Anda di halaman 1dari 9

Budaya dalam Bisnis

Dimensi Budaya Hofstede dan Kluckhohn

Oleh :

Kelompok 2
Agung Suryadi (18059214)
Ira Putri Zulfa (18059229)

Program Manajemen
Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Padang

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Budaya suatu daerah mampu dipengaruhi budaya lain yang dapat
mengakibatkan terjadinya akulturasi maupun asimilasi. Dampaknya, sebuah
budaya memiliki cara pandang yang berbeda-beda yang tidak dapat
diasumsikan bahwa suatu budaya akan memiliki cara pandang yang dapat
diinterpretasikan secara pasti. Cara pandang atau penilaian suatu budaya
terhadap suatu hal lain baik budaya maupun individu tergantung pada
masing-masing individu dalam suatu budaya. Cara pandang suatu budaya
terjadi bukan semata-mata terbentuk tanpa dasar namun ada beberapa factor
yang menyebabkan cara pandang suatu budaya dengan budaya lain berbeda.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana dimensi budya Hofstade?
2. Bagaimana dimensi budya Kluckhon?

1.3. Tujuan Pembelajaran


1. Untuk mengetahui dimensi budya Hofstade.
2. Untuk mengetahui dimensi budya Kluckhon.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Dimensi Budaya Hofstede


Penelitian Hofstede (elemen-elemen struktural dari budaya yang
mempengaruhi kuat perilaku dalam situasi organisasi dan institusi). Hofstede
mencoba meneliti elemen-elemen struktural dari budaya yang mempengaruhi
kuat perilaku dalam situasi organisasi dan institusi. Ada 4 dimensi yang
diidentifikasikan, yaitu, Collectivism Versus Individualism, Small vs Large
Power Distance (jarak kekuasaan), weak vs Strong Uncertainly Avoidance
(Penghindaran Ketidakpastian), Femininity vs Masculinity.

1. Collectivism Versus Individualism

 Collectivism menyatakan bahwa seseorang merupakan anggota bagian


dari suatu kelompok, dimana kelompok itu akan melihat dirinya untuk
loyalitas, orang-orang yang berada pada budaya ini tidak akan bertindak
atau berperilaku diluar kebiasaan kelompoknya. Orang-orang collectivism
memandang aktivitas kelompok tertentu yang dominan, harmoni dan lebih
mengutamakan kerjasama di antara kelompok daripada fungsi dan
tanggungjawab individu. Orang-orang pada budaya ini lebih tertarik pada
tradisi, conformity serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak
mau meninggalkan zona aman. Dalam berkomunikasi orang-orang
collectivism biasanya tidak langsung mengutarakan apa yang ingin
disampaikan, menggunakan banyak symbol dan terkadang ambigu.
Misalnya di China, mereka menggunakan kata “kami” dalam
berkomunikasi. Di dalam loyalitas dan keharmonisan antar karyawan
sangat terjaga sehingga bentrokan pribadi dapat dihindari.

 Individualism sering diartikan sebagai suatu kultur nasional dimana


seseorang lebih suka bertindak sebagai individu/perseorangan daripada
berkelompok. Budaya individualism lebih menitik beratkan kepada
inisiatif dan penerimaan. Orang-orang individualism akan lebih tertarik
pada sesuatu yang menantang, hedonism, prestasi, kemajuan, self-
direction dan aktivitas diri yang maksimal. Selain itu, dalam
berkomunikasi orang-orang individualism lebih dominan menyatakan
pendapatnya secara langsung (to the point) dan eksplisit. Contoh negara
yang berbudaya individualism adalah Amerika, orang-orang di amerika
bekerja keras untuk mencapai jabatan tinggi dan tidak segan untuk
bersaing demi memperebutkan posisi tertentu tanpa memikirkan orang
lain.

2. Small versus Large Power Distance


Power distance (jarak kekuasaan) yaitu sejauh mana anggota-
anggota institusi atau organisasi yang kurang memiliki kekuasaan
menerima kekuasaan yang didistribusikan secara tidak merata.
 Small power distance merupakan kondisi dimana seseorang ingin
kekuasaan dibagi secara merata dan membutuhkan pembenaran atas
perbedaan.
 Large power distance yaitu penerimaan yang lebih besar dari kekeuatan
yang tidak setara, yaitu hierarki dalam organisasi.

3. Weak versus Strong Uncentrainly Avoidance


Uncentrainly Avoidance (penghindaran ketidakpastian) yaitu
sejauh mana orang-orang merasa terancam oleh situasi yang
membingungkan dan menciptakan keyakinan serta banyak institusi yang
menghindari hal ini. Penghindaran ketidakpastian juga merupakan
tindakan dimana individu dalam suatu negara lebih memilih situasi
terstruktur dibanding tidak tersrtuktur.

4. Masculinity vs femininity

 Kebudayaan masculine dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tinggal di daerah


beriklim panas, tropis dan dekat dengan garis khatulistiwa. Kebudayaan
masculine menghargai nilai prestasi kerja dan ketegasan. Sehingga budaya
ini dianggap lebih sesuai dengan karakter laki-laki yang tegas, lebih
berambisi dan berani bersaing. Contoh negara yang memiliki budaya
masculine adalah Jepang, dimana menganggap jenis kelamin laki-laki
memiliki kekuasaan absolute dan sebagai penerus nama keluarga.

 Kebudayaan feminine lebih banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa yang


tinggal di daerah beriklim dingin dan sedang (jauh dari garis khatulistiwa).
Kebudayaan feminine memiliki nilai penurut dan mendukung kehidupan
social dimana lebih menghargai sesama dan simpati kepada orang yang
berkekurangan. Kebudayaan ini sangat seimbang antara jenis kelamin dan
menerima pola asuh antara perempuan dan laki-laki dan lebih focus
terhadap kualitas hidup. Contohnya adalah tidak adanya diskriminasi antar
gender saat melamar pekerjaan di Amerika.

2.2. Dimensi Budaya Kluckhohn


Lima dimensi dasar yang menggambarkan orientasi budaya
masyarakat; kualitas seseorang sebagai individu, hubungan mereka dengan
alam dengan dunia, hubungan dengan orang lain, jenis aktivitas utama,
dan orientasi mereka dalam ruang dan waktu. Lima dimensi ini menjawab
pertanyaan yang memiliki implikasi yang cukup besar bagi manajemen
global;
 Who I am?
Siapa saya?
 How do I see the world?
Bagaimana saya dapat melihat dunia?
 How do I relate to other people?
Bagaiman saya berhubungan dengan orang lain?
 What do I do?
Apa yang saya lakukan?
 How do I use space and time?
Bagaimana saya menggunakan ruang dan waktu?
1. How People See Themselves

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter


manusia menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk.
Masyarakat Barat, umumnya, memandang manusia memiliki karakter
yang baik, sedangkan masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang
manusia memiliki sifat baik atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki
konsekuensi yang sangat berarti dalam bersikap kepada orang lain, baik
dalam aspek kepercayaan atau interaksi dengan orang lain.

2. People’s Relationship to the World

Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara


manusia memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau
mengungguli lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau
menaklukkan (subjugate) lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian
bahwa mereka dapat mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam
(misalnya badai, banjir). Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia
harus hidup selaras dengan lingkungannya dan bahkan memujanya.
Orientasi terhadap lingkungan mempengaruhi sikap manusia terhadap
agama, estetika, kepemilikan benda, kualitas hidup, dan hubungan
terhadap manusia lainnya.

3. Human Relationship

Orientasi terhadap orang lain merupakan aspek yang sangat


penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling
membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Tiga jenis
orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu
mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan
bagian dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang
diperluas secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan
keberlanjutan kelompok melalui penggantian waktu).
4. Activity: Doing or Being

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap


manusia terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang
berorientasi “melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan
Jerman, mereka lebih menekankan kepada aktivitas atau kegiatan,
penyelesaian tugas, berkompetisi, dan pencapaian tujuan. Selain itu ada
masyarakat yang berorientasi “menjadi” (being). Orang mmelakukan
berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan kesenangan,
dan menunjukkan spontanitasnya sebagai ekspresi kepribadiannya.
Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang berorientasi kepada
“the being –in-becoming” (yang menjadi). Masyarakat ini lebih tertarik
kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.

5. Time: Present, Past, and Future

Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia


terhadap waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini,
atau masa yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada
masa yang akan datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu
sebagai sesuatu yang harus dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan
secara efektif. Sebaliknya, masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada
masa lalu (past) dan tradisi. Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi
keluarga yang kuat (misalnya masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat
yang berorientasi pada waktu sekarang (present), percaya bahwa waktu
sangat berarti. Orang Filipina, Meksiko, dan Amerika Latin pada
umumnya berorientasi pada waktu saat ini.

Space
Ada perbedaan prespektif budaya tentang ruang dan jarak. Sebagai
contoh, Timur tengah dan Asia umumnya melihat bahwa ruang
publikadalah kegiatan yang dilakukan secara pribadi dicurigai.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penelitian Hofstede (elemen-elemen struktural dari budaya yang
mempengaruhi kuat perilaku dalam situasi organisasi dan institusi). Hofstede
mencoba meneliti elemen-elemen struktural dari budaya yang mempengaruhi
kuat perilaku dalam situasi organisasi dan institusi. Ada 5 dimensi yang
diidentifikasikan, yaitu Large vs Small Power Distance (jarak kekuasaan),
Individualisme vs Kolektivisme, Maskulin vs Feminim, Strong vs Weak
Uncertainly Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian), Long Term
Orientation (Orientasi Waktu).
Lima dimensi dasar yang menggambarkan orientasi budaya
masyarakat; kualitas seseorang sebagai individu, hubungan mereka dengan
alam dengan dunia, hubungan dengan orang lain, jenis aktivitas utama, dan
orientasi mereka dalam ruang dan waktu. Lima dimensi ini menjawab
pertanyaan yang memiliki implikasi yang cukup besar bagi manajemen
global.
Daftar Pustaka

John, Sea. 2005. Managing Organizational in a Global Economy: An


Intercultural Perspective. Thomson Western: Aunstralia.
Kusherdyana. 2011. Pemahaman Lintas Budaya dalam Konteks Pariwisata dan
Hospitality. Bandung:Alfabeta.
Luthan, Fred dan Doh, Jonatan P. 2008. Internasional Management: Cultural,
Strategy, and Behavior. McGraw-Hill: Singapore.

Anda mungkin juga menyukai