Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah : Psikologi Lintas Budaya

Dosen Pengampu : Muh. Nur Hidayat Nurdin, S.Psi. M.Psi.


Nurfitriani Fakhri, S.Psi., M.A.

MAKALAH
BUDAYA DAN EMOSI

Oleh

Kelompok 8

Dwiyanti Regita Cahyani (1571041002)


Indah Rahayu Mattaja (1571041041)
Delila Ayutami (1571041022)

Kelas B

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017

0
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puji serta syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah biologi tentang limbah dan pemanfaatannya
dengan baik.
Adapun makalah berjudul “Budaya dan Emosi” ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Makassar, September 2017

1
DAFTAR ISI
Sampul...................................................................................................................
Kata Pengantar ...................................................................................................... 1
Daftar Isi................................................................................................................ 2
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang Masalah................................................................................. 3
Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
Tujuan ............................................................................................................ 3
Bab II Pembahasan
Pengertian Budaya ......................................................................................... 4
Pengertian Emosi ........................................................................................... 5
Perbedaan dan Persamaan Budaya dan Makna Emosi................................... 7
Penelitian Lintas Budaya tentang Emosi ....................................................... 9
Teori-teori tentang Emosi .............................................................................. 12
Bab III Penutup
Kesimpulan .................................................................................................... 13
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 14

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dayakisni dan Yuniardi (2008) mengemukakan bahwa emosi dan perasaan
barangkali merupakan aspek paling penting bagi kehidupan manusia. Sangatlah
sulit membayangkan kehidupan tanpa emosi. Emosi memberi tahu siapa kita,
seperti apa kualitas hubungan kita dengan seseorang, dan bagaimana kita
berperilaku selama ini dan sebaiknya berperilaku di esok hari. Emosi memberi
makna akan setiap peristiwa yang kita alami dan warna dalam kehidupan kita.
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa pentingnya emosi dalam
kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Dayakisni
dan Yuniardi (2008) mengemukakan bahwa emosi memegang kunci keberhasilan
manusia. Setiap manusia memiliki emosi, memberinya identitias dan setianya
harus belajar beradaptasi dan mengontrol emosinya. Mengaitkan emosi dengan
individu adalah berbicara mengenai variasi pada setiap orang.
Dayakisni dan Yuniardi (2008) mengemukakan bahwa berbicara mengenai
individu tentu tidak bisa lepas dari konteks budaya dalam hidupnya. Bagaimana
keduanya saling memberi pengaruh. Begitupun kaitannya dengan emosi, setiap
budaya adalah unik dan berbeda dalam bagaimana budaya tersebut memberi arti,
melihat, mengelola, menerima da mengekpresikan emosinya.
2.1 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya dan emosi?
2. Bagaimana perbedaan dan persamaan budaya dan makna emosi?
3. Bagaimana pembahasan mengenai penelitian lintas budaya tentang emosi?
4. Bagaimana pembahasan mengenai teori-teori tentang emosi?
3.1 Tujuan
1. Untuk memahami pengertian budaya dan emosi
2. Untuk memahami perbedaan dan persamaan budaya dan makna emosi
3. Untuk memahami penelitian lintas budaya tentang emosi
4. Untuk memahami teori-teori tentang emosi

3
BAB II
PEMBAHASAN
1.2 Budaya dan Emosi
a. Pengertian Budaya
Menurut KBBI (2012), budaya berarti sebuah pemikiran, adat istiadat atau
akal budi. Secara tata bahasa, arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya
dimana cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia. Matsumoto (2004)
menjelaskan bahwa kebudayaan adalah seperangkat sikap (nilai, keyakinan) dan
perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Menurut Koentjaraningrat (2000), budaya
merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang
dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang
dijadikan kepunyaannya dengan belajar.
Kemudian Soemardjan dan Soemardi (Soekanto, 2007) merumuskan definisi
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan
masyarakat.
Berdasarkan definesi yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa
budaya adalah satu sistem gagasan atau seperangkat sikap yang dianut oleh
sekelompok orang kemudian dikomunikasikan dari satu generasi kegenerasi
berikutnya.
Menurut J.J. Hoenigman (Koentjaraningrat, 2000) wujud kebudayaan
dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Gagasan kebudayaan: kebudayaan berbentuk kumpulan ide, gagasan,
nilai-nilai, norma, peraturan yang sifatnya abstrak. Wujud kebudayaan ini
terletak di alam pemikiran warga masyarakat.
b. Aktivitas: wujud budaya sebagai suatu tindakan berpola (sistem sosial),
terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bersosialisasi di lingkungan sekitar.

