Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

BUDAYA GENDER DAN SELF IDENTITY

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Indigenous

Dosen Pengampu: Ibu Tias Febtiana Sari, M. Psi.

Disusun Oleh:

Kelompok 4 (Tasawuf Psikoterapi 7/A)

Atika Sari 1201040029

Aulia Dian Sevira 1201040030

Aulia Nisa 1201040031

Aulia Zalsabila 1201040032

Aura Agisti 1201040033

Ayu Maisya 1201040034

Azda Zahrotul 1201040035

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah SWT, atas segala limpah rahmat dan karunia – Nya kepada tim
penulis sehinga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Budaya, Gender dan Self
Identity’’ dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah berkat bantuan dan tuntunan Allah
SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini .

Dalam penyusunan makalah ini kami yakin ada kesalahan dalam pembuatannya, maka dari
itu kami mengharapkan partisipasi dari teman-teman semua untuk memberikan kritik dan saran
atas makalah yang telah kami buat, dan kami akan sangat merasa senang apabila teman mahasiswa
sekalian bisa mengkritik atau memberi saran guna memperbaiki ketidaksempurnaan kami dalam
membuat malalah ini .

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisanya.namun demikian, penulis telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yg dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan
oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,
saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini .

Harapan penulis semoga dapat pengetahuan dan wawasan serta dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca .

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh

Bandung, 25 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2

DAFTAR ISI................................................................................................................................................ 3

BAB I ............................................................................................................................................................ 5

PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 5

A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 5

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 5

C. Tujuan .............................................................................................................................................. 6

BAB II ...................................................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ...................................................................................................................................... 7

A. Budaya ............................................................................................................................................. 7

1. Pengertian Budaya ........................................................................................................................ 7

2. Pendapat Kebudayaan menurut Para Pakar................................................................................... 8

3. Wujud-wujud Kebudayaan ........................................................................................................... 8

4. Tujuh (7) Unsur Kebudayaan ........................................................................................................ 9

B. Gender............................................................................................................................................ 11

1. Konsep Gender............................................................................................................................ 11

2. Konsep Gender dan Budaya ........................................................................................................ 13

C. Self Identity .................................................................................................................................... 17

1. Pengertian Self Identity (Identitas diri) ....................................................................................... 17

2. Faktor yang memengaruhi Identitas Diri (Self Identity) ............................................................. 18

3. Aspek-Aspek Identitas Diri (Self Identity) .................................................................................. 20

BAB III....................................................................................................................................................... 22

PENUTUP .................................................................................................................................................. 22

A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 22
B. Saran .............................................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 23


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini, isu-isu budaya gender dan identitas diri semakin menjadi
sorotan utama di dunia. Perbincangan tentang hak-hak individu, pengakuan legal, kebebasan
berekspresi, hingga akses terhadap layanan kesehatan semakin menguat dalam peta
kebahagiaan seseorang.

Budaya gender dan identitas diri merupakan aspek mendasar yang membentuk
pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Hal tersebut memainkan peran
penting dalam membentuk hubungan sosial, termasuk bagaimana individu berinteraksi dan
berkomunikasi dalam masyarakat. Selain itu, hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan sosial
dan politik dalam masyarakat.

Pemahaman tentang budaya gender dan identitas diri adalah kuncinya agar masyarakat
kita menjadi lebih inklusif, menghargai keragaman, dan tidak diskriminatif terhadap individu
yang berbeda. Namun demikian, walau begitu, pemahaman ini masih seringkali dianggap tabu
atau diabaikan di banyak masyarakat.

