Anda di halaman 1dari 14

LANDASAN SOSIO-KULTURAL BIMBINGAN DAN

KONSELING

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling
Yang dibina oleh Drs. Djoko Budi Santoso, M.Pd

OLEH:
KELOMPOK 1
1. Albertus Bagus (230111606156)
2. Fyanda Erlita (230111604639)
3. Hanida Eka (230111609259)
4. Hanifah Arum (230111605121)
5. Husnul Wafiqah (230111600699)
6. Khilda Humairo (230111600923)
7. Laurencia Cindy (230111601191)
8. Muhammad Alif (230111604197)
9. Muhammad Fahmi (230111605668)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga makalah tentang “Landasan Sosio-Kultural Bimbingan dan
Konseling” ini dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan kerjasama
dari semua pihak, makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Drs. Djoko Budi Santoso, M.Pd., selaku dosen pengajar mata kuliah Dasar-
Dasar Bimbingan dan Konseling yang telah memberi bekal, bimbingan dan
pengarahan selama penulisan makalah ini.
2. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta dukungan baik secara
materiil maupun spiritual.
3. Teman-teman A1C yang telah membantu dan memberikan dukungan serta
bantuan selama penulisan makalah ini, dan
4. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Mengingat pengetahuan dan kemampuan kami yang terbatas, makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pengalaman membuat
makalah ini dapat menjadi dorongan bagi kami untuk dapat memperbaiki supaya
menjadi lebih sempurna. Akhirnya, kami berharap bahwa makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................... 3
2.1 Dasar Terbentuknya Teori Sosio-Kultural .............................................. 3
2.2 Teori Sosio-Kultural dalam Bimbingan dan Konseling di Sekolah ........ 5
2.3 Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Menimbulkan Kebutuhan
Manusia Akan Bimbingan dan Konseling .............................................. 6
2.4 Hambatan-Hambatan dalam Sosio-Kultural ........................................... 8
BAB III. PENUTUP ........................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 10
3.2 Saran ........................................................................................................ 10
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan adalah proses transformasi budaya yang merupakan kegiatan
pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lain. Pendidikan juga merupakan
proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan,
menjadi manusia yang dewasa, dan menjadi manusia seutuhnya agar mampu
menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh. Bimbingan dan konseling
berkaitan erat dengan pendidikan. Bimbingan dan konseling menduduki tempat
yang sangat penting dalam pendidikan. Hal ini didukung oleh pendapat menurut
Santoso (2013), bahwa bimbingan dan konseling dirasakan perlu dilaksanakan di
dalam keseluruhan program pendidikan.
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling terdapat beberapa aspek yang
melandasi, salah satunya adalah landasan sosio-kultural. Landasan tersebut
merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang
dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi
kehidupan individu. Pada dasarnya, seorang individu merupakan produk dari
lingkungan sosial dan kultural dari tempat dimana dia hidup.
Lingkungan sosial kultural yang melatarbelakangi individu satu dengan
individu lain berbeda-beda. Hal ini menyebabkan perbedaan pula dalam proses
pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, berikut rumusan masalah dari makalah
ini:
1. Bagaimana dasar terbentuknya teori sosio-kultural?
2. Bagaimana penerapan landasan sosio-kultural dalam bimbingan dan
konseling di sekolah?
3. Apa saja faktor sosial budaya yang menimbulkan kebutuhan bimbingan dan
konseling?

1
4. Apa saja hambatan-hambatan dalam sosio-kultural dan upaya untuk
mengatasinya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan dasar teori dan definisi sosio-kultural
2. Untuk menjelaskan penerapan landasan sosio-kultural dalam bimbingan dan
konseling di sekolah
3. Untuk menjelaskan pengaruh faktor sosial budaya yang menimbulkan
kebutuhan bimbingan dan konseling
4. Untuk menjelaskan apa saja hambatan-hambatan dalam sosio-kultural

1.4 Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, manfaat dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar teori dan definisi sosio-kultural
2. Untuk mengetahui penerapan landasan sosio-kultural dalam bimbingan dan
konseling di sekolah
3. Untuk mengetahui pengaruh faktor sosial budaya yang menimbulkan
kebutuhan bimbingan dan konseling
4. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam sosio-kultural

