Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH AGAMA ISLAM

MODERASI BERAGAMA
Makalah ini disusun memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam

Dosen Pengampu :

Umi Hani, S.H.I, M.M

Oleh :
Kelompok 7
1. Amelya Alfiatur Rochmaniah (60222021)
2. Darwoto (60222039)
3. Anggit Galuh Puji Suryadi (60222022)

Program Studi Manajemen


Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Selamat Sri (UNISS)
Kendal
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya


sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Makalah “Moderasi Beragama” ini
dengan selesai, terima kasih juga kami ucapkan kepada teman – teman satu
kelompok yang telah mendukung dan berdiskusi dalam menyelesaikan tugas ini
dengan baik dan mudah – mudahan Makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
dimasa yang akan datang. Terima kasih.

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ...................................................................................... 1


1.2.Tujuan ................................................................................................... 5
1.3.Manfaat ................................................................................................. 5
1.4.Sistematika Penulisan ........................................................................... 5

BAB II ISI MAKALAH

2.1.Tentang Moderasi Beragama ................................................................ 6


2.2.Prinsip – Prinsip Moderasi Beragama ................................................ 11
2.3.Ciri – Ciri Moderasi Beragama........................................................... 16
2.4.Ayat – Ayat Al-Qur`an dan Hadist tentang Moderasi Beragama ....... 22

BAB III PENUTUP

3.1.Kesimpulan ......................................................................................... 27
3.2.Saran ................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negeri tempat tumbuh suburnya beragam


kebudayaan yang di pelihara dan dijaga oleh masyarakatnya. Di negeri ini
terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis serta 583 bahasa dan dialek dari 67
bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa[1]. Di samping itu, mereka
juga menganut berbagai agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha,
Kong Hu Chu dan beratus agama dan kepercayaan setempat yang menjadi bagian
dari kebudayaan lokal setempat. Keragaman budaya (multikultural) merupakan
peristiwa alami karena bertemunya berbagai budaya, Berinteraksinya beragam
individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya, memiliki cara hidup
berlainan dan spesifik. Keragaman seperti keragaman budaya, latar belakang
keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas
masyarakat Indonesia[2].

Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia


memiliki keragaman, mencakup beraneka ragam etnis, bahasa, agama, budaya,dan
status sosial. Keragaman dapat menjadi ”integrating force” yang mengikat
kemasyarakatan namun dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar budaya,
antar ras, etnik, agama dan antar nilai – nilai hidup.

Islam sebagai sistem agama yang dianut mayoritas oleh masyarakat


Indonesia yang memiliki pijakan ajaran yaitu tekstual yang bersumber dari Al-
Quran sebagai kalamullah dan Hadits sebagai sunnah Rasulullah, serta ajaran
yang yang didasarkan kepada Kontekstual sebagai hasil dari cipta rasa dan karsa
manusia yang terpengaruhi oleh kondisi geografis, sosial dan budaya sehingga

1
Truna, Dody S. 2010. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme.
Jakarta. Kementerian Agama.
2
Akhmadi, Agus. 2019. Religious Moderation In Indonesia’s Diversity. Jurnal
Diklat Keagamaan 13 (2)
2

memiliki kearifan dan tradisi yang berbeda menjadi corak praktik ajaran ajaran
agama yang khas. Yang nampaknya perbedaan ini menjadi sebuah kewajaran
sebagai rahmat dari hukum natural ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang lengkap dan sempurna, dan
sekaligus sebagai sumber hukum yang pertama bagi umat Islam. Al-Qur’an
merupakan sebuah kitab yang menjadi petunjuk kepada siapa saja yang
membutuhkannya, menjadi contoh dan pengajaran kepada siapa saja yang mau
mentadabbur-nya[3].

Moderasi Islam (Islam Wasatiyah) ini menjadi diskusi khusus yang sangat
hangat. Dalam mengartikulasikan ajaran Islam kadang muncul pandangan ekstrem
oleh sebagian kelompok, sehingga kadang memicu aksi – aksi intoleran dan
kekerasan. Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak.

Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri
– sendiri dalam praktik dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah
menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Keanekaragaman dalam
kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah[4]. Termasuk dalam
hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab – kitab suci,
penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.

Konsep moderasi beragama sampai kapan pun akan tetap dianggap sangat
relevan, karena sikap ini dinilai sebagai pendorong bagi sikap beragama yang
seimbang antara praktik keagamaan sendiri (eksklusif) dan praktik keagamaan
orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik keagamaan itu akan menjadikan seseorang tidak menjadi
ekstrem yang berlebihan, fanatik dan revolusioner dalam beragama. Moderasi
beragama merupakan solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub
3
Anwar, Rosihan. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
4
Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an.
Bandung. Mizan.
3

ekstremis ultra-konservatif atau sayap kanan di satu sisi dan juga di sisi lain
liberal atau ekstrem kiri[5].

Dalam praktik keagamaan, ajaran suatu agama yang muncul ke permukaan


umumnya memiliki wajah ganda di mana aspek das sollen (ide moral) seringkali
berseberangan dengan fakta sosial keagamaan yang ada di lapangan (das sein).
Dalam konteks ini, sikap intoleran yang diperagakan oleh kelompok Muslim garis
keras pada dasarnya telah mencederai citra Islam yang telah dikenal baik sebagai
agama yang membawa rahmat bagi semesta alam.

Sikap keras dan intoleran tentu akan mengubur tujuan utama ajaran Islam
dalam memelihara jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal. Padahal, jejak rekam
perilaku Nabi Muhammad SAW yang tercatat dalam berbagai literatur hadis
menunjukkan potret yang berbeda. Nabi Muhammad SAW, sebagaimana misi
utamanya diutus oleh Allah, mempunyai peran untuk menyempurnakan akhlak
atau kebaikan. Dalam posisi ideal inilah, merujuk kepada Nabi untuk melihat
aspek moderasi Islam (wasatîyah) menjadi hal yang penting untuk dilakukan.

Untuk memahami dan mengimplementasikan konsep ini, perlu untuk


melihat hadis-hadis Nabi secara lebih komprehensif. Dengan hal tersebut,
keteladanan Nabi akan mampu diterjemahkan ke dalam konsep – konsep dan nilai
– nilai luhur yang bersifat universal, untuk selanjutnya bisa menjadi pedoman
masyarakat Muslim dalam menjalankan ritual dan sosial keagamaannya[6].

Dalam khazanah pemikiran Islam di seluruh dunia, Azyumardi Azra


mencatat bahwa wacana dan paradigma tentang Islam Wasathiyah - istilah yang
sering digunakan dan ditafsirkan sebagai moderasi mulai berkembang sejak awal
abad 20. Bicara tentang topik ini disinggung dalam berbagai karya para pemikir di

5
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2019), 18.
6
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep
Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir 6(2).
4

dunia Arab seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad al-Madani,


Muhammad Shaltut, Yusuf Al-Qaradhawi dan Wahbah Al-Zuhayli[7].

Satu dari ancaman terbesar yang bisa memecah belah sebuah bangsa
diantaranya adalah konflik agama, apalagi menggunakan cara – cara kekerasan.
Bagaimanapun, bagi setiap orang yang fanatiknya berlebihan terhadap agama, ia
dipahami sebagai sesuatu yang suci, mulia, sakral dan keramat. Bahkan jika dalam
kenyataan Agama datang ke bumi dan membawa Bermanfaat bagi kemanusiaan,
tetapi dia akan dapat menunjukkan wajahnya berbeda ketika diwujudkan dengan
pikiran fanatik dan penuh emosi. Bukannya berbuat baik, pemeluk agama Fanatik
bisa terjebak dalam sikap buruk menyinggung semangat agama itu sendiri[8].

Jika ditelusuri lebih dalam mencari rujukan ajaran moderasi beragama


didalam ajaran islam tidaklah sulit hal tersebut dapat kita lihat dari perjalanan
sejarah peradaban Islam di diunia dan dinusantara. Dari tempat lahirnya Islam di
Arab kita dapat belajar bagaimana Rasululullah Muhmmad SAW dan para
sahabatnya sebagai agen moderasi menciptakan kedamian diantaran suku bangsa
dan agama hingga tercetus piagam madinah. Sedangkan konsep moderasi di
Nusantara kita dapat merujuk kepda para pendakwah islam wali songgo, sunan ,
syeik , sayid dan habaib, kiyai yang arif, bijaksana , ajur ajer berbaur menyatu
dengan masyarakat dengan pendekatan budaya menanamkan ajaran islam yang
jauh dari kekerasan menciptakan kedamaian yang diadopsi oleh para pendiri
bangsa sebagai cikal bakal ideologi pancasila.

7
Azyumardi Azra, Islam Indonesia Inklusif Vs Eksklusif: Dinamika
Keberagamaan Umat Muslimin, Makalah untuk Pengajian Ramadhan PP
Muhammadiyah, Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, 6 Juni 2017.
8
Saihu et al., “Religious Argumentation of Hate Speech (Critical Race and
Racism in Hate Speech Phenomena in Indonesia),” International Journal of Innovation,
Creativity and Change 13, no. 10 (2020): 1176–94. Edi Junaedi, “Inilah Moderasi
Beragama Perspektif Kementerian Agama”, Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol.18,
No.2, 2019, 394.
5

1.2.Tujuan

Agar penulis makalah dan pembaca makalah mengetahui tentang moderasi


beragama. Bertujuan menjadikan individu menjadi lebih baik juga sejalan dengan
pendidikan itu sendiri. Memahami bagaimana moderasi agama islam dalam
kehidupan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”. (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi).

1.3.Manfaat

Manfaat yang diharapkan penulis makalah menambah pengetahuan bagi


pembaca untuk tetap mengembangkan dan mempertahankan keislamannya.
Perasaan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya, sikap menghargai, taat dan
patuh terhadap peraturan yang berlaku, usaha yang mengkoordinir prilaku
seseorang di masa yang akan datang.

1.4.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan karya tulis ini menggunakan metode library research


ialah riset yang di lakukan di perpustakaan guna mengumpulkan serta
menganalisis informasi dari perpustakaan. Baik dalam wujud buku, jurnal ilmiah
yang diterbitkan secara periodik, cerita sejarah, dokumen, serta bahan pustaka
yang lain yang dapat digunakan selaku sumber rujukan guna menyusun laporan
karya penelitian ilmiah.

Sumber informasi berasal dari literatur yang berkaitan dengan riset yang
dibahas, baik berbentuk buku rujukan, hasil riset, ataupun jurnal ilmiah. Tata cara
pengumpulan informasi merupakan pencarian dokumen dari sumber terkini yang
relevan serta bibliografi. Metode analisis aktivitas analisis informasi model ini
antara lain: reduksi informasi, penyajian informasi, serta penarikan/ validasi
kesimpulan. Informasi yang diperoleh dicoba analisis isi tema buat menciptakan
jawaban( pemecahan) yang sesuai.
6

BAB II

ISI MAKALAH

2.1.Tentang Moderasi Beragama


a. Moderasi

Kata moderasi berasal dari bahasa latin moderatio, yang artinya sedang
(tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti pengendalian diri
(dari sikap memiliki kelebihan dan kekurangan)[9]. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki dua arti kata – kata moderasi yaitu: 1. Mengurangi
kekerasan dan 2. Menghindari hal-hal yang ekstrem. Ketika dikatakan: ‘orang ini
bersikap moderat’, frase itu berarti orang itu bersikap wajar, biasa – biasa saja,
dan tidak ekstrem.

Kementerian Agama mendefinisikan moderasi beragama melalui buku


yang ditulisnya berjudul Moderasi Beragama, berarti kepercayaan diri pada
substansi (esensi) ajaran agama yang dianutnya, di samping tetap membagikan
kebenaran tentang interpretasi agamanya. Dengan kata lain, moderasi beragama
menunjukkan adanya penerimaan, keterbukaan dan sinergi dari kelompok agama
yang berbeda – berbeda[10].

Dalam bahasa inggris disebut moderation yang sering dipakai dalam arti
average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (ketidak-
berpihakan). Secara umum, moderat berarti mengutamakan keseimbangan terkait
keyakinan, moral, dan perilaku (watak) baik ketika memperlakukan orang lain
sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara [11].

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau
wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-
tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip
9
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama..., 15.
10
Lihat https://kbbi.web.id/moderasi.
11
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
7

wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah
diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya
menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti
memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem. Kata wasith
bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata 'wasit' yang
memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) Penengah, perantara (misalnya dalam
perdagangan, bisnis); 2) Pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan
3) Pemimpin di dalam suatu pertandingan[12].

Sedangkan makna yang sama juga terdapat dalam mu’jam al-wasit, yaitu
adulan dan khiyaran yang sederhana dan terpilih[13]. Ibnu Asyur mendefinisikan
kata wasath dengan dua arti. Pertama, definisi etimologis, kata wasath berarti
sesuatu yang di tengah atau sesuatu yang memiliki dua ujung yang ukurannya
sebanding. Kedua, definisi terminologis, makna wasath adalah nilai-nilai Islam
yang dibangun atas dasar pola pikir lurus dan tengahan, jangan berlebihan dalam
hal tertentu[14].

Dalam Kamus Merriam-Webster Dictionery (kamus digital), moderasi


didefinisikan sebagai penghindaran perilaku dan ekspresi ekstrem. Dalam hal ini,
seorang yang moderat adalah seseorang yang menghindari perilaku dan ekspresi
ekstrem[15]. Dari sini dapat disimpulkan bahwa moderasi/wasathiyah adalah
kondisi terpuji yang melindungi seseorang dari kecenderungan menuju ke dua
sikap ekstrem; sikap berlebihan (ifrath) dan muqashshir yang mengurangi sesuatu
yang dibatasi oleh Allah SWT. Sifat wasathiyah umat Muslim ini adalah hadiah
istimewa dari Allah SWT. Momen mereka konsisten dalam menjalankan ajaran
Allah SWT, maka saat itulah mereka menjadi orang-orang terbaik dan terpilih.

12
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
13
Syauqi Dhoif, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: ZIB, 1972), 1061.
14
Ibnu 'Asyur, at-Tahrir Wa at-Tanwir, (Tunis: ad-Dar Tunisiyyah,1984), 17-18.
15
Tholhatul Choir, Ahwan Fanani, dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 468.
8

Sifat ini telah menjadikan umat Muslim sebagai umat moderat; moderat dalam
semua hal, agama atau sosial, di dunia[16].

b. Beragama

Beragama adalah memeluk atau menganut suatu agama sedangkan agama


itu sendiri mengandung arti, sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan
ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu
(KBBI 2020) . Agama di dunia ini bukanlah satu akan tetapi banyak. Di Indonesia
agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha dan
Konghucu.

Secara Bahasa Beragama berarti menganut (memeluk) agama. Contoh :


Saya beragama Islam dan dia beragama Kristen. Beragama berarti beribadat; taat
kepada agama; baik hidupnya (menurut agama). Contoh : Ia datang dari keluarga
yang beragama. Beragama berarti sangat memuja-muja; gemar sekali pada;
mementingkan (Kata percakapan). Contoh: Mereka beragama pada harta benda.
Secara Istilah Beragama itu menebar damai, menebar kasih sayang, kapan pun
dimanapun dan kepada siapapun.

Beragama itu bukan untuk menyeragamkan keberagaman, tetapi untuk


menyikapi keberagaman dengan penuh kearifan. Agama hadir ditengah-tengah
agar harkat, derajat dan martabat kemanusiaan senantiasa terjamin dan
terlindungi. Oleh karenanya jangan gunakan agama sebagai alat untuk menegasi
dan saling merendahkan dan meniadakan satu dengan yang lain. Oleh karenanya,
mari senantiasa menebarkan kedamaian dengan siapapun, dimanapun dan kapan
pun.

Beragama itu kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari


pinggir yang selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan

16
Afrizal Nur dan Mukhlis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an:(Studi Komparatif
Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar AtTafsir)”, Jurnal An-Nur, (Vol. 4, No. 2
Tahun 2015), 206. Lihat juga Achmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam Dimensi Trilogi Islam
(Akidah, Syariah, dan Tasawuf)”, Jurnal al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
volume III (2), 2018, 214-215.
9

ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi
terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak
berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-
tengah, menjaga hati, menjaga perilaku diri, menjaga seisi negeri dan menjaga
jagat raya ini.

Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem,
baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran
kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama,
merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Kalau
dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung
menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak
sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem
(centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi
luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah.

c. Moderasi Beragama

Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan


demikian adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di
tengah-tengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme
beragama sebagai cara pandang, sikap dan perilaku melebihi batas-batas moderasi
dalam pemahaman dan praktik beragama. Karenanya, moderasi beragama
kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu
mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam
beragama. Tentu perlu ada ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan
apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong
moderat atau ekstrem. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci
terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme
dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan
10

terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat


memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup
bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti
Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan[17].

Berpijak pada uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji moderasi


agama dalam Perspektif Al-Qur’an lebih dalam. Perbuatan seorang Muslim
khususnya, sangat dipengaruhi oleh pemahaman agamanya yang tidak lain
bersumber dari kitab induknya Al-Qur’an. Seorang Muslim sudah seharusnya
mematuhi serta mengikuti panduan Kitab Suci Al-Qur’an, karena dengan
menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk maka akan mengantarkan orang
Muslim meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Islam sangat
mengecam orang-orang yang ekstrem dalam keberagamaannya baik itu dalam sisi
ibadah, akhlak maupun muamalat. Islam sangat mengedepankan moderasi dalam
hal apapun, atau yang biasa dikenal dengan istilah wasatiyyah atau moderat dalam
beragama.

Dalam kontek agama, moderasi dipahami oleh penganut dan pemeluk


islam dikenal dengan istilah islam wasatiyah atau islam moderat yaitu islam jalan
tengah yang jauh dari kekerasan, cinta kedamian, toleran, menjaga nilai luruh
yang baik , menerima setiap perubahan dan pembaharuan demi kemaslahatan,
menerima setiap fatwa karena kondisi geografis, sosial dan budaya.

Firman Allah SWT dalam surat Al Baqaroh ayat 143 yang Artinya : “Dan
demikian Kami telah menjadikan kamu umatan wasatan agar kamu menjadi
saksi-saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul ( Muhammad ) menjadi saksi
atas perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu menjadi
kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan

17
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
11

menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang”. (QS Al Baqaroh : 143)

Dari ayat tersebut ditas dapat kita ketahui bahwa Allah telah menjadikan
umat islam sebagai “Ummatan wasathan” sebagai umat yang adil dan terpilih,
maksudnya adalah bahwa umat islam telah memiliki kesempurnaan ajaran agama,
paling baik akhlaknya dan amal yang paling utama. Oleh Karena itu kita sebagai
umat islam yang telah terpilih harusnya menjadi agen penyebar kedaiaman islam
rohmatan lil alamin.

2.2.Prinsip – Prinsip Moderasi Beragama

Perubahan besar dalam pikiran manusia menyentuh tiga aspek, yaitu cara
berpikir, pola keyakinan, dan pola perasaan spiritualitas yang mengarah pada
perilaku erat kaitannya dengan revolusi mental. Landasan ketiga dari pola tersebut
adalah nilai-nilai yang ditanamkan menjadi satu seseorang, yaitu tradisi budaya,
falsafah bangsa dan agama. Adanya karakter mental seseorang juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan, pendidikan, keturunan dan budaya
global. Mental mengacu pada pikiran manusia yang kemudian bermanifestasi
melalui cara berpikir, perilaku dan perasaan serta keyakinan sehingga melahirkan
suatu tindakan.

Revolusi spiritual pada intinya mengisi pikiran manusia dengan berbagai


nilai luhur, termasuk nilai-nilai adat budaya, nilai-nilai filosofis nasional dan
agama secara masif atau besar-besaran dalam rangka membentuk karakter yang
baik[18]. Atas dasar nilai-nilai yang disebutkan diatas, pada dasarnya moderasi
beragama dalam Al-Qur’an mengacu pada beberapa prinsip.

18
Maragustam, “Paradigma Revolusi Mental dalam Pembentukan Karakter
Bangsa Berbasis Sinergitas Islam dan Filsafat Pendidikan”, Jurnal Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Vol.XII, (2), 2015,
161.
12

a. Prinsip Universalitas

Pemahaman keagamaan seseorang harus mengacu pada prinsip


universalitas Islam sebagai agama yang damai. Prinsip ini harus berangkat dari
argumen bahwa Tuhan menciptakan banyak golongan, dan pada masing-masing
golongan diberikan utusan yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian dengan
berpedoman pada ajaran Tuhan yang universal[19].

Untuk menerapkan prinsip ini, kelompok masyarakat harus mempunyai


pengetahuan seluas-luasnya mengenai tema-tema yang berpotensi untuk
disalahpahami atau dipahami secara sempit. Oleh sebab itu, manusia harus
memiliki sikap keterbukaan dan sifat universalitas keilmuan tanpa dibatasi oleh
sekat-sekat ideologi, jenis lembaga maupun unsur kedaerahan[20].

Islam yang dipercaya sebagai rahmatan li lalamin banyak dihujat akibat


sebagian Muslim yang menampilkan keislamannya yang eksklusif, rasial, radikal,
dan bahkan penyebar teror dan brutal. Jika semua sifat-sifat tersebut merupakan
sebuah realita tentu saja hal itu bersumber dari pemahaman mereka terhadap
agamanya yang gagal memahami agama dan Islam sebagai rahmatan li lalamin
dalam konteks kekinian. Tidak dapat disangkal lagi bahwa terbentuknya Islam
dalam perjalanan sejarahnya telah melahirkan sebuah peradaban besar, terutama
ketika dipahami sebagai sumber nilai yang mampu melayani dan berdampingan
dengan peradaban lainnya. Dengan kata lain Muslim mampu menampilkan sisi-
sisi universalisme nilai-nilai Islam itu.

