Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

BUDAYA DAN ASPEK-ASPEK PSIKOLOGI INDIVIDU


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Indigenous
Dosen Pengampu: Tias Febtiana Sari, M.Psi.

Disusun oleh: TP A7 Kelompok 2


Alya Andikri 1201040010
Alya Nabila 1201040011
Amalia Diana 1201040012
Amara Maycha Wahyu P 1201040013
Amelia 1201040014
Andini Aprianti 1201040015
Anggraeni Salsabila 1201040017
Annida Fitria Sholihat 1201040019

PROGRAM STUDI TASAWUF PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
anugerah dari-Nya Makalah ini dapat kami selesaikan dengan sebaik-baiknya.

Makalah yang berjudul “Budaya dan Aspek-aspek Psikologi Individu” disusun dalam
rangka memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Indigenous yang diampu oleh
Ibu Tias Febtiana Sari, M.Psi.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin. Harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman bagi para pembacanya. Karena
keterbatasan pengetahuan, kami yakin terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini
dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Purwakarta, 25 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

A. Pengertian Budaya atau Kebudayaan .......................................................................... 3

B. Unsur-unsur Budaya atau Kebudayaan ....................................................................... 4

C. Fungsi Kebudayaan .................................................................................................... 5

D. Pengaruh Budaya terhadap Psikologi Individu ............................................................ 6

E. Aspek Psikologi Individu............................................................................................ 7

F. Nilai dan Norma Budaya ............................................................................................ 9

G. Konsep Diri dan Identitas Budaya............................................................................. 11

H. Gangguan Psikologi dan Budaya .............................................................................. 14

I. Implikasi Praktis ....................................................................................................... 18

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nilai-nilai kehidupan yang diyakini suatu masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan yang
dianut dan dikembangkan dari kehidupan sehari-hari. Budaya menghasilkan sebuah tatanan
nilai dalam kehidupan masyarakat, yang dapat berpengaruh pada perilaku individu. 1 Pada
masa awal hidup hingga akhir hayat hidupnya, manusia memperoleh suatu proses budaya.
Proses sosialisasi dan pendidikan budaya yang ditanamkan menjadi perilaku dan kepribadian
yang sudah melakat pada sistem saraf di setiap individu. Dengan proses belajar ini manusia
harus berinteraksi dan berkomunikasi antar sesama, proses ini didapatkan pada setiap
individu yang dinmakan enkulturasi. Budaya dan individu memiliki hubungan dalam
proses pembudayaan sehingga manusia mampu menyesuaikan diri dengan keadaan. Jika ada
individu imigran yang masuk pada wilayah pribumi maka imigran ini belajar menyesuaikan
dan menciptakan situasi-situasi yang relevan. 2 Ciri khas dari budaya setempat tetap
dipertahankan dan saling melengkapi dengan unsur kebudayaan asing.3

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini antara lain:

1. Apa pengertian budaya atau kebudayaan?


2. Apa saja unsur-unsur budaya atau kebudayaan?
3. Apa fungsi kebudayaan?
4. Bagaimana pengaruh budaya terhadap psikologi individu?
5. Apa saja aspek psikologi individu?
6. Apa saja nilai dan norma budaya?
7. Bagaimana konsep diri dan identitas budaya?
8. Bagaimana gangguan psikologi dan budaya?

1
Aspek Budaya Penilaian Psikologis, Konseling Lintas Budaya (BKW 205, 2020)
2
Misbakhul Munir, Akulturasi Budaya, 1922 (dalam bahasa Inggris), (2020)
3
Wida Widianti, (2009). Sosiologi (PDF). Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. h. 87.

1
C. Tujuan Masalah
Bersumber pada rumusan permasalahan di atas, tujuan dalam penyusunan makalah ini
sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian budaya atau kebudayaan


2. Mengetahui apa saja unsur-unsur budaya atau kebudayaan
3. Memahami fungsi kebudayaan
4. Mengetahui pengaruh budaya terhadap psikologi individu
5. Mengetahui apa saja aspek psikologi individu
6. Mengetahui apa saja nilai dan norma budaya
7. Memahami konsep diri dan identitas budaya
8. Mengetahui gangguan psikologi dan budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya atau Kebudayaan


Kata “Budaya” berasal dari Bahasa Sansekerta “Buddhayah”, yakni bentuk jamak dari
“Budhi” (akal). Jadi, budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata
budaya juga berarti “budi dan daya” atau daya dari budi. Jadi budaya adalah segala daya dari
budi, yakni cipta, rasa dan karsa.4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat
istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. 5 Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan
karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,


moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekumpulan anggota
masyarakat.6 Merumuskan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. 7

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia adalah
hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang
merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran

4
Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 16.
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi ke-3(Jakarta: Balai Pustaka,
2000), h. 169.
6
Soerjono, Soekanto. Sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 150-151.
7
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi UI, 1964), h. 115.

3
didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai. 8

Jadi, kebudayaan mencakup semuanya yang di dapatkan atau dipelajari oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-
pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir,
merasakan dan bertindak. Seorang yang meneliti kebudayaan tertentu akan sangat tertarik
objek-objek kebudayaan seperti rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan
sebagainya.

B. Unsur-unsur Budaya atau Kebudayaan


Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan
misalnya pendapat yang dikemukakan oleh Melville J. Herskovits bahwa unsur pokok
kebudayaan terbagia menjadi empat bagian yaitu: Alat-alat teknologi, Sistem ekonomi,
keluarga, dan kekuasaan politik. Sedangkan Bronislaw Malinowski, menyebut unsur-unsur
kebudayaan antara lain:

a. Sistem normal yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di
dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi.
c. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga
merupakan lembaga pendidikan yang utama.
d. Organisasi kekuatan.

Unsur kebudayaan yang dianggap sebagai culture universal, yaitu:

a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat rumah


tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya.
b. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan).
d. Bahasa (lisan maupun tertulis).
e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).

