Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PANCASILA, PLURALISME DAN POTRET

KEHIDUPAN MASYARAKAT BERAGAMA DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pendidikan Kwarganegaraan yang diampu oleh
Nina Hayuningtyas, S.Pd., M.Pd

Oleh: Kelompok

Muhammad Erfandi 232101010017


M Akbar Luthfani 232101010018
Naufal Hamdani 232101010019
Muhammad Nurul Anam 232101010020
Muhammad Ilham Maulana Abdul Hadi 232101010008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
SEPTEMBER 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat,taufiq
dan inayahnya serta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah yang berjudul ”Pancasila, Pluralisme, dan Potret kehidupan
Masyarakat Beragama di Indonesia”

Sholawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda Nabi agung
Muhammad SAW. Beserta sahabat dan pengikutnya berkat kelahiranNya bumi ini
tersenyum dan peradaban pun mewangi dan lebih baik dari sebelumnya. Terkait dengan
makalah ini penulis sangat mengharapkan saran serta kritikan dari semua pembaca untuk
memperbaikinya dan semoga makalah ini memberi manfaat dan barokah bagi kita semua.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu hingga selesainya makalah ini, semoga segala upaya yang telah
dicurahkan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................
 Latar Belakang.......................................................................................................................
 Rumusan Masalah..................................................................................................................
................................................................................................................................................
 Tujuan Penulisan ...................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
 Bagaimana potret Pluralisme dan Moderasi beragama di Indonesia...................................
 Pandangan Tokoh tentang Pluralisme dan Moderasi beragama di Indonesia dalam bingkai
Pancasila..............................................................................................................................
 Mewujudkan Masyarakat moderasi Beragama dalam bingkai Pancasila ...........................
 Hubungan Pluralisme agama dan Moderasi beragama dalam bingkai Pancasila................
BAB III PENUTUP......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa lndonesia adalah bangsa yang majemuk. Salah satu sisi kemajemukan bangsa
Indonesia adalah adanya keragaman agama yang dipeluk dan kepercayaan yang diyakini
oleh penduduknya. Dengan kata lain di Indonesia yang hidup dan berkembang adalah
agama dan kepercayaan, tidaklah tunggal namun beragam. Ada agama-agama besar seperti
lslam, Kristen Katolik, Protestan Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan Yahudi. Kenyataan
sosial keagamaan yang demikian sebenarnya telah dipahami para pendiri bangsa: bahwa
beragama merupakan hak setiap penduduk dan hak ini harus dijamin oleh Negara. Karena
itulah mengapa dalam undang-Undang Dasar 1945 terdapat Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)
yang menyatakan bahwa, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa," Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Zulkarnain, 2011).
Baik Pancasila maupun UUD 1945 sesungguhnya merupakan jaminan bagi eksistensi
agama dan kepercayaan di Indonesia. Jaminan akan eksistensi agama dan kepercayaan
berarti bahwa adanya masing-masing agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia
mestilah dijamin oleh Negara untuk menjalankan ajaran agama dan ajaran kepercayaan
serta beribadat menurut agama dan kepercayaan yang diyakininya (Zulkarnain, 2011).
Agama mempunyai jalinan dengan masyarakat yang sangat erat secara kesatuan dan satu
sama lainnya saling mempengaruhi. Terkandung sumber nilai dan moral universal dalam
agama yang dapat menjawab tantangan kehidupan dengan membentuk prilaku dan sikap
manusia. Tanpa agama manusia sebagai makhluk sosial belum dapat dikatakan sepenuhnya
menjadi manusia. Dalai Lama dan Leonardo Boff adalah teolog ternama dalam dialognya
menjelaskan seseorang yang agamanya telah bekerja adalah seseorang yang lebih sabar,
memiliki rasa kemanusiaan, beretika, bertanggung jawab, peduli antar sesama, dan
mewujudkan sesuatu yang lebih baik. Agama dapat bekerja dengan baik dikarenakan
dalam dialog mengajak bahwa sebenarnya agama dapat menjadi amat fungsional, selama
prilaku sehari-hari seseorang membentuk pribadi yang baik maka ketika itu agama
dijadikan sebagai cerminan oleh seseorang. Di kehidupan nyata agama bukan nilai yang
terpisah, namun bersatu dalam prilaku manusia