Makalah ini bertujuan untuk membahas isu budaya gender dan identitas diri, melihat
bagaimana peran kelompok, norma-norma budaya, dan struktur kekuasaan dalam membentuk
pemahaman kita tentang gender dan identitas. Langkah ini diambil karena saya ingin terlibat
dalam upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
keragaman dan merawat perbedaan dalam masyarakat. Saya berharap makalah ini dapat
memberikan kontribusi kecil dalam perjuangan besar untuk inklusivitas, kesetaraan, dan
keberagaman.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya?
2. Apa yang dimaksud dengan gender?
3. Apa yang dimaksud dengan self identity (identitas diri)?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi budaya
2. Untuk mengetahui definisi gender
3. Untuk mengetahui definisi self identity (identitas diri)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Budaya
1. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan ditentukan oleh suatu
kelompok tertentu karena mempelajari dan menguasai masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal, yang telah bekerja dengan cukup baik untuk dipertimbangkan secara
layak dan karena itu diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berpikir
dan dirasakan dengan benar dalam hubungan dengan masalah tersebut(Jerald, G. nd
Robert., tth); (Aslan, Sihaloho, dkk., 2020); (Aslan, Suhari, dkk., 2020); (Aslan, 2019);
(Aslan, 2017); (Aslan dkk., 2019). Dan juga disebutkan Budaya adalah suatu konsep yang
membangkit minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa,
mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budanya dalam arti kata
merupakan tingkah laku dan gejala sosial yang menggambarkan identitas dan citra suatu
masyarakat(Syaiful Sagala, 2013).Budaya didefinisikan sebagai cara hidup orang yang
dipindahkan dari generasi ke generasi melalui berbagai proses pembelajaran untuk
menciptakan cara hidup tertentu yang paling cocok dengan lingkungannya. Budaya
merupakan pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok melalui pemecahan
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Sekelompok orang terorganisasi yang
mempunyai tujuan, keyakinan dan nilai-nilai yang sama, dan dapat diukur melalui
pengaruhnya pada motivasi (Michael Zwell, 2000).
Salah seorang guru besar antropologi Indonesia Koentjaraningrat berpendapat
bahwa “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-
hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu
perkembangan dari majemuk budi daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari
akal (Koentjaraningrat,1993).
2. Pendapat Kebudayaan menurut Para Pakar
Menurut tinjauan tentang kebudayaan dari beberapa para pakar ada banyak, namun
dalam makalah ini penulis hanya cantumkan lima pengertian menurut para ahli, sebagai
berikut:Edward Burnett Tylor (1832-1972).
Menurut Tylor, kebudayaan adalah sistem kompleks yang merangkup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Malinowski mendefinisikan kebudayaan sebagai penyelesaian manusia terhadap
lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai
dengan tradisi yang terbaik. Dalam hal ini, Malinowski menekankan bahwa hubungan
manusia dengan alam semesta dapat digeneralisasikan secara lintas budaya. Bronislaw
Malinowski (1884-19420)
Antropolog ternama dunia Clifford Geertz mengatakan kebudayaan merupakan
sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol. Simbol tersebut kemudian
diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber
ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, pengembangkan pengetahuan, hingga
cara bersikap. Clifford Geertz (1926-2006)
Roger mendefinisikan makna kebudayaan melalui dua pendekatan, adaptif dan
ideasional. Kebudayaan menurut pendekatan adaptif merupakan kontes pikiran dan
perilaku. Sedangkan, menurut pendekatan ideasional kebudayaan adalah semata-mata
sebagai konteks pikiran. Roger M. Keesing (1935-1993).
Antropolog asal Indonesia ini mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem
gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. Koentjaraningrat (1923-
1999).
3. Wujud-wujud Kebudayaan
Menurut J.J Honingmann, dikutip dari buku Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, ada tiga wujud kebudayaan, diantaranya:
• Gagasan
Bersifat abstrak dan tempatnya ada di alam pikiran tiap warga pendukung budaya
yang bersangkutan sehingga tidak dapat diraba atau difoto. Wujud budaya dalam
bentuk sistem gagasan ini biasa juga disebut sistem nilai budaya.
• Perilaku
Berpola menurut ide/gagasan yang ada. Wujud perilaku ini bersifat konkret dapat
dilihat dan didokumentasikan.
• Benda Hasil Budaya
Bersifat konkret, dapat diraba dan difoto. Kebudayaan dalam wujud konkret ini
disebut kebudayaan fisik. Contohnya, bangunan-bangunan megah seperti candi,
piramida, menhir, alat rumah tangga seperti kapak perunggu, gerabah, dan lain-
lain
4. Tujuh (7) Unsur Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur
kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua
bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut
adalah:(Tasmuji, Dkk, 2011)
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya
untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi,
studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut
Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan
pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan
mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa.
Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa
kebudayaan manusia.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan
hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di
dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup
pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam
kehidupannya. Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila
mereka tidak mengetahui dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis ikan
pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila
tidak mengetahui dengan teliti ciri ciri bahan mentah yang mereka pakai untuk
membuat alat-alat tersebut. Tiap kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan
pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang
ada di sekitarnya.
3. Sistem Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha
antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui
berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat
kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai
macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke
hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga
inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke
dalam tingkatan-tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial
dalam kehidupannya.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan
selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian
penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian
mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau
sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Sistem Religi
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan
mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural
yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan
berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan
kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan
pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula religi tersebut,
para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah
sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada
zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.
7. Sistem Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak
yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi
awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada
teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi
etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni
drama dalam suatu masyarakat.

