Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KELOMPOK 7

MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA


“KAITAN BUDAYA DAN GANGGUAN ABNORMAL”

DISUSUN OLEH:
A.DIAN MAGHFIRAH (1571041027)
APRILIA ISLAMIYANTI KUSUMANINGRUM (1571041029)
NURFAIDAH ARDIS(1571041030)
ANDI RESKINTHA ASHARI (1571042037)
ARNITA SARI(1571041045)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2016 / 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang Psikologi Lintas Budaya yang berkaitan dengan Budaya dan Gangguan
Abnormal yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “KAITAN BUDAYA
DAN GANGGUAN ABNORMAL” yaitu mengenai bagaimana gangguan abnormal
dipandang oleh berbagai budaya yang ada di dunia, baik itu dari variasi gejala,
interpretasi,dan asessmen, terapi, hingga permasalahan diagnostik yang muncul.
Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang
cukup jelas bagi pembaca. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen
mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah membimbing penyusun agar dapat
mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini
memiliki banyak kekurangan.Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.

Penulis
DAFTAR ISI                                                                                                

BAB I PENDAHULUAN                                                                                       
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Peneltitian
D. Manfaat Penulisan

BAB II PEMBAHASAN         
                                                                                
A. Pendapat tentang Kultur dan Psikopatologi
B. Pandangan tradisional tentang abnormal
C. Ekspresi abnormalitas di berbagai budaya
D. Sindrom yang terkait dengan kultur
E. Gejala sentral dan peripheral : hasil debat antara universalis dan relativis
F. Gangguan depresi dan variasi kultural
G. Skizofrenia dan variasi kultural
H. Gangguan kecemasan dan variasi kultural
I. Gangguan kepribadian
J. Penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku abnormal di ber bagai budaya
K. Bias psikodiagnostik
L. Psikoterapi
M. Kesesuaian kultural

BAB III PENUTUP                                                                                                 


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA                                                                                             
BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang

Psikologi adalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang


perilaku manusia. Selain itu, dengan adanya riset dan penelitian yang dilakukan akan
sangat membantu dalam mengetahui perilaku abnormalitas. Hal yang paling utama
adalah pertanyaan tentang definisi dari perilaku abnormal, dan bagaimana cara mendeteksi
dan mengklasifikasikan perilaku abnormal tersebut khususnya dalam melakukan assasment
dan diagnosa. Penilaianyang tepat dan diagnosis psikopatologi merupakan langkah penting
untuk membantu orang dengan gangguan mental memperbaiki hidup mereka melalui
intervensi psikologis yaitu psikoterapi.
Dalam proses diagnosa yang dilakukan sangat penting untuk memperhatikan kultur
budaya seseorang berada. Perbedaan budaya yang dimiliki setiap individu membuat
pandangan setiap orang berbeda pula mengenai perilaku abnormalitas. Salah satu contoh
yang mendasar adalah fenomena tentang homoseksual. Dalam budaya Amerika, perilaku
homoseksual dianggap sebagai perilaku yang biasa dan bukan termasuk dalam perilaku
menyimpang atau perilaku abnormal. Budaya dalam negara Amerika mengungkapkan bahwa
homoseksual tidaklah melanggar norma. Di kutip dari liputan 6 (19 Desember), pada tanggal
26 Juni 2016, pemerintah amerika telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Hal ini tentu
sangat berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia yang menganggap homoseksual sebagai
hal yang tabu. Selain itu juga perilaku homoseksual masih dianggap sebagai perilaku
abnormal dan melanggar norma yang berlaku di masyarakat.
Dari contoh kasus tentang homoseksual dapat dilihat bahwa perbedaan budaya juga
menyebabkan sebuah perbedaan pandangan tentang abnormalitas. Dengan demikian, dalam
melakukan diagnosa dan nantinya untuk psikoterapi yang akan dilakukan, sangat penting
untuk melihat terlebih dahulu kultur budaya seseorang yang dianggap abnormal. Karena
konteks budaya adalah bagian dari tradisi moral yang tertanam dalam struktur politik,
psikoterapi itu sendiri tak terhindarkan menjadi praktik moral dengan konsekuensi politik
yang tertanam dalam kerangka budaya.Oleh sebab itu, makalah ini di susun untuk membahas
kaitan antar budaya dan abnormalitas.
B.   Rumusan masalah

Adapun perumusan masalah makalah ini dapat kami jabarkan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Kultur dan Psikopatologi ?
2. Bagaimana Ekspresi abnormalitas di berbagai budaya?
3. Apa saja sindrom yang terkait dengan kultur ?
4. Apa perbedaan dari Gejala sentral dan peripheral dan bagaimana para ahli
memandangnya?
5. Bagaimana variasi kultural memandang Gangguan depresi?
6. Bagaimana variasi kultural memandang Skizofrenia ?
7. Bagaimana variasi kultural memandangGangguan kecemasan?
8. Bagaimana variasi kultural memandangGangguan kepribadian ?
9. Bagaimana Penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku abnormal yang
dilakukan di berbagai budaya ?
10. Mengapa bisa terjadi bias psikodiagnostik ?
11. Bagaimana budaya dapat mempengaruhi Psikoterapi ?
12. Perlukah untuk melakukan Kesesuaian kultural dalam asessmen?

C. Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan budaya dan psikopatologi.
2. Untuk mengetahui bagaimana ekspresi abnormalitas di berbagai budaya.
3. Untuk mengetahui apa saja sindrom yang terkait dengan kultur.
4. Untuk mengetahui perbedaan gejala sentral dan gejala peripheral.
5. Untuk mengetahui bagaiaman depresi dipandang di berbagai kultural.
6. Untuk mengetahui bagaiamana Skizofrenia dipandang di berbagai kultural
7. Untuk mengetahui bagaiaman gangguan kecemasan dipandang di berbagai
kultural.
8. Untuk mengetahui bagaiaman gangguan kepribadian dipandang di berbagai
kultural.
9. Untuk mengetahui bagaimana penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku
abnormal yang dilakukan di berbagai budaya.
10. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya psikodiagnostik.
11. Untuk mengetahui bagaimana budaya mempengaruhi psikoterapi.
12. Untuk mengetahui apakah perlu untuk menyesuaikan budaya dalam assesmen.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan secara
teoritis dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang Psikologi Lintas Budaya.
Makalah ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran serta kontribusi
bagi Psikologi Lintas Budaya.
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan mampu membuka pemahaman tentang
Budaya dan abnormalitas, serta dapat menjadi referensi bagi pembuatan
makalah selanjutnya yang ingin mengkaji hal-hal yang mengenai Budaya dan
Abnormalitas.
BAB II
ISI

A. Kultur dan Abnormalitas


Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu
diantaranyaadalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut
Koentjaraningrat(2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal
dari bahasasansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau“akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya
sebagai “daya budi” yangberupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan
adalah hasil dari cipta, karsa,dan rasa itu.Koentjaraningrat menerangkan
bahwa pada dasarnya banyak yangmembedakan antara budaya dan
kebudayaan, dimana budaya merupakanperkembangan majemuk budi daya,
yang berarti daya dari budi.Pada kajianAntropologi, budaya dianggap
merupakan singkatan dari kebudayaan yang tidak adaperbedaan dari
definsi.Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurutKoentjaraningrat
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karyamanusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusiadengan
belajar.
Abnormalitas(WHO) merupakan keadaan yang tidak sejahtera fisik,
mental, dan sosial, secara penuh. Dalam Davidson, dkk (2002) menyatakan
terdapat beberapa kriteria yang dapat menentukan abnormalitas yaitu :
a). Kejarangan Statistik, Kuantitas kecil yang jarang ditemukan
b). Pelanggaran norma, suatu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat yang dianut (standar relative)
c). Distress pribadi, menimbulkan tekanan siksaan untuk orang yang
mengalaminya.
d). Disabilitas/Disfungsi perilaku, ketidakmampuan seseorang yang
mengalaminya yang mengakibatkan adanya ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu atau ketidaksesuaian perilaku.
e). Yang tidak diharapkan, terdapat respon yang tidak diharapkan dihasilkan
dari stressor lingkungan yang dianggap normal.
B. Ekspresi Abnormalitas Di Berbagai Budaya
Banyak kajian lintas-budaya tentang abnormalitas memusatkan
perhatiannya apakah tingkat dan manifestasi gangguan-gangguan psikologis
berbeda secara lintas budaya.Dua gangguan yang paling banyak mendapat
perhatian skizofrenia dan depresi, biasanya diteliti menggunakan kriteria
diagnostic dan prosedur-prosedur penjangkaan yang dikembangkan oleh
psikologidan psikiatri barat.Pada dasarnya, pendekatan ini bisa dikatakan
sebagai pendekatan “etik” yang mengasumsikan adanya definisi abnormalitas
dan metodologi yang diterima secara universal.
Berseberangan dengan pendekatan etik pada kajian lintas-budaya atas
abnormalitas, ada beberapa laporan etnografis yang menggambarkan
sindrom-sindrom terikat-budaya (culture-bound), yaitu bentuk-bentuk
perilaku abnormal yang hanya ada di lingkungan sosiokultural
tertentu.Temuan-temuan tentang adanyanya perbedaan lintas-budaya dalam
tingkat kemunculan dan riwayat gangguan, serta adanya bentuk-bentuk
gangguan yang khas secara budaya, menjadi indikasi pentingnya budaya
dalam memberi bentuk pada ekspresi perilaku abnormal.

