maka dapat menurunkan harga dirinya. Karena itu tidak

4
heran apabila pelaku dosa hidupnya selalu sedih, resah, bimbang gelisah dan dihantui oleh
perbuatan dosanya. Emosi negatif ini apabila terus-menerus dialami oleh individu maka
seringkali mendatangkan psikopatologi (Tri Rahayu, Iin., 2009 dalam Arafat, Y., dkk, 2020).

Baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi islam banyak


sekali. Misalnya boros (al-israf), mengolok-olok (al-mann), pelit (al-bakhil), mengadu
domba (al-namimah), apa yang di tampakkan berbeda dengan apa yang diyakini (al-nifaq),
buruk sangka, menganiaya (al-zhulm), menyalahi janji, menceritakan keburukan orang lain
(al-ghibah), materialisme, mengingkari nikmat, menyekutukan Tuhan, dan sebagainya.
Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :

1. Psikopatologi yang berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan


(illahiyah), seperti syirik, kufur, zindiq dan sebagainya.

2. Psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah), seperti


hasud, ujub, ghadab, berprasangka jelek kepada orang lain dan sebagainya.

3. Psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia, seperti riya’,
nifak, dan sebagainya.

Berbagai bentuk psikopatologi Islam di atas seringkali dilupakan oleh psikiater atau
ahli jiwa kontemporer, padahal disadari atau tidak dan diakui atau tidak, bentuk-bentuk
psikopatologis di atas dapat menghambat aktualisasi dan realisasi diri seseorang, bahkan
seringkali mendatangkan penyakit fisik. Dapat dipahami bahwa gangguan jiwa dalam Islam
adalah semua perilaku batiniah yang tercela, yang timbul akibat menyimpang (inkhiraf)
terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertikal (illahiyah) maupun horizontal (insaniyah).
Penyimpangan perilaku batiniyah tersebut mengakibatkan penyakit dalam jiwa seseorang,
yang apabila mencapai puncaknya dapat mengakibatkan kematian.

Mujib (2002) membagi psikopatologi dalam dua kategori pokok, pertama, bersifat
duniawi. Macam-macam psikopatologi dalam kategori ini berupa gejala-gejala atau penyakit
kejiwaan yang telah dirumuskan dalam psikologi kontemporer; kedua, bersifat ukhrawi,
berupa penyakit akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual
dan agama. Maka berdasar pembagian kategori ini kita akan melihat psikopatologi dalam dua
perspektif yakni aspek pengetahuan dan aspek agama.

5
2.2.1 Psikopatologi Yang Bersifat Duniawi

Jenis-jenis penyakit kejiwaan (mental disorders atau mental illness) menurut


penyelidikan Freud (Sigmund Freud, 1952: 217-153) dipandang bersumber pada
lapisan jiwa tak sadar (Das Es) yang disebut “kompleks terdesak”. Kompleks adalah
nafsu atau emosi yang berlebih-lebihan untuk memperoleh atau menghindari objek.
Kompleks terdesak atau tertekan berarti segala aspek nafsu/keinginan atau perasaan
yang ditekan terus-menerus oleh kesadaran Aku (Das Ueber Ich), karena
pemunculannya dianggap tidak sesuai dengan norma-norma hidup baik kultural,
agama maupun norma sosial, sehingga nafsu/emosi yang demikian tidak diberi
kesempatan muncul ke ruang sadar manusia.

Akan tetapi kompleks terdesak tersebut meskipun dihambat dan ditekan oleh
kesadaran, pada waktu-waktu tertentu dapat muncul tanpa disadari dalam bentuk
tingkah laku yang berbagai macam yaitu:

a. Perbuatan yang salah tanpa disadari, misalnya salah tulis, salah baca, salah
ucap, salah letak, salah mengerjakan tugas. Semua itu merupakan bentuk
pemunculan nafsu/emosi tertekan yang semakin bertumpuk dalam jiwa tak
sadar manusia yang mengandung latar belakang peristiwa masa lalu.
b. Mimpi juga mempunyai arti khusus bagi manusia yang memiliki kompleks
terdesak. Menurut Freud, mimpi merupakan gambar/simbol dari keinginan
yang terpendam dan tak terpenuhi, dan dengan melalui analisa mimpi,
seseorang dapat menemukan masalah hidup orang lain.
c. Penyakit syaraf, dimana masing-masing orang berbeda-beda intensitasnya,
tergantung pada ketahanan dan keseimbangan mekanisme sistem sarafnya
dalam menanggapi nafsu/keinginan atau emosi yang bergejolak dalam dirinya.
Makin lemah sistem saraf seseorang, semakin mudah peluang terhadap
penyakit syaraf.

2.2.2 Psikopatologi Yang Bersifat Ukhrawi

Psikopatologi yang bersifat ukhrawi adalah psikopatologi (gangguan mental)


yang disebabkan oleh faktor-faktor spiritual dan agama. Misalnya kecemasan dan
keresahan yang terus menerus akibat perbuatan dosa dan maksiat, seperti keresahan
orang-orang yang melahirkan anak dari hasil perzinaan.

6
Emosi negatif dari menyembunyikan dosa ini apabila terus menerus dialami
oleh individu maka seringkali mendatangkan psikopatologi. Sabda Rasulullah SAW :
“Dosa adalah apa yang dapat membimbangkan hatimu dan engkau merasa benci
apabila perbuatan itu diketahui oleh orang lain” (HR. Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan hal tersebut, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir membagi


psikopatologi (gangguan mental) yang disebabkan oleh faktor-faktor spiritual dan
agama menjadi 16 bentuk, yaitu sebagai berikut:

1) Syirik.

Secara psikopatologis adalah kepercayaan, sikap dan perilaku mendua


terhadap masalah yang fundamental dalam kehidupan manusia. Gejalanya
penderita meyakini Allah sebagai tuhannya tapi amal perbuatannya
diorientasikan bukan untuk-Nya melainkan untuk sesuatu yang sifatnya
temporer dan nisbi seperti kepada roh halus. Seseorang yang menghambakan
diri pada sesuatu selain Allah berarti ia menerima perbudakan, membelenggu
diri dan mengekang kebebasannya. Perilaku syirik ada yang teraktual dalam
bentuk ucapan, pikiran dan perbuatan.

2) Kufur

Mengingkari terhadap sesuatu yang sebenarnya. Apabila menjangkiti


orang mukmin, seperti kufur nikmat, maka tergolong psikopatologi sebab
pelakunya tidak tahu diri, tidak sadar diri, dan tidak tahu berterima kasih.

3) Bermuka dua (nifaq)

Nifaq adalah menampakkan sesuatu yang dipandang baik oleh orang


lain, padahal di dalam hatinya tersembunyi keburukan, kebusukan dan
kebobrokan. Apa yang ditampakkan tidak sama dengan qalbunya. Nifaq
merupakan karakter orang munafik yang tergolong psikopatologi.
Penderitanya tidak mampu menghadapi kenyataan yang sebenarnya, sehingga
dia berdusta jika berbicara, ingkar jika berjanji dan khianat bila dipercaya.

4) Riya’

Yaitu melakukan suatu perbuatan karena pamrih, pamer atau cari muka
pada orang lain. Seseorang yang melakukan riya’ berarti tidak mampu

7
merealisasikan dirinya dengan baik. Riya’ termasuk psikopatologis karena
pelakunya berbuat sesuatu hanya untuk mencari muka tanpa memperhitungkan
produktivitas dan kualitas amalannya. Secara spiritual juga disebut penyakit
sebab pelakunya telah menyalahi perjanjian ketuhanan di alam arwah, untuk
beribadah kepada-Nya.

5) Marah

Ghadab (marah) menunjukkan tingkat kelabilan kejiwaan seseorang


karena ia tidak mampu mengendalikan amarahnya. Yang dimaksud di sini
adalah ketika kemarahan berkobar tak terkendali maka kesadaran nurani
terhalangi yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat.

