Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk mengerti atau barangkali mempengaruhi perubahan budaya adalah
perlu untuk mengetahui sejauh mana tipe kepribadian mempengaruhi
perkembangan kebudayaan, umpamanya dalam menerima atau menolak inovasi.
Seseorang yang waktu kecil dididik dengan sangat keras mungkin akan menolak
perubahan kearah yang tidak ditentukan dalam kebudayaan, namun mungkin
menerima perubahan dibidang yang menurut kebudayaan adalah wajar.
Jika anggota-anggota suatu kebudayaan tidak berpikir, merasa dan
bertindak serupa dalam berbagai situasi yang berbeda, sebuah kebudayaan tidak
dapat mempertahankan dirinya sendiri. Kita mengetahui bahwa kebudayaan itu
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Kita dapat mengenal pula bahwa
kebudayaan tiap daerah atau negara berlainan. Di negara kita sendiri dapat
diketahui bahwa kehidupan orang-orang di pedalaman Irian berlainan dengan
kehidupan orang-orang di Indonesia lainnya. Sering pula dikatakan bahwa
kebudayan orang timur dan barat berbeda dan sebagainya. Ini semua
menunjukkan bahwa cara-cara hidup, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan,
bahasa, kepercayaan, dan sebagainya dari suatu daerah atau masyarakat tertentu
berbeda dengan yang lainnya.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang:
1. Beberapa pandangan tentang kebudayaan.
2. Manusia sebagai makhluk dan pencipta kebudayaan.
3. Kepribadian.
4. Kebudayaan dan kepribadian.

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur"
dalam bahasa Indonesia. Banyak pakar dan ahli ilmu sosial mendefisikan
kebudayaan dalam berbagai sudut pandang, sehingga menghasilkan definisi
yang sangat beragam pula.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan juga merupakan ciptaan atau kreasi manusia. Manusia
dalam arti yang dimaksud baik sebagai keseluruhan umat manusia sepanjang
sejarah adanya manusia, maupun sebagai pribadi. Dengan melalui lembaga dan
proses pendidikan, kebudayaan dikembangkan yakni:
1. Dioperkan untuk dimengerti dan dikuasai, dilaksanakan oleh penerali muda.
2. Pembinaan manusia supaya mampu menciptakan kebudayaan atau unsur-
unsur kebudayaan agar mereka mampu menyesuaikan diri demi kehidupan
dalam zamannya (Syam, 1988 : 82).

B. Beberapa Pandangan tentang Kebudayaan


1. Pandangan Superorganik

2
Kebudayaan adalah sebuah realita yang bersifat superorganis, sebuah
realita yang berada diatas dan diluar individu-individu yang menjadi
pendukung suatu kebudayaan serta mempunyai hukum-hukum
perkembangannya sendiri. Kebudayaan menentukan perilaku individu-
individu. Kebudayaan tidak hanya menjadi penyebab kehadirannya sendiri,
tetapi juga penyebab perilaku individu-individu. Pendidikan merupakan suatu
proses pembudayaan, yang pada akhirnya terlihat dalam bentuk kepribadian-
kepribadian (Manan, 1989b:40-42).

2. Pandangan Konseptualis
Menurut pandangan ini kebudayaan tidak sebagai sesuatu yang dapat
diamati secara nyata dan tidak pula sebagai sebuah metarealita yang tidak
dapat diamati, tetapi kebudayaan tersebut hanya merupakan sebuah
penamaan umum bagi banyak perilaku manusia seperti menulis buku-buku,
proses pendidikan, perang, dan lain-lain perilaku manusia. Proses
kebudayaan tidak terjadi karena kebudayaan itu sendiri, tetapi proses tersebut
terjadi karena orang-orang bertingkah laku dipengaruhi oleh apa yang
dikerjakan orang-orang masa lalu. Kebudayaan hanya konsep atau konstruk
yang digunakan antropolog dan ahli-ahli sosial lainnya untuk mempelajari
perilaku anggota-anggota suatu masyarakat (Manan, 1989b:42).

