MAKALAH
Oleh:
Tiara Khairani
12130224947
Kelas 4E
FAKULTAS USHULUDDIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul " Etos Kerja dalam Budaya Melayu".
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah kali ini. Oleh sebab itu, saran dan
kritik senantiasa diharapkan demo perbaikan karya penulis. Penulis juga berharap semoga
makalah ini mampu memberikan dan menambah pengetahuan materi tentang etos kerja apa
saja dalambudaya melayu.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelompok etnis yang terdapat di Batubara tidak hanya Etnis Melayu melainkan ada Etnis
Jawa, Mandailing, Batak Toba dan lain sebagainya. Untuk memahami konteks keberagaman
tersebut maka perlulah kita pahami yang namanya relativitas budaya. Budaya itu relative,
maka tidak ada standar baku yang bisa diterima oleh semua budaya. Oleh karena itu, apa yang
terbaik tentu tidak sama dengan pandangan orang lain (Suharyanto, 2015). Salah satu akibat
yang disebabkan oleh adanya kerelatifan budaya itu bisa munculkan sebuah stereotip.
Konteks keberagaman etnis terutama yang ada di Batubara tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya pemberian julukan atau label buruk bagi beberapa etnis yang sering dikenal dengan
istilah stereotip. Stereotip itu sendiri adalah prasangka-prasangka terhadap suatu etnis yang
hanya ada di kepala untuk menyederhanakan gambaran luas yang ada di masyarakat dan
diperkecil dalamgambaran di kepala saja.1
Di dunia ini manusia selalu dituntut berbagai beban kehidupan, baik berupa beban
ekonomi, sosial, budaya, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan serta lain sebagainya.
Efek dari itu, sebagian manusia bekerja pontang-panting siang malam seolah-olah tanpa
mengenal waktu. Hidup hanya bermotto tunggal: kerja, kerja dan kerja.
1
(Ayu et al., 2016)
1
Dalam etika Melayu, kerja tidak dapat hanya dilakukan setakat kata kerja kerja dan
kerja atau kerja keras saja, tetapi juga kerja yang cerdas, kerja yang memiliki etika dan rambu-
rambu aturan, kerja yang bukan hanya diperuntukkan bagi kegemilangan kehidupan kini dan
di sini tetapi juga bekal untuk persiapan di masa depan yang jauh, bahkan setelah jasad karam,
setelahbadan tenggelam dalam tanah, ketika semuanya yang tinggal hanya nama.
Dalam kebudayaan Melayu, ada pekerjaan yang dianjurkan dan terdapat pula kerja yang
dilarang. Kerja yang dianjurkan itu diistilahkan sebagai kerja berfaedah, bermanfaat, kerja
pilihan dan kerja terpuji. Sementara kerja yang dilarang atau dipantangkan adalah kerja yang
menyalah, kerja terkutuk dan kerja terlaknat. Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang etos kerja dalam budaya melayu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat diperoleh tujuan masalah sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Etos kerja berasal dari kata Yunani. Ethos artinya ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat,
atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok
orang atau bangsa (Buchori, 2014: 6). Dalam Hand Book of Psycologi Term, yang dikutip
oleh Ahmad Janan Asifudin disebutkan bahwa etos diartikan sebagai pandangan khas suatu
kelompok sosial, sistem nilai yang yang melatarbelakangi adat istiadat dan tata cara suatu
komunitas (Asifuddin, 2014: 26). Adapun pengertian dari etos kerja adalah sikap yang muncul
atas kehendak dan kesadaran sendiri dengan didasari oleh sistem orientasi nilai budaya
terhadap kerja. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa etos kerja mempunyai dasar dari
nilai budaya, dari nilai budaya itu akhirnya membentuk etos kerja pribadi masing-masing. Etos
kerja juga dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang diyakini oleh
seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang diwujudkan melalui perilaku
kerja mereka secara khas (Bagus, 2010).
Etos kerja dapat menjadi daya dorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sinamo
mengasumsikannya sebagai keyakinan mendasar yang disertai komitmen total pada paradigma
kerja yang integral (Sinamo, 2011: 151). Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
etos kerja merupakan karakter, kebiasaan pandangan, sikap, dan dorongan berkenaan dengan
kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar pada dirinya.2 Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa timbulnya etos kerja dalam konteks ini adalah karena termotivasi oleh
sikap hidup yang mendasar. Kunci kemajuan dan keberhasilan suatu organisasi atau usaha
adalah etos kerja. Etos kerja merupakan komponen primer yang harus dimiliki oleh sumber
daya manusia yang berkualitas (Sulaeman, 2016).