B. Gender
1. Konsep Gender
Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dimaknai sebagai perbedaan yang bersifat sosial
budaya dan merupakan nilai yang mengacu pada hubungan sosial yang memberikan
perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dikarenakan perbedaan biologis yang
menjadi kodrat, dan oleh masyarakat dan menjadi budaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
WHO (world health organization) memberikan batasan gender sebagai seperangkat
peran, perilaku, kegiatan, dan antribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan
perempuan. Studi tetang gender memiliki akar pada antropologi feminis dan untuk
alasan ini, istilah gender sering di salah pahamkan sebagai konsep eksklusif feminis.
Studi gender pada dasarnya memperhatikan konstruksi budaya dari dua makhluk hidup
laki-laki dan perempuan. Mereka menguji perbedaan dan persamaan pengalaman dan
interpretasi keduanya dalam berbagai konteks mengambil artian pundamental atas
presepsi mereka terhadap berbagai jenis hubungan sosial.
Ketika jenis kelamin lebih bersifat biologis dan nature, maka berbeda dengan
gender. Gender secara terminilogi adalah perbendaan yang lebih didasarkan pada aspek
sosiologis dan kultural. Pemahaman yang masih mencampuradukan konsep jenis
kelamin dengan gender di tengah masyarakat melahirkan berbagai implikasi negatif,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hal ini disebabkan jenis kelamin lebih
merupakan takdir atau kodrat Allah swt., sementara gender adalah kontruksi sosial-
budaya yang lebih merupakan ikhtiar manusia.
Secara umum gender diartikan untuk mengindentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, sex secara umum digunakan untuk
mengidentifaksi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Dahulu
belum banyak tertarik untuk membedakan seks dan gender, karena presepsi yang
berkembang di dalam masyarakat menganggap perbedaan gender (gender differences)
sebagai akibat perbedaan seks (sex differences). Pembagian peran dan kerja secara
seksual dipandang suatu hal yang wajar. Akan tetapi belakang ini disadari bahwa tidak
mesti perbedaan seks menyebabkan ketidak adilan gender (gender inequality). Gender
merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-laki, yang
kemudian dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Gender bukanlah sesutu yang
kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki melainkan sesuatu
yang kita lakukan dan kita tampilkan.
Pendapat Mansour mengatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-
laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial dan kultural. Misalnya perempuan
itu lemah lembut, cantik, emosional, sementara laki-laki kuat, rasional serta perkasa.
Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Sifat demikian
disebabkan karena ruang dan waktu serta lingkungan sosila dan kelas-kelas masyarakat
yang berbeda.
Berbagai tugas yang dibakukan baik bagi perempuan dan laki-laki benar-benar
murni kontruksi sosial. Tugas-tugas inilah yang dikenal dengan istilah peran gender
(gender role). Dengan kata lain yang dimaksud dengan peran gender adalah berbagai
peran aktivitas, tugas, atau pekerjaan yang sengaja dilekatkan atau diidentikkan sebagai
tanggungjawab perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, peran gender sangat
bersifat kultur dan bahkan personal.
Dalam padandangan Agama Islam segala sesuatu diciptakan Allah swt., dengan
kodrat firman Allah swt., dalam QS al-Qamar/54:49 “Sesungguhnya segala sesutu yang
kami ciptakan dengan qadar” pendapat ahli tentang qadar diartikan sebagai ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu” dan itulah yang disebut
sebagai kodrat. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan
Allah swt., baik individu dengan jenis kelamin berbeda memiliki kodratnya masing-
masing.
Kehadiran gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan diberbagai aktivitas
kehidupan, baik yang berifat sporadis dan fanatisme, memberikan suatu kesan tentang
bagaimana mensejajarkan antara laki-laki dan perempuan. Sistem yang masih
menjamur dalam lingkungan sosial kemasyarakatan adalah sebuah sistem patriarki
menjadi pemicu ketidaksetaraan itu terjadi. Hal ini menjadi sebab berbagai teori dan
konsep terlahir dan dijadikan bagian untuk memberikan solusi dari ketidaksetaraan
dalam persoalan ini
2. Konsep Gender dan Budaya
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan mempunyai citra yang
jelas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Pada umumnya
laki-laki adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta ditandai dengan kebutuhan
yang besar mencapai tujuan dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya perempuan
dipandang sebagai lebih lemah dan kurang aktif, lebih menaruh perhatian, pada afiliasi,
berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah. Pandangan umum yang demikian
akhirnya melahirkan citra diri baik tentang laki-laki maupun perempuan. Citra diri yang
demikian inilah yang kemudian disebut banyak orang sebagai stereotip.
Sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan pada asumsi yang
kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang
sebenarnya. Olehnya itu ada kemungkinan mengandung kesalahan dalam memberikan
interpretasi atau biased perception. Namun, tidak semua yang aspek yang diberi lebel
maskulin diberi lebel untuk laki-laki, dan lebel feminim untuk perempuan dapat
diterima dan diberlakukan dalam kehidupan suatu masyarakat. Dengan demikian laki-
laki dan perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam mengembangkan segala
potensi/ kemampuan yang dimiliki secara maksimal.
Gender diebut sebagai sekelompok antribut yang dibentuk secara kultural yang ada
pada kaum laki-laki dan perempuan atau bagaimana masyarakat memandang laki-laki
dan perempuan dalam lingkungan sosialnya. Bagi Mosse gender adalah seperangkat
peran, nilai dan aturan yang dijalankan seperti halnya kostum dan topeng tetaer yang
memiliki pesan kepada orang lain bahwa diri kita feminim ataupun maskulin.
Sekalipun demikian pandangan gender jangan sampai dirancukan dengan konsep jenis
kelamin yang sifatnya taken for granted (alamiah). Karena antribut biologis ini tidak
dapat dipertukarkan secara bebas antara laki-laki dan peremuan, karena merupakan
anugrah dan takdir sejak lahir di dunia.
Budaya masyarakat memaknai gender sebagai pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan. Secara anatomi antara laki-laki dan permpuan berbeda, namun mereka
terlahir dengan peran dan tanggungjawab yang sama, akan tetapi dalam
perkebangannya dalam budaya masyarakat memiliki perbedaan diantara keduanya.
Ketimpangan dalam kehidupan sosial membuat perempuan dinomor duakan dalam
berbagai hal yang terjadi berdasarkan realita kehidupan. Dalam kajian budaya antara
laki-laki dan perempuan menekankan pada gagasan dalam identitas sebagai kontsruksi
perkembangan sosial.
Budaya kehidupan masyarakat mewariskan pemahaman tentang tata cara mereka
melanjutkan kehidupan dari suatu generasi kegenarasi selanjutnya dengan pemahaman
akan peran laki-laki dan perempuan. Dimana peran perempuan dalam kehidupannya
diberikan pemahaman akan pendidikan membesarkan anak dan menjalani
tanggungjawab di dalam rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan
tanggungjawab dalam mengembangkan diri kearah pecapaian perkemabangan secara
maksimal sehingga mampu survive dalam menjalani kehidupan sebagai penguasa
uatama dan mendominasi otoritas sebagai pemimpin.
Karateristik maskulin dan feminim mulai tampak ketika orang tua memikirkan
nama, baju, mainan, dan apa yang pantas atau boleh bagi laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan aturan masyarakat tentang permuan dan laki-laki memberikan karakter
tersendiri untuk laki-laki dengan sikaf maskulin yang dominan, serta perempuan
dibentuk dalam sifat yang didominasi dengan sifat feminin yang dominan. Kondisi ini
menyebabkan muncul tabir pemisah dalam sektor domistik dan publik secra kultur
dalam kehidupan masyarakat. Kenyataan dalam kehidupan sosial, laki-laki dibentuk
dengan pribadi yang besar, kuat, asertif dan dominan. Berbeda dengan perempuan yang
dibentuk dengan sikap lemah lembut, tampil menarik,bersih, berpakaian tertentu yang
berbeda dengan laki-laki.
Perbedaan secara genetis antara laki-laki dan perempuan perlu dibahas lebih cermat
dan hati-hati, karena kesimpulan yang keliru mengenai hal ini tidak hanya akan
berdampak pada persoalan sains semata, tetapi juga mempunyai dampak lebih pada
persoalan asasi kemanusiaan. Dengan menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan
secara genetis berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas, maka kesimpulan
tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial, yang memperlakukan laki-
laki sebagai jenis kelamin utama dan perempuan sebagai jenis kelamin kedua.
Sesungguhnya antribut dan beban gender tidak mesti ditentukan oleh antribut biologis.
Dalam hal ini adalah phisical genital dan cultural genital. Sehingga ketika antribut jenis
kelamin kelihatan maka pada saat itu kontruksi budaya mulai terbentuk.
Gender dalam kehidupan masyarakat memberikan peran masing sebagai ide
kultural yang menetapkan perbedan peran baik dalam ranah publik maupun dalam
ranah domestik. Dengan pertumbuhan dan mobilisasi penduduk serta perkembangan
yang begitu pesat dalam revolusi industri sangat mendukung perubahan sosial dan
menetapkan keduanya untuk berinteraksi satu sama lain. Peran perempuan semakin
mengalami perubahan dengan perkembangan ekonomi secara global, yang
memberikan dukungan dalam peningkatan taraf hidup perempuan. Perubahan ini akan
membentuk perubahan sosial yang akan diikuti dalam bentuk akulturasi dan asimilasi
budaya.
Keadaaan ini semakin membentuk norma-norma yang ada dalam rana domestik
telah memberikan ruang gerak untuk terlibat dalam ranah publik. Masyarakat akan
terbiasa dengan banyaknya perempuan dalam menjalankan peran publik sehingga
norma yang tradisional bergeser menjadi norma kontemporer. Begitu pula
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan
kesempatan yang sama dalam dengan dasar hak asasi yang tidak lagi menentukan peran
gender. Pandangan tentang universalisme dikotomi antara laki-laki dan perempuan
yang bersumber dari alam dan kebudayaan, serta perbedaan peran domestik dan publik,
telah diguguran oleh bukti –bukti etnografis, dan sekaligus membuka fakta baru bahwa
dikotomi laki-laki perempuan itu bersifat relatif (bervariasi).
Sebagai sebuah konstruk budaya sosial, gender memang telah memberikan makna
terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dengan makna yang
diberikan kepada laki-laki dan perempuan tersebut, masyarakat membuat pembagian
kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pebagian peran tersebut
dalam kenyataannya tidak didasarkan pada azas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki hak dan tanggungjawab yang sama sebagai manusia.
Realita yang terjadi dalam pembagian peran tersebut lebih banyak didasarkan pada
budaya patriarki.
Kehidupan dalam masyarakat masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam hal
kesetaraan antar laki-laki dan perempuan, hal ini menunjukkan kehadiran gender masih
menjadi persolan yang masih bersifat parsial, disebabkan karena pemahaman secara
tegas akan identitas diri laki-laki maupun pemempuan dilihat dari segi kodrat tuhan
yang tidak dapat dirubah, dari lingkungan sosial, dan secara biologis
Realitas sosial dalam kehidupan sejarah telah membuktikan bahwa telah banyak
perempuan yang bisa melaksanakan tugas yang selama ini dianggap sebagai banyak
monopoli laki-laki. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa pandagan yang meyakini
kealamian perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan dalam berbagai
aspek tidaklah benar, karena terkadang justru sebaliknya. Yang benar, bahwa
pemikiran hanyalah produk bangunan peresepsi sosial yang tercipta atau sengaja
diciptakan untuk menyesuaikan dengan dinamika dalam mengahdapi kehidupan, dan
bahkan terlihat dari peradaban yang berkemajuan. Dari pemikiran yang tradisional
menuju pemikiran yang rasional, dari padangan tekstual menuju pandangan subtansial,
dari ketergantungan menuju kearah keterbukaan. Keterbukaan yang ideal dalam sistem
sosial memberikan kesetaraan yang membentuk keadilan yang berkeadaban untuk
kemanusiaan.
Pemahaman akan kebudayaan tentang perempuan dan perannya dalam kehidupan
sosial sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman. Secara tidak langsung
dalam ilmu antropologi perkembangan perempuan dalam menjalankan perannya
sebagai manusia yang universalitas mengalami keterpinggiran. Perbedaan itu menjadi
sebuah kenyataan identitas dan kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah. Keterpinggiran
ini lahir disebabkan sistem nilai dalam budaya tertentu dan suatu kultur menjadi simbol
budaya.