3. Pandangan Realis
Kebudayaan adalah jumlah dari apa yang umumnya disetujui sebagai
peristiwa-peristiwa budaya pada suatu waktu, seperti kata-kata, hubungan-
hubungan antar pribadi, proses-proses pengelompokan, teknik-teknik, dan
respon-respon simbolik manusia pada umumnya. Menurut kaum realis
kebudayaan adalah sebuah konsep dan realia empiris. Menurut David Bidney
kebudayaan merupakan warisan budaya yaitu abstraksi atau generalisasi dari
perilaku nyata anggota-anggota masyarakat. Hal ini berarti kebudayaan
merupakan sebuah konsep (abstraksi) dan juga realita (tingkah laku) (Manan,
1989b: 43-44).

3
C. Manusia sebagai Makhluk dan Pencipta Kebudayaan
Menurut Manan (1989a: 33-35) kebudayaan adalah ciptaan manusia dan
syarat bagi kehidupan manusia. Manusia menciptakan kebudayaan dan
kebudayaan menjadikan manusia makhluk berbudaya. Kebudayaan membentuk
kita secara intelektual, emosional, dan bahkan secara fisik. Kebudayaan
menentukan cara-cara bereaksi secara fisik, seperti isyarat, ekspresi muka, cara
berjalan, duduk, makan, dan tidur. Syam (1988: 80-81) menyampaikan bahwa
kebudayaan di samping sebagai kreasi dalam arti ciptaan manusia (umat manusia
sepanjang sejarah), terutama adalah karya, prestasi, dan achievement seorang
pribadi yang sedikit banyak terdidik.
Kebudayaan yang berlainan atau kebudayaan yang sama dalam masa yang
berlainan, akan mengungkapkan emosi yang sama dengan cara yang berbeda.
Kebudayaan menentukan bagaimana perasaan harus disampaikan. Kebudayaan
menentukan bagaimana cara berpikir tentang dunia dan bagaimana kota
memandangnya. Semua kebudayaan mempunyai pembagian kerja atau
spesialisasi (Manan, 1989a: 35-36).
Kebudayaan membebaskan dan sekaligus membatasi manusia.
Kebudayaan membatasi kebebasan bertindak secara eksternal (melalui hukum
dan sanksi) dan secara internal (melalui kebiasaan dan kesadaran) untuk
menciptakan tertib sosial yang perlu bagi kehidupan manusia. Kebudayaan juga
membatasi manusia dengan membolehkan mereka memperkembang hanya
sebagian dari seluruh potensinya (Manan, 1989a: 38).
Kebudayaan membentuk kita secara intelektual, emosional, dan bahkan
secara fisik. Kebudayaan menentukan cara-cara bereaksi secara fisik seperti
isyarat, ekspresi muka, cara berjalan, cara duduk, makan dan lain-lain. Bila tidak
sedang berdiri atau bergerak orang barat biasaya duduk dikursi, kita merasa tidak
senang membungkuk dilantai atau bersila dalam waktu yang lama atau untuk
duduk dengan kaki menghunjur. Juga tidak enak istirahat dengan berdiri pada
sebelah kaki dan mengistirahatkan kaki yang satu dengan berlutut seperti yang
dipraktekakan orang-orang Nilotik Afrika.

4
Kebudayaan menentukan emosi apa yang bisa diungkapkan dan oleh
siapa, dimana dan bagaimana mengungkapkannya. Misalnya orang amerika
tidak boleh memperlihatkan rasa permusuhan dimuka umum kecuali waktu
perang, olahraga atau keadaan yang luar biasa. Sebaliknya dorongan untuk
berhasil dan mencari uang boleh diperlihatkan dimuka umum tanpa ada
pembatas.
Kebudayaan yang berlainan atau kebudayaan yang sama dalam masa
berlainan akan mengungkapkan emosi yang sama dengan cara yang berbeda.
Misalnya, perbandingkan cara orang amerika modern yang bebas dan
seenaknya dengan cara yang terkendali orang-orang Indian Menomini yang
terkungkung. Kebudayaan menentukan bagaimana perasaan harus disampaikan.
Semua orang menagis atau tertawa, tetapi kebudayaan yang berbeda untuk
mengungkapkan kemarahan, kesedihan, kesenangan, malu dan perasaan lainnya.
Kebudayaan menentukan bagaimana cara berfikir tentang dunia dan
bagaimana kita memandangnya. Masing-masing budaya menentukan jaringan
hubungan simbol-simbol dngan realita sehingga masing-masing kita menghayati
realita ini melalui simbol-simbol yang disediakan oleh kebudayaan. Sebenarnya
realita hanya ada pada kita sejauh kebudayaan telah membuatanya telah
membuatnya tersedia untuk kita. Seperti dikatakan oleh Dr. Lee, “Kebudayaan
adalah sistem simbol-simbol yang merobah realita fisik, apa yang ada diluar diri
menjadi realita yang dapat dihayati ”.