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti "tempat hidup" Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin
kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti "teori kehidupan".
yang kemudian menjadi "etika". Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi
beberapa pengertian
3
2
(Fakultas et al., n.d.)
4
antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam
bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai "sifat dasar", "pemunculan" atau
"disposisi (watak)".
Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi,
atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat
pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi
kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada
sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama. Anoraga (2009), etos kerja
merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-
individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi
manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap
kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan. maka etos kerja dengan sendirinya
akan rendah.3
Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada
keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral.
Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma
kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan
melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak Kesimpulannya,
etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan- perbuatan dengan
mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya.
Menurut Nurcholish Madjid dalam Kirom (2018), etos kerja Islami adalah hasil dari
keyakinan seorang muslim bahwa bekerja berkaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu ridha
Allah SWT. Dalam kaitan ini perlu ditegaskan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama
amal atau kerja. Inti dari ajarannya adalah bahwa seorang hamba mendekati dan mencari
keridhaan Allah melalui pekerjaan atau perbuatan baik, dan dengan memurnikan sikap
menyembah kepada Allah. Dalam pandangan Islam etos kerja yang baik adalah bekerja secara
mandiri, usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri. Hal ini menegaskan bahwa harta yang
dihasikan melalui kerja keras walaupun sedikit dipandang lebih berharga daripada harta
warisan atau pemberian orang lain. Islam menjamin dan melindungi mereka yang mau bekerja
keras dan menyuruh para majikan untuk menghargai kerja keras orang yang bekerja
padanya. Dalam Islam juga
3 (Sandy & Puspitawati, 2019)
4
dikategorikan sebagai pekerjaan yang paling baik adalah penjualan dengan cara yang baik,
misalnya tidak mengurangi timbangan, tidak berbohong, dan tidak menipu. Tujuan bekerja
bukan hanya mencari keuntungan, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan hidup orang
lain. Dengan dmikian Etos kerja dalam syari'at Islam adalah akhlak dalam menjalankan usaha
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Didin (2000: 34), seorang muslim harus memiliki etos kerja yang islami dalam
bekerja, dengan indikator sebagai berikut:4
Masyarakat melayu dulunya memiliki etos kerja yang di sebut “ semangat kerja” yang tinggi,
semangat yang mampu harkat dan martabat kaumnya” untuk duduk sama rendah tegak sama
4
(Sandy & Puspitawati, 2019)
5
tinggi” dengan masyarakat dan dengan bangsa lain. Sedangkan, etos kerja masyarakat melayu
yang lazim di sebut dengan “ pedoman kerja melayu “, di akui oleh banyak ahli, karena hal ini
sangat ideal dengan etos kerja yang universal, terutama di dunia Islam. Dengan modal “
pedoman kerja melayu” tersebut masyarakat melayu mampu membangun negri dan kampung
halaman, mereka juga mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat dan menghadapi
persaingan.5
Di samping itu, budaya melayu juga mengajarkan etika kerja. Adapun konsep etika kerja dalam
budaya melayu dapat di lihat dari pribahasa berikut ini :
Orang-orang tua melayu, menekankan pada anak anaknya supaya berhati hati dalam
bekerja dan mengambil keputusan.
Orang melayu di sarankan tidak tergopoh gopoh dan selalu bersabar dalam bekerja, sebab
dengan tergopoh gopoh hasilnya tidak baik.
Pekerjaan yang di kerjakan secara tergesa gesa selalu menimbulkan kesulitan dan tidak
lengkap, tidak terurus. Oleh sebab itu, masyarakat melayu jika hendak membuat suatu
aktivitas selalu di fikirkan semasak masaknyasehingga hasilnya maksimal
Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh
sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja (Ismainar, 2015). Etos kerja yang dimiliki oleh
individu digunakan sebagai landasan dalam bekerja sehingga kinerja yang ditampilkan
memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas masing-masing individu dalam bekerja ini dapat
berbeda satu sama lain karena etos kerja individu dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah faktor budaya. Pernyataan peneliti tersebut sejalan dengan Yusuf (2011), yang
menyatakan bahwa etos kerja tiap individu dapat berbeda karena etos kerja dipengaruhi oleh
latar belakang pribadi individu, nilai agama yang dianutnya, kondisi lingkungan, manusia dan
5
(Ayu Erika Septiana & Ayu Ritawati, 2019)
6
alam disekitarnya. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan budaya yang
beragam. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia memungkinkan adanya
perbedaan etos kerja pada masing-masing individu sehingga pemaknaan etos kerja pada tiap
suku bangsa di Indonesia tidak dapat disamakan. Berbagai penelitian telah mengungkap
gambaran etos kerja pada beberapa etnis atau suku di Indonesia.6
a. Usia
Menurut hasil penelitian Buchholz’s dan Gooding’s, pekerja yang berusia di bawah 30
tahun memiliki etos kerja lebih tinggi daripada pekerja yang berusia diatas 30 tahun (dalam
Boatwright & Slate, 2000).