Dalam konteks masa kini, yang perlu menjadi perhatian adalah : Pertama,
bagaimana mengembangkan pola pikir yang terbuka (open mind) yang dapat
menimbang, memilih, dan memilah berbagai entitas, realitas, dan gejala dalam
dunia global saat ini. Kedua bagaimana menumbuhkan kemampuan kritik-diri
(self critique) terhadap diri, tradisi (waratsah), budaya, dan peradaban sendiri agar

19
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008),
434.
20
Omar Mohammad Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), 520.
13

dapat mengukur dan menilai relevansi dan manfaatnya terhadap peradaban


manusia pada masa sekarang dan masa depan tanpa kehilangan identitas. Dengan
begitu kita dapat memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang
lebih baik[21].

b. Prinsip Integrasi

Prinsip ini merupakan prinsip yang menuntut adanya perpaduan dalam


bidang keilmuan. Masyarakat mesti diberikan pengetahuan lebih mengenai
pemahaman agama melalui preseptif keilmuan yang berbeda-beda. Prinsip
keilmuan ini juga merupakan pembahasan yang dilakukan banyak tokoh agar
pemahaman mengenai Islam dan Al-Qur’an tidak hanya bersifat normatif-
teologis. Misalnya yang dilakukan oleh Kuntowijoyo dengan mencoba mewarnai
keilmuan umum dengan ilmu-ilmu agama[22].

Imam Suprayogo juga menawarkan pendekatan pohon ilmu yang mencoba


menguatkan keilmuan-keilmuan Islam dengan keilmuan lainnya[23]. Langkah ini
juga diambil oleh M. Amin Abdullah dengan pendekatan integrasi-interkoneksi
yang mencoba mengaitkan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum
lainnya[24].

Amin Abdullah menyatakan beberapa pandangannya terkait interkoneksi


keilmuan diantaranya bahwa, Pertama, antara ajaran agama harus saling
menembus batasan-batasan di dalamnya dalam menambah wawasan
keberagamaan. Kedua, saling menguji dan memberikan masukan terhadap objek
yang dipahami sehingga kebenaran yang terkandung di dalamnya bisa diyakini

21
Munzir Hitami, "Universalitas Nilai-Nilai Islam: Mengungkap Makna al-Din",
Jurnal Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 12, No. 1, Januari -Juni 2020,
45-46.
22
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika,
(Yogyakarta: Teraju, 2004), 49.
23
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Pada Perguruan
Tinggi: Konsep Pendidikan Tinggi Yang Dikembangkan UIN Malang, (Malang: UIN
Malang Press, 2005).
24
M. Amin Abdullah, Islamic Studie di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), vii.
14

dan diimplementasikan dalam perilaku keseharian yang bijaksana. Ketiga,


melakukan bentuk-bentuk kerukunan baru secara kreatif yang memungkinkan
bagi setiap pemeluk agama bisa saling belajar dan bertukar pengalaman. Integrasi
dalam artian menyatukan apa-apa yang bisa disatukan[25].

c. Prinsip Multukuralisme

Yang wajib diingat adalah bahwa agama apapun tidak mengajarkan


kekerasan pada pemeluknya. Agama mengutamakan welas asih. Jika sampai ada
kekerasan berdasarkan nama agama, itu adalah perbuatan yang buruk.

Untuk membangun toleransi dan kerukunan pada multikulturalisme


beragama, maka beberapa hal yang mutlak diperlukan. Pertama, reformulasi
budaya dan reinterpretasi doktrin agama yang digunakan sebagai alasan
melakukan kekerasan. Kedua, melakukan dialog berbagai kalangan pemuka
agama dan masyarakat mengenai tradisi, multikultur, dan agama dengan ide-ide
modern. Ketiga, agama mengajarkan manusia bagaimana untuk saling
menghormati, mengasihi, dan menolong berdasarkan tindakan nyata. Keempat,
agama mengajarkan kedamaian di tengah kondisi yang majemuk[26].

Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan cultural (tentang


budaya), multikulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas
keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti
keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk
kehidupan (sub-kultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan
masyarakat.

Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan akan


pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang

25
Fathorrahman Ghufron, Ekspresi Keberagamaan di Era Milenium,
(Yogyakarta: RCiSoD, 2016), 118-119.
26
Suradi, dkk., “Religious Tolerance in Multicultural Communities : Towards a
Comprehensive Approach in Handling Social Conflict”, Journal of Law and Culture, (2),
2020, 229–245.
15

menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia[27]. Oleh karena


itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu ideologi, menjadi
alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas kesetaraan semua
manusia dan kemanusiaannya yang secara operasional mewujud melalui pranata-
pranata sosialnya, yakni budaya sebagai pemandu kehidupan sekelompok manusia
sehari-hari.

Dalam konteks ini, multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi


keanekaragaman budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan
prinsip pengakuan (recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme. Untuk
mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif. Menurut Shihab
bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan
kemajemukan masyarakat, tetapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk
keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Sikap inklusivisme yang dipahami
dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keragaman pemikiran,
pemahaman dan persepsi keislaman.

Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam satu


kelompok saja, melainkan juga ada pada kelompok yang lain, termasuk kelompok
agama sekalipun. Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya semua agama membawa ajaran keselamatan. Perbedaan dari satu agama
yang dibawah seorang nabi dari generasi ke generasi hanyalah syariat saja[28].

27
Hendri Masduki, "Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Perspektif
Kerukunan Antar Umat Beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan
bernegara)", Jurnal Sosiologi, Vol. 9 | No. 1, Juni 2016, 20-21.
28
Muhammad Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama, 43.
16

2.3.Ciri – Ciri Moderasi Beragama

Islam rohmatan lil alamin memiliki ciri-ciri moderasi beragama yang haruss
tertanam dalam jiwa diantaranya :

a. Wasathiyah (Mengambil Jalan Tengah)

Yaitu pandangan yang mengambil jalan pertengahan dengan tidak


berlebih-lebihan dalam beragama dan tidak mengurangi ajaran agama, jalan
tengah ini dapat berarti pemahaman yang memadukan antara teks ajaran agama
dan konteks kondisi masyarakat.

Sehingga "wasatiyah" ialah suatu pandangan ataupun perilaku yang


senantiasa berupaya mengambil posisi tengah dari perilaku yang berseberangan
serta kelewatan sehingga salah satu dari kedua perilaku yang diartikan tidak
mendominasi dalam benak serta perilaku seorang.

Sebagaimana pendapat Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft, kalau
"moderasi" merupakan pemahaman yang mengambil jalur tengah, ialah
pemahaman yang tidak ekstem kanan dan tidak pula ekstrem kiri[29].

Umat islam tidak boleh hanya berpedoman teks saja kemudian melupakan
konteks sehingga menjadikan pemahaman yang ekstrim , radikal, kaku dan keras
(fundamentalis ) sehingga bersifat egois menganggap yang lain jika tidak serupa
dengan pemahamnaya dianggap hal keliru dan salah. Tidak juga pula umat islam
hanya mengedepankan konteks saja mengesampingkan teks ajaran agama sebagai
podoman (Al-Quran dan Hadits) sehingga mengjadikan pemahanya (liberalisme).
bebas tanpa arah liar sesuka hati tak terkendali.

Seseorang muslim wajib pantaslah taat kepada Allah SWT sebagai Tuhan-
nya, dengan menjalankan ibadah sholat , puasa zakat , haji serta melaksanakan
ibadah ibadah sunnah lainnya, namun hendaknya seseorang muslim wajib paham
bahwa tidak dibenarkan bila memutuskan aktivitas dunia dan menjauhkan dirinya

29
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keutamaan, dan
Kebangsaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 13
17

dengan masyarakat. Keduanya haruslah simbang antara urusan dunia serta urusan
akhirat serta tidak mendominasi dari keduanya.

b. Tahwazun (Seimbang)

Tahawzun merupakan pandangan keseimbangan yang tidak keluar dari


garis yang telah di tetapkan. Jika di telusuri istilah tahwazun berakar dari kata
“mizan” yang berarti timbangan. Tapi dalam pemahaman konteks moderasi
“mizan” bukan diartikan sebagai alat atau benda yang di gunakan untuk
menimbang melainkan keadilan dalaam semua aspek kehidupan baik terkait
dengan dunia ataupun terkait dengan kehidupan yang kekal kelak di akhirat.

Islam adalah agama yang seimbang, menyeimbangkan antara peranan


wahyu ilahi dengan menggunakan akal rasio, serta memberikan bagian tersendiri
bagi wahyu dan akal. Dalam menjalanain hidup islam mengajarkan untuk bersikap
seimbang antara ruh dengan akal , akal dan hati, hati nurani dan nafsu dan
sebagainya[30].

Dari uraian diatas, tahwazun dipahami dalam konteks moderasi adalah


berperilaku adil, seimbang tidak berat sebelah dibarengi dengan kejujuran
sehingga tidak bergeser dari garis yang telah ditentukan. Sebab ketidakadilan
merupakan cara merusak keseimbangan dan kesesuaian jalanya alam raya yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT.

c. I’tidal (Lurus dan Tegas)

Istilah I’tidal berasal dari kata bahasa arab yaitu adil yang berarti sama,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adil berarti tidak berat sebelah, tidak
sewenang wenang.

30
Alif Cahya Setiyadi, Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas., Jurnal
Vol. 7, No. 2, Desember 2012, h.252
18

I’tidal merupakan pandangan yang menempatkan sesuatu pada tempatnya,


membagi sesuai dengan porsinya, melaksankaan hak dan memenuhi kewajiban[31].

Sebagai seorang muslim diperintahkan berlaku adil kepada siapa saja


dalam hal apa saja dan diperintahkan untuk senantiasa berbuat ikhsan dengan
siapa saja. Karena keadilan inilah menjadi nilai luhur ajaran agama, omong
kosong kesejahteraan masyarakat terjadi tanpa adanya keadilan[32].

d. Tasamuh (Toleransi)

Tasamuh jika ditinjau dari bahasa arab berasal dari kata “samhun” yang
berarti memudahkan. Sedangkan menmurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
toleransi berarti: bersifat menghargai, membiarkan, membolehkan, sesuatu
berbeda ataupun berlawanan dengan pendirian sendiri.

Jadi dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan perilaku menghargai


pendirian orang lain menghargai bukan berarti membetulkan terlebih bersepakat
mengikuti dan membenarkanya.

Dalam hal beragama tidak dibenarkan toleransi dalam ranah keimanan dan
ketuhanan. Tata cara ibadah harus sesui dengan ritual dan tempatnya masing-
masing. Moderasi memandang bahwa setiap agama benar menurut kepercayaan
bagi para penganutnya masing-masing dan tidak dibenarkan menganggap bahwa
semua agama itu benar dan sama. Toleransi hanya boleh dilakukan dalam ranah
sosial dan kemanusiaan untuk menjaga kerukunan dan persatuan.

e. Musawah (Persamaan)

Musawah berarti persamaan derajat, islam tidak pernah membeda manusia


dari segi personalnya semua manusia memiliki derajat yang sama diantara
manusia lainya tidak memandang jenis kelamin, ras, suku, tradisi, budaya,

31
Departemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Quran, 2012), hlm. 20-2
32
Nurul H. Maarif, Islam Mengasihi Bukan Membenci, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2017), hlm. 143
19

pangkat karena semuanya telah ditentukan oleh sang pencipta manusia tidak dapat
hak untuk merubah ketetapan yang telah di tetapkan.

Firman Allah SWT dalam Surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya sebagai
berikut :

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l. (QS Al Hujurat :
13)

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa semua manusia memiliki personal yang
sama diantara manusia hanya disisih Tuhanlah manusia berbeda dilihat dari amal
dan perbuatan yang dilakukannya.

Jika kita meninjau sejarah nusantara bahwa para wali songgo sebagai
penyebar agama islam juga sangat intens mengajarkan persamaan derat tidak ada
yang lebih tinggi mulia derat seseorang diantara sesama manusia, tidak ada
kawula dan tidak ada gusti dirubah menjadi Rakyat yang berasal Dari kata Roiyat
yang berarti pemimpin yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama
berkerjasama saling bahu membahu sehingga disebut masyarakat dan istilah ini
digunakan sampai saat ini[33].

f. Syuro (Musyawarah)

Istilah Syuro berakar dari kata Syawara – Yusawiru yang memiliki arti
memberikan penjelasan, menyatakan atau mengambil sesuatu. Bentuk lain dari
kata syawara ialah tasyawara yang berarti perundingan, saling berdialog bertukar
ide.

Emha Ainun Najib, “Diskontinuitas Sejarah Kepemimpinan Sebagai Akar


33

Masalah”, https://www.caknun.com/2017/diskontinuitas-sejarah-kepemimpinan-sebagai-
akar-masalah/, Diakses pada selasa, 14 September 2021, 17.19 WIB
20

Sedangkan syawir memiliki pengertian mengajukan pendapat atau


bertukar fikiran[34]. Jadi musyawarah merupakan jalan atau cara untuk
menyelesaikan setiap masalah dengan jalan duduk bersama berdialog dan
berdiskusi satu sama laian untuk mencapai mufakat dengan prinsip kebaikan
bersama di atas segalanya.

Dalam konteks moderasi , musyawarah merupakan solusi untuk


meminimalisir dan mengilangkan prasangka dan perselisihan antar individu dan
kelompok, karena musyawarah mampu menjalin komunikasi, keterbukaan,
kebebasan berpendapat, serta sbegai media silaturahmi sehingga akan terjalin
sebuah hubungan persaudaraan dan persatuan yang erat dalam ukhuwah
islamiyah, ukhuwah watoniyah, ukhuwah basariyah dan ukhuwah insaniyah.

g. Ishlah (Reformasi)

Islah berakar dari kosa kata bahasa arab yang berarti memperbaiki atau
mendamaikan. Dalam konsep moderasi, islah memberikan kondisi yang lebih baik
untuk merespon perubahan dan kemajuan zaman atas dasar kepentingan umum
dengan berpegang pada prinsip memelihara nilai-nilai tradisi lama yang baik dan
menerapkan nilai-nilai tradisi baru yang lebih baik demi kemaslahatan bersama.

Pemahaman ini akan menciptakan masyarakat yang senantiasa


menyebarkan pesan perdamaian dan kemajuan menerima pembaharuan dan
persatuan dalam hidup berbangsa.

h. Awlawiyah (Mendahulukan Perioritas)

Al-awlawiyyah adalah bentuk jamak dari kata “al-aulaa”, yang berarti


penting atau perioritas. Awlawiyah juga dapat diartikan sebagai mengutamakan
kepentingan yang lebih perioritas.