D. Kepribadian
Istilah kepribadian diartikan sebagai ciri-ciri watak yang konsisten,
sehingga seorang individu memiliki suatu identitas yang khas berbeda dengan
individu yang lain. Konsep kepribadian yang lebih spesifik belum bisa di
definisikan sampai sekarang karena luasnya cakupan dan sulit untuk dirumuskan
dalam satu definisi sehingga cukup kiranya untuk kita memakai arti yang lebih
kasar sampai didapatkan definisi yang sebenarnya dari para ahli psikologi.
Kepribadian menurut teori dari George Kelly yang memandang bahwa
kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan

5
pengalaman pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport merumuskan
kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang
membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang
bersangkutan. Lebih detail tentang definisi kepribadian menurut Allport yaitu
kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu
yang menentukan tingkah laku dan pikiran.
Menurut Purwanto (2007: 154) kepribadian itu relatif stabil. Kepribadian
itu selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi dalam
perubahan itu terlihat adanya pola-pola tertentu yang tetap. Makin dewasa orang
itu, makin jelas polanya, makin jelas adanya stabilitas.
Kepribadian itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan.
Kepribadian menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan
interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada individu
dengan lingkungannya. Kepribadian bersifat psikofisik, yang berarti baik faktor
jasmaniah maupun rohaniah individu itu bersama-sama memegang peranan
dalam kepribadian. Ia juga bersifat unik, artinya kepribadian seseorang sifatnya
khas, mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari individu yang lain
(Purwanto, 2007: 156).
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, antara
lain:
1. Warisan Biologis (Heredity)
Warisan biologis manusia bermacam – macam, dan berbeda artinya setiap
individu mempunyai ciri khas masing – masing yang tidak sama walaupun
dia itu kembar sekalipun.

2. Warisan Lingkungan Alam (Natural Enviroment)


Perbedaan iklim di berbagai daerah sangat mempengaruhi dan menyebabkan
manusia melakukan adaptasi sesuai dengan iklim yang terjadi pada daerah
tersebut.
3. Warisan Sosial dan Kebudayaan

6
Setiap manusia mempunyai kebudayaan yang bermacam – macam, dan
biasanya antar budaya bisa saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
4. Pengalaman Unik
Setiap individu pasti memiliki pengalaman yang berbeda-beda serta beraneka
ragam, dan dari pengalaman tersebutlah biasanya kepribadian seseorang juga
dapat berubah.

E. Kebudayaan dan Kepribadian


Kebudayaan dan kepribadian merupakan tempat bertemunya psikologi dan
antropologi. Menurut William H. Sewell dalam Manan (1989: 41) faktor dasar
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian tidak perlu metode
tertentu atau alat-alat yang digunakan untuk melatih anak-anak, melainkan
seluruh situasi personal dan sosial dalam mana praktik-praktik pengasuhan anak
dilaksanakan, termasuk sikap dan perilaku ibu. Akan tetapi meskipun
pengalaman masa kanak-kanak mungkin meletakkan dasar-dasar kepribadian
dewasa, pengalaman tersebut tidaklah membentuk kepribadian tersebut secara
keseluruhan.
Menurut Manan (1989b: 46-48) dasar yang ditemukan dalam kajian
Kebudayaan dan Kepribadian adalah bahwa metode pengasuhan anak dalam
kebudayaan tertentu menghasilkan suatu struktur kepribadian yang sesuai
dengan nilai-nilai pokok kebudayaan dan institusi-institusinya. Para pengkaji
hubungan kebudayaan dan kepribadian sangat menekankan peran pengasuhan
anak terhadap pembentukan kepribadian anak. Kebudayaan dengan nilai-nilai
tertentu akan menghasilkan tipe kepribadian tertentu.
Menurut Benedict setiap kebudayaan itu disusun disekitar sebuah etos
sentral dan dengan demikian merupakan suatu konfigurasi. Melalui internalisasi
etos budaya yang sama, anggota-anggota suatu masyarakat akan memiliki
struktur psikologi dasar yang sama, yaitu mereka akan mempunyai suatu
konfigurasi atau bentuk kepribadian pokok yang sama. Abraham Kardiner
menjelaskan bahwa pengalaman sosial dalam keluarga, terutama selama masa
pengasuhan dan dalam teknik subsistensi akan meghasilkan suatu struktur