b. Jenis kelamin
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Boatwright dan Slate (2000), wanita memiliki
etos kerja yang lebih tinggi dari pada pria.
Hasil penelitian Boatwright dan Slate (2000) menyatakan bahwa etos kerja tertinggi
dimiliki oleh pekerja dengan latar belakang pendidikan S1 dan terendah dimiliki oleh pekerja
dengan latar belakang pendidikan SMU. Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas
sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang
mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan,
keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas
masyarakat sebagai pelakuekonomi (Bertens, 1994).
d. Lama bekerja
Menurut penelitian Boatwright dan Slate (2000) mengungkapkan bahwa pekerja yang sudah
bekerja selama 1-2 tahun memiliki etos kerja yang lebih tinggi daripada yang bekerja dibawah
1 tahun. Semakin lama individu bekerja, semakin tinggilah kemungkinan individu untuk
memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitasnya dan
memperoleh peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan. Kedua hal diatas akan
6
(Ritawati, n.d.)
7
membentuk persepsi seseorang terhadap kualitas kehidupan bekerjanya (Walton, dalam Kossen
1986).
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi
adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap,
yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu
motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.
a. Pertama, Budaya, sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga
disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut
sebagai etos kerja
b. Kedua, Sosial Politik, tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi
juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja
keras dan dapat menikmati hasil kerja keras dengan penuh.
c. Ketiga, Kondisi Lingkungan, etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi
geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di
dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan
bahkan dapat mengundang pendatang.
Orang melayu yang mendasarkan budayanya dengan teras islam selalu memandang bahwa
bekerja merupakan ibadah, kewajiban dan tanggung jawab.bekerja sebagai ibadah merupakan
hasil pemahaman orang melayu tehadap al-qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.7
Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang diyakini
oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang diwujudnyatakan melalui
perilaku kerja mereka secara khas. Kartono memaparkan bahwa visi modern memandang kerja
sebagai aktivitas dasar dan bagian essensial dalam kehidupan manusia. Kerja memberikan
status dan mengikat satu individu dengan lainnya. Pada umumnya, baik wanita maupun pria
menyukai pekerjaannya, hingga mereka mau bekerja. Jika ada yang tidak menyukainya, maka
7
(Faraby, 2016)
8
kesalahannya terletak pada kondisi psikologis dan kondisi sosial dari pekerjaan itu sendiri dan
tidak pada kondisi individu yang bersangkutan
Masalah budaya kerja sering kali muncul ketika kita membuat perbandingan, misalnya
di antara suku-suku yang ada di indonesia, antara kaum pribumui dan non pribumi. Suku
minang dan suku bugis di kenal sebagai suku suku pedagang. Dari profesi yang mereka tekuni
inilah orang melihat bahwa kedua suku ini memiliki etos kerja yang tinggi. Kedua suku ini di
kenal sebagai perantau di berbagai daerah, sementara itu, bebrapa suku lainnya di indonesia di
kenal mempunyai etos kerja yang rendah, sebut saja suku melayu yang di kenal atau sering di
beri label stereotip pemalas.8
Pandangan serupa juga di terapkan dalam menilai antara pribumi dan non pribumi.
Orang orang cina sering kali dinilai mempunyai etos kerja yang tinggi bila di bandingkan
dengan penduduk pribumi. Di kalangan masyarakat melayu sendiri muncul pengakuan bahwa
orang melayu belum mempunyai budaya kerja yang tinggi. Pada tahun 1970, mahathir bin
muhammad mengemukakannya dalam the malay dilemma yang menyoroti perihal orang
melayu. Mahatir menilai orang melayu di manjakan oleh lingkungan geografisnya, yang tidak
mendorong orang melayu untuk bersaing, sehingga mereka menjadi lemah dan tidak mampu
bekerja keras.
Pandangan yang menilai orang melayu tidak mempunyai semangat kerja dan terkesan
malas tidak lah di setujui oleh semua pihak. mengkritik dengan keras tentang pendapat itu.
