Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH BUDAYA PADA ORGANISASI DAN KERJA

A. Persamaan dan perbedaan pemaknaan tentang kerja secara lintas budaya


Budaya berpengaruh pada organisasi khuusnya pada struktur
organissasi dan fungsinya. Demikian juga akaan berpengaruh pada
hubungan antar anggota dalam organisasi dan hubungan antar organisasi.
Orang menafsirkan diri dan eksistensi mereka dalam hubungannya dengan
jerja secara berbeda sesuai denggan budaya masing-masing. Misalnya,
orang-orang yang memiliki budaya kolektivistis cenderung memandang
kelompok kerja dan organisasi tempat mereka bekerja menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari diri mereka. Sementara orang –orang yang
memiliki budaya individualitas cenderung memisahkan dirinya dengan
kerja dan perusahaan dimana mereka bekerja. Sehingga lebih mudah bagi
mereka untuk memisahkan waktu untuk diri sendiri dari kerja atau tugas-
tugas mereka.
Dengen demikian ada perbedaan identifikasi diri seseorang dengan
kerja dan perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja ditinjau dari
budaya. Perbedaan yang mendasar ini akan memiliki akibaat pada spek
lainnya. Sehingga kemungkinan kejadian keluar-masuknya karyawan (turn
over) cenderung kecil karena adanya kewajiban sosial dari individu
terhadap organisasi/instansi tempat bekerja dimana mereka merasa
memiliki dan berkompromi terhadap oraganisasi itu.

B. Budaya dan struktur organisasi


Lammers dan Hickson (1979) mengemukakan adanya tigaa corak
struktur organisasi yang disebutnya sebagai tipe Latin, tipe Anglo-Saxon
dan tipe Dunia Ketiga. Tipe latin memiliki ciri adanya birokrasi klasik
dengan kekuasaan dan pengambila keputusan yang terpusat dan adanya
beberapaa tingkat hirarki. Tipe Anglo-Saxon ditandai kurang terpusat atau
adanya desentralisasi dan kurang adanya hirarki. Tipe Dunia Ketiga
ditandai dengan adanya sentralisasi yang lebih besar dan pengambilan
keputusuan, aturan-aturan yang kurang formal dan orientasi yang lebih
pada paternalistik serta keluarga.
Ahli lain yaitu Robbins (1987) berpendapat bahwa struktur
organisasi dapat dibedakan berdasarkan complexity, formalization, dan
centralization. Complexity mengacu pada derajat dimana
organisasi ,endukung adanya perbedaan tudgas dan aktivitas didalamnya.
Formalization mengacu pada derajat dimana organisasi
melengkapistruktur dan aturan-aturan untuk beroprasi. Centralization
adalah derajat dimana organisasi memutuskan operasi dan kemampuan
pengambilan keputusan pada sejumlah orang tertentu yag terbatas.
Berry, dkk. (1992) menambahkan bahwa ada tiga faktor yang
menentukan bagaimana organisasi menyesuaikan terhadap tida dmensi
tersebut. Faktor tersebut mencakup ukuran organisasi, teknologi yang ada,
sumber-sumber, dan sejarahnya. Namun kenyataannya telaah lintas budaya
menemukan buakan hanya faktor tersebut yang menentukan tapi justru
lebih pada cara pandang atau cara memahami dan cara berinteraksi
seseorang atau masyrakat dengan dunianya dan orang lain, dimana hal ini
sangat dipengaruhi oleh budaya yang telah diinternalisasikannya sejak
lahir.
Berry, dkk. (1992) menemukan adanya korelasi yang keil antara
budaya organisasi dengan sikap dan produktivitas karyawan secara
aktual.pengaruh budaya yang dipelajari sejak dini berpengaruh lebih kuat
pada perkembangan pribadi disbanding pengaruh budaya organisasi yang
sifatnya lebih temporer.