7
kepribadian dasar yang sama pada mayoritas anggota suatu masyarakat.
Kemudian melalui interaksi sosial ciri-ciri dari kepribadian dasar diproyeksikan
ke dalam institusi kedua.
Margaret Mead mengatakan bahwa praktik pengasuhan anak tertentu akan
menghasilkan struktur karakter tertentu pula. Erich Fomm mengembangkan
lebih lanjut teori watak bangsa dipandang sebagai watak masyarakat. Dia
mengembangkan watak masyarakat dengan kebutuhan objektif masyarakat pada
suatu masa.
Menurut pandangan pendekatan tradisional, masa-masa pendidikan
awallah yang membentuk pola dari kepribadian dewasa, karena masa kanak-
kanak yang sama akan menghasilkan kepribadian dewasa yang sama.
Kebudayaan menentukan apa yang harus diajarkan orang tua dengan cara
bagaimana, kita mengharapkan kebudayaan tertentu akan menghasilkan tipe
kepribadian tertentu.
Menurut Purwanto (2007: 163-166) kebudayaan tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat. Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri
masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat
dimana orang itu dibesarkan. Beberapa aspek kebudayaan yang sangat
mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian, antara lain adalah:
1. Nilai-nilai
2. Adat dan tradisi
3. Pengetahuan dan keterampilan
4. Bahasa
5. Milik kebendaaan

Dalam menelaah pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian, sebaiknya


dibatasi pada bagian kebudayaan yang secara langsung mempengaruhi
kepribadian. Berikut tipe-tipe kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi
bentuk kepribadian yakni:
1. Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan.

8
Di sini dijumpai kepribadian yang saling berbeda antara individu-
individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, karena masing-
masing tinggal di daerah yang tidak sama dan dengan kebudayaan-
kebudayaan khusus yang tidak sama pula. Contoh adat-istiadat melamar
mempelai di Minangkabau berbeda dengan adat-istiadat melamar mempelai
di Lampung. Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda (urban dan rural
ways of life). Contoh perbedaan antara anak yang dibesarkan di kota dengan
seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota terlihat lebih berani untuk
menonjolkan diri di antara teman-temannya dan sikapnya lebih terbuka untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan kebudayaan tertentu.
Sedangkan seorang anak yang dibesarkan di desa lebih mempunyai sikap
percaya diri sendiri dan lebih banyak mempunyai sikap menilai (sense of
value).
2. Kebudayaan khusus kelas sosial
Di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan sosial karena setiap
masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu pula.
3. Kebudayaan khusus atas dasar agama
Agama juga mempunyai pengaruh besar di dalam membentuk kepribadian
seorang individu. Bahkan adanya berbagai madzhab di dalam satu agama pun
melahirkan kepribadian yang berbeda-beda pula di kalangan umatnya.
4. Kebudayaan berdasarkan profesi
Pekerjaan atau keahlian juga memberi pengaruh besar pada kepribadian
seseorang. Kepribadian seorang dokter, misalnya, berbeda dengan
kepribadian seorang pengacara, dan itu semua berpengaruh pada suasana
kekeluargaan dan cara-cara mereka bergaul.