6) Lupa (ghaflah atau nisyan)

Kelupaan yang disengaja terhadap suatu keyakinan, nilai-nilai hidup


yang mendasar dan pandangan hidupnya yang mengakibatkan segala
tindakannya menjadi tidak teratur, merugikan dan dapat menjerumuskan ke
dalam kehancuran. Seperti: lupa mengingat Allah karena dirinya dikuasai
setan, melupakan ayat-ayat Allah setelah dirinya beriman dan lupa karena
mengikuti hawa nafsu.

7) Waswas (mengikuti bisikan setan)

Was-was merupakan bisikan halus dari setan yang mengajak seseorang


untuk berbuat maksiat dan dosa yang dapat merusak citra diri dan harga
dirinya. Mengikuti waswas sama artinya dengan melanggar fitrah asli manusia
yang suci dan baik, sebab waswas berorientasi pada fitrah asal setan yang
sesat. Karena itu mengikuti bisikan setan tergolong psikopatologi bagi
manusia.

8) Putus asa atau putus harapan

Hilangnya gairah, semangat, sinergi dan motivasi hidup setelah


seseorang tidak berhasil menggapai sesuatu. Putus asa dianggap psikopatologi
karena ia menafikan potensi hakiki manusiawi, tidak percaya takdir Allah dan
putus asa terhadap rahmat dan karunia-Nya.

9) Rakus (thama’)

8
Rakus adalah penyakit jiwa yang selalu merasa kurang terhadap apa
yang dimiliki meskipun apa yang dimiliki lebih dari cukup. Orang rakus
dikatakan berpenyakit karena tak menguasai diri, bahkan kebebasan hidup
karena dikendalikan hawa nafsunya.

10) Ghurur (tertipu)

Percaya atau meyakini sesuatu yang tidak hakiki dan tidak substantif.
Ghurur berjangkit pada jiwa manusia antara lain disebabkan oleh keingkaran
kepada pertolongan Allah yang Maha Pemurah dan tipu daya kesenangan
dunia yang sementara padahal kesenangan yang hakiki hanya milik Allah di
akhirat kelak.

11) Membanggakan diri (ujub) dan sombong (takabur).

Sombong dianggap penyakit sebab pelakunya tak menyadari akan


kekurangannya dan memaksa diri memaksa harga diri yang tinggi. Hidupnya
tak akan tenang karena ia tak akan rela orang lain memiliki kelebihan, sedang
ia sendiri tak berusaha meningkatkan kualitas dirinya.

12) Iri hati dan dengki

Termasuk penyakit mental yang berat sebab pelakunya senantiasa


menanggung beban psikologis yang kompleks seperti kebencian, amarah,
buruk sangka, pelit dan menghinakan orang lain serta sempit dalam berpikir
dan bertindak sehingga ia sulit mengaktualisasikan potensi positifnya dan akan
terisolasi dari lingkungannya.

13) Menceritakan keburukan orang lain (ghibah) dan mengadu domba


(namimah)

Ghibah dianggap sebagai penyakit sebab penderitanya tidak sanggup


mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya. Ia sibuk
menyebut keburukan orang lain, padahal dirinya memiliki keburukan yang tak
jauh beda dengannya, bahkan mungkin lebih buruk lagi.

14) Cinta dunia, pelit dan berlebih-lebihan atau menghambur hamburkan


harta.

9
Cinta dunia maksudnya menjadikan dunia dan isinya sebagai tujuan
akhir hidup dan bukan sebagai sarana hidup. Cinta semacam itu tergolong
psikopatologi sebab penderitanya tidak sadar akan tujuan hidup yang hakiki.
Ciri-ciri penyakit ini adalah penderitanya memiliki sikap dan perilaku
materialisme, hedonisme dan egoisme.

15) Memiliki keinginan yang tak mungkin terjadi (tamanni)

Dianggap psikopatologi sebab penderitanya tenggelam dalam dunia


khayalan yang tidak realistik. Ia berkeinginan besar memiliki sesuatu namun
tidak dibarengi dengan aktivitas nyata sehingga hidupnya tidak kreatif &
produktif. Akibat dari gejala tamanni ini maka penderitanya tak segan-segan
mengambil jalan pintas, seperti: memperdalam angan-angannya dengan
mengkonsumsi zat adiktif, mencuri, merampok dan korupsi.