4
c. Artefak: wujud keadaan fisik yang berupa hasil dari aktifitas perbuatan
dan karya seni.
Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2012) menyatakan bahwa budaya
memiliki pengaruh dalam pembentukan emosi manusia. Sebagai contoh
Matsumoto (2004) menyatakan bahwa orang dengan budaya yang cenderung
individual sangat mungkin lebih asertif dalam mengespresikan emosinya, dari
pada orang yang berasal dari budaya kolektif.

b. Pengertian Emosi
Emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk, karenanya tidak ada
satupun definisi yang diterima secara universal. Studi tentang emosi dilakukan
dalam psikologi, sosiologi, neurologi, etika dan filsafat. Dalam psikologi, emosi
didefinisikan sebagai reaksi penilaian (positif atau negatif) yang kompleks dari
sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya
sendiri (Sarwono, 2014).
Emosi adalah perasaan subjektif dan diasosiasikan dengan serangkaian
perilaku tampak tertentu, seperti senyum, muka merah, dan gemeretak rahang
yang dihubungkan dengan respon fisik pheripheral semacam debaran jantung,
berkeringat, atau gangguan pencernaan. Sehingga dapat diketahui bahwa emosi
sebagai perasaan mendalam diikuti adanya perubahan elemen kognitif maupun
fisik, dan mempengaruhi perilaku (Dayakisni & Yuniardi, 2012).
Pada dasarnya perlu diketahui emosi dan perasaan adalah dua hal yang
berbeda. Menurut Chaplin (Dayakisni & Yuniardi, 2012), emosi dan perasaan
merupakan proses fundamental yang sama, namun perasaan hanya menjadi bagian
dari emosi. Kedua hal ini dapat dibedakan melalui sisi intensitasnya. Selain itu,
ketika muncul perubahan jasmaniah maka akan memudahkan pengukuran emosi.
Berbagai emosi biasanya berhubungan dengan pola pengalaman subjektif,
perilaku overt (misalnya menangis atau tertawa), motivasi (misalnya ingin
mendekati atau menghindar), proses fisiologik (tekanan darah, adrenalin dll),
proses belajar, dan kondisi sistem-sistem saraf seseorang (Sarwono, 2014).

5
Dengan adanya emosi hubungan antara manusia akan lebih bernuansa. Ada
kala manusia gembira bila memperoleh apa yang diinginkannya. Bila seseorang
memberikan perhatikan dan kasih yang tulus manusia akan bahagia. Manusia juga
dapat tertawa bila ada yang lucu. Ia juga dapat menertawakan dirinya sendiri bila
ia menyadari kebodohannya . Bersama orang lain ia dapat berbagi suka dan duka.
Ia akan sedih bila apa yang dipunyai hilang atau gagal mencapai yang ditujunya.
Takut akan muncul bila ada hal yang mengancam jiwanya.
Markam (1992) mengemukakan dimensi pengalaman emosi dalam kaitannya
dengan nama-nama emosi. Nama-nama emosi tersebut dikaji melalui teori
kognitif secara deskriptif. Nama emosi negatif adalah sedih, marah, dan takut,
sedangkan bahagia mempunyai nilai positif.
Emosi juga dianggap sebagai adaptasi evolusi karena mereka meningkatkan
kemampuan organisme untuk mengalami dan mengevaluasi lingkungannya. Hal
ini membuat organisme mampu meningkatkan kemampuannya untuk bertahan
hidup dan meneruskan keturunan. Emosi memiliki fungsi yang sangat penting
dalam komunikasi, baik antara satu spesies dengan spesies lainnya atau
antarspesies yang sama (Sarwono, 2014).
Dayakisni dan Yuniardi (2012) mengemukakan beberapa fungsi emosi.
Yaitu:
a. Membantu persiapan tindakan, dimana emosi bertindak sebagai penghubung
antara peristiwa eksternal di lingkungan dengan respon perilaku individu.
Sebagai contoh, ketika seseorang melihat anjing yang sedang marah, reaksi
emosi yang muncul adlah rasa takut sehingga akan diasosiasikan dengan
terbangkitnya fisiologis yaitu divisi Symphatetic dari Sistem saraf otonom
tersebut yang menyiapkan tindakan darurat bagi individu sehingga akan lari
secepat mungkin.
b. Membentuk perilaku yang akan datang, dimana emosi membantu individu
menyediakan simpanan respon untuk perilaku di masa yang akan datang.
Misalnya respon emosional yang diambil seseorang ketika dikejar anjing
(takut hingga degup jantung bertambah cepat) memberitahu kepada orang

