DISUSUN OLEH:
A.DIAN MAGHFIRAH (1571041027)
APRILIA ISLAMIYANTI KUSUMANINGRUM (1571041029)
NURFAIDAH ARDIS(1571041030)
ANDI RESKINTHA ASHARI (1571042037)
ARNITA SARI(1571041045)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2016 / 2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang Psikologi Lintas Budaya yang berkaitan dengan Budaya dan Gangguan
Abnormal yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “KAITAN BUDAYA
DAN GANGGUAN ABNORMAL” yaitu mengenai bagaimana gangguan abnormal
dipandang oleh berbagai budaya yang ada di dunia, baik itu dari variasi gejala,
interpretasi,dan asessmen, terapi, hingga permasalahan diagnostik yang muncul.
Walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang
cukup jelas bagi pembaca. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen
mata kuliah Pendidikan Pancasila yang telah membimbing penyusun agar dapat
mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun makalah ini. Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Walaupun makalah ini
memiliki banyak kekurangan.Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Peneltitian
D. Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendapat tentang Kultur dan Psikopatologi
B. Pandangan tradisional tentang abnormal
C. Ekspresi abnormalitas di berbagai budaya
D. Sindrom yang terkait dengan kultur
E. Gejala sentral dan peripheral : hasil debat antara universalis dan relativis
F. Gangguan depresi dan variasi kultural
G. Skizofrenia dan variasi kultural
H. Gangguan kecemasan dan variasi kultural
I. Gangguan kepribadian
J. Penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku abnormal di ber bagai budaya
K. Bias psikodiagnostik
L. Psikoterapi
M. Kesesuaian kultural
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Adapun perumusan masalah makalah ini dapat kami jabarkan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Kultur dan Psikopatologi ?
2. Bagaimana Ekspresi abnormalitas di berbagai budaya?
3. Apa saja sindrom yang terkait dengan kultur ?
4. Apa perbedaan dari Gejala sentral dan peripheral dan bagaimana para ahli
memandangnya?
5. Bagaimana variasi kultural memandang Gangguan depresi?
6. Bagaimana variasi kultural memandang Skizofrenia ?
7. Bagaimana variasi kultural memandangGangguan kecemasan?
8. Bagaimana variasi kultural memandangGangguan kepribadian ?
9. Bagaimana Penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku abnormal yang
dilakukan di berbagai budaya ?
10. Mengapa bisa terjadi bias psikodiagnostik ?
11. Bagaimana budaya dapat mempengaruhi Psikoterapi ?
12. Perlukah untuk melakukan Kesesuaian kultural dalam asessmen?
C. Tujuan
Tujuan ditulisnya makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan budaya dan psikopatologi.
2. Untuk mengetahui bagaimana ekspresi abnormalitas di berbagai budaya.
3. Untuk mengetahui apa saja sindrom yang terkait dengan kultur.
4. Untuk mengetahui perbedaan gejala sentral dan gejala peripheral.
5. Untuk mengetahui bagaiaman depresi dipandang di berbagai kultural.
6. Untuk mengetahui bagaiamana Skizofrenia dipandang di berbagai kultural
7. Untuk mengetahui bagaiaman gangguan kecemasan dipandang di berbagai
kultural.
8. Untuk mengetahui bagaiaman gangguan kepribadian dipandang di berbagai
kultural.
9. Untuk mengetahui bagaimana penjangkaan / asessmen dan perwatan perilaku
abnormal yang dilakukan di berbagai budaya.
10. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya psikodiagnostik.
11. Untuk mengetahui bagaimana budaya mempengaruhi psikoterapi.
12. Untuk mengetahui apakah perlu untuk menyesuaikan budaya dalam assesmen.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan secara
teoritis dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang Psikologi Lintas Budaya.
Makalah ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran serta kontribusi
bagi Psikologi Lintas Budaya.
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan mampu membuka pemahaman tentang
Budaya dan abnormalitas, serta dapat menjadi referensi bagi pembuatan
makalah selanjutnya yang ingin mengkaji hal-hal yang mengenai Budaya dan
Abnormalitas.
BAB II
ISI
Perilaku yang dianggap normal pada satu budaya, mungkin saja dianggap
abnormal pada budaya lain. Halusinasi (mendengar atau melihat sesuatu yang
sebenarnya tidak ada) merupakan suatu pengalaman yang biasa di antara
masyarakat Aborigin, Australia, namun umumnya dianggap sebagai suatu tanda
abnormalitas dalam budaya kita.Masyarakat Aborigin percaya bahwa mereka
dapat berkomunikasi dengan roh nenek moyang mereka dan pengalaman tersebut
dirasakan bersama di antara mereka, khususnya keluarga dekat.keyakinan serupa
dianggap sebagai delusi di budaya barat.Pada budaya barat, halusinasi dan delusi
dianggap sebagai ciri-ciri skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan psikologis yang memiliki karakteristik
munculnya delusi (waham), halusinasi, pembicaraan dan perilaku yang kacau
(disorganized), (Shiraev & Levy, 2010). WHO pada tahun 1960-an dan 1970-an
menunjukkan bahwa pola perilaku yang dikarakteristikkan sebagai skizofrenia
muncul di negara-negara seperti Columbia, India, Cina, Denmark, Nigeria dan
Uni Soviet, di antara lainnya (Jablensky dkk. 1992). Tingkat prevalensi dan
karakteristik umum skizofrenia secara aktual hampir sama pada semua negara
yang diteliti. Namun, sejumlah perbedaan tampak terdapat dalam karakteristik
khusus skizofrenia antarbudaya (Thakker & Ward, 1998).Di Columbia, India, dan
Nigeria, skizofrenia lebih cepat sembuh dibandingkan di Inggris, Amerika,
ataupun Uni Soviet.Hal ini karena di negara-negara Timur, pasien lebih banyak
mendapatkan dukungan keluarga, kerabat, dan masyarakat.Dukungan sosial ini
membuat pasien lebih cepat dapat berfungsi normal dan menjalankan perannya
dalam kehidupan sehari-hari.hal ini menyebabkan prognosis pasien skizofrenia di
Timur lebih baik dibandingkan pasien di Barat (Matsumoto & Juang, 2004).
Sementara itu, pasien skizofrenia di Amerika jarang sekali menunjukkan
kekurangmampuan menemukan insight dari masalah yang dialami dibandingkan
pasien di Denmark dan Nigeria.Pasien di Amerika lebih sedikit menunjukkan
halusinasi pendengaran dibandingkan pasien di Denmark dan Nigeria.Hal ini
tampaknya disebabkan oleh perbedaan budaya, di mana orang Amerika lebih
menghargai insight dan kemawasan diri dibandingkan orang dari budaya lain
(Matsumoto & Juang, 2004).
Para psikolog terutama fokus pada dua asumsi dasar yang berkaitan dengan
manifestasi dan diagnosis gangguan ini. Pertama adalah hipotesis tentang ciri
kepribadian yang terkait kultur spesifik yang menonjol di beberapa kelompok
kultural dan kurang menonjol di kelompok kultur lain. Menurut pendapat ini,
kesamaan dalam strategi coping menyebabkan berkembangnya ciri yang serupa
pada diri individu yang termasuk dalam kelompok kultural yang sama. Sebagai
misal, kesadaran dan kebiasaan disiplin diri telah ditanamkan di kultur Jerman
selama bertahun-tahun. Karena itu, ada banyak orang yang dibesarkan di Jerman
yang mengembangkan kepribadian yang sesuai dengan sikap disiplin diri dan
sadar diri. Selain itu, jika seseorang dilahirkan di luar Jerman tetapi dibesarkan
disana, orang ini akan kemungkinan besar akan mengembangkan kepribadian
yang sama. Jika hipotesis ini benar, maka akan ada probabilitas statistik yang
tinggi dari kemunculan gejala gangguan kepribadian obsesif-kompulsif. Dengan
kata lain, gejala ini akan ditemukan lebih sering di temukan di Jerman ketimbang
di negara lain yang kondisi kulturalnya menanamkan sifat personalitas yang
berbeda.
Asumsi kedua adalah bahwa ada situasi sosial dan kultural spesifik yang
menentukan pandangan kita, berfungsi sebagai semacam “filter” atau saringan
untuk evaluasi kepribadian dan gangguan kepribadian. Beberapa sifat ini dapat
dilihat sebagai umum dan “standar” dari sudut pandang atau negara tertentu,
tetapi dapat dianggap berlebihan dan bahkan tidak normal (jika sesuai kriteria
mereka) dari sudut pandang kultural lainnya. Misalnya, jika seorang wanita dari
kultur tradisional tidak sering keluar di tempat umum, lebih menyukai aktivitas di
dalam rumah, tidak punya hubungan dekat dengan orang kecuali dengan anggota
keluarga dan kerabat, dan tampak “dingin” dan tidak emosional dalam bercakap-
cakap dengan periset, karakteristik ini tidak boleh dianggap sebagai tanda
gangguan kepribadian schizoid. Perilakunya harus dinilai dari konteks kultur yang
lebih luas, yang memuat aturan gender tertentu, atau aturan perilaku bagi pria dan
wanita. Karena itu, beberapa gejala gangguan kepribadian di DSM-IV dapat
dianggap tidak berlebihan, bukan patologis, atau bahkan normal di dalam setting
kultural tertentu.Jadi, sensivitas kultural itu penting saat hendak mengaplikasikan
diagnosis berbasis DSM ke individu dari lingkungan kultural yang berbeda.
Saat muncul psikologi ilmiah, ada banyak teori stereotip tentang prevalensi
personalitas di satu kelompok kultural atau bangsa.Asumsi paling populer
contohnya ialah tentang adanya perbedaan substansial antara tipe individu Timur
dan Barat.Tipe orang barat suka nalar dan jarang menggunakan intuisi atau emosi,
yang lebih banyak dijumpai di kalangan orang Timur.Tipe Barat adalah
terbuka.Dan sebaliknya tipe orang Timur adalah introver (Kleinman &
Kleinmann, 1991). Tipe kepribadian tertentu dapat memberi kontribusi pada cara
mengatasi masalah dalam suatu kondisi kultural, sedangkan tipe lainnya mungkin
menghambat upaya mengatasi masalah. Misalnya, perilaku menghindar. Di Cina,
relasi antar-sesama orang biasanya didasarkan pada tradisi saling membantu, atau
dalam istilah Barat dinamakan hubungan resiprokal berdasarkan norma moral.
Jika seseorang dalam situasi tertentu dianggap tidak bisa memberi bantuan, ia bisa
ternoda reputasinya dan merasa malu. Karena itu, menyelamatkan muka, orang itu
umumnya mengembangkan tendensi menghindar karena penghindaran dianggap
sebagai tak terlalu memalukan ketimbang ketidakmampuan melakukan tindakan
sosial yang tepat.Individu yang berasal dari luar konteks sosial ini mungkin
menganggap perilaku itu sebagai gejala gangguan perilaku menghindarkan.
Demikian pula, bukan hal aneh jika anak muda dari Yunani mencari bantuan
(baik emosi maupun finansial) dari orang tuanya sampai usia 30 tahun. Akan
tetapi, dari perspektif pengamat asing hal itu mungkin dianggap sebagai bentuk
gangguan kepribadian dependen (Fountoulakis et al., 2002).
J. Bias Psikodiagnostik
Latar belakang kultural dari professional dapat mempengaruhi persepsinya
tentang perilaku yang berbeda. Psikolg kemungkinan besar punya persepsi sendiri
dan juga atribusi tentang hubungan antara kultur,etnis,dan penyakit mental (Lopez,
1989). Dokter juga diketahui dapat salah mendiagnosis penyakit tertentu karena
perbedaan lintas kultural dalam persepsi, atribusi, dan ekspresi tanda-tanda penyakit.
Spesialis kesehatan mental harus memerhatikan, misalnya, arti penting jarak
sosial antara pasien mereka dengan dirinya sendiri di antara kelompok kultural yang
berbeda. Bahkan cara kita mengamati abnormalitas mungkin dipengaruhi oleh status
sosial kita, dan fenomena ini telah lama diperhatikan sejak lama. Misalnya, telah
ditunjukan bahwa perbedaan substansial dalam gejal psikologis antara kelompok
status tinggi dan status rendah di pasukan Austro-Hongaria pada 1914 dipengaruhi
oleh fakta bhwa kebanyakan pengamat psikiatris merupakan kalangan yang memiliki
status tinggi (Murphy,1982).
Contoh ilustrasi bias diagnostik dalam setting klinik ialah bagaimana
keyakinan terapi dan ekpektasi mungkin mendorong mereka untuk “melihat”
psikopatologi. Misalkan anda diminta seorang terapis untuk menjelaskan makna
perilaku yang mungkin ditunjukkan klien saat untuk menjalani jadwal sesi terapi.Mari
kita bayangkan terapis ini melihat dunia psikopatologi melalui skema saringan
kulturalnya. Ahli terapi itu dengan tenang dan percaya diri memberi interpretasi
berikut ini kepada Anda:
Jika pasien datang lebih awal sebelum jadwal, maka dia cemas. Jika dia telat, maka ia
memusuhi. Jika tepat waktu, maka ia kompulsif.
Anekdot bias yang tampak cerdas dalam psikoanalisi ini sudah dikenal sejak
1930-an. Meski dimaksudkan untuk lelucon, ia menunjukan sesuatu yang bakal
terjadi di masa depan. Ini bukan ilustrasi humor tentang pemikiran “non-kritis”; ia
juga mengungkapkan cerita muram yang memberi peringatan pada kita akan bahaya
dari skema yang menyebabkan-dan bahkan mendorong-setiap perilaku manusia
dikategorikan ke dalam satu atau beberapa kategori patologis.
Seperti telah kami tunjukkan sebelumnya, beberapa spesialis skeptis terhadap
daya aplikasi kriteria diagnostik Barat pada kultur lain, dan vice versa. Mereka
menegaskan bahwa distress dialami dan dimanifestasikan melalui banyak cara
kultural. Kultur berbeda mungkin mendorong atau menghambat pelaporan unsur
psikologis atau fisiologis dari respon stress (Draguns, 1996). Selain itu, di beberapa
kultur, mimpi buruk yang berkepanjangan dianggap sebagai fenomena spiritual dan
supranatural, sedangkan kultur lain mmungkin menganggapnya sebagai indicator dari
gangguan mental atau penyakit fisik (DSM-IV,h.581)
Beberapa gangguan yang spesifik di kultur tertentu adalah sulit untuk
diinterpetasikan dalam term klasifikasi nasional. Kelemahan neurologis , yang biasa
di diagnosis di Cina, mencakup gejala lemas, kelatihan, sakit kepala, dan keluhan
gastrointestinal (Tung,1994). Penilaian diagnostik Barat terhadap pasien dengan
gangguan ini bervariasi sesuai prosedur diagnostic yang dipakai (Kleinman,1986)
Beberapa gejala dapat konsisten di antara sampel Negara yang berbeda. Studi
di Rusia yang dilakukan oleh V. Ruckin, D. Sukhodolsy, dan rekannya (2007)
menunjukkan bahwa pravelansi rata-rata gangguan kurang perhatian atau
hipersensitivitas adalah sama dengan rata-rata di banyak Negara lain. Studi terhadap
gangguan kultural-spesifik menunjukkan bahwa kultur berbeda memilki label spesifik
untuk gangguan perilaku. Sindrom yang terkait kultur menentang setiap kategorisasi
universal karena adanya suatu gangguan mental memiliki elemen yang khas untuk
kultur tertentu (Tanak-Matsumi & Draguns,1997). Namun, bagaimanapun Anda
mendeskripsikan problem, ia akan tampak sebagai gejala maladaptif dan gejala
tekanan, sebagai ketidakmampuan mengatasi situasi yang menekan. Kunci
keberhasilan dalam praktik diagnostic adalah mengidentifikasi gejala distress dan
maladaptive secara tepat dan dalam konteks kulturalnya.
Menurut Lopez (1989), ada dua tipe eror yang mungkin terjadi dalam
melakukan pemeriksaan klinis, yaitu overpathologizing dan underpathologizing.
Overpathologizing bisa terjadi karena pemeriksa tidak memahami latar belakang
budaya klien, sehingga menyebabkannya salah menilai perilaku klien sebagai sesuatu
yang abnormal.Padahal, dalam budaya klien tersebut perilakunya bisa saja dianggap
normal.Sementara itu, underpathologizing terjadi saat pemeriksa tanpa pandang bulu
menjelaskan perilaku klien sebagai bagian dari budaya. Misalnya perilaku
menghindar dan ekspresi emosi klien yang datar dianggap sebagai gaya komunikasi
kultural yang lumrah ketika pada kenyataannya perilaku tersebut merupakan gejala
dari depresi
K. Psikoterapi
Jika setting kultur yang berbeda dapat mempengaruhi praktik diagnostic, kita
dapat berasumsi bahwa kultur mungkin juga berperan penting dalam Psikoterapi,
yakni perawatan gangguan psikologi melalui cara-cara psikologis, umumnya
menggunakan interaksi verbal dengan terpais professional. Riset menunjukkan,
misalnya, banyak program rehabilitasi dan pencegahan penyalahgunaan obat yang
didesain untuk kategori sosial dan etnis tertentu (kulit putih kelas menengah) dapat
diaplikasikan ke kategori etnis dan sosial lainnya. Dalam kultur yang toleran dan
suportif (dan di komunitas dan keluarga yang mendukung), individu dengan
gangguan mental berfungsi lebih baik ketimbang yang tinggal di lingkungan yang
tidak mendukung. Di Jepang pasien depresi dapat meminta tolong orang lain untuk
mebuat keputusan. Di kultur AS, pasin depresi lebih mengandalkan pada keputusan
individual dan karenanya lebih tampak menghindar dan menunjukan harga diri yang
rendah ketimbang pasien yang berasal dari Jepang. (Rad-ford et.al., 1991). Juga telah
ditunjukkan oleh studi World Health Organization (1979) bhwa pasie dari kultur
kolektivis cenderung memilki prognosis yang lebih baik untuk schizophrenia,
sedangkan pasien dari kultur individualis menunjukkan lebih sedikit tanda-tanda
perbaikan. (Tanaka-Matsumi&Draguns,1997)
Kelompok etnis yang berbeda dapat memilki sikap berbeda-beda terhadap
layanan kesehatan mental. Beberapa studi mengimplikasikan bahwa orang Meksiko-
Amerika lebih kecil kemungkinannya menggunakan layanan bantuan psikologis
ketimbang kelompok etnis lain. Hanya 50% dari orang hispanik penderita gangguan
mental yang benar-benar memanfaatkan layanan kesehatan mental, dibandingkan
orang kulit putih non-hispanik yang mencapai 70%.Orang Asia-Amerika juga lebih
sedikit menggunakan layanan perawatan. Orang Afrika-Amerika dan Indian asli
Amerika menggunakan layanan pada level yang sedikit lebih tinggi ketimbang orang
kulit putih .Beberapa studi menemukan bahwa pasien dari kelompok etnis minoritas
lebih cenderung meninggalkan perawatan sebelum sembuh ketimbang kelompok
pasien kulit putih.Banyak factor memberikan kontribusi pada tendensi di
atas.Misalnya, apakah tenaga di layanan kesehtana mental itu berasal dari kelompok
anggota minoritas atau tidak, bisa fasih bahasa pasien atau tidak.Namun, perbedaan
tingkat drop-out yang bervariasi di kalangan berbagai kelompok etnis ini tampaknya
tidak signifikan secara statistik.
Banyak psikolog dewasa ini berpendapat bahwa professional dapat
menggunakan agama untuk meleng kapi psikoterapi. Orag yang berpaling ke Tuhan
untuk mendapatkan kekuatan dan harapan sebenarnya sama artinya berpaling kepada
kekuatan dirinya yang bisa membantu pada masa sulit dan sakit. Intervensi terapi
dengan penyembuhan spiritual mulai popular.Studi menunjukkan, spiritual yang
menyeluruh dapat membantu meningkatkan kualitas hidup karena perasaan itu
membantu individu menghadapi kesulitan.Individu yang lebih renligius memilki
kekuatan batin yang lebih besar untuk melakukan adaptasi dan hasil yang positif.
Secara keseluruhan, temuan studi baru-baru ini cukup konsisten dengan literature
yang mengindikasikan bahwa spritualitas secara historis memilki mekanisme penting
yang bisa dipakai orang Afrika-Amerika untuk menghadapi kehidupan yang sulit
(Utsey et al.,2007)7. Suku Indian-Amerika, dibandingkan dengan kelompok lain,
memiliki keyakinan lebih kuat pada praktik penyembuhan tradisional yang alami
(sering didasarkan pada kepercayaan rakyat) meski juga masih m,encari layanan
kesehatan professional. Misalnya, satu studi menemukan sekita 40% remaja dan
orang dewasa Indian –Amerika yang mengalami gangguan depresi atau kecemasan
berusaha mencari jasa dari layanan kesehatan professional, namun 50% dari mereka
mencari dari dukun tradisional (Beals et al.,2005)
L. Kesesuaian Kultural
Banyak faktor dapat mempengauhi penilaian diagnosik terapis.Diantara
faktor-faktor itu ialah latar belakang kultural terapis dan klien.Kita harus selalu
ingat bahwa setiap terapis tidak selalu membuat keputusan yang salah tentang
klien dari latar belakang kultural yang berbeda. Akan tetapi, kesalahan tak jarang
terjadi dan setidaknya ada dua alasan mengapa ada kesalahan ini. Pertama,
beberapa ahli klinis mungkin tidak memahami latar belakang kultural kliennya
dan karenanya menyalahartikan respons mereka. Beberapa klien mengekpresikan
pikiran dan emosi mereka sesuai dengan aturan umum dalam kultur mereka.
Kedua, pengetahuan tren kultural tertentu mungkin kurang kritis dan karenanya
dapat mendistorsi diagnosis.Stereotip dan skema menciptakan ekspektasi tentang
gejala “khas” dari kelompok etnis tertentu.
Kesesuaian kultural, yaitu situasi dimana psikoterapisnya memiliki latar
belakang yang sama dengan kliennya misalnya dari segi etnis kelompok yang
sama, ungkin akan mempengaruhi beberapa perkembangan. Misalnya, jika si
terpais dan kliennnya “cocok” kita bisa memperkirakan durasi psikoterapinya,
mungkin akan lebih lama (Sue,et al,1991). Orang Afrika –Amerika yang
mengalami gejala depresi cenderung didiagnosis secara salah sebagai orang yang
terkena schizophrenia oleh orang profesional non-kulit hitam. Secara umum,
orang yang memililiki latar belakang kultur yang sama dengan pasien akan
menilai fungsi psikologis pasien lebih baik ketimbang dari kultur berbeda.
Meskipun, pendapat umum menyatakan bahwa terapis yang memiliki latar
belakang kultur yang sama dengan klien akan menilai jauh lebih baik, namun
pendapat ini masih belum mendapatkan bukti yang tepat (Karlsson,2005). Masih
banyak dibutuhkan lagi studi-studi. Hasil-hasil ini dapat diinterpretasi dalam
berbagai cara. Tampaknya, kesaamaan kultur terapis dank klien dapat mengurangi
kesalahan diagnosis. Namun apakah kita harus selalu menyesuaikan terapis
dengan klien?Tidak demikian. Sebab ada beberapa penelitian yang menilai bahwa
professional boleh jadi tidak melihat beberapa gejala signifikan dari klien apabila
ia berasal dari kultur yang sama sehingga diagnosanya kutrang akurat (Roussel,et
al 1996).
Faktor potensial yang mungkin mempengaruhi terapi ialah aksen terapis. Jika
dia berbicara bahasa Inggris atau bahasa lainnya dengan aksen yang tidak jelas
tentu itu akan mengganggu keefektivitisan terapi. Dalam terapi perilaku dan
kognitif, sangat dibutuhkan adaptasi bahasa sehingga intruksi dann penjelasan
yang diberikan terapis menjadi lebih relavan dengan pengalaman orang.
Secara umum, konteks terapi harus konsisten dengan kultur klien
(Bemak&Urung,2004,TanakaMatsumi,1989).Misalnya,Kleinman(1978)menawar
kan kerangka untuk interpretasi terapis-pasien agar sukses. Pada awal terapi,
terapis meminta klien untuk memberikan interpretasinya terhadap
problemnya.Kemudian terapis memberi penjelasan problem itu. Lalu, dua macam
pandangan dibandingkan, dank lien beserta terapis menyusun konsep bersama,
sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan bahsa yang sama dan mendiskusikan
terapi dan kemungkinan hasilnya.
Snacken (1991) mendeskripsikan tiga tipe terapi antara terapis dank lien yang
mempresentasikan kultur berbeda. Terapi intercultural adalah terapi di mana
professional tahu bahasa dan kultur klien (bisa jadi satu kelompok kultur yang
sama), Terapi bicultural terdiri dari dua tipe penyembuh; spesialis barat dan local
bekerja sama. Terapi polikultural adalah dengan mempertemukan pasien dengan
beberapa terapis yang berasal dari berbagai kultur yang berbeda-beda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Sedangkan, Abnormalitas merupakan keadaan yang
tidak sejahtera fisik, mental, dan sosial, secara penuh, yang ditandai oleh
beberapa kriteria yang dapat menentukan abnormalitas seperti, kejarangan
statistik, pelanggaran norma, distress pribadi, disabilitas/disfungsi perilaku,
dan respon yang tidak diharapkan.
Budaya mengambil peran penting dalam menetapkan sesuatu menjadi
hal yang abnormal dalam suatu tempat.Dengan demikian, dalam melakukan
diagnosa dan nantinya untuk psikoterapi yang akan dilakukan, sangat penting
untuk melihat terlebih dahulu kultur budaya seseorang yang dianggap
abnormal. Karena konteks budaya adalah bagian dari tradisi moral yang
tertanam dalam struktur politik, psikoterapi itu sendiri tak terhindarkan
menjadi praktik moral dengan konsekuensi politik yang tertanam dalam
kerangka budaya
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, D dan Juang, L (2008).Culture and Psychology (4th edition). Australia:
Thomson Wadsworth.
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka
Belajar
Sarwono, W.S. 2016.Psikologi Lintas Budaya. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Shiraev Eric B, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.Storey, John., (2003)
Tuwo, Andreas Gerry. 27 Juni 2015. “Amerika Resmi Legalkan Pernikahan Seksual”.
Diakses pada tanggal 19 Desember 2016.
http://global.liputan6.com/read/2260632/amerika-resmi-legalkan-pernikahan-sejenis.