F. Pendekatan Tradisional terhadap Kajian Kebudayaan dan Kepribadian


Hal utama dalam kajian kebudayaan dan kepribadian masih dari sudut
kebudayaan. Sejauh mana kebudayaan membentuk kepribadian anggota-
anggotanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Pandangan ini
menjelaskan masa-masa pendidikan awallah yang membentuk pola dari

9
kepribadian dewasa; karena itu masa kanak-kanak yang sama akan
menghasilkan kepribadian dewasa yang sama. Karena kebudayaan menentukan
apa yang harus diajarkan orang tua dengan cara bagaimana, kita bisa
mengharapkan kebudayaan tertentu akan menghasilkan type kepribadian
tertentu. Misalnya, sebuah kebudayaan yang sedang berobah secara tepat
memerlukan dan menciptakan kepribadian yang mobile dan dinamis, walaupun
kebudayaan tersebut juga akan menghasilkan sejumlah orang-orang yang sangat
tidak terorganisasikan yang rusak karena tekanan-tekanan perubahan. Di
Amerika kepribadian yang mobile disebabkan oleh pendidikan yang bebas di
sekolah dan di rumah yang mengizinkan anak-anak untk berkembang sesuai
dengan kecepatannya sendiri. Orang dewasa cenderung untuk menekankan tipe
kepribadian ini dengan mengasuh anak-anak mereka sesuai dengan bagaimana
mereka diasuh dahulu.
Jadi kebudayaan tersebut membentuk individu dan kebudayaan
menyumbang pembentukan dengan berbagai cara dan untuk sebagian besar
secara tidak sadar untuk pemeliharaan dan perluasannya. Ketika kebudayaan
membudayakan masing-masing individu, kebudayaan memindahkan
kebutuhannya sendiri ke dalam dorongan-dorongan batin anggota-anggotanya.
1. Pendekatan konfigurasi
Pendekatan ini berusaha mengkorelasikan type kepribadian dasar sebuah
kebudayaan dengan konfigurasi pokoknya. Pendekatan ini disampaikan oleh
R. Benedict dan Margaret Mead. Bernedict mengatakan bahwa konfigurasi
dasar sebuah kebudayaan dapat dikorelasikan dengan tipe kepribadian
tertentu karena itu mempengaruhi pengambilan, pertumbuhan, dan perobahan
banyak elemen yang berbeda dalam suatu kebudayaan. Benedict
mendefinisikan konfigurasi-konfigurasi ini dengan menggunakannya untuk
individu-individu.
Ruth Benedict mendalilkan satu kepribadian untuk tiap kebudayaan,
namun sebaliknya Margaret Mead menemukan beberapa type kepribadian.
Margaret mengatakan kedalam tiap-tiap kebudayaan, lahir sejumlah type
temperamen, genetis dan konstitusional, dari padanya hanya beberapa yang

10
diizinkan berkembang, yaitu sesuai dengan konfigurasi-konfigurasi dasar
kebudayaan, sebagian hasilnya, temperamen-temperamen, yang sangat lentur
ketika lahir, dibentuk menjadi type kepribadian yang dominan, karena
diperlukan.

2. Pendekatan Rata-rata
Abram Kardiner menganggap bahwa kepribadian dasar bukan sebagai
type psikologis yang dicocokkan dengan nilai-nilai dominan kebudayaan
melainkan dibangun diatas disposisi bahwa sadar tertentu (terhadap orang tua
terutama) yang dibentuk oleh institusi pertama kebudayaan seperti cara
pengasuhan anak dan organisasi keluarga. Disposisi ini tetap selama hidup,
dan diproyeksikan kepada orang lain dan situasi-situasi, dan kedalam
institusi-institusi kebudayaan tingkat kedua, seperti seni, agama, hukum,
pemerintah dan mitos.
Sebelumnya Ralph Linton telah mengatakan bahwa kepribadian dasar
yang dihasilkan kebudayaan mungkin dirobah oleh status dan peran yang
dipangku seseorang setelah jadi dewasa. Status dan peran ini mungkin akan
menghasilkan sub-type atau varian karakteristik kepribadian dasar. Dengan
demikian masing-masing orang akan mempunyai “kepribadian dasar” yang
terdiri dari budaya universal yang dipelajari ketika kecil dan sejumlah
“kepribadian status” yang cocok dengan peran-peran apa yang dimainkannya.