6
tersebut untuk menghindari tempat atau situasi yang serupa dimasa yang
akan datang.
c. Membantu individu untuk mengatur interaksi sosial, dimana emosi yang
diekspresikan menjadi sinyal membantu individu dalam berinteraksi,
khususnya bagaimana individu tersebut berperilaku. Misalnya ketika
seseorang bertemu dengan individu lainnya yang Nampak sedih tanpa
diketahui sebabnya, ekspresi tersebut memberi tand bahwa kita jangan
mengajaknya bergurau.

2.2 Perbedaan dan Persamaan Budaya dan Makna Emosi


Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa menurut psikologi Amerika, emosi
mengandung makna personal yang amat kental, barangkali karena psikologi
Amerika memandang perasaan batik (inner feeling) yang subyektif sebagai
karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Peran utama yang dipegang
emosi adalah memberikan informasi pada kita tentang diri kita sendiri. Definisi
diri kita sendiri yakni bagaimana kita mendefinisikan dan mengindentifikasi diri
kita semuanya dipengaruhi oleh emosi kita, sebagai sesuatu yang personal, privat
sebagai pengalaman batin.

1. Konsep emosi
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa langkah pertama yang harus
dilakukan ketika berbicara mengenai emosi terkiat kajian lintas budaya adalah
mempelajari apakah setiap budaya memiliki pemehaman yang sama akan
dengan apa yang di maksud dengan emosi.

2. Kategorisasi emosi
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa beberapa manifestasi emosi
seperti marah, sedih, gembira, tampak bahwa setia budaya meiliki kosa kata
yang bermakna sama. Namun ditemukan beberapa kosa kata bagi suatu
kondisi emosi ada pada beberapa suku namun tidak ditemukanpada suku lain.
Setiap budaya memiliki konsep dan kategorisasi emosi yang berbeda, namun

7
dengan keyakinan bahwa emosi adalah berlangsung universal, setiap orang
tanpa memperdulikan budayanya pasti memiliki emosi. Setiap budaya
memiliki pemahaman yang berbeda mengenai kosa kata namun ada pula yang
memilliki makna yang sama.