C. Sindrom Yang Terkait Dengan Kultural


Sindrom yang terkait kultural terdiri dari fenomena psikologi
tertentu yang menarik bagi psikolog.Sifat elektik dari kategori ini menyulitkan
untuk mendefinisikan dengan ketat.Kategori ini bahkan mengundang banyak
perdebatan soal definisinya. DSM-IV mendefinisikan sindrom terkait kultur
sebagai pola yang berulang, bersifat local, dari perilaku yang menyimpang,
dan pengalaman yang mengganggu yang mungkin berhubungan atau tak
berhubungan dengan kategori diagnostic DSM-IV. Banyak dari pola ini sejak
awal dilihat sebagai “penyakit”, atau setidaknya gangguan, dan kebanyakan
memiliki nama local.
Sindrom yang terkait kultural ini tidak memiliki korespondensi satu-
satu dengan gangguan yang dikenali oleh system “utama”. Kebanyakan dari
sindrom ini pada mulanya dilaporkan sebagai terbatas pada kultur tertentu
atau berkaitan dengan kultur atau lokasi yang berdekatan secara geografis
dengan kultur dimaksud. Setidaknya ada tujuh kategori umum untuk
fenomena yang dideskripsikan sebagai sindrom yang terkait kultur:

1. Gejala psikopatologi, tidak bisa dinisbahkan ke penyebab organic yang bisa


diidentifikasi, yang dikenali sebagai penyakit dalam kelompok kultural
tertentu, namun tidak termaksud kategori penyakit di barat. Amok, ledakan
kemarahan tiba-tiba, dapat dikenali di Malaysia, misalnya. Di London New
York, orang dengan sindron ini dideskripsikan sebagai “memiliki masalah
dalam mengontrol kemarahan”.
2. Gejala psikopatologi, tidak bisa dinisbahkan ke penyebab organic yang bisa
diidentifikasi, yang dikenali di tingkat local sebagai penyakit dan menyerupai
kategori penyakit di barat, tetapi memiliki (1) ciri local yang menonjol dan
berbeda dengan penyakit di Barat, dan (2) sedikit mengandung gejala yang
dapat dikenali di Barat. Contohnya, shenjing shaijo atau neurasthenia di cina,
yang menyerupai gangguan depresi mayor tetapi tidak memiliki ciri sometis
menonjol dan hanya sedikit ada tanda depresi mood yang biasa menjadi
definisi depresi di Barat.
3. Entitas penyakit diskret yang belum dikenali professional Barat. Contohnya,
kuru. Gejala psikosis progresif dan demensia yang dialami oleh suku kanibal
di papua. Kuru kini diyakini sebagai akibat protein yang menyempal atau
yang mampu mereplikasi diri dengan merusak protein lain diotak.
4. Sebuah penyakit, gejalahnya terjadi di banyak kultur; namun, itu hanyan
dielaborasi sebagai penyakit di satu atau beberapa setting kultural. Contohnya,
koro, takut pada genitalia, yang mungkin terkadang memiliki realitas
fisiologis-anatomis, dan tampaknya muncul sebagai delusi atau fobia di
beberapa kelompok kultural.
5. Meknisme penjelasan atau idiom penyakit yang diterima secara kultur, yang
tidak cocok dengan idiom barat untuk sters, dan dalam setting barat mungkin
mengindikasikan pemikiran yang tidak tepat secara kultur dan mungkin delusi
atau halusinasi.
6. Keadaan atau seperangkat perilaku, sering berupa trace atau kerasukan:
mendengar, melihat, dan berkomunikasi dengan arwah orang mati atau
perasaan bahwa seseorang “kehilangan jiwanya” karena sedih dan takut. Ini
mungkin dianggap atau tidak dianggap sebagai penyakit di kultur mereka,
namun jika tidak dikenali secara kultural ia bisa jadi dianggap menunjukkan
gejala psikosis,delusi, atau halusinasi menurut pandangan Barat.
7. Sindrom yang diduga terjadi di dalam setting kultural tertentu yang
sebenarnya tidak eksis tetapi mungkin dilaporkan kepada professional.
Debat tentang sindrom yang terkait kultur ini sering berputar tentang
kebingungan soal kategori-kategori yang berbeda-beda itu. Banyak sindrom yang
terkait kultur itu terjadi di banyak kultur yang tidak saling berkaitan, atau muncul
hanya merupakan variasi local dari penyakit yang dijumpai di mana-mana.fakta
ini menarik karena menunjukkan bahwa sindrom yang terkait kultur dapat dilihat
sebagai aksentuasi daritren universal. Kultur spesifik memandang suatu perilaku
sebagai sindrom psikopatologi, menyebutkan sebagai gangguan, dan
memperlakukannya sebagai penyakit. Beberapa kultur lainnya tidak menyebut hal
yang ada pola-pola perilaku dan pengalaman yang mengganggu di tingkat local
yang sering muncul, yang mungkin berhubungan atau tidak berhubungan dengan
kategori diagnostic DSM-IV (DSM-IV, h. 844). Sindrom terkait kultur biasanya
terbatas pada masyarakat tertentu atau area tertentu dan mengidentifikasikan
observasi dan pengalama repetitive yang bersifat mengganggu. Adapun contoh
dari gangguan yang berkaitan dengan kultur yaitu:
- Amok. Dikenal dimalaysia, pola ini juga terjadi dimana-mana. Amok adalah
kemarahan mendadak di mana seseorang bertingkah rusuh, terkadang melukai
pihak lain disepanjang jalan yang dilaluinya.
- Ataque de nervios. Juga disebut “serangan saraf” ini lazim di Amerika
selatan dan Mediterania.gejalah antara lain berteriak tak terkendali, menangis,
gemetar, jantung berdegup kencang, dan agresi fisik atau verbal.
- Bilis, colera, atau muina. Idiom umum Amerika latin, yakni idiom distress
dan penjelasan penyakit mental atau fisik sebagai akibat dari emosi ekstrem
yang menjengkelkan hati.
- Brain fag. Dikenal di Afrika Barat. Terkadang disebut “keletihan otak” ini
adalah reaksi mental dan fisik terhadap tantangan disekolah, sebuah kondisi
yang dialami terutama oleh pelajar SMA atau mahasiswa kampus. Gejala
antara lain kesulitan berkonsentrasi, sulit mengingat, dan berpikir.
- Dhat. Terjadi di india. Kondisi serupa juga dideskripsikan di srilanka dan
cina. Ini adalah sindrom ciri-ciri perhatian berlebihan pada menyusutknya
mani karena sering berhubunga seksual atau khawatir terbawa air kencing.
- Falling out. Dikenali di amerika serikat bagian selatan, atau disebut “blacking
out” di kepulauan karibia. Gejalanya : jatuh mendadak, kehilangan
penglihatan meski mata masih terbuka.
- Frigophobia. Ada kondisi yang oleh orang cina disebut wei han zheng, atau
takut kedinginan. Pasien sering dekat pemanas, mengenakan baju hangat dan
sarung tangan.
- Ghost sickness. Dilaporkan dari suku indian-amerika . gejalanya adalah
selalu memikirkan kematian dan orang mati, mimpi buruk, pingsan, hilang
selera, takut, takut sihir, halusinasi, merasa sesak, bingung, dan sebagainya
- Koro. Dikenali etnis cina di malaisya, berkaitan dengan kondisi yang
dideskripsikan di beberapa negara asia timur. Gejala utamanya: orang merasa
sangat cemas dengan mendadak.
- Latah. Terjadi di malaisya, Indonesia, Thailand, dan jepang. Gejalanya antara
lain terlalu peka terhadap kejutan, sering dengan meniru perkataan atau
tindakan orang lain tanpa berpikir, dan perilaku seperti trace.
- Locura. Insiden yang dikenali di Amerika serikat. Sindromnya antara lain
inkoherensi, agitasi, halusinasi suara dan visual, ketidak mampuan mengikuti
interaksi social, sakit dan demam.
- Pibloktoq. Dikenali di kawasan artik dan komunitas inuit di sub-Artik, seperti
eskimo di Greenland. Sindromnya dijumpai di seluruh artik dengan nama-
nama local. Gejalahnya antara lain semangat berlebihan, kekerasan fisik,
pelecehan verbal, konvulsi, dan koma sesaat.
- Qi-gong. Di kenal di cina. Episode sindrom singkat, seperti halusinasi visual
dan suara, terjadi setelah melakukan latihan qi-gong, atau latihan energy vital,
yang mirip meditasi (lim&lin, 1996).
- Rootwork. Sindrom yang dikenal di amerika serikat bagian selatan dan
kepulauan karibia.gejalanya antara lain kecemasan, seperti takut keracunan
atau takut mati yang di yakini disebabkan oleh individu yang meletakkan
“jimat” keorang lain.
- Sin-byung. Dikenal di korea. Ini adalah sindrom kecemasan dan keluhan
tubuh yang diikuti dengan disosiasi dan kerusakan oleh arwah leluhur.
- The sore-neck sindrom. Ini adalah sindrom yang tampak pada pengungsi
khmer. Ciri utamanya adalah takut kalau darah dan tekanan angina akan
menyebabkan urat di leher pecah.
- Spell. Sindrom dideskripsikan oleh beberapa orang amerika serikat bagian
selatan dan di beberapa negara lain. Ini adalah keadaan trance di mana
individu berkomunikasi dengan arwah saudaraya.
- Susto. Ditemukan dikalangan orang amerika latin dan diberi label “ketakutan
sangat” atau “hilanya jiwa” oleh beberapa orang karibia. Gejalahnya adalah
berkaitan dengan kejadian yang mengerikan yang membuat jiwa keluar dari
tubuh.
- Tajin kyofusho. Di jepang, ini adalah takut yang hebat kalau tubuh, bagian
tubuh, atau fungsi tubuh menjadi menyenangkan, memalukan, menyinggung
orang lain, seperti dalam hal penampilan, bau badan, ekspresi wajah, atau
gerakan.
- Zar. Dikenal di etopia, Somalia, mesir, sudan, iran,dan di beberapa tempat di
Afrika utara dan Timur tengah. Ini adalah keyakinan kerusakan arwa,
menyebabkan orang berteriak, tertawa, menggeleng kepala dengan kencang,
menyanyi atau meratap.