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pluralisme dan moderasi beragama di indonesia


1. Kehidupan Beragama di Indonesia
Semua kalangan memberikan perhatian cukup besar terhadap fenomena
kehidupan beragama di Indonesia yang memiliki daya tariknya tersendiri. Bermacam-
macam kasus dapat kita lihat baik antara satu paham keagamaan dengan mudahnya
menyesatkan paham keagamaan lainnya, begitunya sebaliknya. Seperti nikah beda agama
dan penistaan agama. Jika agama diyakini oleh semua orang sebagai pedoman hidup,
maka agama akan bernilai dinamis, universal, fleksibel dan berorientasi kedepan. Apapun
agamanya jika tidak diakui, diikuti, atau tidak diyakini sebagai pedoman hidup dan
sebagai kebenaran mutlak maka tidak akan memiliki makna apa-apa bagi para
penganutnya. Dengan begitu dinamika kehidupan beragama dapat dilihat dari para
penganutnya (Ghazali & Busro, 2017).
Masing-masing pemeluk agama
memiliki tata cara pengalaman dan ajarannya masing-masing dengan penuh kesadaran
untuk tidak saling membenarkan agama yang dianutnya. Sebab tiap agama mempunyai
ajaran-ajaran yang khusus, yang membedakan dan memiliki ciri-ciri yang tidak sama
dengan yang lain. Adanya perbedaan-perbedaan diantara agama-agama dalam
berinteraksi secara penuh, tidak menonjolkan identitas agama, dan juga tidak
mengaktifkan simbol-simbol agama termasuk telah menghargai perbedaan-perbedaan itu.
Dengan demikian wujud kerukunan atau toleransi antar umat beragama akan terlaksana
apabila interaksi antar umat beragama tidak saling merugikan. Setiap agama harus
melaksanakan dan menggariskan dua pola hubungan setiap pemeluknya untuk
mewujudkan kebaikan, yaitu hubungan yang horizontal dan hubungan yang bersifat
vertikal. Hubungan yang bersifat horizontal atau pola hubungan manusia dengan
masyarakat sekitar atau hubungan manusia dengan sesamanya yang berbeda ras,
kebudayaan, agama baik itu dalam bentuk kemasyarakatan seperti bekerja sama, ataupun
pola individu dengan individu untuk menjalin rasa persaudaraan yang lebih erat.
Sedangkan hubungan vertikal membentuk hubungan manusia dengan penciptanya

5
diwujudkan dengan setiap harinya beribadah sebagaimana digariskan pada tiap-tiap
agama (Pradipta et al., 2014).
Manusia di Indonesia membentuk dan menentukan corak masyarakat agar
terbentuk dan terwujud dengan baik sesuai dengan yang dikehendaki, dalam kehidupan
beragama di Indonesia keberagaman perlu dipelihara, sebab kenyataan alam semesta ini
telah ditetapkan oleh pemiliknya, jika ada yang menolak, dia akan menemukan kesulitan,
karena berlawanan dengan kenyataan itu sendiri (Suryana, 2011).
Tidak adanya alternatif lain bagi manusia mengingat keberagaman adalah
ketentuan dan realita dari Allah tuhan pemilik alam semesta. Selain memelihara dan
menerima dengan mengajak kepada tujuan dan kepentingan bersama. Saling bergesekkan
akan terjadi apabila tidak di pelihara dengan baik dan mengakibatkan terjadinya
perpecahan, bahkan sampai kepada separatisme. Tetapi karena keberagaman di Indonesia
dan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa religius mengetahui bahwa segalanya
kententuan adalah takdir Allah yang mengatur alam, maka menggalang dan membina
adalah suatu bentuk untuk persatuan bangsa Indonesia, tidak hanya itu saja terhimpun
hasrat-hasrat yang ada menjadi kolektif dari keberagamaan tersebut dan memelihara,
membangun keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara. Dengan beragama tidak
mengurangi rasa kebangsaan walaupun agama bersifat universal bahkan tambah
menguatkan rasa kebangsaan. Karena membela kehormatan dan kedaulatan bangsa dan
negara adalah cara agama mendorong para penganutnya (Suryana, 2011).