3. Lokasi emosi
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa beberapa studi mengatakan
bahwa menempatkan emosi pada lokasi yang berbeda. Orang barat (Eropa-
Amerika) beranggapan bahwa emosi bertempat atau dirasakan di hati,
sedangkan orang jepang berkeyakinan bahwa emosi mereka bertempat di hara
atau perut, dan masih banak lagi keyakinan dari negara lain. Gerber
(Matsumoto, 2004) mengemukakan bahwa mengemukakan bahwa emosi
tidaklah terdapat pada suatu lokasi tertentu pada tubuh manusia melainkan
terdapat pada hubungan antara orang atau hubungan antara orang dengan suatu
peristiwa. Seseorang yang mengalami emosi dikatakan berada pada sebuah
situasi yang memalukan tidak peduli apakah perasaannya sendiri malu ataukah
tidak.
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa perbedaan pandangan lokasi
emosi oleh budaya-budaya memberikan pemahaman bahwa emosi dipahami
secara berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula bagi setiap budaya.
Perbedaan tersebut sekaligus menggambarkan bagaimana arti emosi bagi
kehidupan budaya. Keyakinan bahwa emosi terletak dihati memberikan
petunjuk bagaimana hati memberi petunjuk dalam memberikan perhatian pada
pegalaman individual dan keunikan personalnya. Pada suku lain ynag
menempatkan menempatkan emosi di berbagai tubuh barangkali dikarenakan
karena budaya tersebut mementingkan masalah hubungan sosial lebih dari
sekedar pengalaman-pengalaman perasaan individu.

4. Makna emosi
Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa emosi didefinisikan sebagai
perasaan subyektif yang sifatnya kesemuanya merujuk pada terbitan Amerika

8
atau Eropa, pemahaman emosi sebagai pengalaman subyektif selalu ditemukan.
Beberpa peneliti telah menemukan bahwa beberapa budaya ternyata
mempertimbangkan emosi sebagai sebuah statement di dalam hubungan antara
orang dan lingkungan. Emosi bagi suku Ifaluk di Micronesia dan suku Tahiti
membuktikan bahwa emosi bagi ke dua suku ini dimaknai di dalam hubungan
sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang mengenai emosi yang menjelaskan
suatu bentuk emosi akan ketergantungan satu sama lain yang kategori emosi ini
tidak ada dalam konsep Barat, juga menjelaskan bagaimana emosi dalam
budaya Jepang dilihat sebagai konstruk sosial lebih dari sekedar konstruk
individual.

2.3 Penelitian Psikologi Lintas Budaya mengenai Emosi


a. Ekspresi Emosi
Matsumoto (2004:186) mengemukakan bahwa, penelitian lintas budaya
tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspresi
wajah dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan
penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong
utama kajian-kajian emosi di psikologi Amerika.
Matsumoto (2004:186) mengemukakan bahwa, meski keuniversalan beberapa
ekspresi wajah emosi kini telah mapan diterima dalam psikologi, banyak ilmuwan
sosial dan orang awam yang sudah lama mengetahui bahwa orang dari budaya
yang berbeda mungkin saja berbeda dalam ekspresi emosi mereka.
Ekman dan Izard (Matsumoto, 2004:187) mengemukakan bahwa, bukti
pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah, jijik,
takut, senang, sedih, dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi
mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau
innate, serupa untuk semua orang dari segala budya atau etnisitas. Dengan
dmikian, siapa pun, dari budaya mana saja, yang mengalami salah satu dari emosi
ini seharunya mengekspresikannya secara sama persis.
Matsumoto (2004:187) mengemukakan bahwa temuan ini tidak cocok dengan
apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedan kultural dalam

9
ekspresi emosi. Keuniversalan ekspresi emosi tidak bisa menjelaskan perbedaan-
perbedaan kultural. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri
yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan. Aturan ini pada
intinya mengatur kecocokan kapan ditampilkannya masing-masing emosi
tersebut, tergantung pada situasi sosial. Inilah yang disebut sebagai aturan
pengungkapan kultural (cultural display rules).
Matsumoto (2004:189) mengemukakan bahwa, meskipun ekspresi wajah
universal itu secara biologis bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada
semua orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-
aturan pengungkapan yang dipelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi
antar manusia pada hakekatnya bersifat sosial, harus dipahami bahwa perbedaan
kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan
setiap kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat
mengekspresikan emosi secara berbeda.
Suciati dan Agung (2016:106) mengemukakan bahwa ekspresi emosi
merupakan hal penting dalam konteks interaksi manusia. Ekspresi emosi
merupakan salah satu cara individu dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Ekspresi emosi ditentukan oleh faktor konteks dan budaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum terdapat perbedaan ekspresi emosi pada suku
Batak, suku Jawa, suku Minangkabau dan suku Melayu. Perbedaan khususnya
terjadi pada suku Minangkabau dan Melayu. Suku Minangkabau adalah suku
yang paling ekspresif mengekspresikan emosinya, kemudian suku Batak, suku
Jawa dan yang terakhir adalah suku Melayu. Sementara pada konteks lingkungan,
terdapat perbedaan ekspresi emosi antara di rumah sendiri dan ditempat umum.
Perbedaannya adalah bahwa di rumah sendiri ekspresi emosi diekspresikan lebih
ekspresif dibandingkan dengan di tempat umum. Berdasarkan jenis emosi, laki-
laki lebh ekspresif mengekspresikan jenis emosi powerfull (kekuatan) yaitu marah
dan muak dibandingkan dengan perempuan. Sementara perempuan lebih ekspresif
mengekspresikan jenis emosi powerless (ketidakberdayaan) yaitu jijik, takut, dan
sedih serta emosi positif yaitu bahagia dan terkejut dibandingkan dengan laki-laki.

