Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM

“Kajian Islam Keindonesiaan”

Disusun Untuk Memenuhi salah-satu Tugas dari Mata Kuliah

Pendekatan Dalam Kajian Islam

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Faizah Binti Awad, M. Pd

Oleh:

Vintia Lestari

2023040202015

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS PASCASARJANA

ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. berkat rahmat dan karunia-

Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah

metode pendekatan pengkajian dalam islam “kajian Islam Keindonesiaan”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan

banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini

dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan

terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. oleh karena itu, kami mengharap

segala bentuk saran serta masukan baik kritik yang membangun dari berbagai pihak akhirnya

saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia

pendidikan.

2
DAFTAR ISI

SAMPUL……………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………....iii

A. BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1

1. Latar Belakang………………………………………………………....1

2. Rumusan Masalah……………………………………………………...2

3. Manfaat………………………………………………………………...2

B. BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………......3

1. Apa yang dimaksud dengan penelitian tindakan………………………3

2. Apa saja jenis-jenis penelitian tindakan……………………………….6

3. Bagaimana metode penelitian dalam penelitian tindakan…………….16

C. BAB III PENUTUP………………………………………………………….23

1. kesimpulan……………………………………………………………23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini agama memiliki posisi dan peranan yang

sangat penting. Agama dapat berfungsi sebagai faktor motivasi (pendorong untuk

bertindak yang benar, baik, etis, dan maslahat), profetik (menjadi risalah yang

menunjukan arah kehidupan), kritik (menyuruh pada yang ma·ruf dan mencegah dari

yang mungkar), kreatif (mengarahkan amal atau tindakan yang menghasilkan manfaat

bagi diri sendiri dan orang lain), intergratif (menyatukan elemen-elemen yang rusak

dalam diri manusia dan masyarakat untuk menjadi lebih baik), sublimatif (memberikan

proses penyucian diri dalam kehidupan), dan liberatif (membebaskan manusia dari

berbagai belenggu kehidupan).1Agama sebagai suatu bentuk kepercayaan, diyakini

manusia sebagai sistem nilai yang harus diejawantahkan ke dalam perilaku sosial

tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman historis manusia, baik sebagai individu maupun

kelompok. Di dalam sebuah masyarakat, agama menjadi salah satu faktor penunjang

kehidupan terutama dalam kehidupan spiritual. Walaupun tidak menutup kemungkinan di

kemudian hari agama menjadi tradisi yang bercampur dengan kebiasaan lama yang telah

hidup dalam suatu masyarakat. Kebiasaan tersebut diwarisi secara turun-temurun

sehingga tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja. Di sisi lain, agama datang

belakangan dengan membawa nilai-nilai baru yang menuntut penganutnya menaati

sebuah perintah dan menjauhi larangannya. Joachim Watch mengemukakan adanya

hubungan interdependensi dialektis antara agama dan masyarakat. Dengan kata lain,

agama berpengaruh besar terhadap pembentukan dan pengembangan masyarakat, dan

masyarakat dapat pula memberikan nuansa, rasa, dan sikap keagamaan spesifik yang

terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial.2 Indonesia merupakan sebuah

4
negara yang terbentuk dari berbagai macam suku, ras, etnik, agama serta budaya.

Kekuatan yang majemuk tersebut tentunya dapat menjadi sebuah kekuatan sosial dan

sebuah kumpulan yang indah apabila antara satu dengan yang lainnya dapat saling bahu-

membahu, saling bekerjasama untuk dapat membangun negara. Namun dilain pihak,

kemajemukan tersebut akan menjadi sebuah kekuatan penghancur dari dalam apabila

keragaman yang ada tidak dibina dan dikelola secara tepat. Keragaman kultur dan agama

yang menjadi latar belakang dan menjadi suatu mozaik yang indah bagi negeri ini, yang

sudah ada semenjak negara ini dilahirkan dapat memicu konflik dan kekerasan yang

dapat menggoyahkan dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan negara Indonesia.

Masalah tersebut semakin mengkristal ketika dikaitkan dengan fenomena meletusnya

berbagai kerusuhan bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam

beberapa tahun terakhir semenjak 1996.3 Indonesia dengan memiliki berbagai macam

suku, ras, etnik, agama secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural.

Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah

negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk.4 Multikulturalisme meliputi

sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui

seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana

sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Namun, multikulturalisme bukan merupakan cara pandang yang menyamakan

kebenaran-kebenaran lokal, melainkan justru mencoba membantu pihak-pihak yang

berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lan terhadap

perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada, agar tercipta perdamaian dan dengan

demikian kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia. Bagi masyarakat

yang bisa memahami keberadaan agama dari segi sosiohistoris, ajaran agama yang telah

melahirkan tradisi baru dalam masyarakat tersebut merupakan bukti bahwa agama tidak

5
menolak tradisi secara keseluruhan. Sebaliknya agama bisa memberikan ruang kepada

nilai-nilai lokal yang dianggap baik. Lalu bagaimana seharusnya hubungan antara agama

dan tradisi yang hidup dalam masyarakat, khususnya warga negara Indonesia yang kaya

akan tradisi dan budaya? Artikel ini akan mencoba membahas permasalahan peran

agama dalam masyarakat multikultural.

B. Rumusan Masalah

1. Apa konsep islam keindonesiaan?

2. Bagaimana peran agama islam dan kebudayaan?

C. Manfaat

1. Bagaimana konsep islam keindonesiaan?

2. Bagaimana peran agama islam dan kebudayaan?

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Islam Keindonesiaan

Islam Keindonesiaan adalah Islam gaya dan khas Indonesia, yang memberikan

pandangan-pandangan penting tentang situasi dan kondisi kebangsaaan Indoensia yang

dibarengi dengan nilai-nilai keislaman yang berorientasi kepada alur perdamaian,

keadilan, menghargai kemajemukan pluralisme, toleransi dan lain sebagainnya dalam

sebuah negara yang majemuk. Islam Inonesia membentuk karekter dan memberikan

pandangan khas terkait pentingnya pembangunan yang berkesesuaian dengan nilai-nilai

ajaran Islam (al-Quran dan Hadits). Beserta doktrin pembaharuan yang dipandang

penting. Islam Keindonesiaan secara genologis dan sosiologis memberikan padangan

penting dalam arus modernisme Syam, dalam hal ini, arus modernisme termanifestasi

secara kongkrit dalam demokrasi. Islam Keindonesiaan, tanpa terkecuali memberikan

pandangan dan penerimaan secara sadar terhadap sistem negara Indonesia, tanpa harus

membincangkan secara tegang permasalahan-permasalahan yang mengarah kepada

konflik. Sehingga dapat dipahami bahwa konteks pemahaman Islam Keindonesiaan

merupakan sebuah watak pemikiran yang yang khas sesuai adat, kultur dan budaya

Indonesia secara umum. Islam Keindonesiaan merupakan refleksi kritis terhadap

pemahaman Islam dan Indonesia. Islam keindonesiaan dipandang sebagai komitmen

teologi inklusif ini yang merupakan dari ajaran pokok Islam Keindonesiaa mencoba

memahami realitas ini dengan sebuah gagasan yang mencoba menintegrasikan

komponen-komponen yang tidak seharusnya dibedakan antara satu dan lainnya, sepeti

masalah ilmu dan agama. Sebab kedua aspek ini secara prinsipnya berintegrasi dan

7
saling kolerasi. Teologi inklusif memahami adanya sebuah pengakuan hak mendasar

kepada semua kalanga, termasuk kepada orang yang berbeda pendapat atau agama.

Caknur memahami bahwa ide dasar persaudaraan itu mesti ditarik kepada semua

kalangan, tanpa terkecuali termasuk dalam memahami ukhuwah Islamiyyah. Pendapat

seperti ini pada dasarnya tidak sejati bahwa idak akan terwujud kecuali jika seluruh umat

Islam menjadi sama dan satu dalam segala hal alias monolitik, sebab kehendak ini terlalu

memaksakan. Memelihara Sikap keterbukaan dengan cara menratifikasi argumentasi

rasional tentang kebenaran dipahami Caknur sebagai salah satu cara menjaga tegaknya

ukhuwah Islamiyah kepada semua kalangan secara nyata, bukan hanya sebagai slogan

belaka, tetapi sebuah realitas kehidupan, tanpa mengorbankan kreativitas dan pluralitas

yang pada mereka. Toleransi dalam perspektif Islam Keindonesiaan ini merupakan

sebuah doktrin terbuka untuk memberikan nuansa damai dan perdamaian di tengah-

tengah kemajemukan bangsa Indonesia yang plural; dipenuhi oleh aspek-aspek

perbedaan. Kondisn keberagaman ini menjadi alasan bagi Caknur untuk menarik simpul

toleransi ini kepada narasi.

Perdaban dalam kesempatan lain dipahami Caknur merupakan tujuan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Caknur yang mencoba mengukuhkan tradisi keislaman dan

narasi keindonesiaan ini memberikan panandangan yang cukup mengejutkan terkait

tolerasnsi. Doktrin Islam keindoneiaan ini diupayakan untuk membangun kualitas bangsa

yang unggul, Caknur dalam hal ini menyebut bahwa tolerasni diupayakan untuk

membangun masyarakat madanai (civil society) sebagai bagian yang paling penting.

Pendapat didasari dengan permasalahan yang kurang sejati tentang toleransi, banyak

masyarakat di Indonesia yang benar-benar belum memahami tolerasni itu. Caknur

memberikan pemahaman secara rinci terkait toleransi di Indonesia yang mengatakan

bahwa, Agama Islam merupakan anutan Mayoritas di Indonesia, dalam hal ini agama-

8
agama lain tidak mendapatkan kesulitan, tetapi sebaliknya, jika agama mayoritas bukan

muslim, dan muslim menjadi minoritas, mereka selalu mengalami kesulitan yang tidak

kecil, kecuali di negara-negara demokratis di Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih

memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka. Dengan demikian, paham

toleransi ini belum menadpatkan tempat yang sejati dan nyaman. Terkadang alur

toleransi ini masih pilah-pilah secara geografis-sosiologis yang dipengaruhi oleh

lingkungan dan adat yang berbeda beda. Di sini dapat disimpulkan bahwa toleransi

masih menjadi permasalahan yang memerlukan pemecahan masalah yang sangat serius,

pepaduan nilai Islam dan nafas keindonesiaan (kebangsaan) yang tengah gelisah dalam

memahami alur moderenisme ini membuat sulit dan gelisah—dalam memahami narasi

tekstual dan kontekstual antara Islam dan Keindonesiaan ini paling tidak argumentasi

caknur dalam memahami toleransi ini memberikan pijakan baru bangi penguatan situasi

kebangsaan secara utuh. Caknur memahami bahwa toleransi (yang didasari dengan

doktrin Islam) dengan sajian pendapat yang mengajurkan agar berprilaku toleran

terhadap penganut agama lain, karena Nabi Muhammad sendirimengajarkan berlaku

toleran. Tetapi bersikap tegas dan keras kepada orang musyrik. Toleransi sebagai khas

pemikiran Islam Keindonesiaan ini memberikan pemahaman yang slektif dalam

memahami toleransi itu sendiri. Artinya toleransi yang dibangun di sini mempunyai

implikasi pemilihan, dengan cara tetap meneguhkan ajaran pokok (akidah) sebagai

pegangan dan prinsip. Caknur juga mengungkapkan bahwa Gagasan sekularisasi ini

dalam konteks keindonesiaan yang merupakan sebuah bangsa yang beragama (memeluk

multi-agama) pada prinsipnya tidak bisa dilepaskan secara total permasalahan agama dan

permasalahan duniawi, atau sebalaiknya. Indoensia mempunyai rekam jejak historis yang

sangat reflektif dalam memahami sejarah menarik kesimpulan bahwa bangsa Indonesia

tidak akan pernah bisa memisahkan kedua narasi penting ini. Sehingga dalam hal ini,

9
Caknur, yang merupakan sosok yang mengintegrasikan gagasan agama daan negara

memahami realitas psikologis-antropologis bangsa Indonesia terkait keberagamaannya.

Caknur memahami bahwa dalam hal penarikan antara wilayah yang transenden dan

tempral akan menyebabkan pelemahan itu sendiri pada permasalahan agama; dan hal ini

adalah kekeliruan. Bagi Caknur, jika pemahaman ini keliru yang akan terjadi agama akan

seperti tradisi . Dalam watak Islam Keindonesiaan tetap memberikan porsi yang cukup

banyak dalam urusan agama dan duniawi. Begitu pun Cakhur yang berupaya

mengembalikan pemahaman yang sejati ini kepada koridornya; dengan kata lain, agama

adalah agama itu sendiri sedangkan selain agama itu temporal, biasa dan tidak bisa

dijadikan sakral. Gagasan Keislaman dan keindonesiaan dalam memandang Hak Asasi

Manusia sudah jelas terintegrasi secara formal-gradual. Penyebutan demokrasi dalam

konteks HAM mengandung arti bahwa negara bertanggung jawab penuh atas tegaknya

Hak Asasi Manusia secara utuh. Peran strategis dan taktis negara diperlukan untuk

mendukung gagasan ini secara gradual-sistematis. Caknur menarik sebuah pemahaman

yang bersumber dari Al-Qur’an mendeskripsikan akan pentingnya HAM sebagai

kemestian tanpa terkecuali—pemahaman HAM yang ramai dibicarakan hari ini pada

prinsipnya menurut Caknur berasal dari ajaran Islam. Islam menetapkan bagaimana cara

menghargai manusia secara manusiawi. Dalam Islam tidak dibenarkan pembunuhan

tanpa sebab, bahkan dilarang dan tertulis dalam doktrin suci Q. S. Al-Maidah ayat 32.

‫ِبۡس ِم ٱلَّلِه ٱلَّرۡح َٰم ِن ٱلَّرِح يِم‬

ٖ ‫َبِن ِإۡس َٰٓر ِء يَل َأَّنۥُه َم ن َقَتَل َنۡف َۢس ا ِبَغۡي ِر َنۡف ٍس َأۡو َفَس‬
ٰ ‫اد يِف ٱۡل َأۡر ِض َفَك َأَمَّنا َقَتَل ٱلَّناَس ِمَج يعٗا َوَم ۡن َأۡح َياَه ا‬

‫َفَك َأَمَّنٓا َأۡح َيا ٱلَّناَس ِمَج يعٗۚا َو َلَق ۡد َج ٓاَءۡت ُه ۡم ُرُس ُلَنا ِبٱۡل َبِّيَٰن ِت َّمُث ِإَّن َك ِث ٗريا ِّم ۡن ُه م َبۡع َد َٰذ ِلَك يِف ٱۡل َأۡر ِض َلُم ۡس ِرُفوَن‬

10
Terjemahnya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:

barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)

orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia

telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan

seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)

keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu

sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

B. Peran Agama Islam Dalam Kebudayaan

Agama, dalam perspektif sosiologis menurut Casram, memiliki peran dan fungsi

ganda, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Maksudnya adalah, peran

agama secara konstruktif akan membuat ikatan agama menjadi lebih ketat, bahkan sering

melebihi ikatan darah dan hubungan nasab atau ketururnan. Maka karena agama, sebuah

komunitas atau masyarakat akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian yang utuh dan

bersatu. Sebaliknya, secara destruktif, agama juga mempunyai kekuatan merusak,

memporak-porandakan persatuan dan bahkan dapat memutus ikatan tali persatuan. Hal

tersebut menjadikan suatu konflik yang berlatar belakang agama sulit diprediksi

kesudahannya. Terlepas dari fungsi ganda di atas, setiap manusia yang hidup di tengah-

tengah masyarakat multiagama pasti mendambakan suasana damai dan rukun.

