Anda di halaman 1dari 11

Hofstede 5 Dimension of Culture

Setiap wilayah dan Negara memiliki masyarakat yang berbeda-


beda. Hal ini mempengaruhi cara bergaul dan berkomunikasi.
Ada beberapa cara berkomunikas iseseorang di tiap negara yang
dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu melalui tipe kebudayaan dan
Hofstede 5 dimension of culture. Penting sekali untuk kita
mempelajari tipe komunikasi, hal ini disebabkan karena telah
masuknya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan akan
menuju ke arah globalisasi. Berikut mari kita membahas cara
berkomunikasi melalui pendekatan tipe kebudayaan terlebih
dahulu.

Tipe Kebudayaan

Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki


oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Oleh karena itu berbeda tempat berbeda
juga kebiasaan yang dilakukan dan diwariskan. Sehingga
mempengaruhi kebudayaan tiap individu diberbagai tempat,
wilayah dan negara. Ada 2 tipe komunikasi pada pendekatan tipe
kebudayaan, yaitu :

1. Low context

Sesorang yang memiliki tipe komunikasi low context terlihat lebih


explisit. Orang tersebut akan langsung mengatakan sesuatu
tanpa basa basi tidak seperti yang dilakukan masyarakat di
Indonesia. Masyarakat low context lebih melihat dari achievement
yang pernah diraih seseorang bukan dari latar belakang dia
berasal. Mereka lebih senang melakukan perjanjian hitam diatas
putih apabila sedang menjalin kerjasama bahkan dalam
membangun satu rumah tangga mereka juga membuat perjanjian
hitam diatas putih untuk melindungi diri dan asset-asetnya. Oleh
sebab itu masyarakat low context sudah tidak asing lagi dengan
adanya pengacara dikehidupan sehari-harinya. Masyarakat low
context dianut oleh masyarakat di Negara Amerika dan Inggris.

2. High context

Berbeda dengan tipe low context, pada tipe high context lebih
menggunakan cara yang tidak langsung dalam menyampaikan
sesuatu atau yang biasa kita katakan dengan basa basi. Mereka
melihat seseorang dari background orang tersebut entah dari
kasta, asal keluarga dan sebagainya. Tipe masyarakat high
context mudah sekali percaya pada seseorang karena mereka
selalu memegang ucapan orang lain. Tipe high context ini banyak
dianut oleh masyarakat di beberapa Negara Asia seperti
Indonesia, Cina, Jepang dan Arab.

Geert Hofstede berhasil mengidentifikasi 5 model karakteristik


untuk mengukur sebuah kultur di masyarakat lintas Negara
dengan cara mengambil sampel dari 40 negara, kultur tersebut
adalah sebagai berikut :

1. Power distance

Merupakan tingkat kepercayaan atau penerimaan dari suatu


power yang tidak seimbang. Dimana perbedaan kekuatan ini
tergantung dari tingkatan sosial, tingkatan pendidikan dan
jabatan. Power distance dibedakan menjadi 2, yaitu high power
distance dan low power distance :

 High power distance, terdapat perbedaan kekuasaan yang sangat


jelas diantara masyarakatnya.

Misalnya di Indonesia, terjadi hubungan yang tidak dekat antara


atasan dan bawahan.
 Low power distance, dimana kekuasaan lebih dibagikan secara
merata.

Misalnya di Amerika, dimana atasan sering bersosialisasi dengan


bawahan dan memperlakukan bawahannya tidak semena-mena.

2. Individualism vs collectivism
 Individualism sering diartikan sebagai suatu kultur nasional
dimana seseorang lebih suka bertindak sebagai
individu/perseorangan daripada berkelompok. Budaya
individualism lebih menitikberatkan kepada inisiatif dan
penerimaan. Orang-orang individualism akan lebih tertarik pada
sesuatu yang menantang, hedonism, prestasi, kemajuan, self-
direction dan aktivitas diri yang maksimal. Selain itu, dalam
berkomunikasi orang-orang individualism lebih dominan
menyatakan pendapatnya secara langsung (to the point) dan
eksplisit.

Contoh negara yang berbudaya individualism adalah Amerika,


orang-orang di amerika bekerja keras untuk mencapai jabatan
tinggi dan tidak segan untuk bersaing demi memperebutkan
posisi tertentu tanpa memikirkan orang lain.

 Sedangkan collectivism menyatakan bahwa seseorang


merupakan anggota bagian dari suatu kelompok, dimana
kelompok itu akan melihat dirinya untuk loyalitas, orang-orang
yang berada pada budaya ini tidak akan bertindak atau
berperilaku diluar kebiasaan kelompoknya. Orang-orang
collectivism memandang aktivitas kelompok tertentu yang
dominan, harmoni dan lebih mengutamakan kerjasama di antara
kelompok daripada fungsi dan tanggungjawab individu. Orang-
orang pada budaya ini lebih tertarik pada tradisi, conformity serta
cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau
meninggalkan zona aman. Dalam berkomunikasi orang-orang
collectivism biasanya tidak langsung mengutarakan apa yang
ingin disampaikan, menggunakan banyak symbol dan terkadang
ambigu.