Menurut istilah awlawiyah, dari segi implementasi (aplikasi) dalam


beberapa kasus yang paling penting adalah memprioritaskan kasus-kasus yang

34
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, h. 18
21

perlu diprioritaskan dari pada kasus-kasus yang kurang utama lainnya tergantung
pada waktu dan durasi implementasi[35].

Awlawiyah dalam konteks moderasi dalam kehidupan berbangsa harus


mampu memperioritaskan kepentingan umum yang membawa kemaslahatan bagi
kehidupoan berbangsa. Dalam pengertian yang lain awlawiyah bearti memiliki
pandangan keluasan menganalisa dan mengidentifikasi hal ihwal permasalahan
sehingga mampu menemukan sebuah pokok masalah yang sedang terjadi di
masyarakat dan mampu memberikan sumbangan pemikiaran sebagai solusi
pemecahan maslah yang terjadi di masyarakat.

i. Tathawur Wa Ibtikar (Dinamis dan Inovatif)

Tathawwur wa Ibtikar merupakan sifat dinamis dan inovatif yang


memiliki pengertian bergerak dan pembaharu, selalu membuka diri untuk
bergerak aktif partisipasi untuk melakukan pembahrauan sesuai dengan
perkembangan zaman untuk kemajuan dan kemaslahatan umat.

Jika kita mundur kebelakang menilik sejarah masa lalu menurut Anang
Solikhudin, bahwa salah satu penyebab umat islam mengalami kemunduran salah
satunya di pengaruhi oleh kemunduran berfikir umat islam[36]. Sifat pasif dan
statis menjadi penyakit utama di kalangan umat islam di masa lalu, hal ini di
pengaruhi oleh doktrin ajaran aliran kalam jabariyah yang di manfaatkan oleh
para penjajah yang berusaha menghancurkan islam sehingga umat islam memiliki
pendapat bahwa apa yang terjadi pada pada umat Islam adalah sudah takdir
kehendak Tuhan manusia dianggap tidak berdaya menentukan nasibnya sendiri.

Doktrin tersebut menyebabkan anggapan bahwa pintu ijtihad untuk


berfikir menemukan solusi dari permasalahan tertutup sehingga umat islam
bersifat jumud, taklid buta sulit mendapatkan pembaharuan dan pencerahan.

35
Yusuf al-Qardhawiy, Fi Fiqh al-Aulawiyat, Dirasa Jadidah fi Dau’ Al-Qur’an
wa al Sunnah”, (Jakarta: Rabbani press, 1996),
36
Anang Sholikhudin, “Merebut Kembali Kejayaan Islam Analisis Internal Dan
Eksternal Penyebab Kemunduran Islam”, Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Volume 3, Nomor 1, Desember 2017, hal . 136
22

Oleh Karena itu dari perjalanan sejarah, bahwa moderasi membuka


peluang kita sebagai bangsa yang besar untuk terus bergerak dinamis sesuai
kapasitas masing-masing dan inovatif melakukan pembaharuan dan trobosan baru
jangan hanya diam dan menutup diri dari perubahan zaman terlena dengan apa
yang sudah di miliki.

j. Tahadhur (Berkeadaban)

Menjunjung tinggi moralitas, kepribadian, budi luhur, identitas dan


integrasi sebagai khoiru ummah dalam kehidupan dan peradaban manusia.
Berkeadaban meiliki banyak konsep salah satunya adalah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan merupakan cikal bakal sebuah peradaban semakin tinggi


ilmu yang di miliki seseorang maka akan semaking luas memandang, luasnya
pandangan menjadikannya melihat segala sudut arah sehingga akan menjadi
pribadi yang bijaksana, kebijaksanaan atau hikmah tercermin dalam tingkahlaku
berupa adab atau moralitas yang tinggi dan mulia.

Keberadaban dalam konteks moderasi dalam kehidupan berbangsa


menjadi penting untuk di amalkan karena semakin tinggi adab seseorang maka
akan semaking tinggi pula toleransi dan penghargaannya kepada orang lain,
memandang bukan hanya dalam perspektif dirinya sendiri melainkan melihat dari
berbagai macam prespektif.

2.4.Ayat – Ayat Al-Qur’an dan Hadist tentang Moderasi Beragama


a. Moderasi Beragama dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an dan Hadis telah disepakati oleh para pemuka Islam bahwa
keduanya merupakan sumber dan referensi utama dalam merujuk semua masalah
yang dihadapi dalam semua lini kehidupan. Hal ini dilakukan mulai semenjak
generasi masa Rasulullah hingga sampai kapan saja selama umat Islam masih
hidup di permukaan bumi ini. Begitu pula halnya dengan masalah moderasi
23

beragama yang baru-baru ini cukup berdengung dan bergema diperbincangkan di


berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.

Kata dan istilah moderasi beragama bukanlah berasal dari bahasa Arab
yang merupakan bahasa Al-Quran dan Hadis akan tetapi kata asing yang sudah
terserap ke dalam bahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah
kata moderasi beragama terdapat di dalam Al-Quran dan Hadist yang keduanya
merupakan sumber pegangan utama umat Islam di dunia ?

Jawabannya adalah Al-Quran dan Hadist bukan kamus istilah akan tetapi
pedoman hidup bagi umat manusia. Yang disaji oleh Al-Quran dan Hadist adalah
bukan lafadhnya akan tetapi substansi dan maknanya yang harus dicari, dan digali
oleh pemeluknya kemudian dikembangkan untuk kepentingan hidup manusia
sesuai menurut tempat dan waktu, disinilah letaknya kedinamisan ajaran Islam.

Padanan kata yang bermakna moderasi beragama dalam Al-Quran dan


Hadist telah disejajarkan oleh pakar Islam dengan kata wasathan. Kata ini
kemudian diperluas dengan berbagai makna, dibawah ini uraiannya dijabarkan
sebagai berikut :

1) Moderasi beragama dalam keseimbangan fenomena alam


Pada Surat Al-Mulk ayat 3 yang artinya :
“Kamu sekali kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah yang Maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang”.

Surat Ar-Ra’du ayat 3 yang artinya :


“Dan Dia lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan
gununggunung dan sungai – sungai padanya. Dan menjadikan padanya
dengan buah – buahan berpasang pasangan. Allah menutup malam
kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda –
tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkannya”.
24

2) Moderasi beragama bermakna adil


Surat An-Nisa ayat 58 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

3) Moderasi beragama yang bermakna seimbang pola hidup


Surat Al-Qashah ayat 77 yang artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

4) Moderasi beragama dalam bersikap


Surat Al-Luqman ayat 19 yang artinya :
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.

5) Moderasi beragama dalam bermoral


Surat Asy-Syams ayat 7 – 9 yang artinya :
“(7)Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). (8)Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
(9)Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”.
25

6) Moderasi beragama dalam berbangsa dan bernegara


Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.

b. Moderasi Beragama dalam Hadits

Moderasi beragama menurut sudut pandang ahli Hadist antara lain :

1. HR. Bukhari

Dari Abu Hurayrah ra. Berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Amal


seseorang tidak akan pernah menyelamatkannya”. Mereka bertanya : “Engkau
juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Begitu juga aku, kecuali jika Allah
melimpahkan Rahmat-Nya. Maka perbaikilah (niatmu), tetapi jangan berlebihan
(dalam beramal sehingga menimbulkan bosan), bersegeralah di pagi dan siang
hari. Bantulah itu dengan akhir-akhir waktu malam. Berjalanlah pertengahan,
berjalanlah pertengahan agar kalian mencapai tujuan”[37].