D. Gejalah Sentral Dan Periferal : Hasil Debat Antara Universalitas Dan


Relativis
Pandangan mana, absolutis atau relativis, yang lebih akurat dalam
mendeskripsikan realitas psikologis saat memahami keunika kultural dan sifat
universal psikopatologi, akan berguna jika mengimplementasikan pendekatan
inklusif pada psikopatologi yang mengombinasikan dua sudut pandang
tersebut. Yakni, ciri utama dari psikopatologi-abnormalitas, maladaptive, dan
distress- harus dilihat universal.Tetapi ciri-ciri ini ditampakkan oleh individu
dalam lingkungan, konteks social dan kultural, yang spesifik. Karena itu,
setiap gangguan dapat muncul sebagai :

- Gejala sentral yang dapat diamati di hamper semua orang didunia


- Gejala peripheral yang berkaitan dengan kulturmisalnya, gejala sentral
untuk kasus episode depresi utama, seperti disforia, hilag ingatan,
ketegangan dan merasa tidak berdaya.
Tanda-tanda peripheral dari penyakit ini sangat bervariasi.Jadi, banyak
pasien kanada mungkin menunjukkan rasa bersalah. Beberapa dari mereka
akan melaporkan dirinya sering berpikir untuk bunuh diri. Kebanyakan pasien
dari Taiwan jarang melaporkan rasa bersalah. Rasah bersalah, malu, sakit
pada tubuh, atau gangguan perilaku mungkin lebih dominan tergantung pada
ekspetasi tentang apa yang relevan dari penyakitnya (turner,1997)
E. Gangguan Depresi dan Variasi Kultural
WHO (1983 dalam Shiraev & Levy, 2010) menemukan bahwa lebih
dari tiga perempat individu di kanada, swiss, iran, dan jepang terdiagnosis
dengan depresi melaporkan simtom-simtom yang serupa, seperti sedih,
tertekan, kekurangan tenaga, kehilangan minat, merasa tidak berdaya, dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Lebih dari setengah partisipan juga
melaporkan adanya keinginan untuk melakukan bunuh diri (Matsumoto &
Juang, 2004).
Kata-kata yang sering digunakan dalam budaya barat untuk
menggambarkan gangguan psikologis (kata-kata seperti depresi atau bahkan
kesehatan mental) mungkin memiliki arti yang sangat berbeda dalam budaya
lain atau tidak memiliki arti yang setara. Pada sejumlah masyarakat non-
Barat, pengertian depresi mungkin lebih dekat dengan konsep “kehilangan
jiwa” (soul loss) dibanding dengan konsep dalam budaya Barat yang meliputi
tidak adanya tujuan dan arti dalam hidup (Shweder, 1985).
Gejala depresi antarbudaya dapat berbeda-beda. Misalnya, pasien
depresi di nigeria melaporkan adanya perasaan tidak berguna dan bersalah.
Sementara itu, pasien depresi di cina melaporkan adanya psiko-somatik
(klienman, 1988).Depresi juga dapat diekspresikan secara berbeda pada
budaya yang berbeda (Bebbington, 1993; Thakker & Ward, 1998).Hal ini
tidak berarti bahwa depresi tidak muncul pada budaya lainnya. Namun, hal ini
menyatakan bahwa kita perlu untuk mempertimbangkan bagaimana orang
pada budaya yang berbeda mengalami kondisi distres emosional, termasuk
depresi dan kecemasan, dan bukannya memaksakan perspektif kita terhadap
pengalaman mereka. Di antara sejumlah orang Timur Jauh, seperti Cina,
depresi sering kali diekspresikan melalui simtom fisik, seperti sakit kepala,
kelelahan, atau merasa lemah, dan bukan melalui perasaan bersalah atau
kesedihan yang umum terjadi pada budaya Barat (American Psychiatric
Association, 2000; Parke, Gladstone, & Chee, 2001) Ekspresi indigenous dari
depresi yang dialami oleh orang Indian Hopi, antara lain cemas dan patah hati
(Manson, shore & Bloom, 1985). Hal ini menunjukkan bahwa depresi
memang universal, dapat dialami oleh seluruh orang di dunia ini, namun
penyebab dan ekspresinya sangat dipengaruhi oleh budaya tempat pasien
berada.
Meskipun ekspresi depresi dapat berbeda-beda, namun Marsela (1980;
Marsella, sartorius, jablensky & Fenton, 1995) menyatakan bahwa gejala-
gejala vegetatif, seperti kehilangan kesenangan, nafsu makan, atau tidur yang
terganggu, merupakan gejala yang konstan di semua budaya.Di samping itu,
depresi lebih sering dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Di
Amerika Serikat, depresi paling banyak dialami oleh orang-orang kelompok
usia 15-44 tahun (khususnya remaja) (Matsumoto & Juang, 2004).
F. Skizofrenia dan Variasi Kultural

Perilaku yang dianggap normal pada satu budaya, mungkin saja dianggap
abnormal pada budaya lain. Halusinasi (mendengar atau melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada) merupakan suatu pengalaman yang biasa di antara
masyarakat Aborigin, Australia, namun umumnya dianggap sebagai suatu tanda
abnormalitas dalam budaya kita.Masyarakat Aborigin percaya bahwa mereka
dapat berkomunikasi dengan roh nenek moyang mereka dan pengalaman tersebut
dirasakan bersama di antara mereka, khususnya keluarga dekat.keyakinan serupa
dianggap sebagai delusi di budaya barat.Pada budaya barat, halusinasi dan delusi
dianggap sebagai ciri-ciri skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan psikologis yang memiliki karakteristik
munculnya delusi (waham), halusinasi, pembicaraan dan perilaku yang kacau
(disorganized), (Shiraev & Levy, 2010). WHO pada tahun 1960-an dan 1970-an
menunjukkan bahwa pola perilaku yang dikarakteristikkan sebagai skizofrenia
muncul di negara-negara seperti Columbia, India, Cina, Denmark, Nigeria dan
Uni Soviet, di antara lainnya (Jablensky dkk. 1992). Tingkat prevalensi dan
karakteristik umum skizofrenia secara aktual hampir sama pada semua negara
yang diteliti. Namun, sejumlah perbedaan tampak terdapat dalam karakteristik
khusus skizofrenia antarbudaya (Thakker & Ward, 1998).Di Columbia, India, dan
Nigeria, skizofrenia lebih cepat sembuh dibandingkan di Inggris, Amerika,
ataupun Uni Soviet.Hal ini karena di negara-negara Timur, pasien lebih banyak
mendapatkan dukungan keluarga, kerabat, dan masyarakat.Dukungan sosial ini
membuat pasien lebih cepat dapat berfungsi normal dan menjalankan perannya
dalam kehidupan sehari-hari.hal ini menyebabkan prognosis pasien skizofrenia di
Timur lebih baik dibandingkan pasien di Barat (Matsumoto & Juang, 2004).
Sementara itu, pasien skizofrenia di Amerika jarang sekali menunjukkan
kekurangmampuan menemukan insight dari masalah yang dialami dibandingkan
pasien di Denmark dan Nigeria.Pasien di Amerika lebih sedikit menunjukkan
halusinasi pendengaran dibandingkan pasien di Denmark dan Nigeria.Hal ini
tampaknya disebabkan oleh perbedaan budaya, di mana orang Amerika lebih
menghargai insight dan kemawasan diri dibandingkan orang dari budaya lain
(Matsumoto & Juang, 2004).