C. Perbedaan budaya dalam nilai kerja


Masyarakat yang memiliki ltar belakang budaya yang berbeda akan
memiliki nilai yag berkaitan dengan kerja secara berbeda pula. Persamaan
dan perbedaan dalam orientasi kerja menjadi sumber pertumbuhan dan
pendapatan uang (ekonomi) secara menyeluruh atau adanay konflik,
frustasi dan hambatan-hambatan organisasional.
Hofstede (1980, 1984) mengidentifikasikan 4 dimensi utama nilai yang
dikaitkan dengan kerja, yaitu :
1. Jarak kekuasaan atau power distance (PD)
Dimensi PD menunjukkan tingkatan atau sejauh mana tiap budya
mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-
anggotanya. Masyarakat yang memiliki budaya pd tinggi akan
cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-
kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status aau kekuasaan.
Implikasinya dalam struktur organisasi biasanya ditandai adanya
struktur hirarki yang ketat dan kekuasaan yang terpusat.
Sementara masyarakat yang mempunyai orientasi budaya PD
rendah berusaha meminimalkan perbedaan status atau mengutamakan
kesejajaran sehingga struktur organisasinya biasanya kurang ketat
hirarkinya dan lebih terdesentralisir. Menurut Hofstede, perbedaan
budaya alam dimensi PD akan berpengaruh pada perbedaan dalam
perilaku kerja.
2. Penghindaran ketidakpastian atau uncertainty avoidance (UA)
Dimensi UA menunjukkan tingkatan atau sejauhmana masyarakat
dalam mengahadapi situasi yang samar-samar atau tidak pasti.
Masyarakat yang memiliki budaya UA tinggi merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk
mengurangi resiko itu. Dalam dunia kerja, untuk memperoleh rasa
aman dalam situasi kerja diiptakan aktivitasyang lebih terstruktur ,
aturan yang tertulis atau pengarturan yang baik. Sementara pada
masyarakat yang memiliki orientasi budaya UA rendah, toleransi
terhadap situasi yang samar atau tidak pasti lebih tinggi. Biasanya
bersikap lebih relaks dan sedikit memiliki aturan dan penyampaian
mandate/instruksi/saran kepada bawahannya. Dengan situasi ini, orang
lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri
dalam menyelesaikan tugas.
3. Individualism versus Collecrivism (IC)
Dimensi IC mengacu pada sejauh mana suatu budaya mendukung
tendensi individualistic atau kolektivistik. Budaya individualistic
mendorong anggotanya agar mandiri, ,eneekankan tanggung jawab dan
hak-hak pribadinya. Sehingga dalam budaya ini kebutuhan, keinginan,
kepentingan dan tuuan individu lebih diutamakan daripada tujuan
kelompok. Sementara budaya kolektif menekankan kewajiban pada
masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan
diharapkan orang untuk mengorbankan kepentingan dan tujuan
pribadinya demi tujuan kelompok, sehingga diharapkan karyawan
lebih patuh dan menyesuaikan diri terhadap organisasi untuk menjaga
adanya keselarasan.
Adanya perbedaan dalam dimensi IC akan berpengaruh dalam
perbedaan secara nyata dalam sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku
yang berkaitan dengan kerja dan perusahaan tempat bekerja. Promosi
dalam budaya individualitas biasanya berdasarkan pada prestasi,
sementara dalam budaya kolektivitas pada senioritas.
Dimensi IC akan berpengaruh padaperbedaan tentang
kepemimpinan ideal yang diharapkan.dalam budaya individualistis
pemimpin diharapkan melibatkan bawahannya dalam pengambilan
keputusan dan untuk melakukan sharing otoritas. Pada budaya
kolektivitis kemampuan untuk empati atau memahami orang lain
sangatlah penting.
4. Masculinity versus feminity
Dayakisni dan Salis (2004:149) mengemukakan bahwa dimensi
yang keempat keempat disebut masculinity (MA). Dimensi
masculinity mengungkap perbedaan gender dalam dunia kerja.
Dimensi masculinity (MA) dapat menunjukkan sejauh mana suatu
masyarakat tertentu memgang teguh peran gender atau nilai seksual
yang tradisional dengan didasarkan pada perbedaan biologis. Individu
dengan sifat masculinity akan menekankan nilai asertivitas, prestasi,
dan performansi, maka sangat penting baginya mengenai pendapatan,
pengakuan, kemajuan serta tantangan. Sementara individu dengan
dimensi feminity (masculinity yang rendah) lebih menonjolkan
hubungan interpersonal, keharmonisan dan kinerja kelompok.
Dayakisni dan Salis (2004:149) mengemukakan bahwa perbedaan
dimensi nilai budaya ini akan memengaruhi struktur organisasi dan
corak hubungan pada perusahaan. Masyarakat yang dengan dimensi
masculinity tinggi, semakin nempak perbedaan antara pria dan wanita
menjadi, dimana remaja pria akan mengharapkan karir pekerjaan yang
baik dan sulit mentoleransi kegagalan. Dalam hal ketertarikan,
kebutuhan, serta tujuan organisasi menjadi alasan untuk mencampuri
kehidupan pribadi karyawannya.
Dayakisni dan Salis (2004:149) mengemukakan bahwa secara
umum karyawan wanita akan mendapat gaji atau penghargaan yang
sama dengan pria dengan cacatan mereka harus unggul, lebih
berkualiats dan lebih asertif. Banyak dijumpai terjadi stres kerja yang
lebih tinggi karena pengahargaan dari lingkungan kerja. Peran
menager atau supervisor yang dianggap baik untuk memimalisir hal
tersebut adalah dengan menunjukkan perilaku yang dapat memberi
penghargaan, pengakuan dan dapat memberi inspirasi. Masyarakat
yang memiliki dimensi feminity berasumsi bahwa kerja yang baik
menuntut kemampuan untuk mempertahankan kesejahteraan orang lani
dan tidak mengutakan kepentingan diri sendiri. maka menager yang
baik diharapkan memiliki keterampilan dalam memberikan dukungan
(supporting), mentoring, dan membentuk tim kerja yang solid
(teambuilding skill) dalam lingkungan kerja.
Hofstede (Dayakisni & Salis, 2004:150) dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa, Negara-negara yang memiiki skor MA tinggi
diantaranya adalah jepang, Austria dan Venezeula. Sedangkan yang
memiliki skor MA rendah (berarti memiliki nilai feminity) adalah
Denmark, belanda, Norwegia dan Swedia. Studi lain yang dilakukan
sekelompok ahli dengan istiilah penghubung kulur cina (the Chinese
culture connection) menemukan bahwa dimensi nilai kelima yang
mendasari karakteristik etos kerja pada masyarakat maju di Asia
misalnnya jepang, Hongkong, dan korea yang disebutnya dengan nilai
Confucian dynamism. Adapun dimensi nilai prinsip-prinsip dan nilai-
nilai yang berakar pada ajaran konfusianisme, diantaranya :
a. Etos kerja dan disiplin pribadi
b. Penghargaan pada keahlian
c. Ketekunan, kegigihan dalam menghadapi kesulitan dan sikap
hidup hemat serta bersahaja
d. Kekuatan hubungan keluarga
e. Hubungan berdasar status yang tak setara mengarahkan pada
masyarakat ynag stabil