8
Ki Hajar, Dewantara, Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1994).

4
C. Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.
Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota- anggotanya seperti
kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri tidak
selalu baik baginya. Selain itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di
bidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan- kebutuhan masyarakat tersebut di atas untuk
sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Dikatakan sebagian besar karena kemampuan manusia terbatas sehingga kemampuan
kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala
kebutuhan.
Kebudayaan merupakan karakter suatu masyarakat dan bukan karakter individual. Semua
yang dipelajari dalam kehidupan sosial dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya merupakan kebudayaan. Kebudayaan tidak bisa lepas dari kepribadian individu
melalui suatu proses belajar yang panjang.
Dalam proses belajar yang disebut sosialisasi itu, kepribadian individu pasti juga
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan itu secara keseluruhan. Gagasan-
gagasan, tingkah laku, atau tindakan manusia itu ditata, dikendalikan, dan dimantapkan pola-
polanya oleh berbagai sistem nilai dan norma di masyarakatnya.
Sebaliknya, kebudayaan di masyarakat turut memberikan sumbangan pada pembentukan
kepribadian seseorang. Kepribadian suatu individu masyarakat, walaupun berbeda-beda
distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan juga
oleh sistem sosial yang telah diinternalisasinya melalui proses sosialisasi dan proses
pembudayaan selama hidup sejak masa kecilnya sampai tua.
Kepribadian ada yang selaras dan ada yang tidak selaras dengan lingkungan alam serta
sosial. Pembentukan watak banyak dipengaruhi oleh pengalamannya ketika sebagai anak-
anak yang berada dalam asuhan orang-orang terdekat di lingkungannya, yaitu ayahnya,
ibunya, kakaknya, dan individu lainnya yang berada di sekelilingnya.
Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar.
Watak inilah yang terlihat oleh orang asing. Watak khas itu sering tampak pada gaya tingkah
laku masyarakatnya, kegemaran- kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya
mereka.

5
D. Pengaruh Budaya terhadap Psikologi Individu
Budaya memiliki pengaruh yang mendalam terhadap psikologi individu. Ini dapat dilihat
dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari seseorang, mulai dari keyakinan, nilai-nilai,
hingga perilaku. Pertama, budaya memengaruhi pembentukan identitas individu. Setiap
budaya memiliki norma dan nilai-nilai yang unik, yang sering kali menjadi landasan bagi
individu dalam memahami diri mereka sendiri dan tempat mereka dalam masyarakat.

Selain itu, budaya juga memengaruhi cara individu berinteraksi dengan orang lain.
Misalnya, budaya yang mendorong individualisme cenderung membuat orang lebih mandiri,
sementara budaya yang mendorong kolektivisme mengutamakan kerjasama dan
ketergantungan pada kelompok. Hal ini dapat memengaruhi cara individu membangun
hubungan sosial, tingkat kepercayaan, dan dukungan sosial yang mereka terima.

Budaya juga berperan penting dalam membentuk pola pikir individu. Cara individu
memproses informasi, berpikir tentang waktu, dan mengambil keputusan seringkali
dipengaruhi oleh budaya mereka. Sebagai contoh, budaya yang memiliki orientasi masa
depan yang kuat mungkin akan mendorong individu untuk merencanakan jangka panjang,
sementara budaya yang lebih fokus pada kehidupan saat ini bisa membuat individu lebih
spontan dan kurang berorientasi masa depan.

Selanjutnya, budaya memengaruhi persepsi individu terhadap kesehatan mental dan


dukungan yang mereka cari. Beberapa budaya mungkin memiliki stigma terhadap masalah
kesehatan mental, yang dapat menghambat individu untuk mencari bantuan. Di sisi lain,
budaya yang memprioritaskan kesejahteraan mental dapat mendorong individu untuk mencari
perawatan lebih cepat.

Terakhir, budaya juga memengaruhi cara individu menghadapi stres dan trauma. Cara
individu merespon situasi sulit seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma budaya
mereka. Budaya juga dapat memberikan kerangka kerja untuk berduka dan berdamai dengan
pengalaman traumatis.

Secara keseluruhan, pengaruh budaya terhadap psikologi individu sangat kompleks dan
mendalam. Budaya membentuk identitas, perilaku, pola pikir, dan cara individu berinteraksi
dengan dunia sekitarnya. Memahami peran budaya dalam psikologi individu penting untuk
memberikan dukungan dan perawatan yang lebih efektif dalam konteks budaya yang
beragam.

6
E. Aspek Psikologi Individu
Identitas diri adalah proses menjadi seorang individu yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup, suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi serta
keyakinan relatif stabil sepanjang rentang kehidupan dan pengorganisasian dorongan-
dorongan (drives), kemampuan-kemampuan (abilities), keyakinan-keyakinan (beliefs), dan
pengalaman ke dalam citra diri (image of self) yang konsisten meliputi kemampuan memilih
dan mengambil keputusan. Identitas diri dianggap penting ketika seseorang memasuki masa
remaja, lalu masalah identitas pribadi difokuskan kembali ketika seseorang mulai
menjelaskannya dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain baik itu dalam
bermasyarakat dan budaya lingkungan sekitarnya.