10
b. Persepsi Emosi
Matsumoto (2004:189) mengemukakan bahwa, karena pespresi dari beberapa
emosi bersifat universal, maka pengenalan dari emosi-emosi tersebut seharusnya
universal pula. Inilah yang ditemukan oleh Ekman dan Izard, dan biasanya
diuraikan oleh kebanyakan buku pengantar. Semenjak penerbitan awalnya di awal
1970-an, temuan-temuan ini tidak tergoyahkan, sampai akhirnya penelitian lintas
budaya di tahun 1980-an mulai mendokumentsikan bagaimana kebudayaan juga
mempengaruh persepsi.
Matsumoto (2004:192) mengemukakan bahwa, beberapa ahli psikologi
percaya bahwa budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti
halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspesinya. Aturan tentang
interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode (decoding rules). Aturan ini
adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari pada masa-masa awal kehidupan,
dan dipelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari
pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya
yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.
Kurniawan dan Hasanat (tanpa tahun: 3) mengemukakan bahwa Di Indonesia,
pada umumnya masih sering terdengar stereotip-stereotip kesukuan yang
menunjukkan karakteristik pengungkapan emosi suatu kultur tertentu dalam
proses interaksi sosial. Misalnya, orang‐orang Jawa dan Sunda beranggapan
bahwa mereka halus dan sopan, dan orang‐orang Batak kasar serta nekat,
berwajah sangar dan suka berbicara dengan intonasi keras. Orang Batak sendiri
menganggap bahwa mereka pemberani, terbuka, suka berterus terang, pintar,
rajin, kuat dan tegar. Orang‐orang Batak menganggap orang Jawa dan Sunda lebih
halus dan spontan, namun lemah dan tidak suka berterus terang. Apa yang orang
Jawa dan Sunda anggap sebagai kekasaran, bagi orang Batak justru kejujuran.
Apa yang orang Jawa dan Sunda anggap kehalusan, bagi orang Batak adalah
kemunafikan dan kelemahan. Sependapat dengan hal itu, menurut Schweizer
(Kurniawan dan Hasanat, tanpa tahun: 3) orang Jawa memberikan ciri yang
menonjol pada orang Batak bersifat berani dan kasar. Mereka tidak takut akan
terjadi konflik dengan seseorang yang mempunyai tingkatan atau kedudukan yang

11
lebih tinggi. Orang Batak dianggap sebagai masyarakat yang agresif dan kasar
karena banyak menimbulkan konflik terhadap masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Kajian lain menunjukkan pula, bahwa komunikasi
yang melibatkan emosi dan kultur juga memberikan makna dalam berkomunikasi.
Kasus pertikaian antar etnik Dayak dan etnik Madura Sambas di Kalimantan
adalah cermin dari gagalnya proses komunikasi emosi. Seperti yang dikemukakan
Rachbini (Kurniawan dan Hasanat (tanpa tahun: 3), bahwa dalam berinteraksi
sehari‐hari suku Madura dipandang warga setempat berkarakter kasar, tidak sopan
dan tidak mudah beradaptasi dengan Iingkungan.