Misalnya di China, mereka menggunakan kata “kami” dalam


berkomunikasi. Di dalam loyalitas dan keharmonisan antar
karyawan sangat terjaga sehingga bentrokan pribadi dapat
dihindari.

3. Masculine vs feminine
 Kebudayaan masculine dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tinggal
di daerah beriklim panas, tropis dan dekat dengan garis
khatulistiwa. Kebudayaan masculine menghargai nilai prestasi
kerja dan ketegasan. Sehingga budaya ini dianggap lebih sesuai
dengan karakter laki-laki yang tegas, lebih berambisi dan berani
bersaing.

Contoh negara yang memiliki budaya masculine adalah Jepang,


dimana menganggap jenis kelamin laki-laki memiliki kekuasaan
absolute dan sebagai penerus nama keluarga.

 Kebudayaan feminine lebih banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa


yang tinggal di daerah beriklim dingin dan sedang (jauh dari garis
khatulistiwa). Kebudayaan feminine memiliki nilai penurut dan
mendukung kehidupan social dimana lebih menghargai sesama
dan simpati kepada orang yang berkekurangan. Kebudayaan ini
sangat seimbang antara jenis kelamin dan menerima pola asuh
antara perempuan dan laki-laki dan lebih focus terhadap kualitas
hidup.

Contohnya adalah tidak adanya diskriminasi antar gender saat


melamar pekerjaan di Amerika.

4. Uncertainty avoidance
Merupakan tingkatan dimana individu dalam suatu Negara lebih
memilih situasi terstuktur dibandingkan tidak terstruktur. Pada
negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang
besar, cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan,
menghindari resiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga
ritual. Pada Negara dengan uncertainty avoidance yang rendah,
atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian,
mereka cenderung lebih bisa menerima resiko, dapat
memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat, dan
memilki toleransi terhadap ambiguitas. Sehingga masyarakat luar
akan lebih mudah untuk menjalin hubungan.

Contoh di Indonesia untuk mengurangi ketidakpastian,


masyarakat dapat menerapkan aturan, hokum dan kebijakan-
kebijakan.

5. Orientasi jangka panjang dan orientasi jangka pendek


 Orientasi jangka panjang dan orientasi jangka pendek
merefleksikan seberapa luas masyarakat bergantung pada
kemampuannya menganalisis persoalan. Masyarakat yang
berorientasi jangka panjang memandang dan mengatasi
persoalannya secara keseluruhan dan dengan cara yang
fleksibel. Individu dalam kultur orientasi jangka panjang melihat
bahwa ke masa depan dan menghargai ketekunan dan tradisi.
 Sedangkan masyarakat yang berorientasi jangka pendek
cenderung untuk mencari jalan pintas dan memandang
persoalanya secara parsial.

Indonesia merupakan negara yang kaya raya akan keindahan


alam dan keanekaragaman budayanya. Hal ini merupakan daya
tarik yang luar biasa untuk dunia pariwisata di negeri ini. Hal ini
sudah menjadi perhatian pemerintah, namun masih maksimal
penggapannya, termasuk kesiapan sumber daya manusia (SDM)
yang mendukung dunia pariwisata. Satu hal yang harus ada dan
wajib dilakukan dalam menyiapkan dan meningkatkan SDM
adalah dengan penguasaan bahasa asing.

Peranan bahasa asing dalam sektor pariwisata, diantaranya


adalah untuk promosi wisata ke luar negeri, pelayanan reservasi,
pelayanan akomodasi (hotel atau perjalanan), pelayanan saat
guiding, komunikasi wisman dengan masyarakat, yang pada
akhirnya berhubungan dengan pencitraan terhadap Indonesia
oleh para wisman tersebut.

Pelaku wisata yang seharusnya menguasai bahasa asing


meliputi, pegawai travel agent, pegawai hotel, pemandu wisata,
dan masyarakat pelaku pariwisata. Target minimal penguasaan
penguasaan bahasa asing tersebut adalah: Percakapan
sederhana sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan, serta
penguasaan tata bahasa dan percakapan dasar.

Selain penguasaan bahasa asing, budaya dari berbagai negara


asing, baik budaya yang menyertai bahasa, maupun yang lainnya
juga wajib diketahui untuk menjaga supaya bisa memahami
semua komunikasi yang terjalin dengan wisman tanpa terjadi
kesalahpahaman yang berarti.

Dengan penguasaan bahasa asing, sekaligus memahami budaya


wisman dari berbagai negara, diharapkan bisa memberikan
pelayanan yang maksimal dan mampu menimbulkan kesan atau
citra yang baik yang mempunyai efek meningkatnya industri
pariwisata Indonesia.