2. HR. Ahmad, Baihaqqi dan Al-Hakim

Dari Buraydah Al-Aslamî berkata: “pada suatu hari, aku keluar untuk
suatu keperluan. Tiba-tiba Nabi saw. berjalan di depanku. Kemudian beliau
menarikku, dan kami pun berjalan bersama. Ketika itu, kami menemukan seorang
lelaki yang sedang sholat, dan ia banyakkan ruku’ dan sujudnya. Nabi bersabda:
“Apakah kamu melihatnya sebagai orang yang riya’ ?”. Maka aku katakan: “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau melepaskan tanganku dari
tangannya, kemudian beliau menggenggam tangannya dan meluruskannya serta

37
Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah Abû ‘Abd Allâh al-
Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Sahîh, Hadist no. 6463, Vol. 8 (Kairo: Dâr al-Shu’b, 1987), hal. 122.
26

mengangkat keduanya seraya berkata: “Hendaklah kamu mengikuti petunjuk


dengan pertengahan (beliau mengulanginya tiga kali) karena sesungguhnya siapa
yang berlebihan dalam agama akan dikalahkannya”[38].

3. HR. Nisai dan Ibnu Majah

Ibn ‘Abbâs berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, hindarilah


sikap berlebihan (melampaui batas), sebab umat-umat terdahulu binasa karena
sikap melampaui batas dalam beragama”[39].

4. HR. Muslim

Jâbir bin Samurah berkata, “aku telah shalat bersama Nabi saw. berkali-
kali, dan (aku dapati) sholatnya dalam pertengahan dan khutbahnya juga
pertengahan”[40].

‘Abdullâh bin Mas‘ûd berkata, Rasulullah saw. bersabda: “binasalah


orang-orang yang melampaui batas”, (beliau mengulanginya tiga kali)”[41].

38
Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abd Allâh al-Shaybânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin
Hanbal, ed. Shu‘ayb al-Arna’ût, hadis no. 23013, Vol. 5 (Kairo: Mu’assasah Qurttubah,
t.th), hal. 350; Muhammad bin ‘Abd Allâh Abû‘ Abd Allâh al-Hâkim al-Naysâbûrî, al-
Mustadrak ‘alâ alSahîhayn, ed. Mustafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Atâ, hadis no.1176, Vol. 1
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), hal. 457; al-Bayhaqî, al-Jâmi’ li Shu‘ab al-
Îmân, hadist no. 3600, Vol. 5, hal. 393.
39
Ahmad bin Shu‘ayb b. ‘Alî Abû ‘Abd Al-Rahmân Al-Khurasânî Al-Nasâ’î, Al-
Mujtabâ min Al-Sunan, ed. ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Hadis no. 3057, Vol. 5 (Halb:
Maktab Al-Matbû’ât Al-Islâmiyyah, 1986), hal. 268; Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abd
‘Allâh alQazawaynî, Sunan Ibn Mâjah, ed. Muhammad Fu’âd ‘Abd Al-Bâqî, hadis no.
3029, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hal. 1008.
40
Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Abû al-Husayn Al-Qushayrî Al-Naysâbûrî,
Al-Jâmi’ Al-Sahîh, No. Hadist 2041, Vol. 3 (Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), hal. 11.
41
Muslim, Al-Jâmi‘ Al-Sahîh, hadis no. 6955, Vol. 8, hal. 58.
27

BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Moderasi beragama dalam Al-Qur’an mempunyai misi demi menciptakan


perdamaian bagi seluruh umat manusia. Munculnya sikap eksklusivisme dalam
beragama seringkali memicu reaksi ekstrem. Demikian pula sikap ultra-
konservatif seringkali berujung pada akhirnya yang lahirkan kebencian,
permusuhan, intoleransi, ekstremisne, kekerasan bahkan terorisme atas nama
agama.

Hal ini sungguh dinilai mengancam perdamaian dan mengoyak persatuan


serta kesatuan. Moderasi beragama yang berprinsip dalam Al Qur’an diharapkan
dapat menjadi solusi tentang isu-isu agama yang ekstrem di tengah masyarakat.

Memperkuat moderasi beragama tidak dapat dilakukan oleh kalangan


secara individu, tetapi harus dilakukan secara sistematis dan kelembagaan, bahkan
melalui negara. Negara harus hadir untuk menciptakan ruang publik yang sehat
untuk menciptakan interaksi antar umat beragama dan kepercayaan. Bukan
sebaliknya, melahirkan peraturan dengan sentimen agama tertentu yang dianut
dan ditegakkan di ruang publik.

Moderasi merupan faham yang mengambil jalan tengah tidak terlalu


kekanan pada faham radikal dan tidak terlalu ke kiri pada faham liberal. Ada
beberapa prinsip yang menjadi ciri moderasi beragama diantaranya: 1) Tawassuth
(mengambil jalan tengah), 2) Tawazun (berkeseimbangan), 3) I’tidal (lurus dan
tegas), 4) Tasamuh (toleransi), 5) Musawah (persamaan), 6) Syura (musyawarah),
7) Ishlah (reformasi), 8) Aulawiyah (mendahulukan yang peroritas), 9) Tathawur
wa ibtikar (dinamis dan inovatif), 10) Tahadhdhur (berkeadaban).
28

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Hadist sebagai sabda Nabi Muhammad
SAW , keduanya merupakan pedoman hidup dan sumber rujukan umat Islam
dalam memutuskan segala perkara yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Moderasi beragama yang diberi arti sebagai beragama dengan mengambil


posisi jalan tengah dan seimbang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan telah
ditawarkan Al-Quran dan Hadist beberapa abad yang lalu. Bahkan dalam
moderasi beragama ketika menghadapi masyarakat lebih jauh mendalam dan
universal sampai kepada masalah fenomena alam, masalah moral, masalah
bagaimana cara menangani dunia dan alam termasuk seni dalam hidup harus
serasi dan seimbang. Apabila keseimbangan ini tidak dipahami dan diterapkan
dunia dan manusia yang hidup di dalamnya akan kacau dan berantakan.

3.2.Saran

Indonesia sebagai masyarakat majemuk (agama, suku, bahasa, budaya, dan


lain-lain) menjadi kontribusi yang sangat penting bagi pemikiran yang inklusif
terhadap perbedaan. Karena untuk menjaga dan menciptakan pluralisme sosial
(masyarakat) diperlukan nilai-nilai toleransi yang tidak hanya berkaitan dengan
Undang-Undang, tetapi juga dengan sikap sosial, bukan melahirkan klaim atas
kebenaran agama sendiri yang tidak menolelir ajaran orang lain yang diyakini dan
dijalankannya.

Dengan demikian toleransi antar umat beragama membutuhkan kebesaran


jiwa untuk menghargai dan menghormati atas ajaran orang lain di samping
meyakini kebenaran yang ia yakini. Persatuan dan kesatuan yang sudah terjalin
erat berabad abad haruslah tetap dijaga dan dirawat, janganlah tercerai berai.