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Terbentuknya Teori Sosio-Kultural


Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural yaitu:
A. Teori Vygotsky
Sejak tahun 1960 Vygotsky dan teori sosiokultural semakin
mendapat perhatian di luar Rusia. Mengikuti interpretasi tahap kedua
Leont'ev terhadap Vygotsky, Yrjo Engeström (Kutipan1999) telah
memimpin pengembangan tahap ketiga dalam studi pembelajaran
ekspansif. Pengaruh teori sosiokultural terus berkembang, khususnya dalam
penelitian pendidikan. Bisa dibilang, dengan menyatukan ranah sosial dan
individu dalam psikologi, karya Vygotsky memberikan alternatif terhadap
individualisme tinggi yang mendominasi psikologi di negara-negara
berbahasa Inggris dan Eropa Barat, sehingga mengisi kesenjangan dalam
ilmu-ilmu sosial. Adalah penting bahwa Vygotsky tetap relevan sementara
orang-orang sezamannya seperti Ivan Pavlov dan William James sebagian
besar sudah hilang dari pandangan.
Teori Vygotskian berakar pada filsafat Jerman dari Kant hingga
Hegel, serta Marx dan Engels. Dari Marx ia mengambil pendekatan
metodologisnya, yang didasarkan pada filsafat hubungan internal (Ortell,
Kutipan2015) yang diadaptasi oleh Marx dari Hegel dan menjadi landasan
metode dialektika Marx. Dengan menggunakan pendekatan ini, dunia
dipahami dalam konteks kontradiksi-kontradiksi internal yang terjadi
seiring berjalannya waktu; dan proses penyelidikan ilmiah dilanjutkan
dengan abstraksi-abstraksi yang berurutan di mana hubungan-hubungan
sosial dipecah menjadi bagian-bagian yang paling sesuai untuk dipelajari.
Penelitian Vygotsky difokuskan pada aplikasi praktis dalam pendidikan dan
kedokteran. Program penelitiannya ambisius, mulai dari mekanisme
neurologis yang mendasari fungsi mental hingga evolusi bahasa sosial
dalam latar sejarah, di mana ia memanfaatkan catatan sosiologis dan
antropologis. Vygotsky tidak mencapai semua yang diinginkannya, tetapi

3
dengan tegas menyangkal gagasan psikologis bahwa fungsi mental yang
lebih tinggi dapat dipahami dalam kaitannya dengan hukum stimulus-
respons sederhana, dan perkembangan manusia semata-mata merupakan
fungsi dari pendewasaan individu. Dengan menempatkan mentalitas
manusia dalam empat domain genetik yang saling terkait, masing-masing
pada tingkat abstraksi yang berbeda, Vygotsky adalah “psikolog modern
pertama yang menyarankan mekanisme dimana budaya menjadi bagian dari
sifat setiap orang” (Cole & Scribner, Kutipan1978, hal 6). Dalam
gagasannya bahwa pikiran “harus dipahami berdasarkan teori Marxis
tentang sejarah masyarakat manusia, ia meletakkan dasar bagi ilmu perilaku
yang terpadu” (Cole & Scribner, Kutipan1978, hal 6).
B. Piagiet
Menurut piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetic, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam
bentuk perkembangan system syaraf. Piaget berpendapat bahwa belajar
ditentukan karena adanya karsa individu artinya pengetahuan berasal dari
individu.Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu teman
sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa.Penentu utama
terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan
lingkungan sosial menjadi faktor sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan
belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar.
Perkembangan kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi
biologis dengan lingkungan sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai
ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi dan akomodasi).
Melalui asimilasi siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari
luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya.Sedangkan
melalui akomodasi siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam
dirinya dengan pengetahuan yang baru.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi
oleh Piaget yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga
masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek

4
yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam
kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan idiologi individualisme
dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat.
pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-sosiokultural yang
berkembang akhir-akhir ini.
2.2 Penerapan Landasan Sosio-Kultural dalam Bimbingan dan Konseling di
Sekolah
Salah satu dimensi kemanusian itu adalah “dimensi kesosialan”.
Sebagai mahkluk sosial manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri.
Dimanapun dan bilamanapun hidup senantiasa membentuk kelompok hidup
terdiri dari sejumlah anggota guna menjamin baik keselamatan,
perkembangan, maupun keturunan. Dalam kehidupan berkelompok itu,
manusia harus mengembangkan ketentuan yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing individu sebagai sebagai anggota demi ketertiban
pergaulan sosial mereka. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan
untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-
budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-
budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya.
Lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi dan melingkupi
individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses
pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan.
Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak
mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya
dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku
individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan
produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah
dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan
dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam
memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari
lingkungannya.

5
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal harus bertanggung
jawab untuk mendidik dan menyiapkan siswa agar berhasil menyesuaikan diri
di masyarakat dan mampu memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.
Kegiatan belajar dan pemebelajaran merupakan salah satu kegiatan yang
diberikan di sekolah, namun itu belum memadai dalam membantu siswa
mengatasi berbagai permasalahan yang dialaminya dan menyiapkansiswa
terjun dimasyarakat dengan berhasil. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan
adanya layanan bimbingan dan konseling di sekolah, yang secara khusus
diberi tugas dan tanggung jawab untuk memberi bantuan kepada siswa dalam
memecahkan berbagai masalah, baik masalah belajar, penyesuaian diri,
maupun masalah-maslah pribadi yang apabila dibiarkan akan menghambat
tercapainya tujuan belajar siswa di sekolah.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan
dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial
klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi
perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling
perkembangan (Develop-mental Guidance and Counseling) atau bimbingan
dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling).
Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya
pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi dan pengentasan
masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai
standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini
disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based
guidance and counseling). Standar yang dimaksud adalah standar kompetensi
kemandirian.
2.3 Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Menimbulkan Kebutuhan Manusia
Akan Bimbingan dan Konseling
Berikut faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan kebutuhan
manusia akan bimbingan:
a. Perubahan Konstelasi Keluarga
Bagi keluarga yang mengalami disfungsional sering kali dihadapkan kepada
kebuntuan dan kesulitan mencari jalan keluar atau pemecahan masalah yang

6
dihadapinya, sehingga apabila tidak segera mendapat bantuan dari luar, maka
masalah yang dihadapinya semakin parah.
b. Perkembangan Pendidikan
Demokrasi dalam bidang kenegaraan menyebabkan demokratisasi dalam
kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Hal semacam ini sering menimbulkan
berkembangnya masalah terjadinya kelompok-kelompok kecil yang berusaha
memisahkan diri dari kelompok besar.
c. Dunia Kerja
Berbagai masalah dalam dunia kerja menuntut keahlian khusus dari pekerja.
Bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk membantu menyiapkan mental
para pekerja yang tangguh itu.
d. Perkembangan Kota Metropolitan
Kehidupan kolektif menjadi semakin tipis, telah berubah menjadi kehidupan
yang lebih bersifat individualistik, hubungan antar warga semakin renggang,
sibuk dengan urusan masing-masing. Perhatian dan penghargaan hal-hal yang
bersifat material atau kebendaan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, nilai-
nilai kebendaan semakin menonjol dan semakin menjadi ukuran.
Berdasarkan faktor – faktor tersebut, ada beberapa tindakan yang dapat
dilakukan terkait dengan fungsi dan tujuan bimbingan dan konseling,
diantaranya yaitu upaya preventif, represif dan kuratif.
a. Upaya Preventif
Upaya preventif yang dapat dilakukan melalui program bimbingan dan
konseling di sekolah, diantaranya adalah pemberian informasi, bimbingan
kelompok, dan layanan mediasi.
b. Upaya Represif
Upaya represif yang dapat dilakukan melalui program bimbingan dan
konseling di sekolah, diantaranya adalah: home visit dan konseling individual
dan kelompok.
c. Upaya Kuratif
Upaya kuratif yang dapat dilakukan melalui program bimbingan dan
konseling di sekolah, diantaranya adalah konferensi kasus dan alih tangan
kasus.