G. Gangguan Kecemasan dan Variasi Kultural


Definisi gangguan kecemasan mengandung interpretasi yang berakar dalam
penilaian yang mungkin bervariasi dari satu kultur ke kultur lain (Satcher, 2000).
Akan tetapi, seperti apapun kehidupan seseorang, setiap gangguan kecemasan
dapat muncul sebagai gejala sentral yang dapat diamati dalam setiap kultur dan
sebagai gejala periferal yang terkait kultur spesifik. Misalnya, gejala gangguan
kecemasan secara universal dapat dilaporkan sebagai kecemasan, takut, atau
keadaan waspada, yang berlangsung terus-menerus, kondisi maladaptif dan
menyebabkan distres signifikan pada diri individu. Meskipun seseorang mungkin
merasa sangat takut pada kalajengking, dan orang lain mungkin takut pada ujian
sekolah, keduanya melaporkan adanya emosi yang disebut “takut” yang
mengganggu kegiatan hidup sehari-hari mereka. Misalnya, simtom sentral untuk
kasus gangguan kecemasan umum yang tampak di berbagai kultur antara lain: (1)
sindrom tubuh yang muncul dalam bentuk keletihan, kurang konsentrasi, dan otot
tegang; dan (2) sindrom psikologis yang muncul dalam bentuk kecemasan
berlarut-larut terhadap performa atau aktivitas sosial tertentu. Tanda-tanda
periferal (terkait kultur) dari gangguan kecemasan spesifik bisa bervariasi. Di
banyak negara barat dan negara industri, kecemasan individu sering dikaitkan
dengan cara memandang kesuksesannya. Kegagalan finansial dan lambatnya
promosi dapat dianggap sebagai sumber kecemasan bagi ribuan kalangan
profesional Amerika, Kanada, atau Jepang. Kecemasan itu mungkin tidak perlu
terjadi bagi orang di negara lain yang motivasi prestasinya bukan diarahkan ke
soal “materi” (Tanaka-Matsumi & Draguns, 1997).
Setiap kelompok agama, bangsa, atau etnis mungkin mengembangkan kondisi
untuk perkembangan gejala periferal dari gangguan kecemasan. Di Jepang dan
Korea, misalnya, individu dengan fobia sosial mungkin mengekspresikan selalu
cemas jangan-jangan akan menyakiti orang lain. Beberapa kondisi kultural
mungkin menyebabkan munculnya perhatian “normal”, yang dianggap berbeda
dari sudut pandang kultur lain. Beberapa negara di Timur tengah, misalnya,
membatasi partisipasi wanita di tempat publik dan mengenakan aturan ketat bagi
baju dan perilaku wanita di tempat umum.Karena itu, keengganan wanita untuk
tampil di muka umum tidak bisa dianggap sebagai agoraphobia oleh profesional
Amerika Serikat (DSM-IV, h. 399, 413).Lingkungan di mana individu tinggal
sering menentukan tipe ketakutan yang dialaminya. Takut pada roh halus
sebaiknya tidak didiagnosis sebagai fobia di dalam kultur dimana rasa takut ini
layak secara kultural. Tetapi, jika rasa takut menjadi berlebihan, sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan pebderitaan, kondisi ini bisa
disebut fobia (DSM-IV, h. 407).
Ambil contoh ganggaun obsesif-kompulsif (OCD), yang muncul dalam
bentuk pemikiran dan impuls yang terus berulang-ulang.Apakah setiap tipe
perilaku kompulsif atau obsesif didiagnosis sebagai OCD?Tak selalu. Perilaku
berulang-ulang, berdoa misalnya harus dinilai berdasarkan, norma kultur individu,
dan seadndainya sudah mengganggu fungsi peran sosial maka baru bisa
didiagnosis sebagai OCD (DSM-IV, h. 420).
Meskipun ada variasi gejala periferal gangguan kecemasan di berbagai kultur,
ada juga kesamaan yang signifikan. Misalnya, berbagai kejadian traumatik
berdampak langsung atau tidak langsung pada perkembangan problem kecemasan
di berbagai negara. Cheryl Koopman (1997), seorang psikolog dari Stanford
University, melakukan peneliti lintas negara terhadap gejala emosional yang
disebabkan bermacam-macam kejadian traumatis yang berbeda-beda dalam
cakupan dan insensitasnya. Dia menemukan bahwa kejadian traumatis, seperti
holocaust, terorisme, penangkapan, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan
politik, dan pengungsian politik dapat menimbulkan respons behavioral yang
sama pada individu dari berbagai latar belakang, kultur, dan agama. Reaksi-reaksi
ini dapat dideskripsikan sebagai gangguan stres pascatraumatik, gangguan stres
akut, atau reaksi stres akut (ICD-10).Individu yang mengalami kejadian traumatis,
seperti menjadi pengungsi politik, pencari suaka, dan korban “pembersih” etnis
biasanya memiliki tingkat ganggun stres pascatraumatis yang lebih tinggi
ketimbang populasi umum.
Kesamaan dalam gejala-gejala tidak selalu menunjukkan bahwa tingkat
keparahan kondisinya juga sama di antara beragam kelompok kultural. Dalam
kasus agrophobia, misalnya, diketahui bahwa gangguan ini lebih menonjol di
kalangan Afrika-Amerika ketimbang orang kulit putih.Lebih jauh, orang Afrika-
Amerika kurang berusaha mencari perawatan agrophobia ketimbang orang dari
kelompok lain (Chambless & William, 1995; Eaton et al., 1991).
H. Gangguan Kepribadian dan Variasi Kultural
Gangguan kepribadian atau personalitas dianggap sebagai pola perilaku dan
pengalaman batin berkepanjangan yang menyimpang dari ekspektasi kultur
individu. Ini bukan satu tindakan tunggal.Ini adalah pola perilaku yang terus
menerus yang menyebabkan seseorang tertekan dan mengalami kerusakan pada
satu atau beberapa fungsi penting pada dirinya (Akhtar, 2002).Profesional di
banyak negara menegenali gangguan kepribadian sebagai kategori diagnostik
spesial.Dewasa ini sudah ada konsistensi dalam mendiagnosis gangguan ini.
Tetapi, juga penting untuk mempertimbangkan gejala gangguan kepribadian mana
yang relatif konstan di semua kultur dan mana yang terkait kultur tertentu.
DSM-IV menunjukkan bahwa penilaian atas ciri-ciri perilaku yang tepat dan
tidak tepat adalah bervariasi dari satu kultur ke kultur lain. Para psikolog
diharapkan menentukan apakah diagnosisnya dapat diaplikasikan ke individu dari
konteks kultur tertentu tempat ia tinggal. Beberapa baju yang mengilap dan aneh,
misalnya mungkin menarik perhatian orang di jalanan; dengan cara yang sama,
ciri kepribadian bisa jadi tampak aneh dan ambigu ketika dibandingkan dengan
standar sosial. Ambang toleransi merupakan istilah untuk ukuran toleransi atau
intoleransi terhadap ciri personalitas spesifik di dalam satu lingkungan
kultural.Ambang batas rendah adalah intoleransi relatif terhadap perilaku spesifik
dan ciri kepribadian dasar tertentu, sedangkan ambang batas tinggi adalah untuk
toleransi relatif. Jika masyarakat menerima diversitas perilaku, maka ambang
batas toleransi akan relatif tinggi.
Dalam studi komparatif yang unik, yang disponsori oleh World Health
Organization, Loranger dan rekan (1994) menggunakan bantuan 58 psikiater yang
mewawancarai 716 pasien di 11 negara di amerika Utara, Eropa, Afrika, dan
Asia. Digunakan wawancara klinis semi terstruktur (disebut International
Personality Disorder Examination), yang kompatibel dengan evaluasi yang
dipakai di Amerika Serikat dan dalam ICD-10. Hasil utamanya adalah gangguan
kepribadian memiliki ciri yang relatif sama yang dapat dinilai dengan tingkat
reliabilitas relatif tinggi di semua negara, bahasa, dan kultur. Studi tambahan
mengungkapkan hasil sama, menunjukkan bahwa gejala tertentu dapat
didiagnosis dengan tingkat konsistensi yang relatif tinggi diantara negara dan
kelompok ras yang berbeda(Fountolakis et al., 2002). Sayangnya, bukti empiris
yang reliabel hanya dikumpulkan dari bukti gangguan kepribadian antisosial
(Murphy, 1976).Gejala-gejala gangguan kepribadian dapat dikenali di semua
kelompok sosial dan kultural (Robin et al., 1991).Secara khusus, di Amerika
Serikat, individu dengan gangguan kepribadian antisosial adalah lebih banyak dan
lebih sering terlibat dalam kejahatan ketimbang orang yang tidak menderita
gangguan ini, terlepas dari rasnya (Cooke & Michie, 1999; Hare, 1991). Akan
tetapi, setidaknya di tahap riset psikologis ini, ada banyak alasan untuk percaya
bahwa gangguan kepribadian mewakili kategori dan gejala yang bervariasi di
beragam kultur.