Meskipun kepribadian seseorang itu relative konstan, namun kenyataan sering ditemukan
dilapangan adalah adanya perubahan kepribadian. Perubahan tersebut ternyata disebabkan
oleh gangguan fisik dan lingkungan dimana individu itu berada. Faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan

a. Faktor fisik, seperti gangguan otak, kurang gizi, mengkonsumsi obat-obatan terlarang
atau narkoba, minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau kecelakaan).
b. Faktor lingkungan sosial budaya, seperti krisis politik, ekonomi, dan keamanan yang
menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stres dan depresi) serta masalah sosial
(pengangguran, premanisme, kriminalitas).
c. Faktor diri sendiri, seperti tekanan emosional, frustasi yang berkepanjangan, dan
identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkepribadian menyimpang

Pada dasarnya jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemampuan
(ability) dan aspek kepribadian (personality). Aspek kemampuan meliputi prestasi belajar,
intelegensia, dan bakat. Aspek dari kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat,
emosi, sikap dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan kesan tentang apa yang dipikirkan,
dirasakan dan diperbuat melalui perilaku. Orang yang memiliki kepribadian sesuai dengan
pola yang dianut masyarakat di lingkungannya, akan mengalami penerimaan yang baik.
Tetapi sebaliknya, jika kepribadian seseorang tidak sesuai, apalagi bertentangan dengan pola
yang dianut lingkungannya, maka akan terjadi penolakan dari masyarakat. Jika terdapat

7
kesesuaian antara kepribadian yang dimiliki dengan lingkungan sosial, akan terjadi
keseimbangan antara keduanya.9

Secara filosofis bahwa pribadi adalah “aku yang sejati” dan kepribadian merupakan
“penampakan sang aku” dalam bentuk perilaku tertentu. Gagasan umum bahwa kepribadian
adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain dari apa yang dia fikirkan,
dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku. G.W. Allport dalam buku Child
Development karangan Elizabeth Hurlock mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi
(susunan) dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan
penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungan. Sejalan dengan pengertian yang
dikemukakan, Bruce Perry, seorang peneliti dari Baylor College Of Medicine AS
menemukan bukti bahwa perilaku buruk juga disebabkan oleh perubahan struktur dan kerja
pada otak. Konsep diri secara individu terbentuk dari aspek bagaimana penilaian orang lain
mengenai dirinya, tidak semua orang berpengaruh pada diri seseorang. Orang yang
berpengaruh pada diri seseorang adalah orang-orang yang disebut significant others, yakni
orang-orang yang sangat penting bagi dirinya, misalnya di masa kecil significant others
adalah orang tua, saudara, dari mereka seseorang membentuk konsep dirinya. Seorang
individu akan menilai dirinya positif ketika yang bersangkutan mendapatkan senyuman,
penghargaan, pelukan ataupun pujian, sebaliknya seseorang akan menilai dirinya negatif jika
memperoleh kecaman, cemoohan, ataupun makian, dalam perkembangannya meliputi semua
orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang.10

Individu sebagai organisasi yang dinamis, artinya kepribadian dapat berubah dari
berbagai aspek komponen kepribadian, yakni psikofisik seperti kebiasaan, sikap, nilai,
keyakinan, emosi, perasaan memiliki hubungan yang erat, hubungan tersebut terorganisasi
sedemikian rupa secara bersama-sama mempengaruhi pola perilaku dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan. Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap supernatural
adikodrati memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang, dapat dilihat
dari berbagai pernyataan para ahli yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda, termasuk para
agamawan yang mendasari pendapatnya pada informasi kitab suci masing-masing.11

9
Djaalil, (2012). Psikologi Pendidikan, Jakarta: BumiAksara.

10
Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan Kepribadian, Jakarta: Indeks.

11
Djaalil, (2012). Psikologi Pendidikan, Jakarta: BumiAksara.

8
Para antropolog melihat hubungan manusia dengan zat yang adikodrati dari sudut
pandang kebudayaan. Hasil temuan menunjukkan bahwa pada masyarakat yang masih
memiliki kebudayaan asli (primitif) dijumpai pola kebudayaan yang mencerminkan adanya
bentuk hubungan masyarakat dengan sesuatu yang mereka anggap adikuasa dan suci. Budaya
masyarakat terdapat upacara-upacara ritual, penghargaan terhadap tempattempat dan benda-
benda yang di anggap suci ataupun terhadap sesuatu yang bersifat ritual, dipelihara sebagai
suatu tradisi dalam kebudayaan. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu berpendapat adanya
hubungan antara manusia dengan sesuatu yang adikodrati, namun pada mulanya para
agamawan berpegang pada prinsip bahwa hubungan tersebut sebagai suatu keyakinan.
Karena masalah yang menyangkut keyakinan dalam psikologi pendidikan Islam merupakan
suatu hal yang menarik untuk dikaji melalui pendekatan empiris seperti yang berlaku di
lingkungan ilmu pengetahuan. Mempelajari pendidikan agama Islam sebagai suatu keyakinan
dengan menggunakan pendekatan empiris suci yang terkandung di dalamnya sebagai bentuk
ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi. 12

F. Nilai dan Norma Budaya


A. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap perilaku individu
Budaya mempengaruhi perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
perilaku keagamaan, konsumsi, dan organisasi. Berikut adalah beberapa pengaruh nilai-
nilai budaya terhadap perilaku individu:

1. Kebiasaan: Budaya yang telah terbentuk akan masuk dan mengakar di dalam
kehidupan manusia, sehingga tanpa kita sadari budaya ini telah mempengaruhi
kehidupan manusia. Kebiasaan yang terbentuk dari budaya tersebut akan membentuk
perilaku individu.
2. Pola berpikir: Budaya juga mencakup pola berpikir individu atau masyarakat. Pola
berpikir ini akan mempengaruhi cara individu dalam memandang suatu hal dan
mengambil keputusan.
3. Kepercayaan: Budaya juga mempengaruhi kepercayaan individu atau masyarakat.
Kepercayaan ini akan mempengaruhi perilaku individu dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk perilaku keagamaan.

12
Djalaludin, (2011). Psikologi Agama Jakarta: Raja Grafindo

9
4. Sistem nilai: Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu
yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung. Sistem nilai ini akan
mempengaruhi perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Interaksi sosial: Budaya juga mempengaruhi interaksi sosial individu atau masyarakat.
Interaksi sosial ini akan mempengaruhi perilaku individu dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk perilaku organisasi.

Dalam kesimpulannya, nilai-nilai budaya mempengaruhi perilaku individu dalam


berbagai aspek kehidupan. Budaya mempengaruhi kebiasaan, pola berpikir,
kepercayaan, sistem nilai, dan interaksi sosial individu atau masyarakat.

