Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nurul Anisa

No.BP : 1510862029

Tugas : Essay Mata Kuliah Sosiologi Komunikasi

5 DIMENSI BUDAYA MENURUT GEERT HOFSTEDE

Hofstede (2001) mendefinisikan budaya sebagai berikut:

“The collective programming of the mind that distinguishes the members


of one group or category of people from another.”

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa budaya merupakan suatu


pemrograman kolektif dari pikiran yang membedakan anggota suatu kelompok
atau kategori orang, dari yang lain.

Hofstede menganalisis budaya dari beberapa bangsa dan


mengelompokkannya ke dalam beberapa dimensi. Dimensi budaya menurut
Hofstede (2001) adalah:

“Dimension of culture is The comparison of cultures presupposes that


there is something to be compared – that each culture is not so unique that
any parallel with another culture is meaningless.”

Dari pengertian di atas dapat kita pahami bahwa perbandingan budaya


mengandaikan bahwa ada sesuatu yang harus dibandingkan – bahwa setiap
budaya sebenarnya tidaklah  begitu unik, bahwa setiap budaya yang paralel
dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu berarti.

Dari beberapa penelitiannya, akhirnya Hofstede mengidentifikasi 5


Dimensi Budaya, yaitu:

1. Power Distance

Power distance atau jarak kekuasaan adalah suatu sistem dimana tingkat
kepercayaan atau penerimaan dari suatu kekuasaan yang tidak seimbang diantara
orang-orang. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan ras, status sosial, pendidikan,
gender, latar belakang dan faktor-faktor lainnya yang mengarah kepada bentuk
diskriminasi.

Pada negara-negara yang menganut power distance yang tinggi,


masyarakat biasanya akan menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik.
Sedangkan pada negara-negara yang menganut power distance yang lebih rendah,
masyarakat cenderung melihat persamaan diantara orang-orang dan lebih fokus
kepada status yang berhasil dicapai oleh orang tersebut, bukan dari status yang
disandangnya sejak lahir.

Contoh dari power distance ini misalnya di negara Korea Selatan, dimana
mereka menganut power distance yang cukup tinggi. Dalam kehidupan sosialnya,
masyarakat Korea Selatan biasa memandang seseorang itu dari segi fisik dan
status sosial serta latar belakang dari orang tersebut. Maka tak heran jika banyak
orang di Korea Selatan yang rela menghabiskan uangnya demi penampilannya,
seperti rela melakukan operasi plastik demi mendapatkan wajah yang rupawan.
Karena di Korea Selatan jika memiliki wajah yang jelek itu merupakan suatu
hinaan yang amat besar dan biasanya mereka yang memiliki wajah seperti itu
akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak nyaman dari lingkungannya,
seperti cacian atau bahkan pembullyan. Mereka akan dipandang sebelah mata.

2. Uncertainty Avoidance

Uncertainty Avoidance adalah bentuk toleransi masyarakat pada suatu


ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini menggambarkan bagaimana anggota atau
lembaga berusaha untuk mengatasi kecemasan dan mengurangi ketidakpastian
yang mereka hadapi. Dari penjelasan ini dapat kita ketahui bahwa uncertainty
avoidance ini bukanlah penghindaran resiko.

Orang-orang yang menganut uncertainty avoidance yang tinggi biasanya


akan cenderung lebih emosional. Mereka akan lebih berhati-hati pada terjadinya
suatu perubahan yang tidak biasa dalam lingkungannya. Sedangkan orang yang
menganut uncertainty avoidance yang rendah, mereka biasanya akan lebih bisa
menerima dan nyaman dengan perubahan-perubahan yang terjadi didalam
lingkungannya. Mereka jauh lebih toleran terhadap suatu perubahan.

Contoh dari uncertainty avoidance ini misalnya yang terjadi di Indonesia,


masyarakat kurang toleran dalam menyikapi perubahan yang ada di
lingkungannya, seperti kasus tentang transgender. Di Indonesia transgender masih
sangat awam dan sebagian masyarakat tidak bisa menerima keberadaannya karena
menurutnya transgender menyalahi aturan yang ada, terutama aturan agama.

3. Individualism vs Collectivism

Ciri dari individualism vs collectivism ini adalah bagaimana seseorang itu


terintegrasi kedalam organisasi atau lembaganya. Dari sisi invidualism, ikatan
dengan orang lain akan lebih longgar, mereka cenderung hanya memperhatikan
dirinya sendiri. Sedangkan dari sisi collectivism, hubungan antar individu itu
terjalin lebih erat, orang-orang turut ikut campur dalam kehidupannya.

Contohnya di Indonesia yang menganut collectivism dimana


masyarakatnya cenderung sangat peduli dengan orang-orang disekitarnya, yang
paling tidak asing kita kenal itu misalnya kehidupan pribadi kita yang tak jarang
juga dicampuri oleh keluarga jauh kita ataupun tetangga-tetangga kita.

4. Masculinity vs Feminimity

Masculinity berkaitan dengan nilai perbedaan gender dalam masyarakat,


atau distribusi peran emosional antara gender yang berbeda. Maskulinitas berarti
kecenderungan masyarakat pada prestasi, ketegasan, ambisi, kekuasaan dan
keberhasilan material. Sedangkan feminimity lebih cenderung kepada hubungan,
kesederhanaan, dan kualitas hidup. Pada budaya maskulin yang ditonjolkan adalah
ketegasan dan kompetitif, sedangkan pada feminimitas yang ditonjolkan adalah
kesopanan dan perhatian. Dalam dimensi maskulin perbedaan gender antara pria
dan wanita nampak lebih dramatis dan kurang fleksibel, sedangkan dimensi
feminim memandang pria dan wanita itu memiliki nilai yang sama, lebih
menekankan kepada kesederhanaan serta kepedulian.

Contoh dari maskulinitas ini sangat kental kita lihat di Indonesia dimana
laki-laki biasanya akan dianggap lebih bisa melakukan segala hal dibandingkan
wanita. Maka tak heran bila kita lihat di Indonesia yang mendominasi untuk jadi
pemimpin itu adalah laki-laki. Karena masyarakat Indonesia beranggapan bahwa
laki-laki itu bisa lebih tegas dan realistis dalam menanggapi segala permasalahan
yang ada, padahal tidak sepenuhnya demikian.

5. Long-Term vs Short-Term Orientation

Kedua orientasi ini menyangkut pada pola pikir masyarakat. Masyarakat


yang berorientasi jangka panjang (long term orientation) lebih mementingkan
masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi pada
penghargaan, termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas adaptasi.

Sedangkan masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka


pendek (short term orientation), nilai dipromosikan terkait dengan masa lalu dan
sekarang, termasuk kestabilan, menghormati tradisi, menjaga selalu penampilan di
muka umum, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial. Masyarakat cenderung
lebih mementingkan masa sekarang serta memikirkan bagaimana cara
mempertahankan tradisinya.

Contohnya di Asia sendiri banyak orang-orang yang sebelum melakukan


kerjasama bisnisnya mereka menjalin hubungan kekeluargaan dulu, misalnya
dengan menjodohkan anak mereka, itu karena orang Asia cenderung
mementingkan orientasi jangka panjang. Sedangkan di Eropa kita lihat mereka
tidak begitu peduli dengan jangka panjang yang akan ditimbulkan, bagi mereka
semakin cepat kerjasama itu dilakukan maka akan semakin cepat pula mereka
mendapatkan keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai