MODERASI BERAGAMA
Makalah ini disusun memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam
Dosen Pengampu :
Oleh :
Kelompok 7
1. Amelya Alfiatur Rochmaniah (60222021)
2. Darwoto (60222039)
3. Anggit Galuh Puji Suryadi (60222022)
Penulis,
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3.1.Kesimpulan ......................................................................................... 27
3.2.Saran ................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1
Truna, Dody S. 2010. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme.
Jakarta. Kementerian Agama.
2
Akhmadi, Agus. 2019. Religious Moderation In Indonesia’s Diversity. Jurnal
Diklat Keagamaan 13 (2)
2
memiliki kearifan dan tradisi yang berbeda menjadi corak praktik ajaran ajaran
agama yang khas. Yang nampaknya perbedaan ini menjadi sebuah kewajaran
sebagai rahmat dari hukum natural ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang lengkap dan sempurna, dan
sekaligus sebagai sumber hukum yang pertama bagi umat Islam. Al-Qur’an
merupakan sebuah kitab yang menjadi petunjuk kepada siapa saja yang
membutuhkannya, menjadi contoh dan pengajaran kepada siapa saja yang mau
mentadabbur-nya[3].
Moderasi Islam (Islam Wasatiyah) ini menjadi diskusi khusus yang sangat
hangat. Dalam mengartikulasikan ajaran Islam kadang muncul pandangan ekstrem
oleh sebagian kelompok, sehingga kadang memicu aksi – aksi intoleran dan
kekerasan. Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak.
Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri
– sendiri dalam praktik dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah
menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Keanekaragaman dalam
kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah[4]. Termasuk dalam
hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab – kitab suci,
penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.
Konsep moderasi beragama sampai kapan pun akan tetap dianggap sangat
relevan, karena sikap ini dinilai sebagai pendorong bagi sikap beragama yang
seimbang antara praktik keagamaan sendiri (eksklusif) dan praktik keagamaan
orang lain yang memiliki keyakinan berbeda (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik keagamaan itu akan menjadikan seseorang tidak menjadi
ekstrem yang berlebihan, fanatik dan revolusioner dalam beragama. Moderasi
beragama merupakan solusi terhadap dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub
3
Anwar, Rosihan. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
4
Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an.
Bandung. Mizan.
3
ekstremis ultra-konservatif atau sayap kanan di satu sisi dan juga di sisi lain
liberal atau ekstrem kiri[5].
Sikap keras dan intoleran tentu akan mengubur tujuan utama ajaran Islam
dalam memelihara jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal. Padahal, jejak rekam
perilaku Nabi Muhammad SAW yang tercatat dalam berbagai literatur hadis
menunjukkan potret yang berbeda. Nabi Muhammad SAW, sebagaimana misi
utamanya diutus oleh Allah, mempunyai peran untuk menyempurnakan akhlak
atau kebaikan. Dalam posisi ideal inilah, merujuk kepada Nabi untuk melihat
aspek moderasi Islam (wasatîyah) menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
5
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2019), 18.
6
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep
Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir 6(2).
4
Satu dari ancaman terbesar yang bisa memecah belah sebuah bangsa
diantaranya adalah konflik agama, apalagi menggunakan cara – cara kekerasan.
Bagaimanapun, bagi setiap orang yang fanatiknya berlebihan terhadap agama, ia
dipahami sebagai sesuatu yang suci, mulia, sakral dan keramat. Bahkan jika dalam
kenyataan Agama datang ke bumi dan membawa Bermanfaat bagi kemanusiaan,
tetapi dia akan dapat menunjukkan wajahnya berbeda ketika diwujudkan dengan
pikiran fanatik dan penuh emosi. Bukannya berbuat baik, pemeluk agama Fanatik
bisa terjebak dalam sikap buruk menyinggung semangat agama itu sendiri[8].
7
Azyumardi Azra, Islam Indonesia Inklusif Vs Eksklusif: Dinamika
Keberagamaan Umat Muslimin, Makalah untuk Pengajian Ramadhan PP
Muhammadiyah, Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, 6 Juni 2017.
8
Saihu et al., “Religious Argumentation of Hate Speech (Critical Race and
Racism in Hate Speech Phenomena in Indonesia),” International Journal of Innovation,
Creativity and Change 13, no. 10 (2020): 1176–94. Edi Junaedi, “Inilah Moderasi
Beragama Perspektif Kementerian Agama”, Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol.18,
No.2, 2019, 394.
5
1.2.Tujuan
1.3.Manfaat
1.4.Sistematika Penulisan
Sumber informasi berasal dari literatur yang berkaitan dengan riset yang
dibahas, baik berbentuk buku rujukan, hasil riset, ataupun jurnal ilmiah. Tata cara
pengumpulan informasi merupakan pencarian dokumen dari sumber terkini yang
relevan serta bibliografi. Metode analisis aktivitas analisis informasi model ini
antara lain: reduksi informasi, penyajian informasi, serta penarikan/ validasi
kesimpulan. Informasi yang diperoleh dicoba analisis isi tema buat menciptakan
jawaban( pemecahan) yang sesuai.
6
BAB II
ISI MAKALAH
Kata moderasi berasal dari bahasa latin moderatio, yang artinya sedang
(tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti pengendalian diri
(dari sikap memiliki kelebihan dan kekurangan)[9]. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki dua arti kata – kata moderasi yaitu: 1. Mengurangi
kekerasan dan 2. Menghindari hal-hal yang ekstrem. Ketika dikatakan: ‘orang ini
bersikap moderat’, frase itu berarti orang itu bersikap wajar, biasa – biasa saja,
dan tidak ekstrem.
Dalam bahasa inggris disebut moderation yang sering dipakai dalam arti
average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (ketidak-
berpihakan). Secara umum, moderat berarti mengutamakan keseimbangan terkait
keyakinan, moral, dan perilaku (watak) baik ketika memperlakukan orang lain
sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara [11].
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau
wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-
tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip
9
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama..., 15.
10
Lihat https://kbbi.web.id/moderasi.
11
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
7
wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah
diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya
menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti
memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem. Kata wasith
bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata 'wasit' yang
memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) Penengah, perantara (misalnya dalam
perdagangan, bisnis); 2) Pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan
3) Pemimpin di dalam suatu pertandingan[12].
Sedangkan makna yang sama juga terdapat dalam mu’jam al-wasit, yaitu
adulan dan khiyaran yang sederhana dan terpilih[13]. Ibnu Asyur mendefinisikan
kata wasath dengan dua arti. Pertama, definisi etimologis, kata wasath berarti
sesuatu yang di tengah atau sesuatu yang memiliki dua ujung yang ukurannya
sebanding. Kedua, definisi terminologis, makna wasath adalah nilai-nilai Islam
yang dibangun atas dasar pola pikir lurus dan tengahan, jangan berlebihan dalam
hal tertentu[14].
12
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
13
Syauqi Dhoif, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: ZIB, 1972), 1061.
14
Ibnu 'Asyur, at-Tahrir Wa at-Tanwir, (Tunis: ad-Dar Tunisiyyah,1984), 17-18.
15
Tholhatul Choir, Ahwan Fanani, dkk, Islam Dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 468.
8
Sifat ini telah menjadikan umat Muslim sebagai umat moderat; moderat dalam
semua hal, agama atau sosial, di dunia[16].
b. Beragama
16
Afrizal Nur dan Mukhlis, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an:(Studi Komparatif
Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar AtTafsir)”, Jurnal An-Nur, (Vol. 4, No. 2
Tahun 2015), 206. Lihat juga Achmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam Dimensi Trilogi Islam
(Akidah, Syariah, dan Tasawuf)”, Jurnal al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
volume III (2), 2018, 214-215.
9
ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi
terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak
berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-
tengah, menjaga hati, menjaga perilaku diri, menjaga seisi negeri dan menjaga
jagat raya ini.
Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem,
baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran
kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama,
merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Kalau
dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu cenderung
menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak
sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem
(centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi
luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah.
c. Moderasi Beragama
Firman Allah SWT dalam surat Al Baqaroh ayat 143 yang Artinya : “Dan
demikian Kami telah menjadikan kamu umatan wasatan agar kamu menjadi
saksi-saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul ( Muhammad ) menjadi saksi
atas perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu menjadi
kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
17
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
11
Dari ayat tersebut ditas dapat kita ketahui bahwa Allah telah menjadikan
umat islam sebagai “Ummatan wasathan” sebagai umat yang adil dan terpilih,
maksudnya adalah bahwa umat islam telah memiliki kesempurnaan ajaran agama,
paling baik akhlaknya dan amal yang paling utama. Oleh Karena itu kita sebagai
umat islam yang telah terpilih harusnya menjadi agen penyebar kedaiaman islam
rohmatan lil alamin.
Perubahan besar dalam pikiran manusia menyentuh tiga aspek, yaitu cara
berpikir, pola keyakinan, dan pola perasaan spiritualitas yang mengarah pada
perilaku erat kaitannya dengan revolusi mental. Landasan ketiga dari pola tersebut
adalah nilai-nilai yang ditanamkan menjadi satu seseorang, yaitu tradisi budaya,
falsafah bangsa dan agama. Adanya karakter mental seseorang juga dipengaruhi
oleh berbagai faktor, termasuk lingkungan, pendidikan, keturunan dan budaya
global. Mental mengacu pada pikiran manusia yang kemudian bermanifestasi
melalui cara berpikir, perilaku dan perasaan serta keyakinan sehingga melahirkan
suatu tindakan.
18
Maragustam, “Paradigma Revolusi Mental dalam Pembentukan Karakter
Bangsa Berbasis Sinergitas Islam dan Filsafat Pendidikan”, Jurnal Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Vol.XII, (2), 2015,
161.
12
a. Prinsip Universalitas
Dalam konteks masa kini, yang perlu menjadi perhatian adalah : Pertama,
bagaimana mengembangkan pola pikir yang terbuka (open mind) yang dapat
menimbang, memilih, dan memilah berbagai entitas, realitas, dan gejala dalam
dunia global saat ini. Kedua bagaimana menumbuhkan kemampuan kritik-diri
(self critique) terhadap diri, tradisi (waratsah), budaya, dan peradaban sendiri agar
19
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008),
434.
20
Omar Mohammad Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), 520.
13
b. Prinsip Integrasi
21
Munzir Hitami, "Universalitas Nilai-Nilai Islam: Mengungkap Makna al-Din",
Jurnal Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 12, No. 1, Januari -Juni 2020,
45-46.
22
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi dan Etika,
(Yogyakarta: Teraju, 2004), 49.
23
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Pada Perguruan
Tinggi: Konsep Pendidikan Tinggi Yang Dikembangkan UIN Malang, (Malang: UIN
Malang Press, 2005).
24
M. Amin Abdullah, Islamic Studie di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), vii.
14
c. Prinsip Multukuralisme
25
Fathorrahman Ghufron, Ekspresi Keberagamaan di Era Milenium,
(Yogyakarta: RCiSoD, 2016), 118-119.
26
Suradi, dkk., “Religious Tolerance in Multicultural Communities : Towards a
Comprehensive Approach in Handling Social Conflict”, Journal of Law and Culture, (2),
2020, 229–245.
15
27
Hendri Masduki, "Pluralisme dan Multikulturalisme dalam Perspektif
Kerukunan Antar Umat Beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan
bernegara)", Jurnal Sosiologi, Vol. 9 | No. 1, Juni 2016, 20-21.
28
Muhammad Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama, 43.
16
Islam rohmatan lil alamin memiliki ciri-ciri moderasi beragama yang haruss
tertanam dalam jiwa diantaranya :
Sebagaimana pendapat Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft, kalau
"moderasi" merupakan pemahaman yang mengambil jalur tengah, ialah
pemahaman yang tidak ekstem kanan dan tidak pula ekstrem kiri[29].
Umat islam tidak boleh hanya berpedoman teks saja kemudian melupakan
konteks sehingga menjadikan pemahaman yang ekstrim , radikal, kaku dan keras
(fundamentalis ) sehingga bersifat egois menganggap yang lain jika tidak serupa
dengan pemahamnaya dianggap hal keliru dan salah. Tidak juga pula umat islam
hanya mengedepankan konteks saja mengesampingkan teks ajaran agama sebagai
podoman (Al-Quran dan Hadits) sehingga mengjadikan pemahanya (liberalisme).
bebas tanpa arah liar sesuka hati tak terkendali.
Seseorang muslim wajib pantaslah taat kepada Allah SWT sebagai Tuhan-
nya, dengan menjalankan ibadah sholat , puasa zakat , haji serta melaksanakan
ibadah ibadah sunnah lainnya, namun hendaknya seseorang muslim wajib paham
bahwa tidak dibenarkan bila memutuskan aktivitas dunia dan menjauhkan dirinya
29
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keutamaan, dan
Kebangsaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 13
17
dengan masyarakat. Keduanya haruslah simbang antara urusan dunia serta urusan
akhirat serta tidak mendominasi dari keduanya.
b. Tahwazun (Seimbang)
Istilah I’tidal berasal dari kata bahasa arab yaitu adil yang berarti sama,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adil berarti tidak berat sebelah, tidak
sewenang wenang.
30
Alif Cahya Setiyadi, Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas., Jurnal
Vol. 7, No. 2, Desember 2012, h.252
18
d. Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh jika ditinjau dari bahasa arab berasal dari kata “samhun” yang
berarti memudahkan. Sedangkan menmurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
toleransi berarti: bersifat menghargai, membiarkan, membolehkan, sesuatu
berbeda ataupun berlawanan dengan pendirian sendiri.
Dalam hal beragama tidak dibenarkan toleransi dalam ranah keimanan dan
ketuhanan. Tata cara ibadah harus sesui dengan ritual dan tempatnya masing-
masing. Moderasi memandang bahwa setiap agama benar menurut kepercayaan
bagi para penganutnya masing-masing dan tidak dibenarkan menganggap bahwa
semua agama itu benar dan sama. Toleransi hanya boleh dilakukan dalam ranah
sosial dan kemanusiaan untuk menjaga kerukunan dan persatuan.
e. Musawah (Persamaan)
31
Departemen Agama RI, Moderasi Islam, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Quran, 2012), hlm. 20-2
32
Nurul H. Maarif, Islam Mengasihi Bukan Membenci, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2017), hlm. 143
19
pangkat karena semuanya telah ditentukan oleh sang pencipta manusia tidak dapat
hak untuk merubah ketetapan yang telah di tetapkan.
Firman Allah SWT dalam Surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya sebagai
berikut :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”l. (QS Al Hujurat :
13)
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa semua manusia memiliki personal yang
sama diantara manusia hanya disisih Tuhanlah manusia berbeda dilihat dari amal
dan perbuatan yang dilakukannya.
Jika kita meninjau sejarah nusantara bahwa para wali songgo sebagai
penyebar agama islam juga sangat intens mengajarkan persamaan derat tidak ada
yang lebih tinggi mulia derat seseorang diantara sesama manusia, tidak ada
kawula dan tidak ada gusti dirubah menjadi Rakyat yang berasal Dari kata Roiyat
yang berarti pemimpin yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama
berkerjasama saling bahu membahu sehingga disebut masyarakat dan istilah ini
digunakan sampai saat ini[33].
f. Syuro (Musyawarah)
Istilah Syuro berakar dari kata Syawara – Yusawiru yang memiliki arti
memberikan penjelasan, menyatakan atau mengambil sesuatu. Bentuk lain dari
kata syawara ialah tasyawara yang berarti perundingan, saling berdialog bertukar
ide.
Masalah”, https://www.caknun.com/2017/diskontinuitas-sejarah-kepemimpinan-sebagai-
akar-masalah/, Diakses pada selasa, 14 September 2021, 17.19 WIB
20
g. Ishlah (Reformasi)
Islah berakar dari kosa kata bahasa arab yang berarti memperbaiki atau
mendamaikan. Dalam konsep moderasi, islah memberikan kondisi yang lebih baik
untuk merespon perubahan dan kemajuan zaman atas dasar kepentingan umum
dengan berpegang pada prinsip memelihara nilai-nilai tradisi lama yang baik dan
menerapkan nilai-nilai tradisi baru yang lebih baik demi kemaslahatan bersama.
34
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, h. 18
21
perlu diprioritaskan dari pada kasus-kasus yang kurang utama lainnya tergantung
pada waktu dan durasi implementasi[35].
Jika kita mundur kebelakang menilik sejarah masa lalu menurut Anang
Solikhudin, bahwa salah satu penyebab umat islam mengalami kemunduran salah
satunya di pengaruhi oleh kemunduran berfikir umat islam[36]. Sifat pasif dan
statis menjadi penyakit utama di kalangan umat islam di masa lalu, hal ini di
pengaruhi oleh doktrin ajaran aliran kalam jabariyah yang di manfaatkan oleh
para penjajah yang berusaha menghancurkan islam sehingga umat islam memiliki
pendapat bahwa apa yang terjadi pada pada umat Islam adalah sudah takdir
kehendak Tuhan manusia dianggap tidak berdaya menentukan nasibnya sendiri.
35
Yusuf al-Qardhawiy, Fi Fiqh al-Aulawiyat, Dirasa Jadidah fi Dau’ Al-Qur’an
wa al Sunnah”, (Jakarta: Rabbani press, 1996),
36
Anang Sholikhudin, “Merebut Kembali Kejayaan Islam Analisis Internal Dan
Eksternal Penyebab Kemunduran Islam”, Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Volume 3, Nomor 1, Desember 2017, hal . 136
22
j. Tahadhur (Berkeadaban)
Al-Qur’an dan Hadis telah disepakati oleh para pemuka Islam bahwa
keduanya merupakan sumber dan referensi utama dalam merujuk semua masalah
yang dihadapi dalam semua lini kehidupan. Hal ini dilakukan mulai semenjak
generasi masa Rasulullah hingga sampai kapan saja selama umat Islam masih
hidup di permukaan bumi ini. Begitu pula halnya dengan masalah moderasi
23
Kata dan istilah moderasi beragama bukanlah berasal dari bahasa Arab
yang merupakan bahasa Al-Quran dan Hadis akan tetapi kata asing yang sudah
terserap ke dalam bahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah
kata moderasi beragama terdapat di dalam Al-Quran dan Hadist yang keduanya
merupakan sumber pegangan utama umat Islam di dunia ?
Jawabannya adalah Al-Quran dan Hadist bukan kamus istilah akan tetapi
pedoman hidup bagi umat manusia. Yang disaji oleh Al-Quran dan Hadist adalah
bukan lafadhnya akan tetapi substansi dan maknanya yang harus dicari, dan digali
oleh pemeluknya kemudian dikembangkan untuk kepentingan hidup manusia
sesuai menurut tempat dan waktu, disinilah letaknya kedinamisan ajaran Islam.
1. HR. Bukhari
Dari Buraydah Al-Aslamî berkata: “pada suatu hari, aku keluar untuk
suatu keperluan. Tiba-tiba Nabi saw. berjalan di depanku. Kemudian beliau
menarikku, dan kami pun berjalan bersama. Ketika itu, kami menemukan seorang
lelaki yang sedang sholat, dan ia banyakkan ruku’ dan sujudnya. Nabi bersabda:
“Apakah kamu melihatnya sebagai orang yang riya’ ?”. Maka aku katakan: “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau melepaskan tanganku dari
tangannya, kemudian beliau menggenggam tangannya dan meluruskannya serta
37
Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah Abû ‘Abd Allâh al-
Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Sahîh, Hadist no. 6463, Vol. 8 (Kairo: Dâr al-Shu’b, 1987), hal. 122.
26
4. HR. Muslim
Jâbir bin Samurah berkata, “aku telah shalat bersama Nabi saw. berkali-
kali, dan (aku dapati) sholatnya dalam pertengahan dan khutbahnya juga
pertengahan”[40].
38
Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abd Allâh al-Shaybânî, Musnad al-Imâm Ahmad bin
Hanbal, ed. Shu‘ayb al-Arna’ût, hadis no. 23013, Vol. 5 (Kairo: Mu’assasah Qurttubah,
t.th), hal. 350; Muhammad bin ‘Abd Allâh Abû‘ Abd Allâh al-Hâkim al-Naysâbûrî, al-
Mustadrak ‘alâ alSahîhayn, ed. Mustafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Atâ, hadis no.1176, Vol. 1
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), hal. 457; al-Bayhaqî, al-Jâmi’ li Shu‘ab al-
Îmân, hadist no. 3600, Vol. 5, hal. 393.
39
Ahmad bin Shu‘ayb b. ‘Alî Abû ‘Abd Al-Rahmân Al-Khurasânî Al-Nasâ’î, Al-
Mujtabâ min Al-Sunan, ed. ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Hadis no. 3057, Vol. 5 (Halb:
Maktab Al-Matbû’ât Al-Islâmiyyah, 1986), hal. 268; Muhammad bin Yazîd Abû ‘Abd
‘Allâh alQazawaynî, Sunan Ibn Mâjah, ed. Muhammad Fu’âd ‘Abd Al-Bâqî, hadis no.
3029, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hal. 1008.
40
Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Abû al-Husayn Al-Qushayrî Al-Naysâbûrî,
Al-Jâmi’ Al-Sahîh, No. Hadist 2041, Vol. 3 (Beirut: Dâr al-Jayl, t.th.), hal. 11.
41
Muslim, Al-Jâmi‘ Al-Sahîh, hadis no. 6955, Vol. 8, hal. 58.
27
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan Hadist sebagai sabda Nabi Muhammad
SAW , keduanya merupakan pedoman hidup dan sumber rujukan umat Islam
dalam memutuskan segala perkara yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
3.2.Saran
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin ‘Abd Allâh Abû‘ Abd Allâh al-Hâkim al-Naysâbûrî. 1990. Al-
Mustadrak ‘alâ Al-Sahîhayn, ed. Mustafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Atâ. Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah. Hadist, No.1176, Vol.1
Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Abû al-Husayn Al-Qushayrî Al-Naysâbûrî. Al-
Jâmi’ Al-Sahîh. Beirut: Dâr al-Jayl, t.th. Hadist, No.2041, Vol.3
Muslim, Al-Jâmi‘ Al-Sahîh. Hadist, No.6955, Vol.8
Najib, Emha Ainun. Diskontinuitas Sejarah Kepemimpinan Sebagai Akar
Masalah. https://www.caknun.com/2017/diskontinuitas-sejarah-
kepemimpinan-sebagai-akar-masalah/
Nur, Afrizal dan Mukhlis. 2015. Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an:(Studi
Komparatif Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar AtTafsir).
Jurnal An-Nur. Vol.4, No.2.
Nurdin, Fauziah. 2021. Moderasi Beragama menurut Al-Qur’an dan Hadist.
Jurnal Ilmiah Al Mu’ashirah. Vol.18, No.1, Hal: 59-70, P-ISSN: 1693-
7562, E-ISSN: 2599-2619. Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi
Perspektif.
Nurul, H. Maarif. 2017. Islam Mengasihi Bukan Membenci. Bandung. PT. Mizan
Pustaka.
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta. Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Saihu et al. 2020. Religious Argumentation of Hate Speech (Critical Race and
Racism in Hate Speech Phenomena in Indonesia). International Journal of
Innovation, Creativity and Change, Vol.13, No.10
Setiyadi, Alif Cahya. 2012. Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas.
Jurnal, Vol.7, No.2
Shihab, Muhammad Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-
Qur’an. Bandung. Mizan.
Shihab, Muhammad Quraish. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam tentang
Moderasi Beragama. Jakarta. Lentera Hati.
32