B. Perbedaan norma budaya di berbagai masyarakat


Perbedaan norma budaya di berbagai masyarakat dapat bervariasi tergantung pada
nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Berikut adalah
beberapa perbedaan norma budaya di berbagai masyarakat:

1. Perbedaan gender: Beberapa masyarakat memiliki norma yang membedakan peran


dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
2. Perbedaan agama: Masyarakat yang berbeda agama dapat memiliki norma yang
berbeda dalam hal kepercayaan, ritual, dan praktik keagamaan.
3. Perbedaan geografis: Masyarakat yang tinggal di daerah yang berbeda dapat memiliki
norma yang berbeda dalam hal bahasa, pakaian, dan makanan.
4. Perbedaan sosial: Masyarakat yang berbeda tingkat sosial ekonomi dapat memiliki
norma yang berbeda dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan gaya hidup.
5. Perbedaan budaya: Masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda dapat memiliki
norma yang berbeda dalam hal nilai, kepercayaan, dan kebiasaan.

Dalam kesimpulannya, perbedaan norma budaya di berbagai masyarakat dapat


bervariasi tergantung pada nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat
tersebut. Beberapa perbedaan norma budaya yang dapat terjadi antara masyarakat adalah
perbedaan gender, agama, geografis, sosial, dan budaya.

10
G. Konsep Diri dan Identitas Budaya
Individu membentuk konsep diri mereka dalam konteks budaya melalui interaksi
kompleks antara faktor-faktor budaya, sosial, dan individu. Rogers mendefinisikan konsep
diri sebagai bentuk persepsi mengenai diri sendiri yang terorganisir. Konsep diri berkembang
melalui identifikasi figur lekat dalam keluarga dan sekolah. Fuhrmann (1990) mendefinisikan
konsep diri sebagai konsep dasar tentang diri sendiri, pikiran dan opini pribadi, kesadaran
tentang apa dan siapa dirinya, dan bagaimana perbandingan antara dirinya dengan orang lain
serta bagaimana idealisme yang telah dikembangkannya. 13 Konsep diri adalah organisasi dari
persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima, dan menilai diri
kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga
prinsip. Contohnya seseorang yang mengatakan bahwa dirinya humoris yang berimplikasi
bahwa dirinya adalah:14

1. Seorang tersebut memiliki atribut sebagai orang yang humoris dalam dirinya, boleh
jadi merupakan kemampuan atau ketertarikan terhadap hal yang berbau humor.

2. Bahwa semua tindakan, pikiran dan perasaan orang tersebut mempunyai hubungan
yang dekat dengan atribut tersebut, dimana bahwa orang tersebut dalam setiap
perilakunya selalu tampak humoris.

3. Bahwa tindakan, perasaan, dan pikiran orang tersebut di masa depan akan dikontrol
oleh atributnya, dimana orang tersebut dalam perilakunya esok hari akan selalu
menyesuaikan dengan atributnya tersebut.

Konsep diri tentu tidak bisa hadir secara tiba-tiba dalam diri seseorang. Konsep diri
tercipta melalui proses. Ketika seseorang dilahirkan konsep diri belum terbentuk, pada tahap
ini peran keluarga menjadi penting baginya untuk mengenalkan moral dan etika. Apa yang
diajarkan orang tua mengenai moral dan etika yang berlaku pada budaya sekitarnya
merupakan dari proses pembentukan konsep diri. Selain budaya yang dihasilkan berdasarkan
kebiasaan masyarakat sekitarnya serta interaksi sosial yang terjalin, budaya yang dihasilkan
dari suatu sistem juga berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri. Sistem tersebut dapat
berupa agama, pendidikan, ataupun ideologi politik. Menurut Fitts konsep diri dipengaruhi
oleh beberapa faktor:

13
Alifah Nabilah. 2017. Gambaran Konsep Diri Mahasiswa ditinjau dari Perspektif Budaya. Indigenous: Jurnal
Ilmiah Psikologi Vol. 2 No.2.
14
Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, Malang: UMM Press, 2004. Hal. 117

11
1. Pengalaman, Pengalaman pribadi seperti pendidikan, pekerjaan, perjalanan, dan
interaksi dengan orang lain dapat membentuk konsep diri. Pengalaman ini dapat
mempengaruhi pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan individu, yang kemudian
dapat menjadi bagian dari identitas mereka.

2. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain

3. Aktualisasi diri (implementasi) dan realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya. 15

Selain dari ketiga faktor di atas, konsep diri juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti usia,
intelegensi, penidikan, status sosial ekonomi, hubungan keluarga dan orang lain, dan
kelompok atau komunitas tertentu. Konsep diri yang sudah terbangun tentunya akan berubah,
walaupun kemungkinannya akan sulit. Perubahan biasanya paling mudah terjadi ketika
adanya penerimaan dari orang lain yang membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan
dan ancaman serta mengakui dan menerima pengalaman-pengalaman yang sebelumnya
ditolak. Dalam kaitannya dengan budaya, konsep diri ini membentuk dua konstruk diri yaitu
diri individual dan diri kolektif. Diri individual adalah diri yang terpisah dari orang lain dan
lingkungan, atau diri yang tidak tergantung (independent construal of self. Sedangkan diri
kolektif adalah lawan dari diri individual. Budaya yang menekankan pada diri kolektif
memiliki ciri keterkaitan antar manusia satu dengan yang lain. Tugas utama budaya di sini
adalah membuat bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan
individu lain. 16

Identitas Budaya

Menurut Ting-Toomey identitas budaya atau kultural merupakan perasaan (emotional


significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan
kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok itu kemudian
melakukan identifikasi kultural (cultural identification), yaitu masing-masing orang
mempertimbangkan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular.
Identifikasi kultural ini, menurut Rogers dan Stein Jatt akan menentukan individu-individu
yang termasuk dalam in-group dan individu-individu yang termasuk dalam out-group.
Bagaimana mereka berperilaku, sebagian ditentukan oleh apakah mereka termasuk kedalam

15
Iskandar Zulkarnain, dkk. Membentuk Konsep Diri Melalui Budaya Tutur: Tinjauan Psikologi Komunikasi.
2020. Sumatra: Puspantara.
16
Izzamuanies. 2012. “budaya dan pembentukan konsep diri”.
http://izzamuanies.blogspot.com/2012/11/budaya-dan-pembentukan-konsep-diri.html (diakses pada 24 sept
2023 pukul 19.53).