c. Pengalaman Emosional
Matsumoto (2004:192) mengemukakan bahwa, dalam beberapa tahun
terakhir beberapa program penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang
dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-enelitian
tersebut secara keseluruhan, melibatkan ribuan responden lebih dari 30 budaya di
seluruh dunia, yang mengisi kuesioner tentang emosi yang mereka alami di
kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian-penelitian
ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada
bagaimana orang mengalami emosi.
Matsumoto (2004:192) mengemukakan bahwa, para responden dalam
penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa lama (durasi)
mereka mengalami emosi mereka. Hasilnya menunjukkan adanya beberapa
perbedaan. Orang Amerika merasakan emosi mereka lebih lama dan pada
intensitas yang lebih tinggi ketimbang Orang Eropa maupun Jepang.
Baqi (2015:22) mengemukakan bahwa emosi berkembang sejak anak lahir,
emosi ditimbulkan oleh adanya rangsang. Pengalaman-pengalaman sehari-hari
yang dialami individu dalam menghadapi suatu rangsang akan mempertajam
kepekaan emosi serta ketepatan dalam mengeks-presikan emosinya. Pada masa
anak-anak ekspresi emosi sulit dibedakan. Misalnya ekspresi menangis pada anak
atau bayi dapat berarti marah, lapar, takut dan sebagainya. Makin besar atau
makin dewasa makin banyak anak belajar meng-ekspresikan emosi ke dalam

12
masyara-katnya. Selain itu anak makin dapat membedakan rangsang atau stimulus
dari lingkungan. Emosi nampak dari luar sebagai perilaku yang sesuai dengan
cara-cara yang dipelajari dari masyarakatnya. Pengalaman sangat memengaruhi
per-kembangan dan kemasakan emosi. Orang yang mempunyai banyak
pengalaman positif tentu akan memiliki perkembangan dan kemasakan emosi
yang berbeda dengan anak yang sedikit mengalami pengalaman positif.
Prawitasari (1995:33) mengemukakan bahwa dalam disertasinya, Markam
mengemukakan dimensi pengalaman emosi dalam kaitannya dengan nama-nama
emosi. Ia mengkaji secara deskriptif nama-nama emosi tersbut melalui teori
kognitif. Nama emosi negatif adalah sedih, marah, dan takut. Sedangkan bahagia
mempunyai nilai positif. Markam juga mengemukakan perbedaan antara pria dan
wanita dalam menilai pengalaman emosi. Terharu bagi wanita merupakan
pengalaman yang bernilai lebih positif dibandingkan dengan pria. Bagi wanita
pengalaman emosi ini terkendalikan, tetapi tidak terkendalikan bagi pria.
Pengalaman sedih dan terharu bagi wanita merupakan sikap yang lebih optimis
dibandingkan dengan pia. Bagi wanita dalam mengalami rasa cemas dan panik
cenderung “tidak melawan”. Pria dalam mengalami cemas dan panik tidak terlalu
tersedot perhatiannya terhadap pengalaman emosi tersebut, tetapi wanita sangat
dipengaruhi oleh pengalaman emosi tersebut.

d. Anteseden Emosi
Beberapa penelitian telah mempelajari apakah anteseden emosi, yakni hal-hal
yang memicu atau terjadi mendahului suatu emosi, bervariasi dari satu budaya ke
budaya lain. Apakah jenis-jenis kejadian yang sama menghasilkan macam-macam
emosi yang sama, pada frekuensi yang kurang lebih serupa, pada budaya yang
berbeda-beda? Pertanyaan-pertanyaan ini dikaji oleh sebuah penelitian yang
membandingkan orang Amerika dan Jepang. Temuan-temuan penelitian ini
meunjukkan adanya perbedaan kultural dalam bagaimana orang dari budaya yang
berbeda mengevaluasi situasi-situasi yang membangkitkan emosi.
Iqbal (2014:317) mengemukakan bahwa masyarakat Bugis-Makassar yang
merupakan suku utama yang mendiami Sulawesi Selatan memiliki budaya rasa