Para psikolog terutama fokus pada dua asumsi dasar yang berkaitan dengan
manifestasi dan diagnosis gangguan ini. Pertama adalah hipotesis tentang ciri
kepribadian yang terkait kultur spesifik yang menonjol di beberapa kelompok
kultural dan kurang menonjol di kelompok kultur lain. Menurut pendapat ini,
kesamaan dalam strategi coping menyebabkan berkembangnya ciri yang serupa
pada diri individu yang termasuk dalam kelompok kultural yang sama. Sebagai
misal, kesadaran dan kebiasaan disiplin diri telah ditanamkan di kultur Jerman
selama bertahun-tahun. Karena itu, ada banyak orang yang dibesarkan di Jerman
yang mengembangkan kepribadian yang sesuai dengan sikap disiplin diri dan
sadar diri. Selain itu, jika seseorang dilahirkan di luar Jerman tetapi dibesarkan
disana, orang ini akan kemungkinan besar akan mengembangkan kepribadian
yang sama. Jika hipotesis ini benar, maka akan ada probabilitas statistik yang
tinggi dari kemunculan gejala gangguan kepribadian obsesif-kompulsif. Dengan
kata lain, gejala ini akan ditemukan lebih sering di temukan di Jerman ketimbang
di negara lain yang kondisi kulturalnya menanamkan sifat personalitas yang
berbeda.
Asumsi kedua adalah bahwa ada situasi sosial dan kultural spesifik yang
menentukan pandangan kita, berfungsi sebagai semacam “filter” atau saringan
untuk evaluasi kepribadian dan gangguan kepribadian. Beberapa sifat ini dapat
dilihat sebagai umum dan “standar” dari sudut pandang atau negara tertentu,
tetapi dapat dianggap berlebihan dan bahkan tidak normal (jika sesuai kriteria
mereka) dari sudut pandang kultural lainnya. Misalnya, jika seorang wanita dari
kultur tradisional tidak sering keluar di tempat umum, lebih menyukai aktivitas di
dalam rumah, tidak punya hubungan dekat dengan orang kecuali dengan anggota
keluarga dan kerabat, dan tampak “dingin” dan tidak emosional dalam bercakap-
cakap dengan periset, karakteristik ini tidak boleh dianggap sebagai tanda
gangguan kepribadian schizoid. Perilakunya harus dinilai dari konteks kultur yang
lebih luas, yang memuat aturan gender tertentu, atau aturan perilaku bagi pria dan
wanita. Karena itu, beberapa gejala gangguan kepribadian di DSM-IV dapat
dianggap tidak berlebihan, bukan patologis, atau bahkan normal di dalam setting
kultural tertentu.Jadi, sensivitas kultural itu penting saat hendak mengaplikasikan
diagnosis berbasis DSM ke individu dari lingkungan kultural yang berbeda.
Saat muncul psikologi ilmiah, ada banyak teori stereotip tentang prevalensi
personalitas di satu kelompok kultural atau bangsa.Asumsi paling populer
contohnya ialah tentang adanya perbedaan substansial antara tipe individu Timur
dan Barat.Tipe orang barat suka nalar dan jarang menggunakan intuisi atau emosi,
yang lebih banyak dijumpai di kalangan orang Timur.Tipe Barat adalah
terbuka.Dan sebaliknya tipe orang Timur adalah introver (Kleinman &
Kleinmann, 1991). Tipe kepribadian tertentu dapat memberi kontribusi pada cara
mengatasi masalah dalam suatu kondisi kultural, sedangkan tipe lainnya mungkin
menghambat upaya mengatasi masalah. Misalnya, perilaku menghindar. Di Cina,
relasi antar-sesama orang biasanya didasarkan pada tradisi saling membantu, atau
dalam istilah Barat dinamakan hubungan resiprokal berdasarkan norma moral.
Jika seseorang dalam situasi tertentu dianggap tidak bisa memberi bantuan, ia bisa
ternoda reputasinya dan merasa malu. Karena itu, menyelamatkan muka, orang itu
umumnya mengembangkan tendensi menghindar karena penghindaran dianggap
sebagai tak terlalu memalukan ketimbang ketidakmampuan melakukan tindakan
sosial yang tepat.Individu yang berasal dari luar konteks sosial ini mungkin
menganggap perilaku itu sebagai gejala gangguan perilaku menghindarkan.
Demikian pula, bukan hal aneh jika anak muda dari Yunani mencari bantuan
(baik emosi maupun finansial) dari orang tuanya sampai usia 30 tahun. Akan
tetapi, dari perspektif pengamat asing hal itu mungkin dianggap sebagai bentuk
gangguan kepribadian dependen (Fountoulakis et al., 2002).

I. Assesment Dan Perawatan Perilaku Abnormal Di Berbagai Budaya


Salah satu dari pertanyaan lintas budaya yang penting adalah penyelidikan
tentang peran kultur dalam memahami, menafsir, dan mengobati/merawat perilaku
abnormal. Beberapa tema utama sudah memandu riset dan pemikiran dalam area
psikologi ini.Yang pertama dan terkemuka adalah pertanyaan mengenai definisi
abnormal.
1. Mendefinisikan Abnormal
Ada beberapa sudut pandang secara tradisional dalam memberikan batasan
tentang perilaku abnormal.Salah satu sudut pandang mendefinisikan abnormalitas
dengan penggunaan pendekatan statistic dan aplikasi tentang kreteria
kerusakan/kelemahan atau inefisiensi, penyimpangan, dan distress subjektif.Sebagai
contoh, perilaku seseorang bisa digambarkan sebagai abnormal sebab kejadiannya
adalah jarang.Ia menjadi tidak berhubungan lagi dengan lingkungannya, mempunyai
delusi atau keyakinan yang salah bahwa ia adalah binatang, dan berbicara dengan
yang mati. Fenomena ini bukan merupakan pengalaman umum.
Pendekatan lainnya mendefinisikan abnormalitas dengan memfokuskan pada perilaku
individu yang dihubungkan dengan inefisiensi dalam melaksanakan peran-peran yang
umum. Misalnya, adalah susah untuk membayangkan seseorang bisa menyelsaikan
fungsi sehari-hari yang normal seperti merawat dirinya dan bekerja sementara dia
percaya dirinya menjadi seekor binatang.
Kita mungkin juga menyimpulkan bahwa perilaku itu abnormal karena nampaknya
jauh bertentangan dengan norma-norma sosial.Tetapi, tidak semua perilaku yang
secara sosial menyimpang dapat dipertimbangkan abnormal atau secara psikologis
terganggu.Sebagai contoh, banyak orang-orang tetap berpegang pada kepercayaan
bahwa homoseksualitas adalah penyimpang (deviant), walaupun hal itu tidak lagi
digolongkan sebagai gangguan mental (menurut Asosiasi Psikiatris, 1987).
2. Sudut Pandang Tentang Abnormalitas Secara Lintas Budaya
Sudut pandang ini menyatakan bahwa kita harus menerapkan prinsip tentang
relativisme budaya pada abnomalitas. Sebagai contoh, perilaku seseorang yang
berbicara dengan orang mati dan mengganggap dirinya sendiri sebagai binatang
mungkin dianggap terganggu jika hal itu terjadi di sudut jalan dalam suatu kota besar
di Amerika Serikat. Namun ini bisa dimengerti dan sesuai atau dianggap bukan
sebagai gangguan, jika terjadi dalam suatau upacara shamanistic di mana ia sedang
bertindak sebagai penyembuh.
Beberapa perilaku, terutama sekali yang berhubunga dengan penyakit kejiwaan atau
psikosis (sebagai contoh, delusi, halusinasi), adalah bersifat universal dikenali
sebagai abnormal (Murphy, 1976).Bagaimanapun, beberapa penyelidikan (sebagai
contoh, Kleinman, 1988; Marsella, 1979, 1980).
Menyandarkan kepercayaan pada laporan tentang penderitaan (distress) subjektif
untuk mendefinisikan perilaku abnormal juga merupakan masalah ketika
mempertimbangkan abnormalitas secara lintas Kultur.
Apakah menerima definisi abnormalitas yang relatif atau universal adalah suatu
sumber kontroversi yang terus berlanjut di dalam psikologis.
3. Schizophrenia
Schizophrenia adalah bagian dari kelompok gangguan psikotik (psychotic
disorders) yang ditandai oleh distorsi mengenai kenyataan; penarikan dari interaksi
sosial; dan disorganisasi persepsi, pikiran, dan emosi (Carson, Butcher &Coleman,
1988).Beberapa teori menaruh perhatian pada etiologi (penyebab) dari Schizophrenia
terutama pada faktor biologi (sebagai contoh, kelebihan dopamine atau ketidak
seimbangan biokimia lainnya). Teori lain menekankan dinamika keluarga (sebagai
contoh, ungkapan permusuhan ke orang sakit), Diathesis-Stress Model tentang
Schizophrenia menyatakan bahwa individu dengan suatu predisposisi biologi yang
terganggu mungkin mengembangkan gangguan yang mengikuti ekspose terhadap
sulessor lingkungan.
4. Depresi
Kita semua sudah pernah mengalami suasana hati yang depresi, kesedihan,
atau keharuan biru dalam hidup kita.Kita mungkin punya perasaan ini dalam
merespon suatu kematian anggota keluarga, retaknya suatu hubungan, kegagalan
suatu tujuan, dan semacamnya.Kehadiran gangguan depresi melibatkan gejala
kesedihan yang dalam, merasa kesia-siaan dan tidak berharga, dan penarikan diri dari
lainnya.Depresi adalah sering juga ditandai oleh perubahan fisik (sebagai contoh,
gangguan tidur dan selera makan) seperti halnya perubahan tingkah laku dan
emosional.Seperti Schizophrenia, depresi adalah salah satu dari gangguan psikologis
yang paling utama di Amerika Serikat. Dalam studi yang dilakun Myers, dkk.. (1984)
menemukan bahwa 3 % dan 7% dari populasi orang dewasa laki-laki dan wanita,
berturut-turut telah mengalami suatu gangguan depresi dalam periode enam bulan
sebelumnya.
Dalam studi lintas budaya tentang depresi, variasi dalam ungkapan symptomatologi
telah secara luas didokumentasikan.Beberapa kelompok budaya (sebagai contoh,
orang-orang Nigeria) adalah lebih sedikit mungkin untuk melaporkan perasaan tidak
berharga yang ekstrim. Orang lain (sebagai contoh, China) lebih mungkin untuk
melaporkan keluhan somatkc (Kleinman, 1988). Sebagaimana dengan Schizophrenia,
tingkat depresi juga bervariasi dari satu kultur ke kultur lainnya (Marsella, 1980).
Left (197) mengajukan argument bahwa kultur bervariasi dalam kaitan dengan
komunikasi dan pembedaan mereka mengenai istilah emosional dan, karenanya
berpengaruh pada bagaimana mereka mengalami dan menyatakan depresi.
Kleinman(1988) walaupun menerima ide bahwa penyakit depresi adalah universal, ia
menyatakan bahwa ekspresi dan bentuk dari penyakit itu ditentukan secara kultural.
Marsella juga mengajukan alasan tentang pandangan depresi yang secara cultural
relative, dan menyatakan bahwa depresi mengambil bentuk afektif secara primer
dalam kultur dengan orientasi obyektif yang kuat (itu adalah yang menekankan
individualisme),
5. Ganguan-ganguan psikologis yang lain
Pendekatan yang digunakan dalam studi lintas budaya tentang depresi dan
schizophrenia yang dilaporkan disini ditandai sebagai suatu pendekatan etic, yang
salah satunya mengasumsikan menerima definisi tentang abnormalitas dan
metodelogi secara universal.Berlawanan dengan pendekatan etic, di sini telah pula
ada beberapa laporan etnografi tentang sindrom-sindrom yang dikaitkan dengan
budaya.Ini adalah format dari perilaku abnormal yang diobsevasi hanya dalam
lingkungan sosiokultur tertentu.
Penggunaan pendekatan emic (culture-specific) secara primer melibatkan pengujian
etnografi tentang perilaku di dalam suatu konteks budaya yang spesifik, para
antropolog dan psikiater sudah mengenali beberapa bentuk unik dari gangguan
psikologis.
Amok adalah suatu kekacauan yang ditandai oleh amukan mendadak dan agresi
berhubungan dengan pembunuhan.Ini dianggap karena adanya stress, kurangnya
tidur, dan konsumsi alcohol.Istilah running amok berasal dari pengamatan atas
gangguan itu.
Witiko (juga dikenal sebagai windigo) adalah suatu gangguan yang telah dikenal
orang Indian Algonquin di Kanada.Ini melibatkan kepercayaan bahwa individu telah
dikuasai oleh watiko spirit suatu monster yang memakan orang.
Anorexia nervosa adalah suatu gangguan yang dikenal di barat.Gangguan yang
ditandai oleh suatu gambaran body image yang terdistori, ketakutan menjadi gemuk,
dan suatu kehilangan berat tubuh yang serius berhubungan dengan pengendalian
makanan atau pembersihan.
Kiev (1972) dan Yap (1974) yang mereview literature pada culture bound sindroms
ini, mencakup latah (yang ditandai oleh hysteria dan echolalia, mengamati terutama
pada wanita Melayu).
Pfeiffer (1982) telah mengidentifikasi empat dimensi untuk pemahaman culture-
bound sindroms.Ia mengemukakan bahwa area stress yang sifatnya spesifik budaya
mungkin berperan untuk sindrom itu. Area-area stress/tekanan ini meliputi keluarga
dan struktur bermasyarakat dan kondisi-kondisi ekologis. Sebagai contoh, koro boleh
jadi terbaik dipahami sebagai hasil penekanan budaya yang unik pada potensi di
dalam kultur tertentu yang menekankan otoritas pihak ayah.
Beberapa Sarjana (sebagai contoh, Kleinman, 1988; Marsella, 1979, Pfeiffer, 1982)
menyatakan bahwa mustahil untuk mengunakan skema penggolongan Barat akhir-
akhir ini untuk memahami culture-buond sindrom sebab yang belakangan dialami
suatu sudut pandang yang secara kualitatif berbeda.
Perbedaan dalam perilaku abnormal melibatkan pengidentifikasian dan
penggambaran gejala/symptom individu dalam konteks tingkatan keseluruhan fungsi
dan lingkungan. Alat/ instrument dan metode asesmen harus peka pada budaya dan
pengaruh lingkungan lain perilaku dan fungsinya.
1. Penilaian (asesmen) antara budaya tentang perilaku abnormal
Alat-alat asesmen klinis tradisional dalam psikologi didasarkan pada suatu definisi
standard abnormalitas atau kelainan dan menggunakan suatu standars criteria
penggolongan untuk mengevaluasi perilaku.
2. Treatmen (perawatan) perilaku Abnormal Secara Lintas Budaya
Dalam dua dekade yang lalu, telah muncul hasil-hasil riset yang menunjukkan bahwa
klien secara cultural berbeda tidak sesuai dilayani dengan metode treatmen yang
tradisional.
3. Menolak versus menerima informasi tentang kesehatan
Dalam merespon serangan informasi tentang kesehatan yang bertubi-tubi dari TV,
Koran-koran, majalah, internet, dan petugas media, orang-orang cenderung hanya
menerima sebagian saja.Kalaupun mereka menerima informasi-informasi itu secara
sepenuhnya, bukan berarti tingkah laku mereka juga berubah sejalan dengan
informasi yang mereka terima.
Salah satu penyebabnya adalah faktor afektif yang terkandung dalam pesan-pesan
kesehatan.Contohnya adalah kampanye billboard di mana sebuah peti mati
digambarkan bersama-sama dengan tulisan hitam yang berbunyi, “MEROKOK
DAPAT MEMBUNUH ANDA”.
Dengan cara yang sama, merenungkan tentang sesuatu yang menakutkan seperti
kanker payudara dapat mengaktifkan mekanisme pertahanan yang akan mengganggu
kemampuan perempuan untuk menaruh perhatian terhadap sebuah pesan tentang
deteksi awal, pesan untuk mengingat bahayanya, dan tentang tindakan apa yang
sebaiknya di ambil (Miller, 1997).

Terapi Berbasis Budaya/Adat (Indigenous Healing)