Hal dan hal (Dayakisni & Salis, 2004:150) mengemukakan bahwa


terdapat pula dimensi nilai yang berkaitan dengan cara pandang
masyarakat mengenai waktu dan penggunaannya. Dalam
penelitiannya ditemukan dimensi nilai monochromic dan polychromic.
Perspektif monochromic, melihat bahwa waktu adalah sumber yang
langka yang harus dibagi dan dikontrol melalui penggunaan dan
penetapan jadwal, dan melalui pendidikan untuk melakukan aktivitas
pada waktu tertentu. Maka dalam kerja akan menuntut kemampuan
perencanaan dan pertimbangan secara rasional dalam bertindak.

Hal dan hal (Dayakisni & Salis, 2004:150) mengemukakan bahwa


perspektif polychromic memandang kemampuan relasi yang humoris
adalah hal yang penting, maka dalam menggunakan waktu perlu
felksibel, agar kita dapat bertindak baik kepada semua secara
professional. Dalam bekerja, bila dia seorang meager misalnya
diharapkan mampu berpikir luas dan situasional saat akan membuat
rencana dan penyesailan masalah karena perencanaan dapat
mengambil waktu yang panjang (long-term). Maka, sikap fleksibel
diperlukan agar bila situasi berubah ketika rencana diterapkan,
individu dapat mengubah keputusan dan tindakan yang sesuai
(emergent-type planning). Hal & Hal (Salis, :150) dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa masyarakat dengan perspektif mochronic
memiliki dimensi nilai budaya individualism, sedangkan masyarakat
dengan perspektif polychromic lebih memiliki dimensi nilai
kolektivistis.

D. Motivasi dan Produktivitas


Dayakisni dan Salis (2004:150) mengemukakan bahwa hal yang
penting di organisasi maupun perusahaan adalah tingkat produktifiktas
karyawan. karena produkifitas merupakan tujuan utama organisasi ataupun
perusahaan. Penelitian tentang produktivitas kelompok di Amerika
menunjukkan tingkat produktivitas individual akan berkuang dalam situasi
kelompok yang lebih besar. Fenomena ini disebut dengan istilah
kemalasan sosial (socal loafing), yang disebabkan oleh :
1. Kurangnya koordinasi antar karyawan sehingga efisiensi berkurang
dan berakibat pada penurunan aktivitas.
2. Kurangnya usaha yang diberikan oleh individu ketika bekerja dalam
kelompok daripada seorang diri yang disebabkan adanya
ketidakjelasan tanggung jawab dan individu merasa andilnya kurang
diakui/dihargai.

Dayakisni dan Salis (2004:151) megemukakan bahwa kajian secara


lintas budaya membuktikan bahwa fenomena social loafing tidak terjadi
pada budaya yang lain. Early (Dayakisni & Salis, 2004:151) dalam
penelitiannya menunjukkan fenomena tersebut tidak terjadi pada pekerja
cina (RRC). Kemudian penelitian di Jepang menunjukkan fenomena yang
berlawanan. Ketika bekerja dalam kelompok, subjek penelitian dari jepang
justru menunjukkan kinerja yang meningkat. Gabrenya, wang dan latane
(Dayakisni & Salis, 2004:151) dalam penelitiannya juga menunjukkan
adanya fenomena perjuangan sosial (social striving) pada sample
responden penelitian anak cina.