12
budaya tertentu atau tidak. Identitas budaya memainkan peran penting dalam perkembangan
psikologi individu. Identitas budaya adalah bagian integral dari siapa kita sebagai individu,
dan berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan kita, termasuk perkembangan psikologi.
Berikut adalah beberapa cara identitas budaya dapat memengaruhi perkembangan psikologi
individu:17

1. Pembentukan Identitas Pribadi: Identitas budaya membantu individu membentuk


identitas pribadi mereka. Melalui pengalaman budaya, individu mulai memahami
bagaimana mereka berdiri dalam kelompok budaya mereka, apa yang mereka nilai,
dan bagaimana mereka ingin mengidentifikasi diri mereka sendiri.

2. Pengaruh Norma dan Nilai: Budaya memengaruhi norma dan nilai-nilai yang dianut
oleh individu. Ini mencakup norma sosial, etika, agama, dan aturan-aturan sosial yang
membentuk pandangan individu tentang dunia dan perilaku mereka.

3. Pengembangan Bahasa: Bahasa adalah bagian penting dari budaya. Melalui bahasa,
individu memahami cara berkomunikasi, berpikir, dan menyusun pemikiran mereka.
Bahasa juga memengaruhi bagaimana individu memahami konsep-konsep abstrak dan
pengalaman emosional.

4. Identitas Etnis dan Rasial: Identitas budaya dapat mencakup identitas etnis dan rasial.
Hal ini dapat memengaruhi cara individu memahami diri mereka sendiri dalam
konteks masyarakat yang lebih luas dan memengaruhi pengalaman diskriminasi atau
stereotip.

5. Perkembangan Diri dan Kepribadian: Identitas budaya memengaruhi perkembangan


kepribadian individu. Pengalaman budaya, termasuk interaksi dengan anggota budaya
yang sama atau berbeda, dapat membentuk nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap
individu.

6. Kesejahteraan Psikologis: Identitas budaya juga berperan dalam kesejahteraan


psikologis individu. Individu yang merasa terhubung dengan identitas budaya mereka
cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Sebaliknya, konflik
identitas budaya dapat menyebabkan stres psikologis.

7. Konsep Diri: Konsep diri individu, yaitu bagaimana mereka melihat diri mereka
sendiri, juga dipengaruhi oleh identitas budaya. Individu dapat mengidentifikasi diri
17
Darmastuti, Rini. 2013. Mindfulness Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Buku Litera.

13
mereka sebagai bagian dari kelompok budaya tertentu dan ini dapat memainkan peran
dalam membentuk persepsi mereka tentang diri mereka sendiri.

8. Integrasi Budaya: Bagi individu yang memiliki identitas budaya ganda atau yang
tinggal di lingkungan multikultural, pengalaman integrasi budaya dapat memengaruhi
perkembangan psikologis mereka. Proses ini melibatkan penyesuaian dengan berbagai
aspek budaya yang berbeda dan dapat menghasilkan perkembangan psikologis yang
unik.

Penting untuk diingat bahwa identitas budaya adalah bagian dari identitas yang kompleks
dan dapat bervariasi secara signifikan antar individu. Selain itu, identitas budaya dapat
berkembang dan berubah seiring waktu. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih dalam
tentang identitas budaya dapat membantu individu mengenali diri mereka sendiri dan
berinteraksi dengan dunia dengan lebih baik.

H. Gangguan Psikologi dan Budaya


a. Pengaruh Budaya Dalam Pengobatan Gangguan Psikologis

Budaya dapat mempengaruhi kesehatan dalam banyak hal. Budaya mempengaruhi


sikap tentang menjaga kesehatan dan pengobatan, attributions mengenai penyebab
kesehatan dan proses penyakit, ketersediaan kesehatan dan penyediaan sistem layanan
kesehatan, perilaku mencari bantuan, dan banyak aspek lain penyakit dan layanan
kesehatan. Kita baru sekarang mengetahui pentingnya perbedaan sociocultural ketika
menyusun perawatan dan intervensi program untuk kesehatan dan masalah psikologis.

Dalam satu studi, Matsumoto dan rekannya (1995) merekrut wanita jepang dan jepang
amerika berusia di atas yang tinggal di san francisco bay area untuk berperan serta dalam
sebuah studi sikap dan nilai terkait dengan osteoporosis dan perawatannya. Osteoporosis
adalah gangguan medis di mana terjadi penurunan kepadatan tulang secara bertahap yang
melemahkan tulang.Hal ini dapat menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi wanita
yang lebih tua keturunan eropa atau asia. Penelitian mencangkup sejarah medis yang
lengkap, penilaian faktor resiko khususnya untuk osteoporosis, sebuah survei sikap
tentang penyakit ini, dan penilaian isu layanan kesehatan. Selain itu, sebuah subsample
wanita yang dinilai untuk tingkat kepadatan dan kandungan mineral tulang mereka (bmd).

14
Di antara yang paling menarik hasil studi ini adalah perbedaan budaya ditemukan
pada survey sikap dan penilaian isu layanan kesehatan. Seluruh sampel perempuan dibagi
menjadi dua kelompok: yang lahir dan dibesarkan di amerika serikat yang berbicara
bahasa inggris sebagai bahasa utama mereka, dan orang orang yang lahir dan dibesarkan
di jepang yang berbicara bahasa jepang sebagai bahasa utama mereka. Ketika ditanya
mengenai berbagai jenis permasalahan yang dihadapi mereka ketika didiagnosis
mengidap osteoporosis, lebih banyak perempuan jepang dibandingkan amerika serikat
melaporkan masalah yang berkaitan dengan keuangan dan berkaitan dengan mencari
pertolongan. Masalah utama bagi wanita Amerika yakni kemampuan mobilitas yang
dimiliki .Temuan ini sangat menarik karena kemampuan mobilitas adalah elemen utama
dari individualism, yang lebih merupakan karakteristik amerika serikat ketimbang jepang.
Ketika ditanya masalah seperti apa yang mereka akan dapat jika mereka harus mengurus
seseorang dengan osteoporosis, banyak perempuan jepang menyebutkan tidak cukup
waktu. Wanita amerika lagi menyebutka masalah yang melibatkan kemampuan fisik
mereka.