13
malu yang disebut siri’. Siri’ adalah kebanggan atau keagungan harga diri.
Masyarakat Bugis-Makassar dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh sistem
norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral yang dikenal sebagai
karakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu untuk
mempertahanlan kehormatan mereka bersedia melakukan tingkat kekerasan.
Namun demikian, di balik sifat keras itu, masyarakat Bugis-Makassar juga dikenal
sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi
rasa kesetiakawanannya.
Iqbal (2014:320) mengemukakan bahwa budaya malu dalam masyarakat
Bugis-Makassar yang dikenal dengan siri’ membentuk suasana hati seseorang
yang bersangkutan denga harga diri pada saat terjadi pelanggaran norma atau nilai
sosial. Rasa malu ini akan meniimbulkan respon untuk mempertahankan harga
dirinya. Dalam siri’ terdapat nilai-nilai moral untuk mempertahankan harga diri
orang yang menganutnya. Orang yang mengalami siri’ ini wajib melakukan
semacam balas dendam terhadap orang yang menyebabkan siri’ guna untuk
menghapus malu tersebut.
Iqbal (2014:321) mengemukakan bahwa masyarakat Bugis-Makassar
mengutamakan sifat-sifat harga diri dan kesetiakawanan (loyalitas), yang dinilai
sebagai unsur siri’ dan pacce. Apabila harga diri tersebut disinggung yang
melahirkan aspek-aspek siri’ maka akan muncul aksi-aksi tantangan dari pihak
yang merasa siri’nya ternodai berupa perlawanan, baik secara perseorangan
maupun berkelompok. Tergantung pada mutu nilai siri’ yang timbul sebagai kasus
yang lahir karenanya.

e. Fisiologi Emosi
Matsumoto (2004:195) mengemukakan bahwa, sampai saat ini belum ada
kajian yang secara formal menguji perbedaan-perbedaan kultural dalam reaksi-
reaksi fisiologis emosi. Meski demikian, ada beberapa penelitian yang telah
menguji perbedaan-perbedaan kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis dan perilaku
yang dilaporkan oleh orang-orang dari beberapa budaya yang berbeda. Meski
tidak bisa menggantikan fisiologis dan perilaku itu sendiri, data-data tersebut

14
memunculkan beberapa spekulasi menarik tentang kemungkinan perbedaan-
perbedaan kultural.
Matsumoto (2004:195) mengemukakan bahwa orang Amerika dan Eropa
melaporkan bahwa mereka lebih banyak mengalami sensasi-sensasi yang murni
fisiologis dibanding orang Jepang. Di antara sensasi-sensasi ini adalah perubahan
temperatur tubuh (wajah menjadi merah, panas, dan seterusnya), perubahan-
perubahan kardiovaskular (jantung berdebar dan perubahan denyut nadi), dan
gangguan gastric (masalah perut).

2.4 Teori-teori Klasik Psikologi Mengenai Emosi


Dayakisni dan Yuniardi (2008:49) mengemukakan bahwa ada beberapa teori
besar mengenai penalaman emosi. Pertama kali adalah James/Lange Theory.
Teori ini menyatakan bahwa emosi merupakan hasil dari sebuah persepsi
fisiologis yang terbangkitkan otomatis (physiologis autonomic arousal) dan
perilaku tampak. Sangat berlawanan, Cannon/Bard Theory yang bependapat
bahwa autonomic arousal terlalu lambat untuk menghitung dan menjelaskan
perubahan-perubahan dalam pengalaman emosi. Pengalaman kesadaran emosi
adalah hasil dari stimulasi langsung pusat otak di korteks.
Dayakisni dan Yuniardi (2008:50) mengemukakan bahwa, Scachter/Singer
Theory lebih fokus pada peran interpretasi seseorang mengenai lingkungan di
mana emosi itu terbangkitkan. Merujuk pada teori ini, emosi tidak dibedakan
secara fisiologis. Sebaliknya, apa yang penting dalam proses yang menghasilkan
pengalaman emosi adalah bagaimana seseorang menginterpretasikan peristiwa-
peristiwa di sekitar mereka. Emosi adalah label dari perilaku atau peristiwa
internal individu yang terbangkitkan pada situasi tersebut.
Dayakisni dan Yuniardi (2008:50) mengemukakan bahwa, teori-teori
mengenai penampilan emosi diantaranya adalah dari: Ekam, Izard, Tomkins, dan
Plutchik. Teori dari Tomkins meyakini bahwa emosi adalah bentuk adaptasi dari
evolusi manusia, dan karenanya ekspresi emosi adalah merupakan bawaan
biologis serta universal bagi seluruh manusia dari mana pun budaya dan etnisnya.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Izard dan Ekman telah menunjukkan enam