C. Self Identity
1. Pengertian Self Identity (Identitas diri)
Berdasarkan pemaparan mengenai “diri (self)” dan “identitas (identity)”, dapat
diambil definisi mengenai identitas diri yaitu suatu pengakuan dan perasaan yakin akan
identitas personal individu yang membutuhkan proses berpikir yang cukup lama dan
rumit untuk menjadi seorang “aku” yang berbeda dengan orang lain disekitarnya demi
mendapatkan arti atau makna untuk kehidupannya sendiri. Identitas diri juga
merupakan suatu kesadaran dan kesinambungan diri dalam mengenali dan menerima
kekhasan pribadi, peran, komitmen, orientasi dan tujuan hidup sehingga individu
tersebut mampu berperilaku sesuai kebutuhan dirinya dan harapan masyarakat.
Menurut Erikson seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi
seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat
sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya,
sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang
banyak. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang
yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa
mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri
khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa
depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi
hidupnya. Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang terbentuk dari asas-
asas atau cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya.
Proses pembentukan identitas diri, Menurut marcia pembentukan identitas diri
diawali oleh munculnya ketertarikan (attachment), perkembangan suatu pemikiran
mengenai diri dan pemikiran mengenai hidup dimasa tua.
Menurut Erikson mengatakan bahwa hal yang paling utama dalam perkembangan
identitas diri adalah eksperimentasi kepribadian dan peran. Erikson yakin bahwa
remaja akan mengalami sejumlah pilihan dan titik tertentu akan memasuki masa
moratorium. Pada masa moratorium ini, remaja mencoba peran dan kepribadian yang
berbeda-beda sebelum akhirnya remaja mencapai pemikiran diri yang stabil.
Menurut Marcia juga menyebutkan, bahwa pembentukan identitas diri juga
memerlukan dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah
“eksplorasi” menunjuk pada suatu masa dimana seseorang berusa menjelajahi berbagai
alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan dan nilai-
nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut. Sedangkan “komitmen”
menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta
menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut. Berdasarkan
dua elemen diatas, maka dalam pembentukan identitas diri, seorang remaja akan
mengalami suatu krisis identitas untuk menuju pada suatu komitmen yang merupakan
keputusan akan masa depan yang akan dijalani.
2. Faktor yang memengaruhi Identitas Diri (Self Identity)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi identitas diri menurut Fuhrman, adalah:
a. Pola Asuh Pola asuh demokratis dikatakan dapat membantu
berkembangnya identitas diri yang lebih optimal, dikarenakan remaja
dengan pola asuh demokratis dapat mengembangkan dan mengekspresikan
ide-idenya dengan orang tua sebagai pengawas bukan sebagai pengekang
kebebasan.
b. Model Identifikasi Model identifikasi biasanya adalah orang yang sukses
dalam hidupnya. Individu memiliki suatu harapan bahwa dengan menjadi
seperti model identifikasinya maka dirinya akan meraih sukses yang sama
sehingga memotivasi individu untuk melakukan hal-hal yang dilakukan
oleh model tersebut.
c. Homogenitas Lingkungan Individu yang berada pada lingkungan yang
homogen cenderung lebih mudah membentuk identitas dirinya
dibandingkan dengan yang berada pada lingkungan heterogen. Individu
yang berada pada lingkungan heterogen lebih lama menghadapi krisis
karena terlalu banyak alternatif yang ada di hadapannya.
d. Perkembangan Kognisi, perkembangan kognisi masa remaja adalah
bilamana individu mampu berpikir secara operasional formal dan lebih
sistematis terhadap hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini pola berpikir
menjadi lebih fleksibel dan mampu melihat persoalan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda, individu cenderung lebih mempunyai komitmen
yang kuat dan konsisten.
e. Sifat Individu Remaja memiliki sifat ingin tahu dan keinginan untuk
eksplorasi yang besar dimana hal ini dapat membantu pencapaian identitas.
f. Pengalaman Masa Kanak-kanak Individu yang di masa kanakkanak telah
