Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

IMPLEMENTASI FILSAFAT DAKWAH DALAM ORGANISASI


DAKWAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah

FILSAFAT DAKWAH

Dosen Pengampu: Mualamatul Musawamah, M.S.I.

Disusun Oleh :

1. Arini Nur Fandila 21403100


2. Muyassyifa Ayu Aqillah 2140310053

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat
serta karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Implementasi Filsafat Dakwah dalam Organisasi Dakwah” ini
tepat pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada
junjungan kami nabi agung Muhammad saw beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan seluruh umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Mualamatul Muasawamah, M.S.I.


selaku dosen pada mata kuliah Filsafat Dakwah yang telah membantu baik secara
moral maupun materi. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah
mendukung kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Kami menyadari bahwasanya makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena
itu, kami berharap teman-teman maupun ibu dosen memberikan kritikan serta
saran yang membangun guna menjadi acuan agar kami bisa menulis lebih baik
lagi di masa yang akan datang.

Semoga makalah yang kami buat dapat menambah wawasan dan pengetahuan
bagi para pembaca dan dapat bermanfaat bagi perkembangan dan peningkatan
ilmu pengetahuan.

Penulis

Kudus, 01 Desember 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Identitas Keagamaan Islam di Indonesia......................................................3

B. Transformasi Dakwah Kultural Nahdhotul Ulama.......................................8

C. Tipologi Strategi Dakwah Kultural ORMAS..............................................10

BAB III PENUTUP...............................................................................................15

A. Kesimpulan.................................................................................................15

B. Saran............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dakwah menjadi bagian yang sangat penting di dalam Islam, karena
berkembang tidaknya ajaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat
merupakan aktifitas dari berhasil tidaknya dakwah yang dilaksanakan, sebagai
ajaran yang menuntut penyampaian dan penyebaran. Filsafat dakwah
bertujuan memberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit
ajaran Islam secara mendalam, mendasar dan radikal sampai ke akar-akarnya,
sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki, kebenaran
hakiki tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai
seorang muslim.
Lebih jauh bertujuan memberikan kepuasan kepada sebagian jiwa yang
amat berharga, juga mengantarkan seorang sampai kepada kepercayaan
keagamaan yang benar, yang kalau sebelumnya hanya diterima secara
dogmatis dan absolut, maka pada akhirnya bukan hanya mitologis sematan,
tetapi juga diterima melalui kerangka berpikir yang rasional juga akan
memberi, artinya penting dalam menyadari otoritas dirinya sebagai makhluk
yang berdimensi dalam memahami diri.
Lalu bagaimana tujuan daripada filsafat dakwah akan terwujud yang
salah satunya adalah dapat terimplementasikan nilai dakwah yang sudah
disampaikan. Hal ini menjadi pertanyaan bukan hanya bagi individu tetapi
juga bagaimana terimplementasi filsafat dakwah dalam organisasi masyarakat.
Yang mana organisasi dakwah adalah unit sosial yang berusaha mencapai
tujuan dakwah, karena hakikat organisasi ini tidak lain adlah mengejar atau
mencapai tujuan dakwah.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka bisa


didapatkan rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana identitas keagamaan Islam di Indonesia?
2. Bagaimana transformasi dakwah kultural Nahdhotul Ulama?
3. Bagaimana tipologi strategi dakwah kultural ORMAS?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka


dapat diketahui bahwa tujuan peulisannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana identitas keagamaan Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui bagaimana transformasi dakwah kultural Nahdhotul
Ulama.
3. Untuk mengetahui tipologi strategi dakwah kultural ORMAS di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identitas Keagamaan Islam di Indonesia