Kehidupan sosial masyarakat yang terbentuk atas dasar multikultural dan memiliki

semangat hidup damai dalam kemajemukan akan menjadi mungkin apabila semua

masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman tersebut, sehingga

toleransi agama menjadi sebuah keniscayaan sebagai upaya untuk menjamin stabilitas

sosial dari tuntutan ideologis ini.

11
Kehidupan sosial dan agama hendaknya tidak tersisih satu sama lain dan musti

terintegrasi ke dalam satu kesatuan yang utuh. Agama yang sudah masuk dalam

masyarakat multikultural akan mengalami proses akulturasi sehingga agama bisa

memiliki banyak versikhususnya dalam aspek implementasi. Mulai dari segi pemahaman

sampai pada arti penting agama sesuai dengan kultur masing-masing daerah atau tempat.

Dari masyarakat multikultural inilah lahir perbedaan ekspresi dalam melaksanakan

perintah agama. Peranan menjadi sangat penting ketika agama telah dianut oleh

kelompok-kelompok sosial manusia, yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup

manusia yang kompleks dalam masyarakat. Pada perkembangan yang demikian itulah

agama menjadi berkaitan langsung dengan kebudayaan dalam masyarakat sehingga

agama dan masyarakat serta kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang saling

berpengaruh.13 Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan

multikulturalisme memang masih terkesan ambigu.

Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi,

samawi dan mutlak. Dalam perkara cara dan berbagai aspeknya, namun agama-agama

tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu. Karena sakral dan mutlak

maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan

dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu,

persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat.

Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep yang sama

sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.

Perbedaan-perbedaan yang ada seharusnya disikapi sebagai kekayaan bangsa dimana

para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai, saling menghormati, saling

belajar, saling menimba, serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan

masing-masing. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan

12
sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum

beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan

rukun dan damai, bisa bersatu, saling membantu dan saling mengasihi.

Keberadaan agama merupakan pondasi, langkah awal, dan inisiasi demi terciptanya

masyarakat yang bermoral. Moral inilah yang kemudian mampu menstimulasi insting

dan nurani manusia menjadi makhluk yang beradab sehingga pada akhirnya dapat

terealisasikan kegiatan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. Dalam upaya

membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, minimal diperlukan

dua hal. Pertama, penafsiran ulang atasdoktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang

sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif.

Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja

bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan

untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama. Di sisi

lain, kerancuan atau pemaknaan sepotong-potong atas doktrin keagamaan juga

berdampak pada timbulnya sikap pengagungan terhadap kitab suci atau sering disebut

skripturalisme. Menurut Ulil Abshar Abdalla, skripturalisme bisa disebut juga dengan

“Bibliotary” atau secara terminologi berarti “ pengagungan” kitab suci secara atau

berlebihan sehingga merupai penyembahan. Hal itu disebabkan oleh wawasan teologis

yang bersifat “ultra- teosintries”. Artinya, wawasan yang menganggap bahwa tuhan

berbicara pada manusia secara langsung melalui nabi; bahwa sabda tuhan adalah superior

terhadap manusia; bahwa sabda tuhan, sejauh tidak ada alasan-alasan yang kuat dan

kokoh, harus dimengerti dalam pengertianya, yang harfiah. Akhir teks ditempatkan pada

kedudukan yang sentral dan supreme. Sementara pengalaman manusia yang rill dan

kontekstual diletakkan pada inferior, rendah dan skunder atau bahkan tak berarti sama

sekali.