16) Picik dan penakut (al-jubn).

Picik atau penakut adalah sikap atau perilaku yang tidak berani
menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Ciri-ciri penderitanya ialah,
apabila ia dihadapkan pada suatu masalah, maka ia berpikir dampak
negatifnya terlebih dahulu, tanpa sedikitpun mempertimbangkan tingkat
kemaslahatannya. Karenanya ia tidak berani bertindak yang seharusnya ia
lakukan. Kepicikan seseorang biasanya disebabkan oleh keimanan yang
lemah, seperti sikap orang-orang munafik yang tak berani berperang di jalan
Allah karena takut mati, tidak mengeluarkan zakat karena takut miskin dan
sebagainya.

2.3 DIAGNOSTIK PSIKOPATOLOGI DALAM ISLAM

Menurut perspektif psikologi barat, psikopatologi dipandang secara optimistis dengan


mengakui kekuatan jiwa manusia, namun sifatnya antroposentris atau hanya memfokuskan
pada kekuatan manusia, tanpa mengaitkan teorinya pada kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan
dalam perspektif Islam, meskipun tetap menggunakan tiga kerangka asumsi (psikoanalisa,
behavioristik, dan humanistik) dalam membangun teori psikopatologi, tetapi pandangan
psikologi Islam tidak akan terlepas dari paradigma teosentris.

10
Hakikat jiwa manusia bukan hanya sehat dan sadar, melainkan juga terbebas dari dosa
asal, dosa waris, dan bertanggung jawab atas penebusannya (al-Faruqi, 1988: 68). Sebagai
Dzat yang baik dan suci, Tuhan tidak memberikan jiwa manusia kecuali jiwa yang memiliki
kecenderungan sehat, baik dan suci. Kesehatan jiwa manusia tidak sekedar alami dan fitri,
melainkan telah diatur sedemikian rupa oleh sang Kholiq. Dari kerangka ini, kriteria neurosis
dan psikosis dalam psikopatologi Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan saraf atau
gangguan kejiwaan alamiah melainkan juga penyelewengan terhadap aturan-aturan Tuhan.
Oleh karena itu, teori psikopatologi Islam mendasarkan teorinya pada teori-teori psikologi
barat, juga banyak memfokuskan diri pada perilaku spiritual dan religius.

Menurut Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, gangguan kejiwaan disebabkan oleh


ketidakseimbangan antara dimensi jasadiah dan batiniah dalam diri manusia. Dimensi
batiniah merupakan dimensi yang dapat mempengaruhi dimensi jasadiah. Adapun dimensi
batiniah yang mempengaruhi keadaan psikologis seseorang meliputi ruh, nafs, akal, dan hati.
Dan di antara keempat dimensi batiniah tersebut, nafs dan hati merupakan dimensi yang
saling mendominasi untuk menguasai dimensi lainnya. Jika hati berhasil menguasai nafs,
maka kondisi jiwa seorang individu akan tenang (nafs muthma’innah), dan jika nafs berhasil
mendominasi hati, maka kondisi kejiwaan seorang individu akan tidak tenang (nafs
lawwamah dan nafs ammarah) (Jawziyyah, 2003, hal. 7-38).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga sifat nafs yang dapat mempengaruhi
kondisi kejiwaan seseorang. jika kondisi kejiwaan dalam keadaan tenang, maka individu
tersebut akan menjadi pribadi yang sejahtera psikologisnya. Sebaliknya, jika kondisi
kejiwaan individu dalam keadaan yang tidak tenang karena dipengaruhi faktor dan sifat-sifat
kebinatangan, maka ia akan menjadi pribadi yang terganggu jiwanya (mengalami
psikopatologi). Adapun ketiga sifat jiwa menurut Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, yaitu:

a. Nafs Muthma’innah

Jiwa muthma’innah yaitu jiwa tenang yang selalu tertuju kepada Allah. Ketenangan
jiwa ini akan memancar ke dalam kebersihan hati seseorang. hal ini ditandai dengan
hilangnya kegundahan, kekhawatiran, dan keguncangan darinya. hakikat kebersihan hatinya
ia tunjukkan dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi apapun, menjadikan
Allah sebagai satu-satunya yang dia cintai, ia hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah
kepada Allah semata, pasrah dan ridha pada-Nya, baik dalam kehendak, cinta, tawakal,
inabah (kembali) merendahkan diri, khasyyah (takut), raja’ (pengharapan), dan ia

11
mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena
Allah. Jika ia membenci, maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi, maka ia memberi
karena Allah. Jika ia menolak, maka ia menolak karena Allah. Hati yang bersih dan hidup
merupakan kunci dari segala perbuatan dan perilaku yang baik yang sesuai dengan syariat
Allah dan Rasul-Nya. perilaku inilah yang kemudian disimpulkan sebagai perilaku baik
dimana semua perilaku ini tercermin dalam kehidupan sehari-harinya seperti, mencintai
segala kebaikan dan membenci segala keburukan.

b. Nafs Lawwamah

Jiwa Lawwamah yaitu jiwa yang menyesali atau mencela diri sendiri. artinya keadaan
jiwa ini tidak tetap pada satu keadaan, ia selalu dihinggapi rasa ragu-ragu, melakukan syubhat
dan syahwat. keadaan yang tidak tetap ini membuat perilakunya serba kadang-kadang,
kadang ingat dan lupa, kadang cinta dan benci, kadang lembut dan kasar, kadang gembira dan
sedih, kadang ridha dan marah. kadang taat dan membangkang dan lainnya saat jiwa dalam
keadaan ini maka akan selalu berubah-ubah. Jiwa lawwamah akan berdampak pula kepada
suasana hati yang selalu terbolak-balik karena keadaan hati yang sedang cacat atau sakit
(qalbun maridh). Ia memiliki dua materi yang saing tarik mnarik. ketika ia memenangkan
pertarungan, maka di dalamnya terdapat kecintaan kepada Allah, keimanan, keikhlasan, dan
tawakal kepada Allah. di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada nafsu, keinginan dan
usaha keras untuk mendapatkannya, dengki, takabur, kecintaan berkuasa dan membuat
kerusakan di bumi, itulah materi yang menghancurkan dan membinasakan. Maka dari itu
ketika hati seseorang sedang sakit maka pada hakikatnya ia sedang mengalami gangguan
kejiwaan (psikopatologi).

c. Nafs Ammarah

Jiwa Ammarah adalah jiwa yang selalu menyuruh kepada kejahatan dan selalu
mengajak pada hal-hal yang dilarang oleh Allah serta mengerjakan segala sesuatunya sesuai
dengan hawa nafsu dan keinginannya. hal tersebut terjadi karena jiwa ammarah mampu
membius akal dan hati sehingga ia melakukan hsl-hsl buruk, tecela, terlarang ataupun
perilaku abnormal lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran Allah swt. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa hati yang dihiasi dengan hal-hal yang buruk maka sesungguhnya keadaan
hati sedang mati. Keadaan hati yang mati ini akan menjerumuskannya pada psikopatologi
lahir maupun batin.

12
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada tiga sifat nafs yang akan
mempengaruhi kondisi bagian tubuh lainnya seperti hati dan akal. adapun ketiga jenis jiwa
yang mempengaruhi yaitu muthma’innah, lawwamah dan ammarah. jiwa muthma’innah akan
memancarkan ketenangan ke dalam hati seseorang yang berimplikasi pada kesejahteraan
psikologis. Jiwa lawwamah dan ammarah merupakan sumber dari segala fitnah dan
kegelapan hati yang berimplikasi pada psikopatologi. Psikopatologi dalam pandangan Ibn
Qayyim al-Jawziyyah akan berdampak pada perilaku yang tidak islami seperti adanya emosi
buruk (sombong, marah, dusta, dengki, cemburu, khawatir, buruk sangka, takut, ragu,
bimbang, dan lainnya), keinginan pada hal-hal yang dilarang (nafsu syahwat dan berzina)
bahkan dosa besar lainnya (kafir, sesat, dan sejenisnya).