15
ekspresi emosi pada muka yang universal, yaitu: marah, jijik, takut, bahagia,
sedih, dan gembira.
Semua teori klasik psikologi di atas dibangun dalam budaya Amerika. Sebuah
budaya yang memiliki tingkat individualitas yang paling tinggi, sehingga sangat
mungkin interpretasi emosi sebagai suatu pengalaman yang sifatnya subjektif
dapat terjadi. Menarik disimak adalah bagaimana konsep emosi dari budaya-
budaya yang cenderung berkarakter kolektif.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Soemardjan dan Soemardi (Soekanto, 2007) merumuskan definisi
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabdikan untuk keperluan masyarakat.
 Emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk, karenanya tidak ada
satupun definisi yang diterima secara universal. Studi tentang emosi
dilakukan dalam psikoloi, sosiologi, neurologi, etika dan filsafat. Dalam
psikologi, emosi didefinisikan sebagai reaksi penilaian (positif atau
negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan
dari luar atau dari dalam dirinya sendiri (Sarwono, 2014).
 Matsumoto (2004) mengemukakan bahwa menurut psikologi Amerika,
emosi mengandung makna personal yang amat kental, barangkali karena
psikologi Amerika memandang perasaan batik (inner feeling) yang
subyektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Peran
utama yang dipegang emosi adalah memberikan informasi pada kita
tentang diri kita sendiri. Definisi diri kita sendiri yakni bagaimana kita
mendefinisikan dan mengindentifikasi diri kita semuanya dipengaruhi oleh
emosi kita, sebagai sesuatu yang personal, privat sebagai pengalaman
batin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Baqi, S.A. (2015). Ekspresi Emosi Marah. Buletin Psikologi, 23(1), hal. 22-30.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. ISSN: 0854-7108.

Dayakisni, Tri & Yuniardi, S. (2012). Psikologi lintas budaya. Malang: UMM
Press.

Departemen Pendidikan Nasional. (2012). Kamus besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Iqbal, C.I. (2014). Budaya Malu dalam Masyarakat Jepang dan Bugis-Makassar.
Walasuji, 5(2), hal. 315-325.

Koentjaraningrat. (2000). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kurniawan, A.P. & Hasanat, N.U. (Tanpa tahun). Perbedaan Ekspresi Emosi pada
Beberaa Tingkat Generasi Suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi,
34(1), hal. 1-17. ISSN: 0215-8884.

Markam, S. S. (1992). Dimensi pengalaman emosi kajian deskriptif melalui nama


emosi berdasarkan teori kognitif. Disertasi. Jakarta: Program Pasca
Sarjana Universitas Indonesia.

Matsumoto, D. (2004). Pengantar psikologi lintas budaya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Prawitasari, J.E. (1995). Mengenal Emosi Melalui Komunikasi Nonverbal.


Buletin Psikologi, (1), hal. 27-43. ISSN: 0854-7196.

Soekanto, S. (2007). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Suciati, R. & Agung, I.M. (2016). Perbedaan Ekspresi Emosi pada orang Batak,
Jawa, Melayu, dan Minangkabau. Jurnal Psikologi, 12(2), hal. 99-108.

18

Anda mungkin juga menyukai