13
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat

beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi

dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur

Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu

berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling

menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.16

Namun masalah-masalah perbedaan di antara agama-agama yang ada adalah sebuah

realitas, yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Perbedaan terjadi pada hampir semua

aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan

kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat

berbeda agama.

Orang beragama yang tidak toleran terhadap agama atau orang beragama yang lain,

pada dasarnya mencederai cita-cita agamanya sendiri serta menolak atau menolak

kemajemukan agama dalam lingkungan masyarakatnya. Merusak kemajemukan agama

dalam suatu masyarakat yang majemuk sama dengan menolak atau merusakkan

eksistensi masyarakat itu sendiri.

Agama sangat baik sekali dalam hal pembinaan masyarakat untuk menuju pada

kesejahteraan dan sekaligus nurani masyarakat itu sendiri. Salah satu alasan mengapa

demikian adalah pertama, agama mengajarkan nilai-nilai yang benar dan baik bagi

umatnya. Agama memoles umatnya untuk menjadi individu-individu yang baik dan

menjauhkannya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Kedua,

agama mengajarkan cara-cara untuk memperoleh tempat yang indah di akhirat nanti

sebagai tujuan akhir kehidupan.

Cara-cara ini berintikan pada pelaksanaan ajaran agama masing-masing dengan

sungguh-sunguh. Orang yang melaksanakan dengan baik akan memeroleh tempat yang

14
bernama surga, sedangkan orang yang tidak melaksanakannya akan memeroleh tempat

yang berkebalikan dengan surga, yaitu neraka. Ketiga, agama yang berfokus pada ajaran

cinta kasih mengajak umatnya untuk mengasihi sesamanya sehingga antarsesama dapat

saling menghargai dan saling tolong-menolong melalui institusi masing-masingyang

biasanya diekspresikan dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun keagamaan.

Keempat, secara tidak langsung agama mendorong terciptanya perdamaian di muka

bumi yang terdiri atas masyarakat yang majemuk melalui ajaran-ajaran tersebut. Hal ini

sejalan dengan seruan-Nya dalam al-qur’an yang berbunyi,jika allah menghendaki

manusia sebagai satu bangsa (5:48; 11:118). Selain itu, seruan untuk hidup bersama

secara damai dan universal sebagaimana dalam dua ayat (60: 8-9) misalnya, adalah bukti

autentik bahwa keragaman merupakan keniscayaan dan nash Tuhan. Sehingga sudah

sepatutnya ayat-ayat tersebut menjadikan Muslim wajib bersikap toleran dan penuh

damai sebagai sesama makhluk yang hidup di dunia berdasarkan kesetaraan (qisth) dan

kebaikan utama (birr).

‫ِبۡس ِم ٱلَّلِه ٱلَّرۡح َٰم ِن ٱلَّرِح يِم‬

‫َوَأنَزۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱۡل ِكَٰت َب ِبٱۡل َح ِّق ُمَص ِّدقٗا ِّلَم ا َبۡي َن َيَد ۡي ِه ِم َن ٱۡل ِكَٰت ِب َو ُمَه ۡي ِم ًنا َعَلۡي ِۖه َفٱۡح ُك م َبۡي َنُه م َمِبٓا َأنَزَل‬

ٗ ‫ٱلَّلُۖه َواَل َتَّتِبۡع َأۡه َوٓاَءُه ۡم َعَّم ا َج ٓاَءَك ِم َن ٱۡل َح ِّۚق ِلُك ّلٖ َجَعۡل َنا ِم نُك ۡم ِش ۡر َعةٗ َو ِم ۡن َه‬
ٗ‫اجۚا َو َلۡو َش ٓاَء ٱلَّلُه َجَلَعَلُك ۡم ُأَّم ة‬

‫َٰو ِح َد ٗة َو َٰلِكن ِّلَيۡب ُلَوُك ۡم يِف َم ٓا َءاَتٰى ُك ۖۡم َفٱۡس َتِبُق وْا ٱۡل َخ ۡي َٰر ِۚت ِإىَل ٱلَّلِه َم ۡر ِج ُعُك ۡم ِمَج ٗيعا َفُيَنِّبُئُك م َمِبا ُك نُتۡم ِفيِه َتَتِلُفوَن‬