Alatas mengatakan bahwa pendapat yang di kemukakan oleh orang orang tersebut, di
sebabkan oleh kurangnya wawasan mereka tentang ilmu ilmu sosial dan ketidak tahuan
mereka dengan sejarah melayu. Alatas menolak anggapan tentang kemalasan orang melayu,
karena kemalasan adalah konsep yang relatif, yang lebih di cirikan tidak adanya unsur penting
dari padanya unsur penting. Kemalasan di cirikan oleh sikap mengelak terhadap keadaan yang
seharusnya memerlukan usaha dan kerja keras.
Paradigma kerja yang profesional menurut Jansen Sinamo dalam Zulham antara lain
adalah: Pertama, kerja adalah rahmat, etos kerja pertama adalah percaya pada paradigma
bahwa kerja adalah rahmat, dan karena itu harus disyukuri paling sedikit karena 5 (lima)
alasan:
8
(Kurniawan, n.d.)
9
a). Karyawan selain menerima upah finansial juga menerima banyak faktor plus, misalnya
jabatan, fasilitas, berbagai tunjangan dan kemudahan;
b). Talenta yang menjadi basis keahlian juga merupakan rahmat yang diberikan Tuhan
kepadamanusia;
c). Bahan baku yang dipakai dan diolah dalam bekerja juga telah tersedia karena rahmat Tuhan;
dan,
d). Di dalam pekerjaan semua individu terlibat dalam sebuah jaringan antar manusia yang
fungsional, hierarkis, dan sinergis yang membentuk kelompok kerja, profesi, korps, dan
komunitas.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan
karakter, kebiasaan pandangan, sikap, dan dorongan berkenaan dengan kerja yang terpancar
dari sikap hidup manusia yang mendasar pada dirinya. Indicator dalam etos kerja yaitu seperti
profesionalisme ketekunan, menggunakan waktu sebaik mungkin, jujur, ikhlas, amanah dan
kreativitas. budaya Melayu dalam menerapkan etos atau etika kerja yaitu biasanya mencakup
seperti biar lambat asal selamat, tidak lari gunung dikejar, awal dibuat akhir kalimat. faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi etos kerja yaitu seperti faktor internal dan faktor eksternal
faktor internal yaitu mencakup tentang usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan lamanya
bekerja dan motivasi intrinsik individual. sedangkan faktor eksternal mencakup budaya sosial
politik dan kondisi lingkungan sekitar. Budaya Melayu berpendapat bahwa bekerja merupakan
suatu ibadah maka dari itu dalam bekerja memerlukan kewajiban dan tanggung jawab yang
tinggi berdasarkan ajaran Alquran dan hadis nabi Muhammad SAW.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Erika Septiana, R., & Ayu Ritawati, R. (2019). KONTENPLASI MASYARAKAT
MUSLIM MELAYU PALEMBANG DALAM TANTANGAN EKONOMI GLOBAL.
Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama Dan Humaniora, 143–156.
https://doi.org/10.37108/tabuah.vi.242
Ayu, P., Viorica, N., Komang, D., & Indrawati, R. (2016). GAMBARAN KINERJA DAN
ETOS KERJA PEREMPUAN SUKU SASAK YANG BEKERJA DI DENPASAR. In
Jurnal Psikologi Udayana (Vol. 3, Issue 2).
Fakultas, C. N., Tarbiyah, L., Keguruan, D., Raden, U., Palembang, F., Ekonomi, F., & Islam,
B. (n.d.). ETOS KERJA ISLAMI PEREMPUAN MELAYU PENGUSAHA KERUPUK
KEMPLANG LEGENDARIS PALEMBANG Maya Panorama.
http://pempekkerupuk1707.com/sejarah-kemplang/
Faraby, M. E. (2016). Etos Kerja Islam Masyarakat Etnis Madura. SALAM: Jurnal Sosial Dan
Budaya Syar-i, 3(1), 21–38. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v3i1.3095
Kurniawan, S. (n.d.). BERTANI PADI DAN ETOS KERJA PETANI PEREMPUAN DARI SUKU
MELAYU SAMBAS.
Ritawati, R. A. (n.d.). ETOS KERJA DALAM EKONOMI GLOBAL (Kasus Masyarakat Muslim
Melayu Palembang).
Sandy, N., & Puspitawati, P. (2019). Stereotip Melayu Malas dan Pengaruhnya pada Etos Kerja.
Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 2(1).
https://doi.org/10.34007/jehss.v2i1.59
12