3. Pendekatan sosialis
Tipologi D. Reisman mengenai karakter mencerminkan pengaruh dari
pendekatan-pendekatan yang disebutkan sebelumnya, karena diasumsikan
bahwa kepribadian orang dewasa ditentukan oleh pola sosialisasi waktu anak-
anak dan remaja yang mencerminkan tuntutan kebudayaan. Dalam buku “The
Lonely Crowd” dia meneliti konsekuensi sosial dan psikologi peralihan
masyarakat industri awal ke masyarakat makmur – konsekuensi-konsekuensi

11
yang terlihat sangat jelas dalam pola kehidupan kelas menengah kota Amerika.
Dalam masyarakat makmur, katanya orang tua lebih permisif dan melakukan
sedikit kontrol langsung terhadap anak-anak mereka. Karena itu anak-anak
cenderung untuk tidak menginternalisasikan nilai-nilai orang tuanya secara
kuat melainkan mengambil standar-standar dari teman sebayanya. Dia tumbuh
menjadi orang dewasa yang tidak memilki akar prinsip-prinsip moral yang kuat
dan menghargai secara kurang atau lebih lengkap adat istiadat kelompoknya.
Reisman membedakan 3 tipe karakter yang dihasilkan oleh masayaratkat,
yaitu :
a) Tradition directed man
Tipe ini ada dalam masyarakat sederhana, anggota-anggota masyarakat
tersebut kurang sadar akan dirinya sebagai individu yang berbeda-beda
dengan masyarakatnya sendiri; siapa dia dan apa yang dibutuhkannya
ditentukan secara keseluruhat oleh masyarakat.
b) Inner directed man
Menginternalisasikan norma-norma budaya yang ditanamkan kepadanya di
rumah dan disekolah. Sehingga dia berfikir tentang mereka sebagai dirinya
sendiri dan berjuang untuk merealisasikannya.
c) Other directed man
Karakter tipe ini menyerap nilai-nilai dari orang sesamanya.

Semua tujuan-tujuan yang dikejar orang bersumber dari kebudayaannya,


tetapi, kalau orang “inner directed” telah merencanakan nilai-nilai ini,
sebaliknya bagi orang “inner directed” telah mencernakan nilai-nilai ini,
sebaliknya bagi orang-orang “other dircted” nilai-nilai tersebut berada di
luarnya, dan karenanya orang “other directed” lebih tergantung pada kelompok
di dalam mana mereka diwakili. Karena orang “inner directed” percaya akan
validitas akan tujuan-tujuannya, dia bisa meremehkan tuntutan dari teman
sebanyanya; tidak demikian halnya orang “other directed” yang memiliki
tujuan-tujuab sendiri yang kurang memaks, menyesuaikan standar-standarnya
kepada standar-standar kelompok bersama siapa ia hidup dan bekerja.

12
Dalam menekankan dominasi kebudayaan terhadap individu, Reisman
mengikuti pendekatan tradisional tentang kebudayaan dan kepribadian. Seperti
“tradicional direction”, “inner direction”, dan “other direction” adalah pola
konformitas yang satu berkonformitas pada nilai-nilai orang tua (internalized)
yang lain terhadap teman sebaya (externalized). Walaupun Reisman umumnya
optimistis dalam pandangannya terhadap Amerika masa kini, ia lebih dekat
kepada Frued seperti dalam “civilization and Discontent” dari Neo Freudian
Erich Fromm dan Karen Horney ketika ia mendefinisikan individu yang
disosialisasikan dalam bentuk apa yang dilarang masyarakat untuk dilakukan
dan bukan apa yang dirangsang masyarakat untuk dikerjakan. Berlawanan
dengan Fromm yang percaya bahwa kebudayaan memang diperlukan bagi
pemenuhan kebutuhan mendasar manusia (mungkin dalam beberapa budaya
mengecewakan individu), tipologi Reisman berimplikasi bahwa kebudayaan
bermusuhan terhadap individualitas dan terhadap dorongan dasar manusia.