2. Pluralisme Agama di Indonesia


Apabila agama disandingkan dengan kata pluralisme, maknanya akan berubah
menjadi pluralisme agama. Secara terminologi yang khusus istilah pluralisme agama
sudah menjadi baku. Sekedar dalam kamus-kamus bahasa saja tidak bisa untuk di
rujukkan. Walau terdapat di dalam kamus sikap saling menghormati keunikan masing-
masing dan juga sikap toleransi merupakan makna dari pluralisme. Pluralisme agama
memandang semua agama setara dengan agama-agama yang lainnya dan terhadap
pluralitas agama sebuah paham dan cara pandang semua agama adalah sama
(Khaerurrozikin, 2015).

6
Masalah antar teologi, sejarah, primodialisme, muncul akibat pluralisme agama di
Indonesia yang saling tarik menarik, ketika umat beragama sendiri berada dalam
lingkungan intern pluralisme berhadapan dengan masalah teologi, baik Islam, Budha,
Protestan, Hindu, Konghucu, Khatolik, dan agama lainnya, dengan melupakan aspek
esoteris agama-agama ada dan masih mempersoalan truth claim (klaim kebenaran).
Pejajahan belanda menjadi beban dalam masalah sejarah secara historisnya, sebab dalam
kebijakan politik selalu mendukung dan berpihak kepada agama Kristen sehingga
belanda diidentikkan dengan Kristen. Dan primodialisme termasuk menghambat
perkembangan pemikiran keagamaan karena dianggap sebagai faktor pengganjal dalam
persoalan kebenaran universal (Utoyo, 2015).
Kalangan cendikiawan Muslim Indonesia memaknai pluralisme agama secara
berbeda-beda, baik sosiologis maupun etnis. Pluralisme agama dalam artian berbeda-beda
adalah suatu kenyataan dimaknai sebagai sebuah bentuk secara sosiologis, dalam hal
beragama adalah beragam dan plural. Dan tidak dapat dipungkiri karena sudah
merupakan kenyataan sosial, bahwa kita memiliki agama yang berbeda-beda. Secara
sosiologis adanya pluralisme agama ini merupakan pengakuan yang sederhana, dan tidak
mengizinkan pengakuan etika dan kebenaran dari agama lain (Hanik, 2014).
Tidak bisa dihindari bahwa adanya fenomena pluralisme agama di Indonesia.
Problem dan konflik antar umat beragama akan terjadi apabila pluralisme agama tidak
disikapi secara tepat dan cermat. Dan sudah terlihat pada kenyataan bahwa konflik agama
banyak terjadi. Perlu adanya pendekatanpendekatan yang tepat untuk mencari solusi dan
menangani konflik antar umat beragama salah satunya umat beragama menciptakan
hubungan yang baik (Sumbullah et al., 2013).
3. Moderasi Beragama di Indonesia
Dalam masyarakat Indonesia yang multibudaya, sikap keberagamaan yang
ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak, tentu dapat
menimbulkan gesekan antar kelompok agama.
Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya
sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam
meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing
menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga memicu konflik.