7
2.4 Hambatan – Hambatan dalam Sosio-Kultural
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara
konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar
sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003)
mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam
komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu :
a) perbedaan Bahasa
b) komunikasi non-verbal
c) stereotipe
d) kecenderungan menilai; dan
e) kecemasan.
Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang
berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak
belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau
golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian 108 terhadap orang lain disamping dapat
menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-
reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan
yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat
menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa,
dimana dan kapan harus berbuat sesuatu.
Terkait dengan hambatan – hambatan diatas, perlu adanya antisipasi
agar komunikasi dan penyesuaian diri antara konselor dan konseli dapat
terjalin harmonis sehingga kegiatan konseling dapat berjalan dengan lancar.
Penggunaan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, sangat dianjurkan untuk
digunakan agar konselor dan konseli saling memahami masalah yang
dibincangkan sehingga masalah dapat terselesaikan dan tidak terjadi
kesalahpahaman. Ada beberapa kasus, terutama di daerah pelosok, siswa
tidak bisa berbahasa Indonesia. Maka mau tidak mau konselor harus belajar
daerah setempat untuk bekal pertama dalam melakukan konseling.

8
Komunikasi non-verbal atau gesture tubuh dan sikap hendaknya tidak ambigu
dan berlebihan. Konselor cukup menggunakan beberapa gesture tubuh dan
sikap yang umum seperti condong ke depan, tidak melipat tangan terutama
kaki jigang. Sentuhan hendaknya dipertimbangkan dengan matang agar
konseli nyaman dan tidak terjadi salah paham atau bahkan pelecehan seksual.
Konselor sebaiknya harus mengetahui latar belakang konseli terlebih dahulu
dengan membaca biodata konseli atau bertanya kepada konseli pada sesi
pertama konseling. Konselor juga harus membuka diri terhadap segala
kepribadian konseli, kekurangan dan kelebihannya. Dengan begitu, konselor
bisa membimbing konseli dalam memecahkan masalahnya dan
mengembangkan potensi yang ada dalam diri konseli.
Selain itu, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan
dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan
pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural
seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan
semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan
bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya
bangsa yang secara 109 nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni
dalam kondisi pluralistic.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Seorang anak yang masih dalam tahap pembelajaran hendaknya
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona pengembangan
proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru sebagai
fasilitator perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan agar anak dapat
memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan yang diberikan dapat dalam
bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau temen yang lebih kompeten.
Bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat
digunakan. Bagi anak yang telah mempu belajar secara mendiri perlu ditingkatkan
tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya.Dengan
demikian diperlukan pemehaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan
budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.
Dengan berfokus pada individu atau pun pada lingkungan tidak cukup untuk
menjelaskan mengenai perkembangan seseorang. Untuk itu perkembangan
sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan budaya.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, pendidik harus mampu mengenali dan
memahami latar belakang sosial budaya dari setiap individu. Selain itu, pendidik
juga harus memahami bahwa latar belakang tersebut berbeda-beda setiap individu,
sehingga perlakuan dalam layanan bimbingan dan konseling yang diberikan juga
akan berbeda. Pendidik harus mempunyai kemampuan dan kepribadian yang
mampu menyesuaikan dengan kondisi individu yang akan ditemui, agar layanan
bimbingan dan konseling berjalan dengan lancar dan berhasil.

10
DAFTAR RUJUKAN

Aisyah, S. 2018. Perlunya Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jurnal


Education and Development, 4(1), 56— 63. Dari
https://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/259/153
Febrini, D. 2020. Bimbingan dan Konseling. Bengkulu: CV Brimedia Global.
Handaru, C. Tanpa tahun. Teori Sosio-Kultural.Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Marginson, S. & Dang. 2017. Vygotsky’s sociocultural theory in the context of
globalization. Asia Pacific Journal of Education, 37(1), 116--- 129.
Dari http://dx.doi.org/10.1080/02188791.2016.1216827.
Santoso.2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Saputra, R & Komariah. 2020. Peran Guru BK dalam Mengatasi Kenakalan Siswa.
Indonesian Journal of Counseling and Education, 1(2), 24— 28. DOI:
10.32923/ijoce.v%vi%i.1822.

11

Anda mungkin juga menyukai