Para peneliti juga mempertanyakan jenis jasa pendukung wanita yang ingin
disediakan jika mereka yang didiagnosis menderita osteoporosis. Banyak perempuan
jepang melaporkan bahwa mereka ingin lembaga, rumah sementara, pusat rehabilitasi,
perawatan rumah, pelayanan informasi, pelayanan sosial organisasi, dan pengorganisasian
untuk mendapat bantuan. Banyak wanita amerika melaporkan ingin pelayanan lain yang
menyangkut perawatan medis.

Lebih banyak perempuan Amerika Serikat mengetahui apa itu osteoporosis. Banyak
perempuan jepang, bagaimanapun, melaporkan bahwa itu konsentrasi utama untuk
mereka dan mereka akan melihat itu sangat negatif ketika didiagnosa. Juga, kebanyakan
perempuan amerika ketimbang jepang melaporkan bahwa kaum yang lain dari teman atau
keluarga akan peduli dengan mereka jika didiagnosa. Jika didiagnosis menderita
osteoporosis, perempuan jepang lebih menyukai untuk menggangap yang menjadi
penyebab penyakit adalah takdir, kesempatan, atau keberuntungan; wanita amerika lebih
mungkin untuk mengatribusikan penyakit ke diet. Menariknya, tidak ada perbedaan
antara kelompok derajat tanggung jawab pribadi atau kontrol, dan jumlah perempuan
yang secara khusus meminta tes osteoporosis, dan perasaan mereka tentang terapi
estrogen.

15
Banyak studi juga menyarankan pentingnya budaya pada pembentukan sikap,
keyakinan, dan nilai nilai tentang penyakit dan pengobatan. Domino dan lin (1993),
misalnya, meminta siswa di Taiwan dan Amerika Serikat untuk menilai berbagai
metafora terkait dengan kanker. Yang dimana metafora ini kemudian dicetak menurut
empat jenis skala. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa Taiwan memiliki nilai tes lebih
tinggi daripada orang amerika di kedua terminal pesimisme dan optimisme masa depan;
itu artinya , mereka tampil untuk keduanya lebih pesimis dan lebih optimis dibandingkan
dengan mitra pendamping amerika.

Cook (1994) juga melaporkan perbedaan dangkal tentang penyakit kronis dan peran
jejaring sosial di antara cina, india, dan anglo-celtic kanada. Dalam penelitiannya, Cook
meminta peserta dari ketiga budaya kelompok untuk merespons tiga skala dirancang
untuk menilai psychosocial, phenomenological, dan seputar jaringan sosial untuk pilihan
pengobatan, penyakit, dan dukungan sosial. Analisis data menunjukkan perbedaan yang
signifikan di ketiga kelompok budaya dalam merating phenomenological menyebabkan
penyakit, psychosocial dan phenomenological yang menghasilkan penyakit, aspek
pengobatan psychosocial dan phenomenological, dan di jejaring sosial.

Peneliti lain telah memeriksa bagaimana perspektif terhadap kesehatan nantinya


bermacam-macam tergantung pada tingkat akulturasi .Quah dan Bishop (1996) berkata
kepada sekelompok china amerika mengenai persepsi mereka pada kesehatan dan juga
diukur tingkat akulturasi dengan mengumpulkan informasi mengenai status seluruh
generasi, bahasa lisan, afiliasi agama, dan mendapat persetujuan dari nilai-nilai
tradisional china. Mereka menemukan kembali orang-orang yang menilai dirinya
memiliki kepercayaan cina yang lebih bahwa penyakit itu adalah sebagai hasil dari
ketidakkeseimbangan dalam tubuh, seperti dingin yang berlebihan atau panas yang
berlebihan , sejalan dengan pandangan tradisional china dari penyakit . Orang-orang yang
menilai diri mereka sendiri lebih rendah pada keprcayaan cina, sebaliknya, percaya
bahwa penyakit adalah sebagai hasil dari virus, sejalan dengan pandangan penyakit
biomedis bagian barat. Para peneliti juga menemukan bahwa orang orang yang percaya
kepada pandangan tradisional cina kesehatan dan penyakit lemah cenderung untuk beralih
kepada praktisi obat tradisional china dalam menggali perawatan medis . Studi lain dari
akulturasi dan kesehatan melibatkan asia kanada menemukan bahwa orang orang yang
lebih tinggi orientations ke budaya asia lebih mungkin untuk mendukung tradisional cina
melihat kesehatan dari yang diperbuat orang orang dengan meningkatnya orientations ke

16
arah budaya barat. Selain itu, orang orang mendukung tradisional china medis keyakinan
juga melaporkan menjadi kurang puas dengan perawatan medis barat (armstrong & amp
swartzmann; 1999).