7
Konflik kemasyarakatan dan pemicu disharmoni masyarakat yang pernah terjadi
dimasa lalu berasal dari kelompok ekstrim kiri (komunisme) dan ekstrim kanan
(Islamisme). Namun sekarang ini ancaman disharmoni dan ancaman negara kadang
berasal dari globalisasi dan Islamisme, yang oleh Yudi (2014 : 251) disebutnya sebagai
dua fundamentalisme : pasar dan agama.
Dalam kontek fundamentalisme agama, maka untuk menghindari disharmoni
perlu ditumbuhkan cara beragama yang moderat, atau cara ber-Islam yang inklusif atau
sikap beragama yang terbuka, yang disebut sikap moderasi beragama. Moderasi itu
artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan
keragaman.
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana
terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakana terbaik dan paling
sempurna. Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang
berada di tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam
moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah tengah, dalam
menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat
mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran
keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima
keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. (Darlis,
2017)
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah
keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan
seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom).
Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.
Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan
terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu
mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/ nalar. Teks Kitab
Suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan
menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya,
yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga

8
mengabaikan teks itu sendiri. Jadi terlalu liberal dalam memahami nilainilai ajaran agama
juga sama ekstremnya.
Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam
perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam
mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin
kerja sama, dengan asas kemanusiaan (Darlis, 2017). Meyakini agama Islam yang paling
benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah
persaudaraan dan persatuan anatar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah
di bawah komando Rasulullah SAW.
Moderasi harus dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama
untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun
suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama
lain serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di
antara mereka.
Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif. Menurut Shihab
bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan
masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap
kenyataan tersebut. Sikap inklusiv-isme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah
memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi keislaman.
Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak hanya terdapat dalam satu kelompok saja,
melainkan juga ada pada kelompok yang lain, termasuk kelompok agama sekalipun.
Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada dasarnya semua agama
membawa ajaran keselamatan. Perbedaan dari satu agama yang dibawah seorang nabi
dari generasi ke generasi hanyalah syariat saja (Shihab, 1999).
Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga
kebersamaan dengan memiliki sikap ‘tenggang rasa’, sebuah warisan leluhur yang
mengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan kita.
Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah, melalui
perkataan dan tindakan bukan hanya menjadi kepedulian para pelayan publik seperti
penyuluh agama, atau warga Kementerian agama namun seluruh warga negara Indonesia

9
saja dan seluruh umat manusia, sehingga tidak sampai menimbulkan peristiwa sebagai
penembakan di masjid Selandia Baru yang menewaskan 50 jamaah salat jum’at.
Berbagai konflik dan ketegangan antar umat manusia dalam keragaman agama,
suku, faham dan sebagainya telah memunculkan ketetapan internasional lewat
Perserikatan Bangsa Bangsa yang menetapkan tahun 2019 ini sebagai ”Tahun Moderasi
Internasional” (The International Year of Moderation). Penetapan ini jelas sangat relevan
dengan komitmen Kementerian Agama untuk terus menggaungkan moderasi beragama.
Agama menjadi pedoman hidup dan solusi jalan tengah (the middle path) yang
adil dalam menghadapi masalah hidup dan kemasyarakatan, agama menjadi cara pandang
dan pedoman yang seimbang antara urusan dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan
norma, idealisme dan fakta, individu dan masyarakat. Hal sesuai dengan tujuan agama
diturunkan ke dunia ini agar menjadi tuntunan hidup, agama diturunkan ke bumi untuk
menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun makro, keluarga
(privat) maupun negara (publik).
B. Pandangan Tokoh Tentang Pluralisme Dan Moderasi Beragama Di Indonesia Dalam
Bingkai Pancasila

Pandangan Tokoh terhadap Pluralisme:

1. Gus Dur (Abdurrahman Wahid): Mantan Presiden RI ini adalah pendukung kuat pluralisme.
Beliau menganggap keberagaman sebagai kekayaan yang harus dijaga, memandang bahwa
Pancasila memberikan landasan bagi toleransi antaragama.
2. H.M. Soeharto: Meskipun Soeharto dikenal sebagai pemimpin otoriter, pandangannya terhadap
pluralisme agak berbeda. Pemerintahannya lebih menekankan pada konsep "Bhinneka Tunggal
Ika" (Bhineka Tunggal Ika), yang berarti "Berbeda-beda tapi tetap satu."

