ISLAM NUSANTARA
DISUSUN OLEH :
222100967
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa,atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Penulis
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat dari-Nya baik itu
berupa fisik maupun pemikiran,sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai salah satu tugas untuk mendapatkan nilai di mata kuliah ulumul qur’an.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
KESIMPULAN..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah penyebaran islam, dikenal dua model dakwah yaitu kompromi
dan non-kompromi. Dakwah model kompromi adalah ajakan kepada islam dengan
cara mempertemukan atau memadukan islam dengan ajaran atau tradisi budaya
yang berbeda atau bahkan tampak berlawanan dengan isi kandungan syariah.
Sedangkan model non-kompromi adalah suatu ajakan yang menekankan dan
mempertahankan keutuhan dari syariah sehingga terlihat agak kaku dalam
menghadapi lingkungan sosial,budaya,seni setempat dengan tempat asal kelahiran
islam. Karena kita hidup ditengah budaya yang menjunjung tinggi agama dan filsafat
ketuhanan yang harus dipertahankan. Sementara sebagai seorang muslim ,sumber
jati diri itu dengan menggali nilai-nilai budaya tradisional yang luhur untuk dijadikan
tiang penyangga yang menopang tegaknya peradaban yang berdiri diatas kaki
sendiri.
Munculnya kelompok yang meminginkan berdirinya negara islam dapat
membahayakan keberadaan negara republik indonesia. menurut Gusdur, islam
sebagai agama yang universal harus dibumikan kedalam budaya lokal agar umat
islam indosnsia yang artinya islam yang berbudaya indonesia dalam konteks
keindonesiaan modern. Yang bernegara-berbangsa, berpancasila, dan demokratis.
karena tanpa negara bagaimana umat islam bisa melakukan kegiatan
keagamaannya?
Keislaman seperti inilah yang ditanamkan oleh walisongo saat berdakwah
dengan mensenyawakan kesilaman sebagai esensi dengan kenusantara dengan
warisn budaya dan tradisinya. Dibandingakna dengan Muslim Timur Tengah , muslim
diindonesia menikmati perdamaiandan keselarasan selama beberapa dekade.
Dipercaya hal ini berkat pemahaman isalm di indonesia yang bersifat
modern,insklusif, dan toleran. Maka selanjutnya, islam nusantara diidentifikasi,
dirumuskan, dipromosikan dan digalakkan. Dengan dmeikian,islam di sini, di
masyarakat yang pada awalnya merupakan jalinan perdagangan kemudian
menyebar ke penjuru indonesia adalah islam yang telah menyesuaikan dengan
keyakinan masyarakat lokal, karena pertimbangan sosial, budaya, ekonomi maupun
politik.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan islam nusantara?
2. Bagaimana sejarah singkat masuknya Islam di Indonesia dan proses terbentuknya
nilai dan tradisi islam nusantara ?
3. Apa saja tradisi islam nusantara?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian islam nusantara.
2. Untuk mengetahui sejarah masuknya islam di Indonesia dan proes terbentuknya
nilai dan tradisi islam nusantara.
3. Untuk mengetahui tradisi islam nusantara.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
adillatiha-t-tafshiliyyah” atau “majmu’atu ma’arifil-l-ulama –i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-
sy- syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” (al- Quran, Hadits,
Ijma’ dan Qiyas.)Ada juga Ahmad Baso juga memberikan beberapa contoh ijtihad ulama
Nusantara yang bisa dikategorikan sebagai khazanah “Islam Nusantara” antara lain
tradisi imsak di bulan Ramadhan, halal bihalal di bulan Syawal, ta’liq thalaq, dan kaidah
al-muhafazhah ‘ala qadimish shalih.
Menilik beragamnya definisi “Islam Nusantara” tersebut di atasterlihat bahwa
belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud “Islam Nusantara” di antara para
pengusungnya sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah wacana “Islam Nusantara”
sesungguhnya adalah wacana yang masih kabur.2
B. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia dan Proses Terbentuknya Nilai dan Tradisi Islam
Nusantara
Pembahasan kali ini tidak bermaksud untuk mengurai sejarah panjang Islamisasi
di Indonesia, melainkan lebih ke soal bagaimana kemudian pembentukan peradaban
masyarakat Nusantara melalui pengaruh Islam baik dari segi nilai dan tradisi
peninggalan ulama terdahulu dalam mensyiarkan Islam di Nusantara. Membincang
Islam Nusantara maka titik temu utamanya berada pada sejarah masuk dan
dinamikanya. Secara teoritis, sebagaimana yang berkembang di ruangruang akademik,
Islam masuk ke Indonesia setidaknya ada empat teori yang dihubungkan: (1) Islam
disiarkan dari India; (2) Islam disiarkan dari Arab; (3) Islam disiarkan dari Persia; (4)
Islam disiarkan dari Cina. Teori yang menyatakan Islam berasal dari wilayah-wilayah
tersebut didasarkan pada asumsi kesamaan mazhab: Syafi’iy, kesamaan batu nisan,
kemiripan sejumlah tradisi dan arsitektur ke empat wilayah tersebut dengan
Nusantara.3
Kapan Islam pertama datang di kepulauan Nusantara, secara sederhana dapat
dikatakan bahwa benar-benar tidak dapat prediksi secara pasti. Batu-batu nisan dengan
tulisan Arab yang ada sejak berabad-abad lampau telah ditemukan di beberapa tempat
di separuh kepulauan ini bagian barat. Namun demikian, tidaklah jelas apakah batu-
batu nisan tersebut merupakan pertanda awal munculnya tempat pemukiman Islam
atau hanya menandakan tempat peristirahatan terakhir muslim-muslim asing; atau
bahkan mungkin batu-batu nisan ini hanyalah batu pemberat yang dibuang oleh kapal-
kapal dagang yang lewat. Biasanya, kapal-kapal membawa barang-barang berat,
semacam batu nisan, untuk dipakai sebagai pemberat dalam perjalanan laut mereka.
Walau begitu, barangkali yang lebih penting adalah bahwa pada umumnya Islam masuk
di Indonesia secara damai.
Dalam catatan sejarah diketahui, bahwa masuknya Islam Nusantara melalui
proses mission sacre yaitu proses dakwah bi alhal yang dibawakan oleh para muballigh
sekaligus sebagai pedagang. Proses tersebut pada mulanya dilakukan secara individual.
2
Ahmad Baso,“Islam Nusantara Ijtihad Jenius & Ijma Ulama Indonesia”Pustaka Afid 2016, hlm 6.
3
Lebih lengkapnya, silahkan lihat Agus Sunyoto, Atlas Walisongo;Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songi
Sebagai Fakta Sejarah, Pustaka IIMaN, Depok. 2012 Cet. I. h. 337
4
Mereka mempraktekkan tradisi Islam dengan menggunakan pakaian bersih dan
memelihara kebersihan badan, pakaian dan tempat tinggal serta rumah-rumah
ibadahnya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bergaul dengan mereka
menampakkan sikap sederhana, dengan tutur kata yang baik, dan sikap sopan sesuai
dengan tuntutan akhlak al-karimah, jujur, suka menolong, terutama ikut memberikan
pengobatanpengobatan terhadap orang yang sakit, suka menolong orang yang ditimpa
kecelakaan tanpa pamrih. Mereka mengajarkan hidup yang baik, pemeliharaan
kebersihan, hidup hormat-menghormati, tolong menolong, hidup bermasyarakat,
menyayangi alam dan tumbuh-tumbuhan, memahami makna alam sekitar, melakukan
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada pencipta, serta melakukan amal
baik dan menghindari perbuatan jahat, agar mereka mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan yang abadi di kampung akhirat. Sikap seperti itu menjadi daya tarik bagi
penduduk pribumi yang saat itu memeluk agama Hindu atau Budha. Mereka tertarik
akan kepribadian kaum Muslim, sehingga mereka melihat adanya cahaya iman pada
kaum Muslim itu dan menarik mereka untuk memeluk Islam. Dengan demikian,
penguasa menilai, ajaranajaran Islam tidak mengganggu stabilitas pemerintahan,
bahkan ikut mempererat persatuan.4
Meski demikian, Islam belumlah mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Barulah pada kedatangan Walisongo5, Islam di Nusantara berkembang pesat hingga
menjadi agama yang dianut sebagian besar penduduk pribumi. Apalagi dalam catatan
historiografi, kehadiran Walisongo diasumsikan sebagai tokoh waliyullah sekaligus
tokoh waliyul amri, yaitu sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah yang terpelihara
dari kemaksiatan (waliyullah), dan juga sebagai orang-orang yang memegang kekuasaan
atas hukum kaum muslimin, pemimpin masyarakat, yang berwenang menentukan dan
memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian maupun urusan
keagamaan (waliyul amri).6
Historiografi lokal memang mencatat keberadaan tokoh-tokoh beragama Islam
pra-Walisongo secara sepintas dalam kisahkisah legenda. Namun, belum terdapat
sumber-sumber yang menjelaskan adanya sebuah gerakan dakwah Islam yang bersifat
massif dan tersistemtisasi.7 Baru, setelah kisah tokoh Sunan Ampel dan Raja Pandhita
dituturkan datang ke Majapahit, jaringan kekerabatan tokoh penyebar dakwah Islam di
Surabaya dan Gresik itu dapat diketahui sebagai jaringan pusat-pusat kekuatan (center
power) dari dakwah Islam di suatu tempat tertentu. Bahkan melalui jaringan gerakan
kekuatan politik kekuasaan dalam bentuk Kerajaan Demak, Cirebonm Banten, disusul
4
M. Abdul Karim, Islam Nusantara, cet I (Yogtakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 44-45
5
Walisongo dimaknai secara khusus yang dihubungkan dengan keberadaan tokoh-tokoh keramat di Jawa, yang
berperan penting dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam pada abad ke 15-16 Masehi.
6
Sangat mungkin jika keberadaan tokoh Walisongo sebagai guru rohani yang sarat dengan hal-hal mistis, yang
diliputi ceritacerita bersifat adiduniawi, lebih mengedepankan daripada hal lain karena konsep dakwah yang
diterapkan oleh Walisongo lebih mengembangkan ajaran tasawuf. Lengkapnya di Agus Sunyoto,Atlas Wali
Songo…, h. 116.
7
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo…, h. 141
5
Banjarmasin, Pontianak, Gowa, Tallo, Ternate, Tual, Sumbawa, yang mendorong
tumbuhnya kota-kota bercorak Islam di pesisir.
Kehadiran Walisongo yang secara bijak menyebarkan Islam nusantara
diantaranya membangun teologi Islam dengan wayang tanpa menyinggung masyarakat
pribumi yang notabenenya beragama Hindu-Budha pada masa itu. Wayang merupakan
bentuk kebudayaan Hindu-Budha yang diadopsi Walisongo di Jawa. Melalui wayang
inilah Walisongo memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam.
Lebih jauh, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai
pengganti dari teologi Hindu. Hingga saat ini pakem cerita asli pewayangan masih
merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang merupakan bagian
dari Hindu. Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur
nilai-nilai Islam dalam plot cerita pewayangan. Namun, prinsipnya yang diadopsi
Walisogo hanya instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan kemudian
memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu-Budha
yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep
“Jimat Kalimah Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa
teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir
merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah,
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit
hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. 8 Dalam cerita pewayangan,
Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mempersonifikasikan senjata
terampuh bagi manusia. Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan
dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo
medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang
keyakinan terhadap Allah dan rasul-Nya. Dalam perspektif Islam,kalimah syahadah
tersebut sebagai “kunci Surga” yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan
manusia menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut
dalam perspektif muslim mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya.
Hal ini merupakan pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi
prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
Pemaknaan baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu
membangun nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan. Walisongo juga menggunakan
kesenian wayang untuk membangun konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat
yang beradab dan berbudaya.9
Melalui pewayangan ini, Walisongo juga menambahkan dalam cerita tema yang
berisi visi sosial kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan
8
Pola inilah yang dipahami oleh Abdurahman Wahid sebagai pribumisasi Islam. Jejaknya masih terlihat sampai
saat ini dalam bentuk penyesuaian ajaran Islam yang menggunakan bahasa Arab menjadi bahasa setempat,
tempat Walisongo berdakwah.
9
Suparjo, dalam Alma’arif Islam Nusantara: Studi Epistimologis dan Kritis, Analisis; Jurnal Studi Keislaman. Vol.
15 Nomor 2, Desember 2015. h. 280
6
bertetangga, hingga pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi. Pada agenda ini,
Walisongo bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam
kisah asli Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah
punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita
yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.10
Sepenggal kisah Walisogo inilah terlihat betapa Islam pada masa awal
kehadirannya di Nusantara mampu bersimbiosis dengan budaya lokal yang sudah
barang tentu pula mengedepankan prinsip-prinsip yang sama. Pola ini akhirnya
kemudian menjadi strategi dakwah yang tidak serta merta memposisikan masyarakat
lokal sebagai objek yang salah dan harus “dibenarkan”. Dalam Islam, nilainilai universal
seperti keadilan, persamaan, dan kemanusiaan, menempati porsi yang luas. Sehingga
itu, melalui metode Walisongo dengan pewayangan sebegaimana tersebut di atas,
mampu menjadikan ruang ideologisasi masyarakat setempat untuk masuk dan
mencintai Islam. Begitulah kearifan dan kebijaksanaan Walisongo dalam menyebarkan
Islam di nusantara. Penyebaran Islam di kepulauan ini sangat mampu menghargai
tradisi lokal yang telah dikuasai Hindu-Budha.
10
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai satu-kesatuan
sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, berasal dari kata ismar
yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang
baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nala qarín
yang berarti seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak
egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman. Petruk merupakan
kependekan dari frase fatruk ma siwa Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya
kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan
pada Tuhan. Bagong berasal dari kata bagha yang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat,
baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat. Lihat Suparjo, dalam Alma’arif Islam
Nusantara: Studi Epistimologis dan Kritis…, h. 280
7
1. Tradisi Halal Bihalal
Halal bihalal dilakukan pada Bulan Syawal yang berupa acara saling bermaaf-
maafan. Setelah umat Islam selesai puasa Ramadan sebulan penuh, maka dosa-
dosanya telah diampuni oleh Allah SWT. Namun, dosa kepada sesama manusia
belum akan diampuni jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang
tersebut.Oleh karena itu, tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling
memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada
fitrah (kesucian).Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin
tali silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.Halal bihalal sebagai sebuah
tradisi Islam di Nusantara lahir dari sebuah proses sejarah.Ini dibuat untuk
membangun hubungan yang harmonis (silaturahmi) antar umat untuk berkumpul,
saling berinteraksi dan saling bertukar informasi.
8
Tradisi Grebeg adalah untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan.
Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan
Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem
berupa menikahkan putra mahkotanya. Grebeg di Yogyakarta diselenggarakan 3
tahun sekali yaitu saat Bulan Syawal, Dzulhijjah, dan Rabiul Awwal. Pertama, Grebeg
Pasa-Syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan
Ramadan dan Lailatul Qadr. Kedua, Grebeg Besar, diadakan setiap tanggal 10
dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban. Ketiga, Grebeg Maulud setiap tanggal
12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain kota
Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta Grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan
Demak.
7. Njimbungan di Klaten
Tradisi Islam di Nusantara pada bulan Syawal di Indonesia berikutnya ada di
daerah Klaten. Para warga lebih mengenal acara ini sebagai acara Njimbungan.
Njimbrungan yakni berupa arak-arakan gunungan ketupat dan hasil bumi di Bukit
Sidoguro, Krakitan Bayat, Klaten. Nantinya, gunungan ketupat dan hasil bumi ini akan
dibagikan ke seluruh peserta yang mengikuti acara ini. Walaupun terlihat ricuh saat
prosesi pembagian ini, sebenarnya ritual ini tetap berlangsung dengan aman. Tradisi
ini peninggalan Keraton Surakarta yang digelar enam hari setelah Lebaran.
9
Grebeg Gunungan Grebeg Syawal Yogyakarta dilaksanakan pada hari pertama
bulan Syawal tepatnya saat Lebaran berlangsung atau setelah salat Id. Tradisi ini
merupakan wujud kedermawanan sultan kepada rakyat Yogyakarta. Pada Grebeg
Syawal ini, gunungan hasil bumi akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid
Agung Kauman. Setelah itu, gunungan tersebut akan jadi rebutan warga. Mereka
percaya, aneka hasil bumi di gunungan tersebut mampu membawa keberuntungan
karena telah didoakan saat ritual berlangsung.
9. Syawalan Pekalongan
Berbeda dengan yang daerah lain yang menyediakan gunungan hasil bumi,
daerah Pekalongan justru menghadirkan lopis raksasa. Tradisi bernama Syawalan ini
dilakukan di daerah Krapyak. Alasan dipilihnya lopis adalah karena makanan
berbahan beras ketan ini dapat menjadi simbol persatuan yang erat. Nantinya, lopis
tersebut akan dipotong-potong untuk kemudian dibagikan ke seluruh warga
Pekalongan.
10
akan dilakukan setelah salat Asar dengan diawali rapat penting untuk menentukan
awal bulan Ramadan setiap tahunnya.Nantinya, hasil dari rapat tersebut akan
diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah untuk diumumkan secara
resmi.Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak suku, etnis, dan kepercayaan,
tidak heran bahwa Indonesia memiliki beragam tradisi. Beberapa tradisi Islam di
Nusantara tersebut masih ada hingga kini dan dilestarikan juga oleh masyarakat
sebagai bagian dari kebudayaan.11
BAB III
PENUTUP
11
Dresyamaya Fiona, 12 Tradisi Islam di Nusantara, Beda Daerah Beda juga Tradisinya!, diakses dari
https://www.orami.co.id/magazine/tradisi-islam-di-nusantara, pada tanggal 23 November 2022.
11
Kesimpulan
Dan adajuga bebergai macam tradisi islam nusantara antara lain Tradisi Halal
Bihalal,Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat),Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta,Tradisi
Grebeg di Jawa,Tradisi Grebeg Besar di Demak,Sesaji Rewanda di Semarang,Njimbungan di
Klaten,Grebeg Syawal Yogyakarta,Syawalan Pekalongan,Tradisi Tabuik,Tradisi Rabu Kasan
dan Acara Dugderan di Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
12
Abdullah Ubaid & Mohammad Bakir,“Nasionalisme dan Islam Nusantara” Kompas 2015, hlm
6
Ahmad Baso,“Islam Nusantara Ijtihad Jenius & Ijma Ulama Indonesia” Pustaka Afid 2016,
hlm 6
Sunyoto, Agus. 2101 Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songi Sebagai
Fakta Sejarah, Depok; Pustaka IIMaN
https://www.orami.co.id/magazine/tradisi-islam-di-nusantara
13