Tipe Kebudayaan
1. Low context
2. High context
Berbeda dengan tipe low context, pada tipe high context lebih
menggunakan cara yang tidak langsung dalam menyampaikan
sesuatu atau yang biasa kita katakan dengan basa basi. Mereka
melihat seseorang dari background orang tersebut entah dari
kasta, asal keluarga dan sebagainya. Tipe masyarakat high
context mudah sekali percaya pada seseorang karena mereka
selalu memegang ucapan orang lain. Tipe high context ini banyak
dianut oleh masyarakat di beberapa Negara Asia seperti
Indonesia, Cina, Jepang dan Arab.
1. Power distance
2. Individualism vs collectivism
Individualism sering diartikan sebagai suatu kultur nasional
dimana seseorang lebih suka bertindak sebagai
individu/perseorangan daripada berkelompok. Budaya
individualism lebih menitikberatkan kepada inisiatif dan
penerimaan. Orang-orang individualism akan lebih tertarik pada
sesuatu yang menantang, hedonism, prestasi, kemajuan, self-
direction dan aktivitas diri yang maksimal. Selain itu, dalam
berkomunikasi orang-orang individualism lebih dominan
menyatakan pendapatnya secara langsung (to the point) dan
eksplisit.
3. Masculine vs feminine
Kebudayaan masculine dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tinggal
di daerah beriklim panas, tropis dan dekat dengan garis
khatulistiwa. Kebudayaan masculine menghargai nilai prestasi
kerja dan ketegasan. Sehingga budaya ini dianggap lebih sesuai
dengan karakter laki-laki yang tegas, lebih berambisi dan berani
bersaing.
4. Uncertainty avoidance
Merupakan tingkatan dimana individu dalam suatu Negara lebih
memilih situasi terstuktur dibandingkan tidak terstruktur. Pada
negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang
besar, cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan,
menghindari resiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga
ritual. Pada Negara dengan uncertainty avoidance yang rendah,
atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian,
mereka cenderung lebih bisa menerima resiko, dapat
memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat, dan
memilki toleransi terhadap ambiguitas. Sehingga masyarakat luar
akan lebih mudah untuk menjalin hubungan.
1. Mencegah kesalahpahaman
Budaya low context dengan budaya high context sangatlah
berbeda oleh sebab itu terkadang terjadi kesalahpahaman
antar satu budaya dengan budaya lainnya.
3. Moderisasi
1. Jarak kekuasaan merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan dimana
masyarakat menerima kekuatan dalam institusi dan organisasi didistribusikan tidak sama.
2. Individualisme/Kolektivisme. Individualisme merupakan sifat kultur nasional yang
mendeskripsikan tingkatan dimana orang lebih suka bertindak sebagai individu daripada
sebagai kelompok. Kolektivisme menunjukkan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan
kerangka social yang kuat dimana individu mengharap orang lain dalam kelompok
mereka untuk menjaga dan melindungi mereka.
3. Maskulinitas-Feminimitas. merupakan tingkatan dimana kultur lebih menyukai peran-
peran maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan pengendalian versus kultur
yang memandang pria dan wanita memiliki posisi sejajar. Penilaian maskulinitas yang
tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran yang terpisah untuk pria dan waniya, dengan
pria yang mendominasi masyarakat.
4. Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimaan individu dalam suatu negara
lebih memilih situasi terstruktur dibandingkan tidak tersetruktur.
5. Orientasi jangka panjang merupakan tipologi terbaru dari Hofstede. Poin ini berfokus
pada tingkatan ketaatan jangka panjang masyarakat terhadap nilai-nilai tradisional.
Individu dalam kultur orientasi jangka panjang melihat bahwa ke masa depan dan
menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi.
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan
memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Geert Hofstede
telah mengajukan konsep budaya dalam teori organisasi, dalam hal ini sebagai salah satu
dimensi dalam memahami perilaku organisasi. Konsep ini menjadi penting dalam teori
ekonomi dan manajemen saat ini, dalam era globalisasi, ketika banyak perusahaan
mutinasional beroperasi di berbagai negara dengan berbagai ragam budaya yang berbeda.
Power Distance
Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan
dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang
dianggap lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras,
umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan
bentuk power distance yang tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi,
masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik.
Sementara itu budaya dengan power distance yang rendah cenderung untuk melihat
persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status yang dicapai daripada yang
disandang oleh seseorang.
Individualisme vs. Kolektivisme
Individualisme adalah lawan dari kolektivisme, yaitu tingkat di mana individu terintegrasi
ke dalam kelompok. Dari sisi individualis kita melihat bahwa terdapat ikatan yang longgar
di antara individu. Setiap orang diharapkan untuk mengurus dirinya masing-masing dan
keluarga terdekatnya. Sementara itu dari sisi kolektivis, kita melihat bahwa sejak lahir
orang sudah terintegrasi ke dalam suatu kelompok. Bahkan seringkali keluarga jauh juga
turut terlibat dalam merawat sanak saudara dan kerabatnya.
Uncertainty Avoidance
Salah satu dimensi dari Hofstede adalah mengenai bagaimana budaya nasional berkaitan
dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi terhadap
perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan
mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada
keluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk
menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan
uncertainty avoidance yang rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk
ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa menerima risiko, dapat memecahkan masalah,
memiliki struktur organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi
orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan.
Contoh kasus: Mutasi GM dari AS ke Korea
John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke
Korea Selatan. Guna mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver
dapat menggunakan hasil studi Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada
dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance dan Individualism.
Kajian Hofstede yang secara ringkas membandingan Amerika Serikat dan Korea Selatan
(dan Thailand) adalah sebagaimana terlihat pada Gambar di bawah. Dengan mengacu pada
Hofstede Framework tersebut, maka dapat dilihat bahwa Korea Selatan (dan Thailand)
relatif terhadap Amerika Serikat adalah:
1. Lebih tidak dapat menerima ketidakpastian
2. Power distance tinggi dan
3. Tingkat individualisme rendah.
Diolah dari sumber: Han, et. Al. (2006) International Business, 3rd Ed. Pp. 76-77
Gambar Hofstede Framework
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang
berasal dari Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:
1. Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa
orang lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur,
pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya.
3. Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko
4. Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di
Korea Selatan
6. Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih
autokratik dan patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui formalitas,
misalnya posisi hierarki.