Pandangan Tokoh terhadap Moderasi Beragama:

1. Kyai Haji Hasyim Muzadi: Tokoh NU ini mempromosikan moderasi beragama, mengajarkan
Islam yang toleran dan menghormati perbedaan. Menurut beliau, moderasi beragama mendukung
kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
2. Joko Widodo (Jokowi): Sebagai Presiden saat ini, Jokowi mendorong moderasi beragama dan
mengutamakan keberagaman sebagai kekuatan. Program pemerintahnya, seperti "Bali
Democracy Forum," menekankan pentingnya dialog antarbudaya dan antaragama.

10
Indonesia dengan ragam suku, budaya, dan agama rentan dengan terjadinya konflik horizontal di
tengah masyarakat. Pemahaman pluralisme yang baik dimungkinkan dapat membantu mencegah
atau paling tidak mengurangi potensi konflik ini. Istilah pluralisme menjadi kajian menarik
beberapa decade terakhir. Pemaknaan terhadap pluralisme beragam. Pluralisme dapat dimaknai
sebagai pendekatan memahami paham lain dalam upaya mengkonstruksi pemahaman yang lebih
komprehensif terhadap perbedaan. Alwi Sihab (1998) menawatkan konsep pluralisme dengan
penegasan pemahaman tentang adanya kemajemukan dan keterlibatan aktif dalam keberagaman.
Pluralisme menyangkut kesadaran akan adanya heterogenitas dan keaktifan mendapatkan
kesepahaman terhadap eksistensi lain tanpa menegasikannya (Helmanita, 2003).

Pluralisme dapat berarti memberikan pengakuan resmi kepada pluralitas dan perbedaan;
mempertimbangkan budaya, bahasa, dan pengalaman yang berbeda tidak dapat dirednuksi dan
tidak dapat dibandingkan; dan melihat dunia sebagai taman berisi pengikut dengan sejumlah
warna dan aroma (Surūsh, Mobasser, & Jahanbakhsh, 2009).

Pluralisme juga merupakan “sistem nilai yang memandang positif dan optimis terhadap
kemajemukan agama dengan menerimanya sebagai kenyataan riil dan berbuat baik berdasarkan
konteks kenyataan tersebut tanpa harus mengalami distorsi faham teologis secara pribadi supaya
spiritualismenya tetap kuat” (Masduki, 2016).

Rahman justru menegaskan “to be religious todayPenekanan dari semua pemaknaan pluralisme
terletak pada kenyataan bahwa masyarakat dan agama sama-sama pluralistik. Di samping itu
pluralisme dapat diidentikan dengan bangunan sikap toleransi dalam upaya menekan konflik yang
mungkin terjadi. Toleransi merupakan pondasi dalam menjaga harmonisosial yang majemuk dan
multikondisi (Yunus, 2014), dan ini diperlukan pemikiran dan tindakan yang pluralistik (Barton,
1999).

Dalam konteks agama, pluralisme berwujud dalam pengakuan atas eksistensi agama lain (di
samping agamanya sendiri) yang ditandai dengan komunikasi yang toleran di antara umat
beragama. Namun demikian, idealitas pluralisme masih sulit atau belum terealisasi dengan baik
dalam kehidupan beragama, ditandai masih banyaknya kekerasan atas nama agama. Masih
banyak orang yang berkutat dalam tradisi beragama yang mengarah truth claim pada tataran
teologis dan menegasikan eksistensi agama lain. Klaim kebenaran ini terbawa di dalam pergaulan
antarpemeluk agama yang kemudian menimbulkan disharmonitas. Pengalaman historis antara
pemeluk agama juga masih tampak dalam era sekarang, di mana

11
pemeluk agama tertentu yang merasa tertindas merefleksikannya dalam tindakannnya untuk
menindas balik penindas sebelumnya (Tahir, 1998).

Fundamentalisme dalam beragama juga dapat mengurangi toleransi terhadap agama lain, yaitu
semakin rendah fundamentalisme maka semakin tinggi toleransi dan kerukunan beragama akan
tercapai (Bukhori, 2012).