Hasil temuan menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan perlu tidak hanya
berurusan dengan pasien penyakit juga, dan mungkin lebih penting, psikologi yang
berkaitan dengan penyakit .Ini mungkin termasuk variabel variabel seperti attributions
dan keyakinan tentang penyebab penyakit; sikap tentang kesehatan, penyakit, dan;
layanan preferensi yang terkait dengan bantuan sosial dan jaringan psychosocial;
kebutuhan berkaitan dengan kewenangan untuk atau ketergantungan pada orang lain dan
perawatan; kepatuhan. 18

b. Persepsi Penyakit Mental Diberbagai Budaya

Berikut merupakan Perbedaan Budaya dalam Konsep dan Makna Sosial dari
Emosional individu:

1) The Concept of Emotion (Konsep dari Emosi) Kita mengingat keunikan individu dan
perasaan individu terhadap sesuatu, peristiwa, keadaan, dan orang lain di sekitar kita.
Kita secara aktif mencoba untuk mengenali perasaan anak-anak kita dan orang-orang
muda lain di sekitar kita.Pada terapi psikologi banyak difokuskan untuk membantu
individu secara bebas mengekspresikan perasaan dan emosi mereka. Contohnya;
terapi kelompok dalam terapi kelompok, penekanannya adalah pada
mengkomunikasikan perasaan terhadap orang lain dalam kelompok dan
mendengarkan dan menerima ekspresi perasaan orang lain. Tidak semua budaya di
dunia memiliki kata atau konsep untuk apa yang kita namakan emosi dalam bahasa
Inggris. Penelitia ini menunjukkan bahwa ekpresi, kesempurnaan, perasaan, situasi
yang kita sebut emosi tidak selalu mewakili apa yang sama dari fenomena dalam
budaya lain.
2) The Categories of Emotion (Kategori dari Emosi) Perbedaan dalam menggunakan
budaya kata dapat mengidetifikasi dan memberi kita petujuk pada dunia tentang cara
yang berbeda dalam menunjukan pengalaman dari emosi mereka. Bukanberarti tidak
pernahmerasakanemosi tersebut, namunadapenekananbudaya yang berbeda terhadap
hal tersebut.

18
Yohanes Kartika Herdiyanto, Bahan Ajar Psikologi Lintas Budaya (Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran: Universitas Udayana 2016) h.55-57.

17
3) The Location of Emotion (Lokasi dari Emosi) Budaya yang tidak sama menunjukan
emosi di tempat yang berbeda menginformasikan kita bahwa emosi dipahami dan
memiliki arti yang berbeda untuk orang lain. Dengan mengidentifikasi emosi dengan
hati, orang Amerika mengenali dengan organ biologis yang paling penting diperlukan
untuk bertahan hidup. Faktanya bahwa budaya lain mengidentifikasi dan menemukan
emosi di luar tubuh, seperti dalam hubungan sosial dengan orang lain, berbicara
pentingnya hubungan dalam kebudayaan, sangat berbeda dengan individu budaya
Amerika.
4) The Meaning of Emotions to People and to Behavior (Arti dari Emosi untuk Orang
dan Prilaku) Perbedaan budaya dalam peran dan makna dari emosi. Banyak budaya,
misalnya, mengganggap emosi sebagai pernyataan tentang hubungan antara manusia
dan lingkungan meraka, baik itu benda di lingkungan meraka atau hubungan sosial
dengan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain tentang perasaan, kita tidak
bisa hanya berasumsi bahwa mereka akan memahami kita seperi yang kita harapkan,
meskipun kita berbicara sesuatu yang mendasar seperti emosi manusia., kita juga
tidak bisa berasumsi bahwa kita mengetahui apa yang orang lain rasakan, kita hanya
mengetahui tentang emosi dari sudut padang kita yang terbatas.
5) Cultural Constructionist Approaches to Emotion (Konstruksionis Budaya dalam
Pendekatan Emosi) Budaya yang berbeda memiliki realitas yang berbeda dan ideal
menghasilkan kebutuhan psikologis yang berbeda dan tujuan mereka menghasikan
kecenderungan kebiasaan emosional. Model budaya emosi ini diringkas dalam Figure.
Karena hubungan saling terkait antara budaya dan emosi, secara biologis emosi tidak
mungkin sama untuk semua orang. Mereka menyarankan bahwa keseluruhan emosi
adalah sebuah ironi, dan di dukung oleh temuan eksperimen dari para peneliti yang
sudah meraka laporkan.19

I. Implikasi Praktis
Pemahaman tentang budaya dan psikologi individu dapat digunakan dalam konteks
psikoterapi, pendidikan.

 Konteks Psikoterapi :
Psikoterapi dan intervensi psikologis dipraktikkan di berbagai lingkungan budaya dan
kesehatan, untuk berbagai tekanan emosional dan di antara kelompok orang yang sangat

19
Ibid, h. 68-69.

18
heterogen. Sekolah psikoterapi yang berbeda ada dan diterapkan di berbagai wilayah,
konteks, dan budaya.20
Kompetensi budaya dalam psikoterapi telah menjadi tujuan yang jelas. Pluralisme
budaya, sebuah realitas di seluruh dunia, menuntut kompetensi budaya dan mengamanatkan
formulasi budaya, yang mengkaji identitas individu, penjelasan masyarakat mengenai
penyakit, lingkungan psikososial dan perbedaan latar belakang pasien dan dokter.21
Terapis membutuhkan untuk menyadari dan menanyakan persepsi dan atribusi diri pasien
mengenai suku, ras, kelas sosial, dan agama. Bentuk dan struktur psikoterapi dapat diterapkan
lintas budaya dan merupakan proses yang independen terhadap konten. Ada kebutuhan untuk
mengintegrasikan pengetahuan tentang nilai-nilai dan keyakinan budaya dan agama yang
unik selama penilaian dan perencanaan terapi. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pendidikan
yang berkaitan dengan psikoterapi tetapi juga untuk semua interaksi dokter/terapis-pasien.
Psikoterapi adalah bentuk komunikasi khusus di mana terapis mengambil peran tertentu
seperti guru, pendengar yang menebus, pembimbing melalui proses penyembuhan, pembicara
motivasi, dan pembujuk serta terlibat dalam berbagai jenis interaksi. 22
Tugas kompleks ini mengamanatkan pemahaman budaya dan kepekaan. Meskipun
standar dan budaya psikoterapi tidak bebas nilai, semua psikoterapi melibatkan negosiasi
antara terapis dan pasien, di mana mereka berupaya untuk memahami sudut pandang satu
sama lain. Struktur dan bentuk pendekatan memungkinkan terapis dan pasien menganalisis isi
dan konteks, mempertimbangkan, dan menerapkan solusi.

 Konteks Pendidikan :

Pendidikan adalah suatu usaha untuk memanusiakan manusia. Artinya ditunjukan untuk
membentuk sikap dan mental seseorang ke arah yang baik. Pendidikan atau pembentukan
karakter dapat dimulai sejak anak dalam kandungan atau ketika masih kecil atau usia Taman
Kanak-kanak, melalui pembiasaan-pembiasaan, dan sikap perilaku ibu dan bapaknya dalam
kehidupan sehari-hari dirumah. Sikap itu akan dirasakan, dilihat, dan dicontoh langsung oleh
anak, anak lebih peka terhadap apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Setelah anak
mulai memasuki usia sekolah, maka pendidikan karakter akan diteruskan oleh sekolah, dan
orangtua terus mengikuti perkembangan karakter anaknya, sehingga apa yang sudah

20
Tseng WS, San Diego: Pers Akademik; 2001,Buku Panduan Psikiatri Budaya Edisi ke-5.
21
Arlington: APA; 2013. Asosiasi Psikiatri Amerika. Panduan diagnostik dan statistik gangguan jiwa.
22
Hersen M, Sledge W, editor. Ensiklopedia Psikoterapi. II. Amsterdam: Pers Akademik; 2002. hlm.83-90.

19
diberikan dalam keluarga oleh orangtuanya tidak terputus di jalan karena anak memasuki usia
sekolah.

Pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam tulisan ini, adalah proses penanaman nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta kebudayaan kebangsaan
Indonesia, yang akan dijabarkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan kongkrit, baik yang berupa
mata pelajaran maupun mata kegiatan yang akan dirancang dalam bentuk kurikulum khusus
sesuai dengan mata pelajaran atau mata kegiatan yang akan dikembangkan di sekolah. 23

23
Supinah & Ismu Tri Parmi, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan, 2011, hal 10.

20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. kebudayaan mencakup semuanya yang di dapatkan atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu
yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif.

Budaya memiliki pengaruh yang mendalam terhadap psikologi individu, budaya juga
memengaruhi cara individu berinteraksi dengan orang lain. Cara individu memproses
informasi, berpikir tentang waktu, dan mengambil keputusan seringkali dipengaruhi oleh
budaya mereka. Budaya memengaruhi persepsi individu terhadap kesehatan mental dan
dukungan yang mereka cari. Beberapa budaya mungkin memiliki stigma terhadap masalah
kesehatan mental, yang dapat menghambat individu untuk mencari bantuan. Di sisi lain,
budaya yang memprioritaskan kesejahteraan mental dapat mendorong individu untuk mencari
perawatan lebih cepat. Budaya juga memengaruhi cara individu menghadapi stres dan
trauma. Cara individu merespon situasi sulit seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma
budaya mereka.

Psikoterapi dan intervensi psikologis dipraktikkan di berbagai lingkungan budaya dan


kesehatan, untuk berbagai tekanan emosional dan di antara kelompok orang yang sangat
heterogen. Kompetensi budaya dalam psikoterapi telah menjadi tujuan yang jelas. Pluralisme
budaya, sebuah realitas di seluruh dunia, menuntut kompetensi budaya dan mengamanatkan
formulasi budaya, yang mengkaji identitas individu, penjelasan masyarakat mengenai
penyakit, lingkungan psikososial dan perbedaan latar belakang pasien dan dokter.

Terapis membutuhkan untuk menyadari dan menanyakan persepsi dan atribusi diri pasien
mengenai suku, ras, kelas sosial, dan agama. Bentuk dan struktur psikoterapi dapat diterapkan
lintas budaya dan merupakan proses yang independen terhadap konten. Ada kebutuhan untuk
mengintegrasikan pengetahuan tentang nilai-nilai dan keyakinan budaya dan agama yang
unik selama penilaian dan perencanaan terapi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arlington: APA; 2013. Asosiasi Psikiatri Amerika. Panduan diagnostik dan statistik
gangguan jiwa.

Aspek Budaya Penilaian Psikologis. (2020). Konseling Lintas Budaya. BKW 205.
Budaya terhadap Sikap Keberagamaan. Taujih: Jurnal Studi Islam, 2(2).
Darmastuti, Rini. 2013. Mindfulness Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Buku
Litera.
Departemen Pendidikan Nasional. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi ke-
3. Jakarta: Balai Pustaka.
Djalaludin, (2011). Psikologi Agama Jakarta: Raja Grafindo.
Djaalil, (2012). Psikologi Pendidikan, Jakarta: BumiAksara.
Dewantara, Ki Hajar. (1994). Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Gunawan, Ary H. (2000). Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai
Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Herdiyanto, Yohanes Kartika. (2016). Bahan Ajar Psikologi Lintas Budaya. Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran: Universitas Udayana.
Hersen M, Sledge W, editor. Ensiklopedia Psikoterapi. II. Amsterdam: Pers Akademik; 2002.
hlm.83-90.
Hutagalung, Inge. (2007). Pengembangan Kepribadian, Jakarta: Indeks.

Izzamuanies. (2012). Budaya dan Pembentukan Konsep Diri.

Munir, Misbakhul (2020). Akulturasi Budaya, 1922 (dalam bahasa Inggris).

Nabilah, Alifah. (2017). Gambaran Konsep Diri Mahasiswa ditinjau dari Perspektif Budaya.
Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi Vol. 2 No.2.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Soerjono, Soekanto. (2009). Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Supinah & Ismu Tri Parmi. (2011). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.

22
Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
Tseng WS. (2001) San Diego: Pers Akademik. Buku Panduan Psikiatri Budaya Edisi ke-5.
Widianti, Wida. (2009). Sosiologi (PDF). Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional.
Zulkarnain, Iskandar., dkk. (2020). Membentuk Konsep Diri Melalui Budaya Tutur: Tinjauan
Psikologi Komunikasi. Sumatra: Puspantara.

23

Anda mungkin juga menyukai