Identitas memiliki arti sebagai ciri yang dimiliki setiap pihak sebagai suatu
pembeda atau pembanding dengan pihak yang lain. Indonesia negara yang
majemuk etnik, bahasa, budaya, dan agamanya, memiliki identitas yang berbeda
dengan bangsa lain. Menurut Mohamad Ali menegaskan bahwa Islam itu satu.
Namun, ketika Islam telah membumi, pemahaman dan ekspresi umatnya sangat
beragam.1 Jadi secara substantif, Islam di mana pun sama, yaitu agama Allah yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk bagi umat manusia. Akan
tetapi manakala Islam berjumpa dengan budaya atau tradisi lokal didaerah
manapun senantiasa memunculkan ekprsi yang berbeda dan beranekaragam,
sebanyak perjumpaanya itu. Dengan demikian, munculnya berbagai identitas
Islam belakangan ini tidak perlu direspons dengan kecurigaan-kecurigaan yang
berlebihan. Bahkan identitas Islam itu bisa makin beragam lagi ketika tipologi
pemikiran, pemahaman dan pengamalan Islam itu ditinjau dari berbagai
perspektif, baik dari segi peranannya, coraknya, pendekatannya maupun
kawasannya. Ternyata identitas Islam dari segi kawasannya menarik diteliti secara
mendalam, lantaran kawasan terbukti memiliki pengaruh terhadap keislaman.
Identitas kaeagamaan Islam berdasarkan kawasan yang dipublikasikan di
Indonesia ini terdapat tujuh macam yaitu :

1. Islam Nusantara
Dalam perkembangannya, Islam Nusantara mendapat pengaruh dari
budaya dan tradisi lokal yang tumbuh dan berkembang Nusantara. Terkait
dengan proses islamisasi di Nusantara itu, Nor Huda melaporkan bahwa
islamisasi di Indonesia terjadi melalui proses yang sangat pelik dan panjang.
Penerimaan penduduk pribumi terhadap Islam secara bertahap menyebabkan
Islam terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup keseharian penduduk

1
Mohammad Ali, Islam Muda Liberal, Post Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta: Apeiron Philates, 2006),
h. 10.

3
lokal. Karena itu, Islam bisa menerima budaya dan tradisi masyarakat lokal
yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajarannya, sebaliknya masyarakat lokal
juga bisa menerima ajaran-ajaran Islam yang mirip atau senafas dengan
budaya dan tradisinya meskipun Islam sebagai agama pendatang yang baru
sama sekali bagi mereka. Proses islamisasi ini tidak bisa dilepaskan dari
peranan para ulama, kendatipun para ulama itu mengalami perselisihan-
perselisihan yang mewakili identitasnya masing-masing, antara ulama birokrat
dengan ulama rakyat.
Menurut Azyumardi Azra, Orang-orang Islam Nusantara lebih familier
menggunakan istilah-istilah maupun pakaian lokal daripada istilahistilah atau
pakaian Arab maupun al-Qur’an. Mereka lebih akrab dengan menggunakan
panggilan kiai, ajengan, tuan guru, dan buya daripada panggilan syaikh
maupun ulama; mereka lebih mengutamakan pakaian salat berupa sarung dan
songkok daripada jubah dan surban; dan mereka lebih cenderung menyebut
langgar sebagai tempat salat yang kecil daripada menyebut mushalla. Langgar
sebagai istilah lokal Jawa sedang mushalla sebagai istilah Arab.2
2. Islam Indonesia
Identitas Islam Indonesia ini sepintas mirip dengan Islam Nusantara
karena bahasan Islam Nusantara yang didominasi kajian tentang Islam
Indonesia. Sebenarnya Islam Nusantara lebih luas daripada Islam Indonesia
karena Islam Nusantara itu sebangun dengan Islam Asia. Indonesia sendiri
merupakan sebuah negara yang menampung kehidupan yang sangat pluralis
baik menyangkut suku, bangsa, agama, ras, budaya dan bahasa sehingga
dibutuhkan alat pemersatu yang mengikat semua populasi Indonesia.
Dalam konteks umat Islam, sila pertama ini seharusnya dipahami menurut
ajaran Islam seperti tercantum dalam surat al-ikhlas dan seharusnya Islam
menjadi pedoman dalam menuntun kehidupan umat Islam. Kalau tidak
demikian, berarti telah terjadi inkonsistensi dalam mengamalkan Islam di
kalangan mereka. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa jika etika umat Islam
Indonesia hanya sedikit saja yang dipengaruhi oleh agama maka

2
Azyumardi Azra, Islam Nusantara…, h. 90.

4
sesungguhnya terjadi problem pada pembangunan etika ini sehingga kita akan
menghadapi kenyataan bahwa tenagatenaga pembangunan demikian sangatlah
langka. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena berimplikasi pada tindakan-
tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka begitu mudah
meninggalkan Islam sebagai petunjuk dan pengendali dalam berbagai
perilakunya baik perilaku politik, perilaku hukum, perilaku ekonomi dan
perilaku-perilaku lainnya.3 Kita sangat mengharapkan agar Islam tidak sekadar
sebagai pengetahuan, tetapi juga sebagai pengamalan riil di masyarakat
sehingga mereka mampu memainkan peranan aktif dalam memecahkan
berbagai macam problem di masyarakat.
3. Islam Jawa atau Islam Kejawen
Istilah Islam Jawa mengesankan perkembangan Islam yang berlangsung di
pulau Jawa. Ternyata bukan sekadar itu, Islam Jawa menunjukkan perpaduan
kedua tradisi antara Islam dan tradisi lokal Jawa. Ahmad Khalil menyatakan
bahwa kedua tradisi itu (Islam dan tradisi lokal), akhirnya bertemu dalam
masyarakat secara kolektif atau individual, tanpa bisa dipilah mana yang
produk Islam dan mana yang produk lokal. Selanjutnya tradisi itu
berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi dan ditransmisikan dari
masa lalu ke masa kini. Tradisi Islam lokal sebagai hasil rekonstruksi ini
memiliki keunikan yang khas, ia tidak genuin Islam, Kejawen atau yang
lain.Sedangkan M. Hariwijaya dengan tegas menyebutkan akulturasi itu
dengan nama Islam Kejawen. 4
Islam Kejawen menjadi salah satu fenomena
keagamaan di dunia yang sangat menarik. Agama Islam telah mengubah
wajah dan kiblat orang Jawa. Namun, lantaran kuatnya tradisi Jawa
menyebabkan Islam harus berakulturasi. Wujud akulturasi itu menjadi ajaran
khas Jawa, yang dikenal dengan Islam Kejawen.5
4. Islam Sasak
Sebagaimana tiga macam identitas Islam sebelumnya, Islam Sasak juga
didasarkan pada kawasan Sasak, tetapi lebih dari itu, identitas Islam Sasak ini
3
Nurcholish Madjid, “Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah”, dalam Muntaha Azhari (eds.), h. 73.
4
Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), h. v.
5
Ibid., h. 2.

5
memiliki karakteristik yang sangat menarik perhatian para peneliti karena
keunikannya, terlepas akidah dan ibadahnya khususnya bagi komunitas Wetu
Telu masih jauh dari Islam. Wetu Telu merupakan orang Muslim Sasak, yang
masih sangat percaya terhadap ketuhanan animistik leluhur, maupun benda-
benda antropomorfis Mereka adalah panteis. Sebaliknya Waktu Lima adalah
orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran syariah secara lebih ketat
sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan hadis.6 Meskipun mengaku sebagai
orang Islam, Wetu Telu telah banyak melakukan penyimpangan terhadap
ajaran-ajaran Islam baik menyangkut dimensi akidah maupun ibadah.
Dalam dimensi akidah, pengikut Wetu Telu memiliki keyakinan “segi
tiga”. “Pemangku menyimpulkan bahwa iman kepada Allah, Adam dan Hawa
adalah pusat keyakinan Wetu Telu.” Tiga objek keyakinan ini termasuk
perbedaan Wetu Telu dengan keyakinan Waktu Lima maupun lazimnya umat
Islam. Kendatipun Adam dan Hawa tidak pernah diposisikan sebagai Tuhan,
namun keyakinan ini menyeberang dari keimanan, mainstream umat Islam
yang terumuskan dalam enam macam rukun iman. 7 Wetu Telu sebagai sebuah
sistem agama juga termanifestasikan dalam kepercayaan bahwa semua
makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian siklus: dilahirkan (menganak),
hidup (urip) dan mati (mate), Jadi pusat perbedaan pemahaman kalangan Wetu
Telu dengan Waktu Lima dalam memahami istilah Wetu Telu terletak pada
makna wetu itu, sedang makna telu tidak terjadi perbedaan.8
5. Islam Syariah dan Islam Adat Hatuhaha
Kelompok Islam adat dan Islam syariah memiliki dasar agama yang sama,
yakni al-Qur’an dan sunnah, sama-sama melaksanakan rukun Islam, namun
dengan cara yang berbeda. Ada tiga hal yang membedakan dua kelompok itu,
yakni penafsiran terhadap ajaran Islam, penentuan waktu pelaksanaan ritual-
ritual dan cara pandang terhadap adat. Pada pembahasan ini lebih ditekankan

6
Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, terj. Noor Cholis dan Hairus Salim HS,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 1.
7
Ibid., h. 139.
8
Ibid., h. 138.

6
pada kelompok Islam adat karena unik diperhatikan dari perspektif ajaran
Islam sendiri maupun ilmu sosial.
Pada kelompok Islam adat tidak semua anggota jamaahnya dapat
melakukan salat Jum’at bersama karena dibatasi pada orang-orang tertentu
yang diundang. Pergi ke masjid memakai busana yang seragam; sesuai jam
untuk salat, pengikut kelompok adat ke masjid berjalan satu-satu secara
teratur, menjaga jarak antara satu dengan lainnya dan sepanjang perjalanan
tidak berbicara, bahkan tidak menoleh ke sekeliling mereka. Pelaksanaan salat
Jum’at yang dibatasi pada orang-orang yang diundang saja, sedang yang tidak
diundang tidak melakukan salat Jum’at menjadi ibadah yang ganjil dari
perspektif ajaran Islam sendiri, justru bertentangan dengan Islam yang
mewajibkan semua Muslim, laki-laki, baligh, berakal, sehat dan tetap dalam
negeri. Sedangkan tata cara berjalan ke masjid itu merupakan tradisi murni
yang tidak berdampak pada pengurangan ketaatan pada agama.9
6. Islam Bubuhan Kumai
Islam Bubuhan Kumai dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Awam, Nahu
dan Hakikat. Ketiganya mengekpresikan keagamaan baik dalam pemikiran,
tindakan/perbuatan dan kepengikutan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok
Awam cenderung mencampuradukkan agama dengan tradisi lama, seperti
mempercayai makhluk-makhluk halus memiliki kekuatan mistis; kelompok
Nahu menekankan praktikpraktik keagamaan yang merujuk al-Qur’an, hadis
dan pendapat ulama Ahlussunnah waljama’ah; adapun kelompok Hakikat
menekankan aspek batiniah dalam beragama. Ketiga kelompok itu mengaku
sebagai pengikut Ahlussunnah waljama’ah.10 Tiga kelompok ini kalau di Jawa
dapat disejajarkan dengan Islam Abangan, Islam Santri dan Islam Kebatinan.
Kelompok Awam sejajar dengan Islam Abangan, kelompok Nahu sejajar
dengan Islam Santri, sedangkan kelompok Hakikat sejajar dengan Islam
Kebatinan. Kesejajaran ini didasarkan pada ekpresi keagamaannya.
9
Yance Zadrak Rumahuru, Islam Syariah dan Islam Adat (Konstruksi Identitas Keagamaan dan Perubahan
Sosial di Kalangan komunitas Muslim Hatuhaha di Negeri Pelauw) (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012),
h. 77
10
Sulaiman al-Kumayi, Islam Bubuhan Kumai Perspektif Varian Awam, Nahu dan Hakikat (t.t.p:
Kementerian Agama RI, 2011), h. 15

7
7. Islam Pesisir
Islam di Jawa memang berkembang mulai dari pesisir utara Jawa. Artinya,
Islam mulai pertama bersentuhan dengan kebudayaan Pesisir yang berwatak
kosmopolit dan egaliter. Kebudayaan ini relevan dengan Islam yang
menonjolkan egaliterianisme (kesamaan derajat manusia di hadapan Tuhan)
tanpa memandang ras, suku dan status seseorang, kecuali ketakwaannya.
Ajaran egaliter ini cepat diadaptasi oleh mereka. Berbeda dengan masyarakat
pedalaman yang hierarkis, masyarakat pesisir lebih mengedepankan
“kesamaan-kesamaan” dalam memandang manusia dan masyarakatnya. Maka
dalam masyarakat pesisir yang telah memiliki watak egaliter tersebut
bertambah kokoh egaliterianismenya setelah berinteraksi dengan Islam yang
senantiasa menembus dinding feodalisme guna mewujudkan kesamaan derajat
manusia.11

B. Transformasi Dakwah Kultural Nahdhotul Ulama


Istilah tranformasi berasal dari kata transform yang berarti adanya
perubahan dari sebuah bentuk ke bentuk yang lain, baik dilakukan oleh
indvidu maupun oleh kelompok masyarakat tertentu. Tranformasi sifatnya
beragam, adakalanya hanya sebagian dan adakalanya bersifat
menyeluruh, mengubah dari berbagai aspek tertentu. Jika hubungankan
dengan keputusan dakwah, maka Tranformasi bermaksud sebagai simbol
perubahan sikap dan keputusan dakwah, yang latarbelakangi oleh kebutuhan
konteks sosial tertentu, sehingga mengharuskan perubahan itu harus
dilakukan. 12
Nahdhatul ‘Ulama secara epistemologi mempunyai arti “Kebangkitan
Ulama” atau “Bangkitnya Para Ulama”, sebuah organisasi sebagai tempat
berhimpun seluruh Ulama dan umat Islam. Sedangkan menurut istilah
Nahdhatul Ulama adalah jam’iyah diniyah yang berhaluan Ahlussunah wal
Jama’ah yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan dibantu oleh KH.
Wahab Hasbullah dan para ulama-ulama lainnya pada 16 Rajab 1344 H atau
11
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 165.
12
Piort Stomka, Sociology of Social Change, (USA, 2007), h. 5.

8
bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 M.13 Dalam hal pedoman, Nahdlotul
Ulama’ adalah organisasi masyarakat yang berpegang teguh pada al-Qur’an,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Pada bidang fiqh, Nahdhatul Ulama ber-taqlid pada
salah satu ajaran empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan
cenderung bermadzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam bidang tauhid
Nahdhatul Ulama mengikuti pada Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-
Maturidzi, serta dalam bidang tasawwuf mengikuti Imam Abu Qosim al-
Junaidi.14

Dalam Nahdhatul Ulama, tranformasi dakwah terjadi akibat


pergerakan membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan kebutuhan zaman,
guna menghadirkan dakwah Islam yang lebih memberikan rahmat bagi
seluruh alam. Gerakan ini kemudian melahirkan berbagai forum diskusi dalam
tubuh Nahdhatul Ulama. Perkembangan jaman tidak bisa kita tolak ataupun
kita hindari, bahwa setiap tuntutan jaman harus kita manfaatkan sebaik-
baiknya untuk kepentingan jaman tanpa terbawa oleh arus jaman. Ini adalah
salah satu prinsip dakwah Islam awal di nusantara yang pernah ditunjukkan
oleh Walisongo. Kehadiran Islam di nusantara adalah sebuah proses yang unik
dibanding dengan penyebaran Islam dibeberapa negara.
Kecondongan mendakwahkan Islam tanpa merubah atau bahkan merusak
tradisi masyarakat nusantara yang telah menyejarah, bahkan walisongo
berhasil meng-islamisasikan budaya lokal masyarakat pribumi, seperti wayang
digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk memperkenalkan tokoh serta cerita dari
agama Islam. Keramahan dan sikap toleran dalam mendakwahkan Islam
menjadi sangat besar ditunjukkan oleh walisongo seperti sejarah dakwah
Sunan Kudus yang menghormati salah satu agama yang menyucikan Sapi.
Dengan adanya salah satu agama yang menghormati Sapi, maka Sunan Kudus
menyarankan pengikutnya untuk menyembelih Kerbau pada hari raya kurban.
Prinsip ini tidak akan pernah berubah walau jaman semakin pesat berkembang

13
A. Wahyudin, Peran Organisasi Nahdlatul Ulama’ dalam menangkal Faham Radikalisme, Proceeding
Faqih Asy’ari Islam, 2019, Vol. 2, h. 90.
14
Laode Ida, NU Muda, Jakarta, Erlangga, 2004, h. 7

9
maju, instrumen berdakwah boleh saja berubah seperti menggunakan
teknologi digital akan tetapi prinsip mendakwahkan atau menyebarkan Islam
tetaplah ramah serta penuh toleran. Ini adalah prinsip yang tidak bisa kita ubah
sebab manfaatnya sangat besar bagi pandangan masyarakat terhadap Islam itu
sendiri.
Di NU pun memiliki hal yang serupa denga prinsip “ Menjaga Tradisi
Lama Yang Baik dan Mengambil Tradisi Baru Yang Lebih Baik “, ini adalah
prinsip yang dimiliki oleh NU. Maka sah-sah saja menfaatkan era digital
dalam berdakwah. Jaman boleh berubah, akan tetapi tugas kita untuk
berdakwah menyerukan kepada kebaikan harus tetap kita lakukan. Dalam
keberlangsungan berdakwah memanfaatkan digital adalah langkah yang tepat
serta inovatif yang dilakukan oleh NU.
C. Tipologi Strategi Dakwah Kultural ORMAS
Strategi dakwah adalah upaya atau usaha untuk mencapai tujuan.
Strategi dakwah adalah upaya atau usaha untuk mencapai tujuan dakwah.
Untuk mencapai tujuan dakwah maka harus ada strategi dalam berdakwah.15
Begitu pula pada ORMAS dalam dakwah kulturalnya. Tipologi ORMAS
dalam strategi dakwah kulturalya sebagai berikut:

1. Nahdhatul Ulama
Nahdhatul ‘Ulama sebagai sebuah jam’iyyah dhiniyyah yang
berhaluan faham Ahlusunnah wal Jamaah merupakan organisasi terbesar
di Indonesia. Dalam dakwahnya Nahdhatu ‘Ulama menggunakan metode
dakwah kultural, seperti halnya dakwah yang dipraktikan Walisongo.
Nahdhatul ‘Ulama memperkuat pendekatan budaya sebagai dalah satu
elemen penting dakwah Islam di tanah air.
Adapun macam-macam metode dakwah Nahdhatul ‘Ulama
diantaranya adalah:
a) Berceramah
b) Propaganda.

15
Ammar Hussein, Strategi Dakwah Menurut Al-Qur’an, Blurb Inc, Amerika, 2021, h. 5

10
c) Pendidikan
d) Kelembagaan.
e) Keteladanan.
f) Kesenian.
g) Diskusi.
h) Tanya jawab.
i) Bimbingan konseling.
j) Karya tulis.
k) Korespondensi.
l) Silahturahmi.

Adapun strategi dakwah Nahdhatul Ulama yaitu melalui pembudayaan


nilai-nilai Islam dengan menggunakan perangkat budaya lokal sebagai
instrumen dakwahnya. Dalam pandangan kaum Nahdhiyin kehadiran
Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Bukanlah untuk menolak
tradisi yang telah berlaku dan mengakar menjadi kultur kebudayaan
masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan dan
pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah
Rasulullah.

2. Muhammadiyah
Dakwah Muhammadiyah tidak semata persoalan spiritual, tetapi
juga sosial. Dakwah tidak dipahami sebagai tabligh, tetapi gerakan massif
pada berbagai aspek kehidupan manusia. Muhammadiyah
menyeimbangkan dakwah yang sifatnya spiritualitas dengan amal sosial
sebagai gerakan nyata sebagai jawaban atas problem umat di berbagai
levelnya. Oleh karena, Muhammadiyah memahami kata “dakwah” bukan
sekedar melaksanakan kegiatan pengislaman dalam arti formal. Lebih jauh
dari itu, dakwah bagi Muhammadiyah diartikan sebagai upaya penyeluruh
untuk menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam takaran “Islam”.
Sehingga rumusan tujuan Muhammdiyah selalu mengarah pada

11
“pengislaman” dalam arti yang sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian
esensialnya).
Strategi dakwah Muhammadiyah antara lain:
a) Bil Hikmah adalah ucapann yang jelas, lagi diiringi dengan dalil
yang memperjelas bagi kebenaran serta menghilangkan bagi
keraguan.
b) Wal Mauijatil Hasanah ialah melalui dalil-dalil yang zhani
(meyakinkan) yang melegakan abgi orang awam.
c) Wajadilhum Billati Hiya Ihsan, percakapan dan bertukar pikiran
untuk memuaskan bagi orang-orang yang menantang.

Tujuan Muhammadiyah yang paling esensi adalah untuk menyebarkan


agama Islam baik melalui jalur pendidikan maupun kegiatan sosial
lainnya. Selain itu Muhammadiyah bertujuan untuk meluruskan keyakinan
yang menyimpang dalam masyarakat serta mengahapus perbuatan yang
dianggap oleh Muhammadiyah sebagai bid’ah. Ada dua faktor yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern ialah keadaan yang terdapat dikalangan umat Islam sendiri,
yakni tersebut antara lain; praktek kehidupan beragama yang sudah
dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya menurut Al-
qur’an dan Sunnah Rasul.16

3. Jama’ah Tabligh
Strategi dakwah Islam yang dilakukan Jamaah Tabligh dikenal
dengan istilah khuruj. Menurut Jamaah Tabligh, khuruj adalah strategi
dakwah yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Khuruj adalah
meluangkan waktu untuk secara total berdakwah. Biasanya dilakukan dari
rumah ke rumah dan dari masjid ke masjid dengan berjalan kaki dan
dipimpin oleh seorang Amir (pimpinan halaqah).
Berdakwah dengan cara khuruj bisa dilakukan minimal selama
empat bulan dalam seumur hidup ataupun 40 hari setiap tahun. Namun,

16
H. Tahang dan F. Fatimah, Dakwah Muhammadiyah Melalui Lembaga Pendidikan, 2019, h. 5-8,

12
bagi para anggota yang terikat dengan jam kantor, khuruj cukup dilakukan
selama tiga hari setiap bulannya.
Dalam menjalankan khuruj mereka tidak jarang ke luar kota,
bahkan sampai ke luar negeri. Bagi mereka yang mampu, diharapkan
untuk khuruj ke poros markas pusat gerakan Jamaah Tabligh yakni, India-
Pakistan-Bangladesh. Sehingga, mereka bisa melihat suasana keagamaan
yang kuat dan diharapkan akan mempertebal leimanan mereka.
4. PKS
Ada 2 strategi dakwah yang diterapkan oleh organisasi masyarakat PKS,
yaitu:
a) Dakwah kultural merupakan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi
kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan
manusai sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
b) Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan
pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan
yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara
Islam dan politik atau Islam dan negara. Dakwah kultural mencoba
memahami potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk
budaya berarti memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai,
norma, sistem aktivitas, simbol dan hal-hal lain yang memiliki makna
tertentu dan hidup subur dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian dakwah kultural menekankan pada dinamisasi dakwah
selain pada purifikasi.
Dinamisasi berarti mencoba untuk mengapresiasi (menghargai)
potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya dalam
arti luas, sekaligus melakukan usaha-usaha agar budaya tersebut
membawa pada kemajuan dan pencerahan hidup manusia. Sedangkan
purifikasi mencoba untuk menghindari pelestarian budaya yang nyata-
nyata dari segi ajaran Islam yang bersifat syirik, takhayul, bid’ah dan
khurafat. Karena itu, dakwah kultural bukan berarti melestarikan atau

13
membenarkan hal-hal yang bersifat syirik, takhayul, bid’ah dan
khurafat, tetapi cara memahami dan menyikapinya dengan
menggunakan kacamata atau pendekatan dakwah.
Dakwah kultural hadir untuk mengukuhkan kearifan-kearifan
lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara
memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Islam.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Identitas memiliki arti sebagai ciri yang dimiliki setiap pihak sebagai
suatu pembeda atau pembanding dengan pihak yang lain. Menurut Mohamad
Ali menegaskan bahwa Islam itu satu. Namun, ketika Islam telah membumi,
pemahaman dan ekspresi umatnya sangat beragam. Dengan demikian,
munculnya berbagai identitas Islam belakangan ini tidak perlu direspons
dengan kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan. Bahkan identitas Islam itu
bisa makin beragam lagi ketika tipologi pemikiran, pemahaman dan
pengamalan Islam itu ditinjau dari berbagai perspektif, baik dari segi
peranannya, coraknya, pendekatannya maupun kawasannya. Ada tujuh
identitas keagamaan Islam berdasarkan kawasan yaitu; Islam Nusantara, Islam
Indonesia, Islam Jawa atau Islam Kejawen, Islam Sasak, Islam Syariah dan
Islam Adat Hatuhaha, Islam Bubuhan Kumai dan Islam Pesisir.

Tranformasi dakwah Nahdhatul Ulama terjadi akibat pergerakan


membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan kebutuhan zaman, guna
menghadirkan dakwah Islam yang lebih memberikan rahmat bagi seluruh
alam. Gerakan ini kemudian melahirkan berbagai forum diskusi dalam tubuh
Nahdhatul Ulama. Perkembangan jaman tidak bisa ditolak ataupun dihindari,
bahwa setiap tuntutan jaman harus kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk
kepentingan jaman tanpa terbawa oleh arus jaman. Ini adalah salah satu
prinsip dakwah Islam awal di nusantara yang pernah ditunjukkan oleh
Walisongo. Begitupun strategi para ORMAS dalam dakwah kulturalnya pasti
disusun dengan baik agar mampu mencapai tujuan dari pada dakwah. Karena
strategi dakwah adalah upaya dan usaha untuk mencapai tujuan. Jika
Nahdhatul Ulama dengan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam dengan
menggunakan perangkat budaya lokal sebagai instrumn dakwahnya dalam
metode kesenian, pendidikan, tanya jawab, konseling, dan lainnya.

15
Muhammadiyah dengan Bil Hikmah, Wal Mauidzotil Hasanah, dan
Wajadilhum Billati Hiya Ihsan. Dua stretegi dakwah dari dua Ormas besar di
Indonesia.

B. Saran

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad (2006). Islam Muda Liberal, Post Puritan, Post Tradisional.
Yogyakarta:Apeiron Philates.

Madjid, Nurcholish (2010). “Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.”


Azhari. (eds.).

Hariwijaya, M. (2006). Islam Kejawen. Yogyakarta:Gelombang Pasang.

Budiwanti, Erni (2000). Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima (terj Noor
Cholis dan Hairus Salim HS). Yogyakarta:LKiS.

Zadrak Rumahuru, Yance (2012). Islam Syariah dan Islam Adat (Konstruksi
Identitas Keagamaan dan perubahan Sosial di Kalangan Komunitas Muslim
Hatuhaha di Negeri Pelauw). Jakarta:Kementrian RI.

Al-Kumayi, Sulaiman (2011). Islam Bubuhan Kumai Perspektif Varian Awam,


Nahu dan Hakikat. Kumai:Kementrian RI.

Syam, Nur (2005). Islam Pesisir. Yogyakarta:Lkis

Wahyudin, A. (2019). “Peran Organisasi Nahdhatul Ulama dalam Menangkal


Faham Radikalisme.” Proceeding Faqih Asy’ari Islam. Vol.2.

Ida, Laode (2004). NU Muda. Jakarta:Erlangga.

Hussein, Ammar (2021). Strategi Dakwah Menurut Al-Qur’an. Amerika:Blurb


Inc.

Tahang, H. Dan F. Fatimah (2019). Dakwah Muhammadiyah Melalui Lembaga


Pendidikan. Jakarta:Erlangga.

17
18

Anda mungkin juga menyukai