Perubahan demografi di Amerika Serikat akibat meningkatnya jumlah etnik mioritas
yang bermigrasi ke Barat, meningkatkan minat terhadap terapi berbasis adat
(indigenous healing).Indigenous healing meliputi kepercayaan penyembuhan /terapi
dan praktek-praktek terapi yang berakar dalam kebudayaan tertentu. Dengan kata
lain, kepercayaan dan praktek ini tidak diimpor dari budaya luar melainkan sudah
terdapat dalam budaya tersebut dan digunakan untuk menyembuhkan penduduk asli
(Sue & Sue, 1999). Banyak metode penyembuhan adat sangat berbeda dari gagasan-
gagasan Barat.Misalnya, berakar dalam agama dan spiritualitas, bukannya ilmu
biomedis. Terdapat kesamaan praktek-praktek adat di 16 negara-negara non-Barat
(Lee & Mountcastle, 1992), yaitu (1) ketergantungan pada keluarga dan jaringan
masyarakat baik sebagai konteks dan instrumen untuk pengobatan, (2) penggabungan
tradisional, spiritual, dan keyakinan keagamaan sebagai bagian dari perawatan-
misalnya, membaca ayat-ayat Quran, memulai pengobatan dengan doa, atau
melakukan perawatan di rumah-rumah agama atau gereja; dan (3) penggunaan dukun
dalam pengobatan (Yeh et all, 2002).
Review oleh sekelompok psikolog konseling telah mengidentifikasi beberapa
penyembuhan adat seperti Reiki, Chikung, Prana, dan Ho’oponopono (Yeh et all,
2004; Matsumoto &Juang, 2008). Reiki mengacu pada energi kehidupan “universal”
dan merupakan praktik di Jepang untuk relaksasi, mengurangi stres, dan
mempercepat penyembuhan.Dalam terapi Reiki, energi kehidupan digunakan untuk
penyembuhan dengan menyeimbangkan fisik, emosional, mental, dan spiritual.
Chikung mengacu pada “aliran udara” atau “energi vital” dan merupakan metode
Cina yang menekankan pernapasan, gerakan, dan postur fisik untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan seseorang. Prana mengacu pada “kekuatan hidup” dan
penyembuhan prana didasarkan pada prinsip bahwa penyembuhan adalah mungkin
dengan meningkatkan gaya hidup sehat pada bagian dari tubuh jasmani.
Ho’oponopono merupakan indigenous healing dari Hawai, yang berarti “meletakkan
dengan benar, membuat benar, membenarkan”.Dalam konteks budaya, ho’oponopono
adalah usaha memulihkan dan mempertahankan hubungan baik antara keluarga dan
kekuatan supranatural (Sue&Sue, 2003).
Asumsi dasar dalam indigenous healing adalah holistic, interkoneksi
(keterhubungan), dan harmoni (keseimbangan) (Sue&Sue, 2003).Terapi adat
mendukung gagasan holistik bahwa kesehatan fisik terkait dengan emosional, mental,
dan kesehatan rohani.Berlawanan dengan konsep isolasi, perpisahan, dan
individualism yang menjadi ciri budaya Barat, kebanyakan budaya non-Barat
menekankan pandangan holistic yang menjadikan perbedaan minimal antara fisik dan
fungsi mental dan percaya kesatuan jiwa, tubuh, dan lingkungan.Keterhubungan
bentuk-bentuk kehidupan, lingkungan dan kosmos sudah merupakan kodrat.Dengan
demikian mereka membuat konsep yang berbeda tentang realitas.Dalam banyak
budaya, perilaku otonomi dan independen merupakan masalah karena menimbulkan
disharmoni dalam kelompok.Sakit, penderitaan, atau perilaku bermasalah merupakan
akibat dari ketidakseimbangan dalam hubungan individu, disharmoni antara individu
dengan kelompoknya, atau kurang sinkron dengan kekuatan internal atau
eksternal.Harmoni dan keeimbangan menjadi tujuan terapi.
Saat ini terjadi pergerakan besar di beberapa negara dan budaya untuk
menggabungkan aspek tradisional psikoterapi dengan metode dan keyakinan yang
berbasis budaya untuk menghasilkan sistem terapi yang unik.Sebagai contoh, Sato
(1998) menunjukkan bahwa terapi adat digabung dengan aspek terapi kognitif dan
perilaku kontemporer telah memberikan hasil efektif. Penulis lainnya menyatakan
metode tradisional psikoterapi harus berbaur dengan budaya dan mengakomodasi isu-
isu spesifik, doktrin karma dan reinkarnasi di India; masalah dekulturasi,
keterasingan, ketidakpercayaan, dan putus asa di antara Native-American dan Native-
Alaska; masalah perwalian, jaringan sosial, dan dukungan sosial di Shanghai; dan
interaksi spiritual, emosional / mental, fisik, dan kesehatan keluarga di Selandia Baru
Maori (Durie, 1997). Prince berpendapat yang umum untuk pengobatan lintas-budaya
adalah mobilisasi kekuatan dalam penyembuhan klien. Misalnya, penduduk asli
Amerika percaya bahwa penyakit akibat dari ketidakharmonisan sendiri, masyarakat,
dan alam, dan pengobatan harus menyelaraskan ketidakharmonisan dan memulihkan
keseimbangan dan integrasi.

J. Bias Psikodiagnostik
Latar belakang kultural dari professional dapat mempengaruhi persepsinya
tentang perilaku yang berbeda. Psikolg kemungkinan besar punya persepsi sendiri
dan juga atribusi tentang hubungan antara kultur,etnis,dan penyakit mental (Lopez,
1989). Dokter juga diketahui dapat salah mendiagnosis penyakit tertentu karena
perbedaan lintas kultural dalam persepsi, atribusi, dan ekspresi tanda-tanda penyakit.
Spesialis kesehatan mental harus memerhatikan, misalnya, arti penting jarak
sosial antara pasien mereka dengan dirinya sendiri di antara kelompok kultural yang
berbeda. Bahkan cara kita mengamati abnormalitas mungkin dipengaruhi oleh status
sosial kita, dan fenomena ini telah lama diperhatikan sejak lama. Misalnya, telah
ditunjukan bahwa perbedaan substansial dalam gejal psikologis antara kelompok
status tinggi dan status rendah di pasukan Austro-Hongaria pada 1914 dipengaruhi
oleh fakta bhwa kebanyakan pengamat psikiatris merupakan kalangan yang memiliki
status tinggi (Murphy,1982).
Contoh ilustrasi bias diagnostik dalam setting klinik ialah bagaimana
keyakinan terapi dan ekpektasi mungkin mendorong mereka untuk “melihat”
psikopatologi. Misalkan anda diminta seorang terapis untuk menjelaskan makna
perilaku yang mungkin ditunjukkan klien saat untuk menjalani jadwal sesi terapi.Mari
kita bayangkan terapis ini melihat dunia psikopatologi melalui skema saringan
kulturalnya. Ahli terapi itu dengan tenang dan percaya diri memberi interpretasi
berikut ini kepada Anda:
Jika pasien datang lebih awal sebelum jadwal, maka dia cemas. Jika dia telat, maka ia
memusuhi. Jika tepat waktu, maka ia kompulsif.
Anekdot bias yang tampak cerdas dalam psikoanalisi ini sudah dikenal sejak
1930-an. Meski dimaksudkan untuk lelucon, ia menunjukan sesuatu yang bakal
terjadi di masa depan. Ini bukan ilustrasi humor tentang pemikiran “non-kritis”; ia
juga mengungkapkan cerita muram yang memberi peringatan pada kita akan bahaya
dari skema yang menyebabkan-dan bahkan mendorong-setiap perilaku manusia
dikategorikan ke dalam satu atau beberapa kategori patologis.
Seperti telah kami tunjukkan sebelumnya, beberapa spesialis skeptis terhadap
daya aplikasi kriteria diagnostik Barat pada kultur lain, dan vice versa. Mereka
menegaskan bahwa distress dialami dan dimanifestasikan melalui banyak cara
kultural. Kultur berbeda mungkin mendorong atau menghambat pelaporan unsur
psikologis atau fisiologis dari respon stress (Draguns, 1996). Selain itu, di beberapa
kultur, mimpi buruk yang berkepanjangan dianggap sebagai fenomena spiritual dan
supranatural, sedangkan kultur lain mmungkin menganggapnya sebagai indicator dari
gangguan mental atau penyakit fisik (DSM-IV,h.581)
Beberapa gangguan yang spesifik di kultur tertentu adalah sulit untuk
diinterpetasikan dalam term klasifikasi nasional. Kelemahan neurologis , yang biasa
di diagnosis di Cina, mencakup gejala lemas, kelatihan, sakit kepala, dan keluhan
gastrointestinal (Tung,1994). Penilaian diagnostik Barat terhadap pasien dengan
gangguan ini bervariasi sesuai prosedur diagnostic yang dipakai (Kleinman,1986)
Beberapa gejala dapat konsisten di antara sampel Negara yang berbeda. Studi
di Rusia yang dilakukan oleh V. Ruckin, D. Sukhodolsy, dan rekannya (2007)
menunjukkan bahwa pravelansi rata-rata gangguan kurang perhatian atau
hipersensitivitas adalah sama dengan rata-rata di banyak Negara lain. Studi terhadap
gangguan kultural-spesifik menunjukkan bahwa kultur berbeda memilki label spesifik
untuk gangguan perilaku. Sindrom yang terkait kultur menentang setiap kategorisasi
universal karena adanya suatu gangguan mental memiliki elemen yang khas untuk
kultur tertentu (Tanak-Matsumi & Draguns,1997). Namun, bagaimanapun Anda
mendeskripsikan problem, ia akan tampak sebagai gejala maladaptif dan gejala
tekanan, sebagai ketidakmampuan mengatasi situasi yang menekan. Kunci
keberhasilan dalam praktik diagnostic adalah mengidentifikasi gejala distress dan
maladaptive secara tepat dan dalam konteks kulturalnya.
Menurut Lopez (1989), ada dua tipe eror yang mungkin terjadi dalam
melakukan pemeriksaan klinis, yaitu overpathologizing dan underpathologizing.
Overpathologizing bisa terjadi karena pemeriksa tidak memahami latar belakang
budaya klien, sehingga menyebabkannya salah menilai perilaku klien sebagai sesuatu
yang abnormal.Padahal, dalam budaya klien tersebut perilakunya bisa saja dianggap
normal.Sementara itu, underpathologizing terjadi saat pemeriksa tanpa pandang bulu
menjelaskan perilaku klien sebagai bagian dari budaya. Misalnya perilaku
menghindar dan ekspresi emosi klien yang datar dianggap sebagai gaya komunikasi
kultural yang lumrah ketika pada kenyataannya perilaku tersebut merupakan gejala
dari depresi
K. Psikoterapi
Jika setting kultur yang berbeda dapat mempengaruhi praktik diagnostic, kita
dapat berasumsi bahwa kultur mungkin juga berperan penting dalam Psikoterapi,
yakni perawatan gangguan psikologi melalui cara-cara psikologis, umumnya
menggunakan interaksi verbal dengan terpais professional. Riset menunjukkan,
misalnya, banyak program rehabilitasi dan pencegahan penyalahgunaan obat yang
didesain untuk kategori sosial dan etnis tertentu (kulit putih kelas menengah) dapat
diaplikasikan ke kategori etnis dan sosial lainnya. Dalam kultur yang toleran dan
suportif (dan di komunitas dan keluarga yang mendukung), individu dengan
gangguan mental berfungsi lebih baik ketimbang yang tinggal di lingkungan yang
tidak mendukung. Di Jepang pasien depresi dapat meminta tolong orang lain untuk
mebuat keputusan. Di kultur AS, pasin depresi lebih mengandalkan pada keputusan
individual dan karenanya lebih tampak menghindar dan menunjukan harga diri yang
rendah ketimbang pasien yang berasal dari Jepang. (Rad-ford et.al., 1991). Juga telah
ditunjukkan oleh studi World Health Organization (1979) bhwa pasie dari kultur
kolektivis cenderung memilki prognosis yang lebih baik untuk schizophrenia,
sedangkan pasien dari kultur individualis menunjukkan lebih sedikit tanda-tanda
perbaikan. (Tanaka-Matsumi&Draguns,1997)
Kelompok etnis yang berbeda dapat memilki sikap berbeda-beda terhadap
layanan kesehatan mental. Beberapa studi mengimplikasikan bahwa orang Meksiko-
Amerika lebih kecil kemungkinannya menggunakan layanan bantuan psikologis
ketimbang kelompok etnis lain. Hanya 50% dari orang hispanik penderita gangguan
mental yang benar-benar memanfaatkan layanan kesehatan mental, dibandingkan
orang kulit putih non-hispanik yang mencapai 70%.Orang Asia-Amerika juga lebih
sedikit menggunakan layanan perawatan. Orang Afrika-Amerika dan Indian asli
Amerika menggunakan layanan pada level yang sedikit lebih tinggi ketimbang orang
kulit putih .Beberapa studi menemukan bahwa pasien dari kelompok etnis minoritas
lebih cenderung meninggalkan perawatan sebelum sembuh ketimbang kelompok
pasien kulit putih.Banyak factor memberikan kontribusi pada tendensi di
atas.Misalnya, apakah tenaga di layanan kesehtana mental itu berasal dari kelompok
anggota minoritas atau tidak, bisa fasih bahasa pasien atau tidak.Namun, perbedaan
tingkat drop-out yang bervariasi di kalangan berbagai kelompok etnis ini tampaknya
tidak signifikan secara statistik.
Banyak psikolog dewasa ini berpendapat bahwa professional dapat
menggunakan agama untuk meleng kapi psikoterapi. Orag yang berpaling ke Tuhan
untuk mendapatkan kekuatan dan harapan sebenarnya sama artinya berpaling kepada
kekuatan dirinya yang bisa membantu pada masa sulit dan sakit. Intervensi terapi
dengan penyembuhan spiritual mulai popular.Studi menunjukkan, spiritual yang
menyeluruh dapat membantu meningkatkan kualitas hidup karena perasaan itu
membantu individu menghadapi kesulitan.Individu yang lebih renligius memilki
kekuatan batin yang lebih besar untuk melakukan adaptasi dan hasil yang positif.
Secara keseluruhan, temuan studi baru-baru ini cukup konsisten dengan literature
yang mengindikasikan bahwa spritualitas secara historis memilki mekanisme penting
yang bisa dipakai orang Afrika-Amerika untuk menghadapi kehidupan yang sulit
(Utsey et al.,2007)7. Suku Indian-Amerika, dibandingkan dengan kelompok lain,
memiliki keyakinan lebih kuat pada praktik penyembuhan tradisional yang alami
(sering didasarkan pada kepercayaan rakyat) meski juga masih m,encari layanan
kesehatan professional. Misalnya, satu studi menemukan sekita 40% remaja dan
orang dewasa Indian –Amerika yang mengalami gangguan depresi atau kecemasan
berusaha mencari jasa dari layanan kesehatan professional, namun 50% dari mereka
mencari dari dukun tradisional (Beals et al.,2005)