Terjemahnya beserta tafsirnya: (Dan telah Kami turunkan kepadamu) hai Muhammad

(kitab) yakni Alquran (dengan kebenaran) berkaitan dengan anzalnaa (membenarkan apa

yang terdapat di hadapannya) maksudnya yang sebelumnya (di antara kitab dan menjadi

saksi) atau batu ujian (terhadapnya) kitab di sini maksudnya ialah kitab-kitab terdahulu.

15
(Sebab itu putuskanlah perkara mereka) maksudnya antara ahli kitab jika mereka

mengadu kepadamu (dengan apa yang diturunkan Allah) kepadamu (dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu mereka) dengan menyimpang (dari kebenaran yang telah datang

kepadamu. Bagi tiap-tiap umat di antara kamu Kami beri) hai manusia (aturan dan jalan)

maksudnya jalan yang nyata dan agama dan yang akan mereka tempuh. (Sekiranya

dikehendaki Allah tentulah kamu dijadikan-Nya satu umat) dengan hanya satu syariat

(tetapi) dibagi-bagi-Nya kamu kepada beberapa golongan (untuk mengujimu) mencoba

(mengenai apa yang telah diberikan-Nya kepadamu) berupa syariat yang bermacam-

macam untuk melihat siapakah di antara kamu yang taat dan siapa pula yang durhaka

(maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan) berpaculah mengerjakannya. (Hanya

kepada Allahlah kembali kamu semua) dengan kebangkitan (maka diberitahukan-Nya

kepadamu apa yang kamu perbantahkan itu) yakni mengenai soal agama dan dibalas-Nya

setiap kamu menurut amal masing-masing.

‫ِبۡس ِم ٱلَّلِه ٱلَّرۡح َٰم ِن ٱلَّرِح يِم‬

‫ِلِف‬ ‫ِح‬
‫َو َلۡو َش ٓاَء َرُّبَك َجَلَعَل ٱلَّناَس ُأَّم ةٗ َٰو َد ٗۖة َواَل َيَزاُلوَن ُم َت َني‬

Terjemahnya dan tafsirnya: (Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan

manusia umat yang satu) pemeluk agama yang satu (tetapi mereka senantiasa berselisih

pendapat) dalam masalah agama.

‫ِبۡس ِم ٱلَّلِه ٱلَّرۡح َٰم ِن ٱلَّرِح يِم‬

‫اَّل َيۡن َهٰى ُك ُم ٱُهَّلل َع ِن ٱَّلِذ يَن َلۡم ُيَٰق ِتُلوُك ۡم ِفي ٱلِّديِن َو َلۡم ُيۡخ ِر ُجوُك م ِّم ن ِد َٰي ِرُك ۡم َأن َتَبُّر وُهۡم َو ُتۡق ِس ُطٓو ْا ِإَلۡي ِهۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل ُيِح ُّب ٱۡل ُم ۡق ِسِط يَن‬
‫َٰٓل‬
‫ِإَّنَم ا َيۡن َهٰى ُك ُم ٱُهَّلل َع ِن ٱَّلِذ يَن َٰق َتُلوُك ۡم ِفي ٱلِّديِن َو َأۡخ َر ُجوُك م ِّم ن ِد َٰي ِرُك ۡم َو َٰظ َهُروْا َع َلٰٓى ِإۡخ َر اِج ُك ۡم َأن َتَو َّلۡو ُهۚۡم َو َم ن َيَتَو َّلُهۡم َفُأْو ِئَك‬
‫َّٰظ‬
‫ُهُم ٱل ِلُم وَن‬