Arus perkembangan globalisasi dan keterbukaan informasi jangan menjadi


penyebab hilangnya identitas jati diri bangsa jangan terpengaruh oleh faham
ekstrimisme yang membenarkan pendapatnya sendiri. Bekali kehidupan
berbangsa dengan moderasi beragama sebagai filter arus masuknya paham dan
ideology yang tidak sesui dengan kehidupan berbangsa.
29

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Islamic Studie di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-


Interkonektif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abd Allâh al-Shaybânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin
Hanbal, ed. Shu‘ayb Al-Arna’ût. Kairo: Mu’assasah Qurttubah, t.th.
Hadist, No.23013, Vol.5
Ahmad bin Shu‘ayb b, ‘Alî Abû ‘Abd Al-Rahmân Al-Khurasânî Al-Nasâ’î. 1986.
Al-Mujtabâ min Al-Sunan. ed. ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah. Halb: Maktab
Al-Matbû’ât Al-Islâmiyyah. Hadist, No.3057, Vol.5
Akhmadi, Agus. 2019. Religious Moderation In Indonesia’s Diversity. Jurnal
Diklat Keagamaan, Vol.13, No.2
al-Bayhaqî, al-Jâmi’ li Shu‘ab al-Îmân. Hadist, No.3600, Vol.5
al-Syaibani, Omar Mohammad. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta. Bulan
Bintang.
al-Qardhawiy, Yusuf, Fi Fiqh Al-Aulawiyat. 1996. Dirasa Jadidah fi Dau’ Al-
Qur’an wa Al Sunnah. Jakarta. Rabbani Press.
Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. hal.18
Anwar, Rosihan. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung. Pustaka Setia.
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadist: Dari Konsep
Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir, Vol.6, No.2
Asyur, Ibnu. 1984. At-Tahrir Wa at-Tanwir. Tunis. ad-Dar Tunisiyyah.
Aziz, Abdul. 2021. Modersi Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an (Sebuah
Tafsir Kontekstual di Indonesia). Al-Burhan Kajian Ilmu dan
Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol.21, No.02. P-ISSN: 0853-8603, E-
ISSN: 2685-0087
Azra, Azyumardi. 2017. Islam Indonesia Inklusif Vs Eksklusif: Dinamika
Keberagamaan Umat Muslimin. Jakarta. Makalah untuk Pengajian
Ramadhan PP Muhammadiyah, Kampus Universitas Muhammadiyah.
Choir, Tholhatul, Ahwan Fanani, dkk. 2009. Islam Dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
30

Departemen Agama RI. 2012. Moderasi Islam. Jakarta. Lajnah Pentashihan


Mushaf Al-Qur’an.
Dhoif, Syauqi. 1972. Al-Mu’jam al-Wasith. Mesir. ZIB.
Ghufron, Fathorrahman. 2016. Ekspresi Keberagamaan di Era Milenium.
Yogyakarta. RCiSoD.
Hasan, Mustaqim. 2021. Prinsip Moderasi Beragama dalam Kehidupan
Berbangsa. Jurnal Mubtadiin, https://journal.an-
nur.ac.id/index.php/mubtadii , Vol.7 No.02
Hitami, Munzir. 2020. Universalitas Nilai-Nilai Islam: Mengungkap Makna al-
Din. Jurnal Toleransi. Media Komunikasi umat Beragama, Vol.12, No.1
https://kbbi.web.id/moderasi.
Junaedi, Edi. 2019. Inilah Moderasi Beragama Perspektif Kementerian Agama.
Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol.18, No.2
Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta. Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.
Kuntowijoyo.2004. Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika.
Yogyakarta. Teraju.
Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta. Paramadina.
Masduki, Hendri. 2016. Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Perspektif
Kerukunan Antar Umat Beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem
berbangsa dan bernegara). Jurnal Sosiologi, Vol.9, No.1
Maragustam. 2015. Paradigma Revolusi Mental dalam Pembentukan Karakter
Bangsa Berbasis Sinergitas Islam dan Filsafat Pendidikan. Jurnal
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga, Vol.12, No.2
Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah Abû ‘Abd Allâh al-Bukhârî.
1987. Al-Jâmi‘ Al-Sahîh. Kairo. Dâr al-Shu’b. Hadist, No.6463, Vol.8
Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abd ‘Allâh al-Qazawaynî, Sunan Ibn Mâjah, ed.
Muhammad Fu’âd ‘Abd Al-Bâqî. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Hadist,
No.3029, Vol.2
31

Muhammad bin ‘Abd Allâh Abû‘ Abd Allâh al-Hâkim al-Naysâbûrî. 1990. Al-
Mustadrak ‘alâ Al-Sahîhayn, ed. Mustafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Atâ. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah. Hadist, No.1176, Vol.1
Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Abû al-Husayn Al-Qushayrî Al-Naysâbûrî. Al-
Jâmi’ Al-Sahîh. Beirut: Dâr al-Jayl, t.th. Hadist, No.2041, Vol.3
Muslim, Al-Jâmi‘ Al-Sahîh. Hadist, No.6955, Vol.8
Najib, Emha Ainun. Diskontinuitas Sejarah Kepemimpinan Sebagai Akar
Masalah. https://www.caknun.com/2017/diskontinuitas-sejarah-
kepemimpinan-sebagai-akar-masalah/
Nur, Afrizal dan Mukhlis. 2015. Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an:(Studi
Komparatif Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar AtTafsir).
Jurnal An-Nur. Vol.4, No.2.
Nurdin, Fauziah. 2021. Moderasi Beragama menurut Al-Qur’an dan Hadist.
Jurnal Ilmiah Al Mu’ashirah. Vol.18, No.1, Hal: 59-70, P-ISSN: 1693-
7562, E-ISSN: 2599-2619. Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi
Perspektif.
Nurul, H. Maarif. 2017. Islam Mengasihi Bukan Membenci. Bandung. PT. Mizan
Pustaka.
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta. Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Saihu et al. 2020. Religious Argumentation of Hate Speech (Critical Race and
Racism in Hate Speech Phenomena in Indonesia). International Journal of
Innovation, Creativity and Change, Vol.13, No.10
Setiyadi, Alif Cahya. 2012. Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas.
Jurnal, Vol.7, No.2
Shihab, Muhammad Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-
Qur’an. Bandung. Mizan.
Shihab, Muhammad Quraish. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam tentang
Moderasi Beragama. Jakarta. Lentera Hati.
32

Sholikhudin, Anang. 2017. Merebut Kembali Kejayaan Islam Analisis Internal


Dan Eksternal Penyebab Kemunduran Islam. Al-Murabbi. Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol.3, No.1
Suprayogo, Imam. 2005. Paradigma Pengembangan Keilmuan Pada Perguruan
Tinggi: Konsep Pendidikan Tinggi Yang Dikembangkan UIN Malang.
Malang. UIN Malang Press.
Suradi, dkk. Religious Tolerance in Multicultural Communities : Towards a
Comprehensive Approach in Handling Social Conflict. Journal of Law and
Culture, Vol.2
Truna, Dody S. 2010. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme.
Jakarta. Kementerian Agama.
Yusuf, Achmad. 2018. Moderasi Islam Dalam Dimensi Trilogi Islam (Akidah,
Syariah, dan Tasawuf). Jurnal al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama
Islam. Vol.3, No.2
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. 2010. Moderasi, Keutamaan,
dan Kebangsaan. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai