Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIO KULTURAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Belajar

Dosen Pengampu :

Hilyah Ashoumi, M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. Malik Fajar Ammrullah (2001012051)


2. M.Yazid Rofiudin (2001011966)
3. Emi Ratnasari (2001011850)
4. Lali Yunizhar (2001011914)
5. Nurul Isma Yadha (2001012001)
6. Silvya Nur Azizah (2001011870)
7. Syafira Lina (2001012064)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH
TAMBAKBERAS – JOMBANG
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat karunia
serta hidayah Nya kepada kita semua, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikutnya yang setia menemani hingga akhir zaman.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Ibu Hilyah Ashoumi, M.Pd.I pada Mata kuliah Psikologi Belajar. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penyakit hati dan
Obatnya bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Jombang, 30 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................ii

Daftar Isi ...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Sosio Kultutal ............................................................... 3


B. Pengaruh Sosio Kultural Pada Perkembangan Kognisi ..........................11
C. Kelebihan Dan Kekurangan Teori Sosio Kultural ..................................12
D. Aplikasi Teori Sosio Kultural ...... ..........................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................16
B. Saran........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa
pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan
pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki
keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara
pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 7)
telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga
dimensi dari hal yang bersamaan. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu
komunitas masyarakat.
Ainul Yaqin (2005: 6) berpendapat bahwa “budaya adalah sesuatu yang
general dan spesifik sekaligus”. General dalam hal ini berarti setiap manusia
di dunia ini mempunyai budaya, sedangkan spesifik berarti setiap budaya
pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya.
Sedangkan Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa “Budaya
atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat”.
H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan
berbudaya terjadi perubahan, perkembangan dan motivasi. Pentingnya
kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian mendasari
bahwa kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat kondisi
bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya. Syamsul Ma‟arif (2005:
90) berpendapat bahwa masyarakat yang harus mengekspresikan pendidikan
kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif memiliki anggota yang
heterogenitas dan pluralitas.

1
Pentingnya menghargai budaya dalam pendidikan ini karena dorongan
yang timbul dalam diri manusia sadar ataupun tidak sadar adalah hasil
kebudayaan di mana pribadi itu hidup. H.A.R Tilaar (2002: 51 ) mengutip
pendapat yang disampaikan John Gillin perkembangan kepribadian manusia
dalam kebudayaan dilihat dari pandangan behaviorisme dan psikoanalitis :
1. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari
untuk belajar.
2. Kebudayaan mendorong secara sadar aataupun tidak sadar akan reaksi-
reaksi kelakuan tertentu.
3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap
kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong setiap
kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan
sebaliknya memberikan hukuman terhadap kelakuan-kelakuan yang
bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya
tertentu.
4. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu
melalui proses belajar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teori sosio kultural?
2. Apa pengaruh sosio kultural pada perkembangan kognisi?
3. Apa kelebihan dan kekurangan teori sosio kultural?
4. Bagaimana aplikasi teori sosio kultural?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui teori sosio kultural
2. Untuk mengetahui pengaruh sosio kultural pada perkembangan kognisi
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori sosio kultural
4. Untuk mengetahui aplikasi teori sosio kultural

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Sosio Kultural


Dalam teori sosio kultural ini terdapat pendapat para ahli yang mendasari
terbentuknya teori ini :
1. Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa
individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi
dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang
yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu
yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor
sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan
belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar.
Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi
biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai
ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi
oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga
masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa
aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif
dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi
individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan
budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-
sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
2. Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri
asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa
yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-
fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal
dari kehidupan sosial atau kelompoknya.

3
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak
memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi
sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif.
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori
sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi
sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau
turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan
pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif
seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga
ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi
melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang
lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang
sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari
perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa
sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan
orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep
yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret
perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-
proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan
sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu
berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di
dalam bidang-bidang tersebut.
Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar
ko-kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya
adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain
dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal
Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di

4
mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk
memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini
menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat,
lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan
kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi
dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam
diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan
menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang.
Yuliani (2005: 44) secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat
berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan
masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu
menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk
menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat
seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif
dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan
berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan
pengetahuan yang ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan
semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu
melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial

5
budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin
kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa
“siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan
aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori
belajar Sosiokultur ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu
proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi
baru. Teori belajar sosiokultur meliputi tiga konsep utama, yaitu :
a. Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari
fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu,
perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran soaial
tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat
dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran
sosial di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan
sebagai intrapsikologis atau intramental).
Teori sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi
mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan
sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini dipandang
sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi
karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila
telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan
berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan
kognitif seseorang.
Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky
meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk
kesempurnaan berfikir. Secara spesifik, namun demikian ia tidak

6
yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan
menentukan kematangan selanjutnya.
b. Zona Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development
(ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori
belajar sosiokultur Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157),
Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain
mempunyai level perkembangan aktual yang dapat dinilai dengan
menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan
domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini
berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal.
Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal
sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang
ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level
perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi
dengan teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky
memberikan pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti
yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993: 157).
Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi
tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam proses
pematangan. Fungsi-fungsi tersebut akan matang dalam situasi
embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat diistilahkan
sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang dibandingkan
dengan “buah” perkembangan.
Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan
Proksimal sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum
matang yang masih berada pada proses pematangan”. Karena fungsi-
fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain
untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu
Suharta dalam makalahnya berpendapat bahwa :

7
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa
siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona
perkembangan terdekat mereka (Guruvalah). Sedangkan Marysia
(2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan
suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat
mengemudikan dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa,
ataupun orang yang lebih ahli yang memiliki kemampuan lebih”.
Pandangan Vygotsky tentang interaksi antara kawan sebaya dan
pencontohan adalah cara-cara penting untuk memfasilitasi
perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD
merupakan level perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut
serta dalam tingkah laku sosial”. Hal ini dapat diartikan bahwa
perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi sosial yang
penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang
dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih
faham melampaui apa yang difahaminya.
Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada
empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan
pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang
lain. Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan
kaos kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak
pada orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka
memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa

8
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan
kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu
antara kiri dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu
yang lama karena keliru memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan
terinternalisasi. Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya
perintah dari orang dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah
mulai faham tentang apa saja yang harus dilakukannya, misalnya
memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang
hingga anak siap untuk berfikir abstrak. Terwujudnya perilaku yang
otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh
tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan
suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang
dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang
akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia
lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun
teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.
c. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi
pembelajaran yaitu,
(1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-
lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita,
kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu
mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham
terhadap hal yang dimaksudkan;

9
(2) scaffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang
yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar
pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu
lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda
atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada
orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang
dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah
tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator.
Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan
produk dari lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada.
Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru,
orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch
dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan
fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya
tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya
berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-sosiokultural
(intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa
proses mental.
Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan
beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses
pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar
dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramentalnya.

10
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan
memecahkan masalah
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat
transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi
Dalam teori belajar sosiokultur ini, pengetahuan yang dimiliki
seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar
dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan
aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan dan kemampuan tidak
datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi
oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultur yang
banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa.
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar.
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan
pada hasil belajar.
5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa.
6. Guru adalah fasilitator.
B. Pengaruh Sosio Kultural Pada Perkembangan Kognisi
a. Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi
Menurut Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer yang mempunyai
rasa ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu ingin
menemukan sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru. Namun
demikian Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam
proses perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam penemuan
sendiri. Perkembangan pertama dalam lingkup sosial muncul dalam
individu sebagai kategori interpsikological dan kemudian pada anak
sebagai kategori intrapsikologikal. Contohnya adalah voluntary attention
(perhatian otomatis), logical memory (memori logis), pembentukan
konsep, dan perkembangan kemampuan memilih.

11
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi
melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini
menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal
untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau
kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari tutor,
menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk
memformulasikan perilaku mereka.
b. Pengaruh Budaya pada perkembangan kognisi
Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan harus dilihat dari
perspektif 4 tahap yang saling berhubungan dalam interaksi anak dengan
lingkungan:
1. Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu sepanjang
hayat, digunakan oleh hampir semua ahli psikologi dalam
menganalisa perkembangan manusia.
2. Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang terjadi
pada waktu yang relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat
dilihat pada saat anak memecahkan masalah penjumlahan pada setiap
minggunya selama 11 minggu (Siegler & Jenkins, 1989).
3. Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi,
diukur dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri
berpendapat bahwa untuk pemahaman sejarah spesies dapat
memberikan masukan pada perkembangan anak.
4. Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi
pada budaya, kepercayaan, norma, dan teknologi.
Disini Vygotsky menekankan bagaimana seseorang berkembang
dalam lingkungan yang berubah. Dengan berfokus pada individu atau pun
pada lingkungan tidak cukup untuk menjelaskan mengenai perkembangan
seseorang. Untuk itu perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks
sosial dan budaya.
C. Kelehihan dan Kekurangan Teori Sosio Kultural
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Vygotsky dapat disimpulkan
bahwa teori ini memiliki kelebihan sebagai berikut :

12
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan
berkembang;
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya;
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramental;
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang
dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah;
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih
merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang
tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan
konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan
kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung oleh karena itu diteliti
oleh para teoriwan perilaku.
D. Aplikasi Teori Sosio Kultural
Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-
kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
a. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama
kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari
lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan prilaku masing-
masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda,
karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga
beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi
keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.

13
b. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya
kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal
tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
c. Pendidikan formal
d. Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari
beberapa segi antara lain:
1. Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum
pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang
pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang
standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006
tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa
pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai
dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat
Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata
pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan
olah raga.
2. Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara
langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan,
ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak
mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran
memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat,
dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang
telah ditetapkan.
3. Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran
lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh

14
karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum
muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial
pembelajaran.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru
berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif
dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan
jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer
yang mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan
penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu
meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya,
siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk
membangun ilmu pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar
tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan
aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses
penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi
dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu
kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya
bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna
diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan
didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut
penciptaan makna terjadi.
B. Saran
Sebagai mahasiswa calon guru sekolah dasar tentunya kita harus
mengetahui bahwa anak usia SD berada dalam Zona Perkembangan
Proksimal dimana fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang
masih berada pada proses pematangan. Untuk membantu proses pematangan
tersebut kita harus bisa menjadi fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Kasful & Hendra Harmi, 2011, Perencanaan Sistem Pembelajaran


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Bandung: ALFABETA
Siregar, Dewi Salma Prawiradilaga Eveline, 2004, Mozaik Teknologi
Pendidikan, Jakarta Timur: PRENADA
Suyono, 2011, Belajar Dan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Hariyanto, 2011, BelajarDan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja
Rosdakarya.
Sobry Sutikno, M. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.

17

Anda mungkin juga menyukai