Pentingnya mengenal budaya asing :

1. Mencegah kesalahpahaman
Budaya low context dengan budaya high context sangatlah
berbeda oleh sebab itu terkadang terjadi kesalahpahaman
antar satu budaya dengan budaya lainnya.

2. Sebagai media promosi

Apabila kita memelajari budaya asing kita dapat memahami


budaya asing tersebut maka promosi terhadap aspek tertentu
dapat disebar secara luas.

3. Moderisasi

Masyarakat tidak meninggalkan kebudayaannya namun


mengetahui perkembangan budaya sehingga tidak ketinggalan
zaman.

4. Kemudahan memperoleh informasi

Informasi tidak akan sulit lagi didapatkan karena informasi tidak


terbatas oleh satu lingkup saja namun bisa diperoleh dari
banyak lingkup.
Hofstede (1980; 1991) melalui penelitiannya berhasil mengidentifikasi 5 model karakteristik
untuk menilai sebuah kultur di masyarakat lintas negara. Dengan mengambil sampel di 40
negara, Hofstede menemukan bahwa manager dan karyawan memiliki lima dimensi nilai
kultur nasional yang berbeda-beda. Kelima kultur tersebut adalah :

1. Jarak kekuasaan merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan dimana
masyarakat menerima kekuatan dalam institusi dan organisasi didistribusikan tidak sama.
2. Individualisme/Kolektivisme. Individualisme merupakan sifat kultur nasional yang
mendeskripsikan tingkatan dimana orang lebih suka bertindak sebagai individu daripada
sebagai kelompok. Kolektivisme menunjukkan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan
kerangka social yang kuat dimana individu mengharap orang lain dalam kelompok
mereka untuk menjaga dan melindungi mereka.
3. Maskulinitas-Feminimitas. merupakan tingkatan dimana kultur lebih menyukai peran-
peran maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan pengendalian versus kultur
yang memandang pria dan wanita memiliki posisi sejajar. Penilaian maskulinitas yang
tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran yang terpisah untuk pria dan waniya, dengan
pria yang mendominasi masyarakat.
4. Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimaan individu dalam suatu negara
lebih memilih situasi terstruktur dibandingkan tidak tersetruktur.
5. Orientasi jangka panjang merupakan tipologi terbaru dari Hofstede. Poin ini berfokus
pada tingkatan ketaatan jangka panjang masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional.
Individu dalam kultur orientasi jangka panjang melihat bahwa ke masa depan dan
menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi.
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan
memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Geert Hofstede
telah mengajukan konsep budaya dalam teori organisasi, dalam hal ini sebagai salah satu
dimensi dalam memahami perilaku organisasi. Konsep ini menjadi penting dalam teori
ekonomi dan manajemen saat ini, dalam era globalisasi, ketika banyak perusahaan
mutinasional beroperasi di berbagai negara dengan berbagai ragam budaya yang berbeda.

Power Distance
Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan
dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang
dianggap lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras,
umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan
bentuk power distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi,
masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik.
Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat
persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang
disandang oleh seseorang.
Individualisme vs. Kolektivisme
Individualisme adalah lawan dari kolektivisme, yaitu tingkat di mana individu terintegrasi
ke dalam kelompok. Dari sisi individualis kita melihat bahwa terdapat ikatan yang longgar
di antara individu. Setiap orang diharapkan untuk mengurus dirinya masing-masing dan
keluarga terdekatnya. Sementara itu dari sisi kolektivis, kita melihat bahwa sejak lahir
orang sudah terintegrasi ke dalam suatu kelompok. Bahkan seringkali keluarga jauh juga
turut terlibat dalam merawat sanak saudara dan kerabatnya.
Uncertainty Avoidance
Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan
dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap
perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan
mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada
keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk
menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan
uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk
ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah,
memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi
orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan.
Contoh kasus: Mutasi GM dari AS ke Korea
John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke
Korea Selatan. Guna mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver
dapat menggunakan hasil studi Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada
dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance dan Individualism.

Kajian Hofstede yang secara ringkas membandingan Amerika Serikat dan Korea Selatan
(dan Thailand) adalah sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah. Dengan mengacu pada
Hofstede Framework tersebut, maka dapat dilihat bahwa Korea Selatan (dan Thailand)
relatif terhadap Amerika Serikat adalah:
1. Lebih tidak dapat menerima ketidakpastian
2. Power distance tinggi dan
3. Tingkat individualisme rendah.

Diolah dari sumber: Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed. Pp. 76-77
Gambar Hofstede Framework
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang
berasal dari Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:
1. Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa
orang lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur,
pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya.

2. Menyesuaikan dengan budaya Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi


konformitas dan keamanan

3. Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko

4. Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di
Korea Selatan

5. Memahami bahwa di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga


dan teman yang terdekat

6. Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih
autokratik dan patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas,
misalnya posisi hierarki.

Anda mungkin juga menyukai