Dayakisni dan Salis (2004:151) mengemukakan bahwa perbedaan


fenomena ini dipengaruhi oleh perbedaan budaya pada masayrakat dengan
dimensi nilai kolektivitis (missal jepang dan cina), yang mendukung saling
ketergantungan sehingga terjadinya koordinasi diantara anggota dalam
kelompok serta menghargai andil individu dalam kelompok. Namun dalam
budaya individualitas terdapat kecenderungan bahwa social loafing dapat
berkurang atau hilang bila tugas dianggap penting dan anggota kelompok
percaya prestasi mereka berada dibawah pengawasan anggota lain. Maka
dapat diprediksi bahwa fenomena social loafing akan lenyap dari budaya
kalau faktor-itu ini ditonjolkan secara massal.

E. Kepemimpinan Dan Gaya Manajemen

Ghiselle dan porter (Dayakisni & Salis, 2004:151) mengemukakan


bahwa terdapat 5.300 manajer di 14 negara, dan tinjauan terhadap Negara-
negara komunis, sosialis dan kapitalis yang menunjukkan bahwa
kebanyakan manajer melakukan pengambilan keputusan partisipatif. Tapi
dukungan nyata terahdap partisipasi tidak konsisten, tergantung pada
kepercayaaan menajer terhdapa kapasitas bawahan dalam bekerja. Pada
bagian dunia barat, kekuasaan dan hiararki merupakan bagian dari struktur
sosial yang kolektif dan partisipatif. Berikut generalitas dari model barat
berkaitan dengan masalah tersebut :

1. Perbedaan kebudayaan dalam mendefinisikan tentang kepemimpinan


a. Kolektif
1) Amerika
Terdapat perbedaan antara budaya untuk mendefiniskan
mengenai konsep kepemimpinan maupun manajemen.
Hollander (Dayakisni & Salis, 2004:151) mengemukakan
bahwa budaya insdustrial, mendefinisikan kepemimpinan
sebagai “suatu proses pengaruh antara seorang pemimpin dan
bawahannya untuk mencapai tujuan kelompok, organisasi,
maupun tujuan sosial. Pemimpin akan dapat dianggap sebagai
otoriter, demikratis, dikatator, dsb. Beberapa situasi kerja di
amerika, mengenggap pemimpin memiliki visi, otoritas,
kekuasaan (power), dan beperan mengonrol bawahan dengan
berbagai tugas. Pemimpin diharapkan dapat meengambil
keputusan, penggerak, memotivasi dan menentukan atau
merubah kebijakan. Dayakisni dan Salis (2004:152)
mengemukakan bahwa teori kepemimpinan barat cenderung
membedakan gaya kepemimpinan menjadi dua, yaitu
kepemimpinan yang yang menekankan fungsi tugas dan yang
menekankan fungsi sosioemosional atau fungsi pemeliharaan.
2) India
Sinha (Dayakisni & Salis, 2004:151) mengemukakan bahwa
pemimpin memiliki beberapa cirri yang sama, tetapi gaya
kepemimpinan dan manajemen tidak beorientasi dinamis atau
tindakan. Pemimpin dan manajer yang dipandang efektif di
india bila menerapkan orientasi untuk merawat dan mengambil
peran sebagai orang tua dalam perusahaan dan dalam hubungan
dengan karyawan. Pemimpin turut berpartisipasi pada tugas
dan aktivitas, memberi pedoman dan mengarahkan bawahan
untuk melaksanakan tugas sehingga tidak hanya memberi
pengarahan pelaksanaan tugas. Pemimpin di india diharapkan
fleksibel karena suatu waktu mereka bisa menjadi sangat
otoriter dengan peranan pekerjaan mereka. Pemimpin atau
manajer yang ideal di india memiliki dua hal diantaranya gaya
totally partisipative dan totally authoritative.
3) Jepang
Misumi (Dayakisni & Salis, 2004:152) mengemukakan
bahwa kepemimpinan jepang dalam budaya kolektif
menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah melakukan penelitian
dengan melibatkan bermacam organisasi dari tambang hingga
pemerinahan, selama lebih dari 30 tahun ditemukan bahwa
pemimpin yang paling efektif adalah yang secra simultan
mempunyai perilaku kerja setra relasi yang baik dengan
oranglain. Karyawan kerja di jepang tidak memiliki perbedaan
peran yang sangat pasti karena semua anggota bertanggung
jawab untuk melakukan fungsi apapun yang di berikan dalam
waktu tertentu.
Dayakisni dan Salis (2004:152) mengemukakan bahwa
teori barat telah menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu,
kelompok mungkin saja memilih mengatur dirinya sendiri
(self-managing). Karena susatu kelompok tidak menuntut
masukan dari pemimpin yang dipilih, walaupun fungsi
kepemimpinan sebetulnya bisa diberikan oleh anggota
kelompok. Namun dalam budaya kolektif, jarang ditemukan
kelomok tanpa seorang pemimpin bila prinsip senioritas dan
jarak kekuasaan masih melekat pada budaya tersebut. Ssitem
senioritas menunjukkan adanya kepemimpinan gaya otokratis
kelompok.
Dayakisni dan Salis (2004:152) mengemukakan bahwa di
jepang pengambilan keputusan kelompok dikatakan efektif.
karena peran pokok dari diskusi kelompok pada budaya jepang
dilakukan dengan menggunakan “quality circles” yaitu jepang
memiliki budaya yang bersifat hirarkis namun orang tetap
mengekspresikan penghormatan kepada atasan dengan
berpartisipasi aktif dan mengajukan saran. Jadi pemimpin tidak
begitu sering berpartisipasi dalam pertemuan tetapi menerima
hasil diskusi setelah melalui konsultasi. Salah satu perusahaan
jepang menerapkan sistem tidak formal, dimana tiap individu
dijamin suaranya. Maka setiap proposal atau usulan
disirkulasikan antar semua orang yang akan dipengaruhi oleh
usulan itu dengan tidak melihat status, tingkat atau posisinya.
Inisiatif usulan berasal dari manajemen tertinggi, menengah,
atau yang lebih rendah, atau dari bawahan. Sebelum secara
formal usulan terseubt disikulasikan kepada apartemen, ususan
itu disikulasikan dan dibahas agar seluruh pandangan
diperhitungkan sehingga saat proposal dituliskan dan
disikulasikan, perhatian dan dampak negative yang ditujukan
akan diperoleh dan akan dipertimbangkan.

b. Budaya Hispanic
Dayakisni dan Salis (2004:152) mengemukakan bahwa hasil
berbeda didapatkan di budaya Hispanic. Pengambilan keputusan
lebih dipandang sebagai hak istimewa pemimpin, dan keaktifan
berpartisipasi dalam kelompok akan menganggu otoritas
pemimpin. Sitos (Dayakisni dan Salis, 2004:152) mengemukakan
bahwa terdapat konsep yang berlaku universal dalam bidang
manajemen yang sifatnya relative. Ketegori rasionalitas tersebut
terbagi menjadi dua kategori, yaitu
1) Rasionalitas tujuan
Rasionalitas tujuan adalah lebih menekankan aspek
objektivitas, prestasi kerja dan semangat kompetisi.
2) Rasionalitas nilai.
Rasionalitas nilai menekankan pada pentingnya semangat
kekeluargaan, senioritas (proporsional) dan orientasi kepada
sifat kemanusiaan.
Contoh :

a) Gaya managemen jepang sebagai berikut :


(1) Pengendalian kritik
(2) Pemberian pujian
(3) Pengolahan konflik atas prinsip makeru ga kachi
(mengalah untuk maksud luhur)
(4) memberkan hadiah dengan catatan hadiah diberikan
tidak untuk menghargai prestasi kerja individu karena
justru ini akan merusak harmoni (keseimbangan) kerja
dalam kelompok
(5) Menekankan kontrak pribadi
(6) Orientasi pada pemecahan masalah bukan siapa yang
berbuat kesalahan
(7) Menggunakan konsep nemawashi (mengikat akar),
yaitu kepemimpinan dan menajemen gaya kepang
bersifat kolekif berdasarkan consensus.

Model pengambilan keputusan di jepang juga memiliki


aspek yang tak menguntungkan dari segi waktu, karena
memerlukan waktu yang panjang ketika proses
pengambilan keputusan. Keuntungan dari model
pengambilan keputusan ini adalah lebih cepat dan mudah
dalam pelaksanan (implementasi keputusan itu).

b) Gaya kepemimpinan America


Menggunakan prosedur demokratis dalam
pengambilan keputusan. Cirri prosedur ini adalah orang
terlibat dalam pengambilan keputusan, dan cara voting
diberlakukan sehingga suara mayoritas jauh lebih
dipertimbngkan. Keuntungan menggunakan prosedur ini
adalah suara setiap orang diperlukan (equal), satu orang
satu suara. Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya
individuaitas yang memandang keberadaan setiap orang
adalah terpisah, sangat unik dan otonom. Kerugiannya
adalah besumber dari akibat pengambilan suara yang
dilakukan secara tertutup.