G. Pendekatan baru tentang kajian kebudayaan dan kepribadian


Pendekatan ini dikembangkan oleh G. Deveux , Anthony F Wallace dan
dan Gordon Allport seorang psikolog. Berlawanan dengan pandangan
tradisional bahwa perilaku yang distujui secara budaya adalah hasil dari
internalisasi dari norma-norma selama masa kanak-kanak dan remaja, Deveux
mengemukakan bahwa kegiatan tertentu seperti bepergian kegereja tidak perlu
hanya memuaskan satu atau sebuah motif budaya yang telah ditanamkan,
aktivitas tersebut mungkin memuaskan serangkaian motif-motif subjektif. Ia
merujuk umpamanya, berbagai motif yang mengarahkan individu-individu
orang Hongaria untuk turut serta menentang Rusia pada tahun 1956. Sama saja,
satu atau beberapa motif mungkin bisa menggerakkan beberapa kegiatan yang
secara budaya diperbolehkan. Jika konformitas budaya mungkin terbit dari motif
pribadi dan tidak perlu dari norma-norma yang diinternalisasikan, dengan
demikian bisa berarti perilaku peran juga mungkin didorong tidak hanya oleh
tuntutan peran itu sendiri, tetapi bisa juga oleh serangkaian motif.

13
Menurut A. F. Wallace, kondisi dassar bagi konformitas budaya bukanlah
kesatuan perhatian atau motif, melainkan kenyataan bahwa masing-masing
orang tahu apa yang diperlukan dalam berbagai keadaan dan karena itu
cenderung berprilaku yang sesuai dengan keadaan tersebut. Ini terjadi karena
anggota-anggota suatu masyarakat, keterlibatannya dalam sebuah kebudayaan
yang sama dan pendidikan yang sama, mempelajari hal yang sama dan
menghayati hal yang sama dari kebudayaan mereka betapa berbedapun mereka
menafsirkan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan.
Teori Wallace adalah penting sebab ia mempunyai implikasi suatu
pandangan yang lebih bermurah hati tentang kemerdekaan manusia, bukan
seperti pandangan golongan tradisional. Teori ini memandang individu lebih
sedikit terikat pada motif-motif yang dibentuk kebudayaan, dengan demikian
lebih mampu untuk mengambil putusan yang rasional.
Gordon Alport mengatakan bahwa sebenarnya ada tiga tahap dalam
pengambilan norma-norma atau model dari kebudayaannya oleh seseorang:
1. Pengambilan model budaya
2. Reaksi terhadap model
3. Pemasukan dari model yang sudah dirubah sebagai penyesuaian pertama
kepribadian yang matang.

Contoh : antara umur 5 sampai 10 tahun anak-anak cenderung untuk secara


moral bersifat kaku, menyarankan dengan keras bahwa semua permainan
dimainkan berdasarkan peraturan yang ada, dan setiap cerita mesti disampaikan
seperti sebelumnya. Sebagai seorang remaja, sebaliknya, ia bereaksi kadang-
kadang dengan melawan moral orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.
Akhirnya, sebagai orang dewasa dia mencampurkan elemen tradisional dari
budayanya dengan kesukaan yang sama sekali pribadi, menghasilkan suatu
kepribadian yang khusus, sama dalam banyak hal dengan kepribadian anggota-
anggota lain dari masyarakatnya tetapi lebih bersifat individu dan dihasilkan
sendiri, bukan seperti apa yang dikatakan oleh para pendukung pendekatan
tradisional.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
membebaskan dan sekaligus membatasi manusia. Kebudayaan membatasi

15
kebebasan bertindak secara eksternal (melalui hukum dan sanksi) dan secara
internal (melalui kebiasaan dan kesadaran) untuk menciptakan tertib sosial yang
perlu bagi kehidupan manusia. Kepribadian bersifat psikofisik, yang berarti baik
faktor jasmaniah maupun rohaniah individu itu bersama-sama memegang
peranan dalam kepribadian. Ia juga bersifat unik, artinya kepribadian seseorang
sifatnya khas, mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari individu
yang lain. Kebudayaan dan kepribadian merupakan tempat bertemunya
psikologi dan antropologi. Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada
diri masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat
dimana orang itu dibesarkan.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap kepada pembaca hendaknya
makalah ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan dapat menambah wawasan
pembaca terutama mengenai permasalahan yang dibahas dalam makalah ini.

16

Anda mungkin juga menyukai