16
Terjemahnya dan tafsirnya: (Allah tiada melarang kalian terhadap orang-orang yang tidak

memerangi kalian) dari kalangan orang-orang kafir (karena agama dan tidak mengusir

kalian dari negeri kalian untuk berbuat baik kepada mereka) lafal an tabarruuhum

menjadi badal isytimal dari lafal alladziina (dan berlaku adil) yaitu melakukan peradilan

(terhadap mereka) dengan secara adil. Ayat ini diturunkan sebelum ada perintah untuk

berjihad melawan mereka. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil) yang

berlaku adil. (Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian terhadap orang-orang yang

memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu)

yakni menolong orang lain (untuk mengusir kalian untuk menjadikan mereka sebagai

kawan kalian) lafal An Tawallauhum menjadi Badal Isytimal dari lafal Al Ladzina, yakni

Dia melarang kalian untuk menjadikan mereka sebagai teman-teman setia kalian. (Dan

barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang

lalim).

Indonesia adalah negara beragama. Melalui penggeneralisasian masyarakat Indonesia sebagai

pemeluk agama yang sah ² tanpa membedakan apa agamanya ² dengan mengansumsikan

upaya-upaya pengaplikasian kebaikan secara represif seperti di atas berhasil dilakukan, tentu

diversitas suku bangsa, etnik, dan budaya yang ada bukan menjadi masalah dan percik api

perselisihan. Apabila masyarakat Indonesia yang multikultural dan multietnik menghargai

adanya multireligi, saling menghormati, dan menghargai perbedaan, tentu masalah-masalah

antar agama tidak akan terjadi dan sebagai ganti, pada akhirnya akan tercipta masyarakat yang

sejahtera, adil, dan makmur di tengah perbedaan.

Betapa indahnya Negara Indonesia apabila demikian. Pemerintah (sebagai penegak

kerukunan beragama) serta masyarakat (sebagai subjek hidup beragama) harus senantiasa

saling membahu dalam mencermati dan mengevaluasi doktrin serta praktik-praktik keagamaan

yang menyimpang, atau bahkan hanya formal dan ritualistik belaka, agar lebih fungsional atau

berdaya-guna secara tepat dan efektif bagi pemantapan kualitas diri dan kehidupan

17
penganutnya pada khususnya, maupun masyarakat pada umumnya. Sebagai refleksinya,

Bhinneka Tunggal Ika dapat berkiprah dan berkibar kembali di Bumi Pertiwi sehingga anggapan

dunia tentang masyarakat Indonesia yang ramah dan memiliki tingkat toleransi tinggi menjadi

kenyataan dan bukan sekedar bualan serta “fitnah” belaka. Langkah-langkah ini harus

diwujudkan dengan penuh kesadaran. Semoga semakin banyak umat beragama di Indonesia

yang sadar.

18
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat

eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Masyarakat

multikultural telah menjadi cri khas bangsa lebih khusus pada masyarakat Indonesia, dan

telah diperbincangkan dalam berbagai kegiatan, seminar, forum diskusi maupun dalam

lingkungan akademik.

Dalam masyarakat modern, multikulturalisme lebih kompleks lagi. Sebab budaya baru

terus bermunculan akibat akses komunikasi dan informasi yang tak terbendung. Saat

terjadi pertemuan antara globalisasi negara-bangsa (nation-state) dan kelompok identitas

maka kemunculan dari kelompok-kelompok identitas ini semakin menguat. Globalisasi

akan mendorong penguatan kesadaran politik dalam kelompok-kelompok ini dan

membuka kesadaran yang mendorong pentingnya identitas. Globalisasi memberikan

kesempatan kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya.

Pemahaman agama, sebagai salah satu pilar penting dalam membentuk masyarakat

adil dan sejahtera menjadi penting untuk diperhatikan. Artinya, kerigidan, penuhanan

atas pemahaman sendiri dan menganggap yang lain sebagai golongan sesat harus

diberantas. Sebab pada hakikatnya tidak ada kebenaran apa pun yang menginjak dan

meniadakan kebenaran lain.

19

Anda mungkin juga menyukai