berhasil menyelesaikan konflik-konfliknya cenderung lebih mudah
menyelesaikan krisis dalam mencapai identitas diri.
g. Pengalaman Kerja Pengalaman kerja individu dapat menstimuli
pembentukan identitas diri. Individu menjadi lebih matang dengan
menghadapi permasalahan yang ada di lingkungan kerjanya sehingga
individu mengetahui kelebihan atau kekurangan apa yang dimiliki untuk
menghadapi permasalahan tersebut.
h. Interaksi Sosial, bahwa individu akan mendapatkan identitas dirinya setelah
melakukan interaksi dengan orang lain. Individu dapat mengatakan segala
sesuatu tentang dirinya, lingkungan di sekitarnya akan membantu
membentuk identitas dirinya. Individu harus berinteraksi jika ingin menjadi
sesuatu.
i. Kelompok Teman Sebaya Kelompok teman sebaya merupakan kelompok
acuan bagi seorang anak untuk mengidentifikasikan dirinya dan untuk
mengikuti standar kelompok.
Sejak seorang remaja menjadi bagian dari kelompok teman sebaya tersebut,
identitas dirinya mulai terbentuk. Menuurt Papalia & Olds mengemukakan
bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja
dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Selanjutnya
menurut Conger mengatakan bahwa, teman-teman bagi remaja dapat menjadi
sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang
menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya. Menurut Erikson
mengemukakan bahwa remaja menerima dukungan sosial dari kelompok teman
sebaya. Pemberian dukungan sosial dan penyediaan tempat untuk melakukan
segala uji coba membuat teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam
pembentukan identitas diri.
3. Aspek-Aspek Identitas Diri (Self Identity)
Menurut Erikson, identitas melibatkan tujuh dimensi, antara lain:
1) Genetik. Hal ini bekaitan dengan suatu sifat yang diwariskan oleh orang tua
pada anaknya. Orang tua sangat mempengaruhi sifat yang akan dimiliki
anaknya di kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang
berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, terutama di dalam
menjalankan kehidupannya.
2) Adaptif. Identitas adalah penyesuaian remaja mengenai keterampilan-
keterampilan khusus, dan bagaimana remaja tersebut dapat menyesuaikan diri
dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Sejauh mana
keterampilan atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat di
lingkungan tempat tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima
keterampilan yang dimilikinya.
3) Struktural. Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun
oleh remaja, atau dengan kata lain remaja telah mempersiapkan kehidupan di
masa depannya. Namun bukan berarti tidak ada hambatan dalam menjalankan
rencana masa depannya ini. Seringkali apa yang telah direncanakan tidak
berjalan sesuai dengan yang diharapkan, bisa jadi rencana tersebut mengalami
suatu kemunduran (deficit structural) atau bahkan bisa tidak sama sekali
terwujud.
4) Dinamis, Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang
dewasa yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa
depannya ataukah sebaliknya, proses identifikasi tersebut tidak berpengaruh
pada identitasnya melainkan yang berpengaruh adalah pemberian peran dari
masyarakat terhadap remaja.
5) Subyekif atau berdasarkan Pengalaman Individu yang mempunyai pengalaman
akan berbeda dengan individu yang sama sekali belum memiliki pengalaman.
Hal ini dijelaskan oleh Erikson bahwa individu yang telah memiliki
pengalaman sebelumnya, individu tersebut akan merasakan suatu kepastian
dalam dirinya. Dengan adanya pengalaman maka akan banyak alternatif yang
dapat kita jadikan pedoman untuk melangkah dengan lebih yakin ke arah depan
atau semakin banyak pengalaman maka akan semakin timbul antisipasi dalam
melakukan berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya.
6) Timbal balik. Psikososial Erikson menekankan hubungan timbal balik antara
remaja dengan dunia dan masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak
hanya terbentuk oleh diri kita sendiri melainkan melibatkan hubungan dengan
orang lain, komunitas dan masyarakat.
Status Eksistensial Erikson berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam
hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Dalam hal ini remaja ingin
merasakan apa yang dinamakan dengan makna hidup, ingin diakui keberadaanya
di dalam masyarakat dengan peran sosial yang dijalankan serta keterampilan yang
dimilikinya