Di samping penjelasan mengenai jiwa di atas, Ibn Qayyim juga menjelaskan bahwa
ada dua faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi psikologi seorang individu, yaitu:
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terjadi dalam diri
manusia tersebut. Manusia tidak dapat menjaga keseimbangan antara nafs, hati, dan akalnya,
sehingga hawa nafsu pun akan menguasai dirinya. dan jika hawa nafsu sudah mendominasi
diri individu, maka seluruh cahaya dan petunjuk akan tertutup, sehingga makna kebenaran
akan terhalangi dan menyebabkan manusia terjatuh dalam jurang kenistaan dan
perilaku-perilaku yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Gangguan kejiwaan yang
disebabkan karena faktor internal ini akan tercermin dalam perilaku menyimpang, dan
perilaku-perilaku yang didorong oleh syahwat.

Selanjutnya, faktor eksternal (faktor yang terjadi di luar diri individu). Faktor
eksternal ini adalah faktor-faktor yang disebabkan karena adanya bujuk rayu setan. Rayuan
setan akan selalu menjerumuskan manusia pada perbuatan yang bertentangan dengan yang
diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh faktor
eksternal ini akan tercermin dalam perilaku individu yang keji dan munkar (Jawziyyah,
2003). Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S An-Nur: 21. Dalam ayat tersebut, dijelaskan
bahwa setan akan selalu mengajak dan mengarahkan manusia untuk berbuat keji dan munkar.
Setan akan menghiasi hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagai sesuatu yang indah dan
menyenangkan, dan menjadikan hal-hal yang diperintahkan Allah menjadi sesuatu yang tidak
indah dan tidak menyenangkan atau membosankan.

13
Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang ditawarkan oleh
al-ghazali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan spiritualitas dan keagamaan
seseorang oleh al-ghazali disebut dengan al-akhlaq al-khabisah.

Senada dengan pernyataan diatas, al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah, menyatakan


bahwa akhlak (yang Mahmudah) merupakan pengobatan rohani. Hal itu menunjukkan bahwa
salah satu bentuk psikopatologi adalah perilaku (akhlak) yang tercela sedangkan
psychotherapy nya adalah perilaku yang terpuji. Pernyataan tersebut dibenarkan sebab
Prinsip utama kesehatan mental adalah adanya penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungan di sekitarnya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Ighasah al-Labfan membagi kalbu (sebagai inti dari
struktur psikis manusia) ke dalam tiga bagian: Pertama, kalbu Shahih (jiwa yang sehat), yaitu
kalbu yang hidup(hayy), bersih dan selamat. Maksud kalbu yang sehat adalah kalbu yang
selamat dari belenggu hawa nafsu, sehingga ia mampu melaksanakan ibadah dan melakukan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aktivitas kalbu ini hanya diorientasikan kepada
Allah, baik dalam takut, berharap, cinta, berserah diri, ikhlas, dan bertaubat. Kalbu model ini
dapat dipahami dalam Q.S al-Syu'ara ayat 89 "Kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih (qolb Salim)."

Kedua, kalbu mayt (jiwa yang mati), yaitu kalbu yang tidak lagi mengenal Tuhan-nya,
meninggalkan ibadah, perbuatannya hanya untuk menuruti syahwat sehingga mengakibatkan
kebencian dan murka Tuhan. Kalbu model ini menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpinnya,
syahwat sebagai panglimanya, kebodohan sebagai sopirnya, lupa sebagai kendaraannya. Jika
ia berpikir hanya menghasilkan sesuatu yang motivasi duniawi.

Ketiga, kalbu marid (jiwa yang sakit) yaitu kalbu yang hidup tetapi memiliki penyakit
kejiwaan, seperti iri hati, sombong atau angkuh, membanggakan diri, gila kekuasaan, dan
mudah membuat kerusakan di muka bumi. Model yang ketiga ini dapat dipahami dalam Q.S
al-Baqarah ayat 10 dan al-Hajj ayat 53.