L. Kesesuaian Kultural
Banyak faktor dapat mempengauhi penilaian diagnosik terapis.Diantara
faktor-faktor itu ialah latar belakang kultural terapis dan klien.Kita harus selalu
ingat bahwa setiap terapis tidak selalu membuat keputusan yang salah tentang
klien dari latar belakang kultural yang berbeda. Akan tetapi, kesalahan tak jarang
terjadi dan setidaknya ada dua alasan mengapa ada kesalahan ini. Pertama,
beberapa ahli klinis mungkin tidak memahami latar belakang kultural kliennya
dan karenanya menyalahartikan respons mereka. Beberapa klien mengekpresikan
pikiran dan emosi mereka sesuai dengan aturan umum dalam kultur mereka.
Kedua, pengetahuan tren kultural tertentu mungkin kurang kritis dan karenanya
dapat mendistorsi diagnosis.Stereotip dan skema menciptakan ekspektasi tentang
gejala “khas” dari kelompok etnis tertentu.
Kesesuaian kultural, yaitu situasi dimana psikoterapisnya memiliki latar
belakang yang sama dengan kliennya misalnya dari segi etnis kelompok yang
sama, ungkin akan mempengaruhi beberapa perkembangan. Misalnya, jika si
terpais dan kliennnya “cocok” kita bisa memperkirakan durasi psikoterapinya,
mungkin akan lebih lama (Sue,et al,1991). Orang Afrika –Amerika yang
mengalami gejala depresi cenderung didiagnosis secara salah sebagai orang yang
terkena schizophrenia oleh orang profesional non-kulit hitam. Secara umum,
orang yang memililiki latar belakang kultur yang sama dengan pasien akan
menilai fungsi psikologis pasien lebih baik ketimbang dari kultur berbeda.
Meskipun, pendapat umum menyatakan bahwa terapis yang memiliki latar
belakang kultur yang sama dengan klien akan menilai jauh lebih baik, namun
pendapat ini masih belum mendapatkan bukti yang tepat (Karlsson,2005). Masih
banyak dibutuhkan lagi studi-studi. Hasil-hasil ini dapat diinterpretasi dalam
berbagai cara. Tampaknya, kesaamaan kultur terapis dank klien dapat mengurangi
kesalahan diagnosis. Namun apakah kita harus selalu menyesuaikan terapis
dengan klien?Tidak demikian. Sebab ada beberapa penelitian yang menilai bahwa
professional boleh jadi tidak melihat beberapa gejala signifikan dari klien apabila
ia berasal dari kultur yang sama sehingga diagnosanya kutrang akurat (Roussel,et
al 1996).
Faktor potensial yang mungkin mempengaruhi terapi ialah aksen terapis. Jika
dia berbicara bahasa Inggris atau bahasa lainnya dengan aksen yang tidak jelas
tentu itu akan mengganggu keefektivitisan terapi. Dalam terapi perilaku dan
kognitif, sangat dibutuhkan adaptasi bahasa sehingga intruksi dann penjelasan
yang diberikan terapis menjadi lebih relavan dengan pengalaman orang.
Secara umum, konteks terapi harus konsisten dengan kultur klien
(Bemak&Urung,2004,TanakaMatsumi,1989).Misalnya,Kleinman(1978)menawar
kan kerangka untuk interpretasi terapis-pasien agar sukses. Pada awal terapi,
terapis meminta klien untuk memberikan interpretasinya terhadap
problemnya.Kemudian terapis memberi penjelasan problem itu. Lalu, dua macam
pandangan dibandingkan, dank lien beserta terapis menyusun konsep bersama,
sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan bahsa yang sama dan mendiskusikan
terapi dan kemungkinan hasilnya.
Snacken (1991) mendeskripsikan tiga tipe terapi antara terapis dank lien yang
mempresentasikan kultur berbeda. Terapi intercultural adalah terapi di mana
professional tahu bahasa dan kultur klien (bisa jadi satu kelompok kultur yang
sama), Terapi bicultural terdiri dari dua tipe penyembuh; spesialis barat dan local
bekerja sama. Terapi polikultural adalah dengan mempertemukan pasien dengan
beberapa terapis yang berasal dari berbagai kultur yang berbeda-beda.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Sedangkan, Abnormalitas merupakan keadaan yang
tidak sejahtera fisik, mental, dan sosial, secara penuh, yang ditandai oleh
beberapa kriteria yang dapat menentukan abnormalitas seperti, kejarangan
statistik, pelanggaran norma, distress pribadi, disabilitas/disfungsi perilaku,
dan respon yang tidak diharapkan.
Budaya mengambil peran penting dalam menetapkan sesuatu menjadi
hal yang abnormal dalam suatu tempat.Dengan demikian, dalam melakukan
diagnosa dan nantinya untuk psikoterapi yang akan dilakukan, sangat penting
untuk melihat terlebih dahulu kultur budaya seseorang yang dianggap
abnormal. Karena konteks budaya adalah bagian dari tradisi moral yang
tertanam dalam struktur politik, psikoterapi itu sendiri tak terhindarkan
menjadi praktik moral dengan konsekuensi politik yang tertanam dalam
kerangka budaya

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, D dan Juang, L (2008).Culture and Psychology (4th edition). Australia:
Thomson Wadsworth.
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka
Belajar
Sarwono, W.S. 2016.Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Shiraev Eric B, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.Storey, John., (2003)

Tuwo, Andreas Gerry. 27 Juni 2015. “Amerika Resmi Legalkan Pernikahan Seksual”.
Diakses pada tanggal 19 Desember 2016.
http://global.liputan6.com/read/2260632/amerika-resmi-legalkan-pernikahan-sejenis.

Anda mungkin juga menyukai