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan pada asumsi yang
kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukkan kenyataan yang akurat dan yang
sebenarnya. Oleh karena itu ada kemungkinan mengandung kesalahan dalam
memberikan intrpretasi atau biased perception. Namun, tidak semua yang aspek yang
diberi lebel maskulin diberi lebel untuk laki-laki, dan lebel feminim untuk perempuan
dapat diterima dan diberlakukan dalam kehidupan suatu masyarakat.
Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang terbentuk dari asas-asas
atau cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Bila
mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas
kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan
yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.
B. Saran
Perlunya tinjauan pustaka yang lebih mendalam terkait permasalahan yang dibahas.
Masih memerlukan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan penulis
kedepannya agar lebih baik lagi dalam penulisan makalah dan paper lainnya.
Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Aslan. (2019, Januari 17). Pergeseran Nilai Di Masyarakat Perbatasan (Studi tentang
Pendidikan dan Perubahan Sosial di Desa Temajuk Kalimantan Barat)
[Disertasi dipublikasikan]. Pasca Sarjana. https://idr.uin-
antasari.ac.id/10997/
Aslan, A. (2017). NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM BUDAYA
PANTANG LARANG SUKU MELAYU SAMBAS. Jurnal Ilmiah Ilmu
Ushuluddin, 16(1), 11–20. http://dx.doi.org/10.18592/jiu.v16i1.1438
Aslan, Setiawan, A., & Hifza. (2019). Peran Pendidikan dalam Merubah Karakter
Masyarakat Dampak Akulturasi Budaya di Temajuk. FENOMENA, 11(1),
11–30. https://doi.org/10.21093/fj.v11i1.1713
Aslan, Sihaloho, N. T. P., Nugraha, I. H., Karyanto, B., & Zakaria, Z. (2020).
Paradigma Baru Tradisi “Antar Ajung” Pada Masyarakat Paloh,
Kabupaten Sambas. IBDA`: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 18(1), 87–
103. https://doi.org/10.24090/ibda.v18i1.3354
Aslan, Suhari,Antoni, Mauludin, M. A., & Mr, G. N. K. (2020). Dinamika
Keagamaan Masyarakat Perbatasan Paloh Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1), 90–101.
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
Aslan, & Yunaldi, A. (2018). BUDAYA BERBALAS PANTUN SEBAGAI MEDIA
PENYAMPAIAN PESAN PERKAWINAN DALAM ACARA ADAT
ISTIADAT PERKAWINAN MELAYU SAMBAS. JURNAL
TRANSFORMATIF (ISLAMIC STUDIES), 2(2), 111–122.
https://doi.org/10.23971/tf.v2i2.962
Chaer, Abdul. Filsafat Bahasa, Cet. I; Jakarta: Reineka Cipta, 2015.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cet.
IV; Jakarta: Gramedia, 2008.
Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Djunaedi, Wawan. dan Ikilah Musayyanah. Pendidikan Islam Adil Gender di
Madrasah, Cet. I; Jakarta: Pustaka STAINU, 2008.
Faqih, Mansour. Analisi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Herimanto dan winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Cet X; Jakarta: Bumi
Aksara,2016.
Jalik, Abdul & St. Aminah. (2018). GENDEL DALAM PERSFEKTIF BUDAYA
DAN BAHASA. Jurnal Al-Maiyyah, Vol 11 No. 2. Hlm. 282-298.
Jerald, G. and Robert.A.B.Behavior in Organizations. Cornell University: Pearson
Prentice.
Kuper, Adam. & Jessica Kuper. Ensikopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Cet. I; Jakarta: Raja
Grafindo, 2000.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Maksum, Ali. Sosiologi Pendidikan, Cet I; Malang: Madani, 2016.
Partini, Bias Gender dalam Birokrasi, ed. II, Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.
Raditya, Ardhie. Sosiologi Tubuh, Membentang Teori di Ranah Aplikasi, Cet. I;
Yogyakarta, Kaukaba Dipantara, 2014.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Cet. II; Jakarta: el-
Kahfi, 2008.
Sugishastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan Praktik
Kritik Sastra Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Syakhrani, Abdul Wahab & Muhammad Luthfi Kamil. (2022). BUDAYA DAN
KEBUDAYAAN: TINJAUAN DARI BERBAGAI PAKAR, WUJUD-
WUJUD KEBUDAYAAN, 7 UNSUR KEBUDAYAAN YANG
BERSIFAT UNIVERSAL. Cross-border. Vol. 5 No. 1. Hlm. 783-788.
Umar, Nasaruddin. Argumen Keseteraan Jender Pesrpektif al Qur’an, Cet. II; Jakarta:
Paramadina, 2001.
W, S Sarwono. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada.
W, Santrock, J. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erelangga, Edisi Keenam.

Anda mungkin juga menyukai