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa salah satu model psikopatologi dalam
Islam adalah semua perilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang
(inkhiraf) terhadap kode kode etik pergaulan, baik secara vertikal (ilahiyah) maupun
horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniah tersebut mengakibatkan penyakit
dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan kematian. Penderita

14
penyakit batiniah ini secara fisik boleh jadi berpenampilan gagah, tegap, dan kuat, namun
batinnya rapuh, menderita, resah, gelisah, gersang dan tidak mampu menikmati kejayaan
fisiknya.

Sejalan dengan konsep di atas, Abhidhamma dari psikologi Timur mengemukakan


bahwa faktor psikopatologis sentral, yakni delusi (moha), adalah bersifat perseptual. Delusi
adalah kegelapan jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menangkap
objek kesadaran. Delusi merupakan ketidaktahuan dasar, pandangan yang salah, dan
pemahaman yang tidak tepat yang menjadi sumber utama penderitaan manusia. Kesamaan
konsep Abhidhamma dengan para psikolog muslim ini disebabkan oleh kesamaan pendekatan
yang digunakan, yaitu dari pendekatan Psiko-spiritual yang didasarkan atas nilai agama.
Sumber penyakit jiwa adalah dosa yang mengakibatkan kegelapan jiwa dan penderitaan
manusia.

Akhlak tercela dianggap sebagai sikap psikopatologi, sebab hal itu mengakibatkan
dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun horizontal atau sosial. Dosa adalah kondisi emosi
seseorang yang dirasa tidak tenang setelah ia melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan
lahiriah maupun batiniah) dan merasa tidak enak jika perbuatannya itu di diketahui oleh
orang lain. Perbuatan dosa biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika
diketahui oleh orang lain maka dapat menurunkan harga dirinya. Karena itu tidak
mengherankan apabila pelaku dosa hidupnya selalu sedih, resah, bimbang, gelisah, dan
dihantui oleh perbuatan dosanya. Emosi negatif ini apabila terus-menerus dialami oleh
individu maka acap kali mendatangkan psikopatologi.

Al Ghazali menyebutkan 8 kategori yang termasuk perilaku merusak (al-muhlikat)


yang mengakibatkan psikopatologi, yaitu (1) bahaya syahwat perut dan kelamin )seperti
memakan makanan syubhat atau haram atau berhubungan seksual yang dilarang); (2) bahaya
mulut (seperti mengolok-olok, debat yang tidak berarti, dusta, adu domba, dan menceritakan
kejelekan orang lain); (3) bahaya marah, iri dan dengki; (4) bahaya cinta dunia; (5) bahaya
cinta harta dan pelit; (6) bahaya angkuh dan pamer; (7) bahaya sombong dan membanggakan
diri; (8) bahaya menipu.

Baik dalam Al-Quran maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi Islam banyak


sekali, tidak sebatas pada dua pendapat di atas. Misalnya, boros, mengolok-olok, pelit,
mengadu domba, apa yang ditampakkan berbeda dengan apa yang di yakini, buruk sangka,
menganiaya, menyalahi janji, menceritakan keburukan orang lain, materialisme, mengingkari

15
nikmat, menyekutukan Allah, dan sebagainya. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun
setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang berhubungan
dengan akidah atau hubungan dengan Tuhan, seperti Syirik, kufur, zindiq, dan sebagainya;
(2) psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan, seperti basud, ujub,
ghadab, su' al-zhan, dan sebagainya; dan (3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan
hubungan manusia; seperti riya, nifak, dan sebagainya.

Berbagai bentuk psikopatologi Islam di atas seringkali dilupakan oleh para psikiater
atau ahli jiwa kontemporer, padahal disadari atau tidak, dan diakui atau tidak, bentuk-bentuk
psikopatologis di atas dapat menghambat aktualisasi dan realisasi diri seseorang, bahkan
acapkali mendatangkan penyakit fisik. Atkinson mengemukakan Lima kondisi yang kurang
diperhatikan oleh para psikiater atau ahli jiwa kontemporer dalam upaya psikoterapinya, yaitu
hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, ketentraman hati dan dukungan,
desensitisasi, penguatan respon adaptif, dan pemahaman atau tilikan. Apa yang dikemukakan
oleh al- Ghazali, Ibnu Qayyim, dan al-Syarqawi tentang psikopatologi Islam di atas
sesungguhnya merupakan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan kelima prinsip
kesehatan mental sebagaimana yang dikemukakan oleh Atkinson. Dengan demikian, tuduhan
akan subjektivitas dan keterasingan bentuk-bentuk psikopatologi dalam Islam tidak dapat
dibenarkan, sebab pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut telah diakui secara objektif.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pengertian dan asumsi psikopatologi dalam Islam, kriteria neurosis dan psikosis
dalam psikopatologi Islam bukan hanya disebabkan oleh gangguan saraf atau gangguan
kejiwaan alamiah, melainkan juga disebabkan oleh ketidaktaatan dan pengingkaran terhadap
aturan-aturan Allah SWT. Teori psikopatologi dalam Islam banyak memfokuskan diri
manusia pada perilaku spiritual dan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT.
Teori psikopatologi dalam Islam tidak terlepas pula dari paradigma teosentris. Asumsi dan
pengertian dari psikopatologi Islam juga berasal dari tiga macam aliran serta asumsi
Psikologi Barat, yaitu aliran psikoanalisis oleh Sigmund Freud, aliran behavioristik oleh B.F.
Skinner, serta aliran humanistik oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers.

Mujib (2002) membagi psikopatologi dalam dua kategori pokok, yaitu psikopatologi
yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Psikopatologi bersifat duniawi yaitu berupa gejala-gejala
atau penyakit kejiwaan yang telah dirumuskan dalam psikologi kontemporer. Sedangkan
psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan terhadap norma-norma
atau nilai-nilai moral, spiritual dan agama.

Dapat disimpulkan bahwa ada tiga sifat nafs yang akan mempengaruhi kondisi bagian
tubuh lainnya seperti hati dan akal. adapun ketiga jenis jiwa yang mempengaruhi yaitu
muthma’innah, lawwamah dan ammarah. jiwa muthma’innah akan memancarkan ketenangan
ke dalam hati seseorang yang berimplikasi pada kesejahteraan psikologis. Ibn Qayyim juga
menjelaskan bahwa ada dua faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi psikologi
seorang individu, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, K. (2014). Penggunaan Konseling Islam dalam Mengatasi Psikopatologi Siswa di


Madrasah Aliyah Islamiyah Senori Tuban. Jurnal Kependidikan Islam, 4(2), 308-333.

Arafat, Y., Gani, R. A., & Fitrihabi, N. (2020). TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN
GANGGUAN JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA (Doctoral
dissertation, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi).

Astutik, S. (2014). PENANGANAN PSIKOPATOLOGI DENGAN PSIKOTERAPI ISLAMI.


Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 2(1), 75-87.

Fatmawati, F. (2019). Bunga Rampai: APA ITU PSIKOPATOLOGI? “Rangkaian Catatan


Ringkas Tentang Gangguan Jiwa”.

Maslahat, M. (2019). Psikopatologi dan Psikoterapi dalam Perspektif Tasawuf Ibn Qayyim
Al-Jawziyyah. ESOTERIK, 5(1), 1-23.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. (2001). Nuansa-nuansa Psikologi Islami, Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada.

Purnomo, S. A. KONSEP DASAR, BENTUK, DAN TEKNIK PSIKOTERAPI DALAM


ISLAM. PENGARUH PENERAPAN KURIKULUM RISET TERHADAP
KEMAMPUAN LITERASI INFORMASI PESERTA DIDIK MA PEMBANGUNAN
UIN JAKARTA, 56.

Sarnoto, A. Z. (2013). PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM TENTANG PSIKOPATOLOGI.


Profesi Jurnal Ilmu Pendidikan dan Keguruan, 2(2), 39-53.

Sarnoto, A. Z. (2013). Psikopatologi Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Pada


Pendidikan. PROFESI, 2(3), 15-15.

Wahidah, E. Y. (2017). Psikoterapi Islami Terhadap Psikopatologi (Perspektif Psikologi


Pendidikan Islam). Muaddib: Studi Kependidikan dan Keislaman, 6(2), 219-244.

18

Anda mungkin juga menyukai