Contoh :

Suara menang sebagai mayoritas =51%


Suara kalah sebagai minoritas = 49%
Akibat dari kondisi tersebut, adalah sebagai berikut :

(1) Kondisi ini menyulitkan implementasi keputusan yang


diambil, karena 49% anggota yang tak setuju dapat
mengarahkan pada sabotase dan gangguan pada
organisasi.
(2) Proses demokrasi seperti tersebut dapat membimbing
pada birokrasi, sehingga secara factual beberapa
organisasi memiliki cirri bukan demokratis tetapi
oligarchy, yaitu ditandai pengambilan keputusan pada
pihak yang memiliki kekuasaan. Pendekatan top-down
semacam ini menjadi cirri beberapa perusahaan
Amerika.

Dayakisni dan Salis (2004:153) mengemukakan bahwa budaya


berpengaruh gaya kepemimpinan dan gaya manajemen. Di
amerika, misalnya karyawan memisahkan kehidupan kerja dan
kehidupan pribadi. Sehingga pemimpin, manajer dan yang lainnya
tidak mengetahui kehidupan pribadi karyawan. Dibudaya lain,
batasan antara kehidupan kerja dan pribadi adalah tidak jelas.
Beberapa Negara bahkan menganggap keberadaan mereka dalam
pekerjaan menjadi bagian yang integral dalam diri mereka, maka
pemimpin dengan budaya mungkin meminta bawahannya untuk
bekerja diluar jam kerja dan bawahan menerimanya dangan tanpa
mengeluh.

Dayakisni dan Salis (2004:153) mengemukakan bahwa akibat


perbedaan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur,
maka batasan wewenang pemimpin juga kabur. Misalnya,
pemimpin/manajer diharapkan untuk membimbing bawahan
mereka di perusahaan dan ikut menaruh perhatian pada kehidupan
pribadi bawahannya. Bawahan di budaya tersebut akan tebuka
untuk berkonsulasi dengan manajer/pemimpinnya tentang masalah
pribadi dan minta saran atau pertolongan. Menolong bawahannya
merupakan bagian yang integral bagi pemimpin sebagai bagian
dari tugas mereka. Smith (Dayakisni dan Salis, 2004:153) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa pekerja dihongkong dan
hongkong bila menglami kesulitan dapat berkonsultasi dengan
supervisor, sedangkan bagi pekerja dari amerika dan inggris
pembahasan seperti itu tidak berbudi.

2. Nilai Manajer
Hasil studi yang dilakukan oleh Geert Hofstede tentang nilai manajer
Indonesia dan Belanda menunjukkan perbedaan-perbedaan penting
sebagai berikut :
a. Di Indonesia merupakan salah satu budaya yang menganut budaya
kolektivisme yaitu hubungan antara seorang pegawai dan
organisasi yang dianggap seperti dengan hubungan antara seorang
anak dan keluarga (extended family), hubungan ini bersifat moral
dan di dalamnya ada kewajiban-kewajiban yang timbal balik
seperti halnya majikan wajib melindungi pegawai dan begitupun
sebaliknya. Sedangakan budaya individualis seperti budaya
Belanda atau Amerika hubungan pegawai dan organisasi adalah
hubungan bisnis atau bersifat kalkulatif di mana setiap pihak
berhak memutuskan hubungan itu dapat berlanjut dengan
memberikan keuntungan yang lebih banyak. Tetapi di Belanda
untuk memutuskan sebuah hubungan kerja oleh majikan kurang
dapat diterima secara sosial daripada di Amerika.
b. Manajer yang dianggap ideal di Indonesia adalah paternalism
(Bapakisme) karena adanya perbedaan status atau jarak kekuasaan.
Di Indonesia diharapkan memiliki perilaku seperti seorang ayah
atau ibu terhadap bawahannya, tetapi pada saat yang sama
pegawai berperilaku seperti anak terhadap orangtuanya.
Sedangkan di Belanda hubungan yang vertikal dapat dicurigai dan
prosedur konsultasi diperkenalkan untuk membuat hubungan yang
tidak berbahaya.
c. Manajer di Indonesia maupun Belanda memiliki toleransi cukup
tinggi terhadap perilaku yang menyimpang, kedua negara ini
terbiasa mengatasi beragam situasi terstruktur melalui beberapa
negosiasi dan relative tidak emosional serta tidak menunjukkan
perasaan mereka.
d. Di Belanda, sangat feminim dalam dimensi maskulinitas vs
feminitas, sedangkan di Indonesia sedikit feminim. Di Amerika
dan Jepang cukup maskulin. Feminitas yang lebih kuat dalam
budaya Belanda terlihat pada kesediaan untuk membantu, simpati
terhadap orang-orang yang lemah dan miskin. Sifat ini kurang
dimiliki oleh Indonesia karena mereka cenderung membantu
anggota-anggota keluarga atau kelompok sendiri dan kurang
peduli terhadap kemiskinan dan penderitaan di luar kelompok
mereka.

F. Konflik Antar Budaya Dalam Bisnis Dan Kerja


1. Negosiasi
Akibat dari meningkatnya perkembangan teknologi dan perubahan dalam
perdagangan serta hukum-hukum tariff diantara negara-negara akan
meningkatnya saling ketergantungan antar negara pada sektor bisnis dan
ekonomi, sehingga terjadinya juga kerjasama melalui proses negosiasi
akan bayak dilakukan. Di dunia Internasional, negosiator tidak hanya
mewakili perusahaan di mana mereka bekerja, tetapi mereka juga
membawa serta semua isu yang berkaitan dengan budaya mereka seperti
kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat dan aturan tertentu. Kadang-kadang
sedikit perbedaan juga dapat memiliki pengaruh besar dalam bisnis
internasional, contohnya saja dalam rapat internasional ada banyak bahasa
yang digunakan namun belum tentu masing-masing negara memaknai
dengan sama arti dari bahasa tersebut. Hal seperti ini dapat menimbulkan
konflik, ketidakpercayaan, putusnya negosiasi bisnis internasional, deal
kerap tergantung pada kecakapan pergaulan antar budaya yang dimiliki
orang yang melakukan negosiasi itu. Melakukan negosiasi antar budaya
terdiri dari tiga proses, yaitu:
a. Menciptakan Hubungan
Setiap negara memiliki cara tersendiri dalam membangun atau
menciptakan hubungan kerja karena setiap negera memiliki budaya
yang berbeda-beda. Di Amerika, mereka menghargai sikap langsung
dan berorientasi terhadap tindakan dan tugas. Mereka akan kurang
memberi tekanan pada hubungan pribadi dan berpusat langsung pada
tugas. Bahkan mereka suka melakukan bisnis lewat telepon dan tidak
sungguh-sungguh tertatik untuk berjumpa berhadapan muka dengan
klien mereka. Dalam proses negosiasi, mereka memusatkan diri untuk
merundingkan harga dan bersifat penting untuk objektif serta faktual.
Mereka berpusat pada kelompok kerja sehingga menunjukkan bahwa
mereka fleksibel dan masuk akal. Mereka juga suka persoalan dapat
dipecahkan dengan cepat, datang melakukan bisnis serta ingin
mendapatkan suatu penyelesaian dengan segera.
Di Jepang, memerlukan banyak waktu untuk membangun
hubungan kerja. Mereka memiliki tahapan yaitu dimulai dengan
perkenalan melalui sebuah referensi, kemudian menyusul proses
memahami nilai-nilai budaya pihak lain untuk menetapkan apakah
nilai-nilai itu bersesuaian dengan nilai-nilai budaya Jepang karena
persahabatan bagi mereka merupakan persyaratan bagi setiap negosiasi
atau kesepakatan. Orang Jepang tidak akan membuat kesepakatan
dengan orang asing sampai mereka telah saling membangun hubungan
pribadi.
Di Cina, dalam pertemuan awal negosiasi mereka mencari
kesepakatan tentang fokus umum dari pertemuan itu. Mereka
melakukan penyusunan seditail khusu ditunda terlebih dahulu. Dengan
mencapai kesepakatan tentang kerangka kerja umun barulah mereka
mencari fokus khusus dalam diskusi berikutnya.
Di Arab, menciptakan hubungan kerja berfokus pada tingkat
perorangan. Kerangka waktu Arab lebih lama karena sistem
pengumpulan informasi mereka jauh kurang ekstensif daripada sistem
pengumpulan informasi orang Jepang, sehingga penting untuk
meluangkan waktu bersama orang yang paling bertanggungjawab dari
tim negosiasi itu sampai orang tersebut menaruh kepercayaan.

b. Bertukar Informasi

Tahap terpenting kedua dalam ngosiasi antar budaya adalah bertukar

informasi yang berkaitan dengan pekerjaan, dimana nilai- nilai budaya

dasar yang memotivasi perilaku negosiator. Misalnya pada umumnya

orang Amerika sudah mempersiapkan diri untuk melakukan tukar

informasi agar dapat langsung mencapai kesepakatan. Di pihak lain,

dalam kebudayaan bisnis Jepang tahap informasi merupakan tahap

negosiasi yang paling penting dengan orang asing. Sementara itu,

orang arab pada umumnya memasuki tahap negosiasi ini tanpa

menyadarinya, karena negosiasi merupakan peluasan dari hubungan


bisnis mereka. Tidak seperti orang Jepang atau Amerika, yang

cenderung bergerak langkah demi langkah, proses pertukaran

informasi Arab saling tumpah tindih dengan tahap-tahap lain dalam

negosiasi. Informasi ditukarkan secara tidak langsung bahkan mungkin

lewat pihak ketiga.

c. Proses Persuasi

Tahap ketiga dari negosiasi adalah ‘persuasi’. Pada tahap ini,

negoasiator berusaha agar tawarannya diterima sedekat mungkin

dengan kerangka awal atau tujuan yang telah ditetapkannya. Dalam hal

inipun akan terjadi perbedaan budaya. Misalnya, bagi orang Amerika

tahap dalam negosiasi ini merupakan langkah yang paling penting.

Untuk mencapainya, mereka bergerak cepat melewati proses

hubungan, bertukar informasi secara formal, dan menanyakan apa

yang diperlukan untuk menutup negosiasi. Di Jepang, persuasi

merupakan bagian dari seluruh proses negosiasi. Pada umumnya orang

Jepang tidak berunding seperti orang Amerika. Orang Jepang

menggunakan persuasi untuk berkompromi tentang syarat-syarat

tertentu sehingga kedua belah pihak dapat menutup negosiasi. Agar

negosiasi berhasil melalui tahap persuasi, beberapa faktor kebudayaan

Jepang harus dipertimbangkan. Diantaranya adalah menjaga

keselarasan, menghindari kehilangan muka, dan mendapat persetujuan

kelompok.
Sementara dalam kebudayaan Arab tahap ini merupakan tahap

terpenting. Negosiasi gaya Arab lebih mengandalkan nilai hubungan

pribadi dari pada gaya Jepang. Orang Arab mempertahankan

pendekatan tak langsung mereka terhadap bisnis, dengan bersandarkan

pada tahap hubungan pribadi yang telah mereka bangun pada tahap

pertama proses negosiasi. Sehingga garis antara pembicaraan bisnis

dan pribadi kerap campur aduk. Selama pembicaraan- pembicaraan itu,

orang Arab akan mengisyaratkan hubungan pribadi dan bisnis masa

depan, maju dengan pelan-pelan, menunggu waktu dan tempat yang

tepat untuk membicarakan kerangka persetujuan terakhir.

G. Pengiriman Tenaga Kerja Ke Luar Negeri

Banyak perusahaan multinasional dengan cabang-cabangnya dan partner

bisnis di Negara- Negara lain semakin meningkat sehingga muncul kebutuhan

yang mendesak untuk mengirim pekerja-pekerja ke luar negeri dalam periode

waktu yang agak lama. Dalam beberapa kasus, pertukaran pekerja dan

penugasan ke luar negeri adalah akibat dari kebutuhan untuk melatih skill bagi

karyawan- karyawan dan unit- unit bisnis dinegara- negara lain. Ketika

seseorang dikirim bekerja ke luar negeri, akan muncul masalah- masalah yang

cukup banyak. Tentunya masalah itu terjadi karea semua perbedaan budaya

yang telah kita bahas sebelumnya. Tetapi akan ada tambahan masalah yang

berkaitan dengan keterbatasan keterampilan bahasa baik pada orang yang

mendapat tugas ke luar negeri maupun pada tuan rumah. Perbedaan harapan
dari orang- orang yang bekerja ke luar negeri dengan tuan rumah dapat

menjadi sandungan yang mengganjal efisiensi dan kemajuan.

Ironisnya, kebanyakan masalah- masalah yang paling menekan bagi orang-

orang yang ditugaskan ke luar negeri tidak hanya terjadi dalam pekerjaannya

tetapi justru dalam aspek kehidupan yang lain di Negara tetangganya. Adanya

perbedaan dalam gaya hidup, kebiasaan- kebiasaan, dan perilaku yang

membayangi perbedaan budaya pada pekerjaan.

Meskipun ada masalah- masalah potensial, tetapi disini ada juga keuntungan-

keuntungannya. Orang- orang yang bertugas ke luar negeri memiliki kesempatan

yang besar untuk mempelajari keterampilan- keterampilan dan cara- cara baru

dalam melakukan pekerjaan, sehingga dapat membantu sekembalinya mereka ke

Negara asalnya. Mereka mungkin mempelajari bahasa dan adat istiadat yang baru

yang mana hal ini akan memperluas perspektif mereka. Penugasan ke luar negeri

adalah aktivitas penting dalam bisnis internasional sekarang ini yang menjajikan

peran yang lebih besar dalam dunia global di masa yang akan datang.
Daftar pustaka

Dayakisni, T & Yuniardi, Salis. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM
Press.
Tugas kelompok

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

(PENGARUH BUDAYA PADA ORGANISASI KERJA)

Kelompok 4 :

Indah Luthfiyah Kasim / 1571040045

Indriany Pattah Raka / 15710400

Ira Novia Fridayanti / 15710400

Pratiwi Nusi / 15710400

Fakultas Psikologi
Universitas Negeri Makassar
Makassar
2017

Anda mungkin juga menyukai