Penguatan gagasan dan perilaku toleransi beragama dapat dilakukan dalam berbagai bentuk.
Pendidikan pluralisme merupakan satu pendekatan dengan mengajarkan pada siswa seperangkat
budaya dan pandangan yang berkembang pada masyarakat multikultural guna mengembangkan
sikap empati, toleran, dan solidaritas pada keragaman kelompok di dunia

C.Mewujudkan Masyarakat moderasi Beragama dalam bingkai Pancasila


Indonesia meniscayakan lahirnya pedoman universal sekaligus menjadi ideologi dasar negara
berupa Pancasila. Dengan kata lain, eksistensi Pancasila menjadi manifestasi jiwa, filsafat,
pandangan hidup, dan juga nilai pembentukan karakter bagi masyarakat Indonesia (Ridwan,
2017: 209). Sebelum jauh memahami dimensi nilai-nilai moderasi beragama dalam rumusan
Pancasila, penting untuk dapat dipahami terlebih dahulu tentang arti dari istilah Pancasila.
Term “Pancasila” berakar dari 2 kata, yakni kata Panca menunjukan arti lima, dan kata Sila
menunjukan arti dasar. Dari unsur segi bahasa tersebut, maka dapat dipahami bahwa Pancasila
memuat arti lima dasar, yakni lima Dasar Negara Republik Indonesia (Kaderi, 2015:8). nilai-
nilai moderasi beragama yang termuat dalam pelbagai sila Pancasila, sebagai berikut.
 sila pertama, yakni “Ketuhanan yang Maha Esa”,menunjukan bahwa Indonesia selalu
mengedepankan Tuhan dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain bukanlah negara
sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Pernyataan demikian
secara empiris dibuktikan dengan pluralitas agama yang hidup dan berkembang di
Indonesia yang meliputi Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Pluralitas agama tersebut dalam ranah praksisnya menekankan masing-masing umat
beragama di Indonesia untuk menghargai dan menghormati keragamaan penganut
agama yang ada. sikap pluralisme agama tersebut juga disebutkkan pada Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 29ayat (1) dan 29 ayat (2) yang
menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memiliki kebebasan
dalam mengikuti ajaran agamanya masingmasing (Wandani & Dewi, 2021: 3)
 sila kedua Pancasila menyadarkan kita bahwa manusia secara kodrati memiliki
kesetaraan derajat di mata Tuhan. Atas dasar inilah, sikap menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia secara beradab merupakan keniscayaan (Miliano & Dewi, 2021:

12
4). nilai kemanusiaan yang termuat dalam sila kedua Pancasila paralel dengan nilai
moderasi beragama berupa anti radikalisme (kekerasan). Hal demikian disebabkan
dalam konteks moderasi beragama di Indonesia khususnya, term radikalisme dipahami
sebagai ideologi yang berorientasi untuk mewujudkan perubahan sistem sosial dan
politik melalui pelbagai bentuk kekerasan atas nama agama, baik kekerasan verbal,
fisik, dan pikiran. Mengingat kelompok radikal pada umumnya menginginkan sebuah
perubahan dalam tempo singkat dan secara drastis meski harus bertentangan dengan
sistem sosial yang telah berlaku mapan di suatu negara (wilayah). radikalisme tidak
hanya dapat terjadi bagi individu atau kelompok agama tertentu, melainkan dapat
terjadi pada semua agama (Tim Penyusun Kementerian Agama RI, 2019: 43–45).
 Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” menyadarkan Masyarakat Indonesia
untuk menjaga semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, sila ketiga ini secara eksplisit menunjukan kepada
kita bahwa dalam mewujudkan kemaslahatan kehidupan bernegara di Indoensia harus
dapat mengedepankan kepentingan bersama dalam menjaga persatuan bangsa dan
negara (Wandani &Dewi, 2021: 36). kesadaran paham dan sikap komitmen
kebangsaan menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka merealisasikan semangat
kesatuan dan persatuan dalam bingkai kehidupan bernegara dan berbangsa di
Indonesia.
D. Hubungan Pluralisme agama dan Moderasi beragama dalam bingkai Pancasila
Pluralisme agama atau pluralitas agama atau kebhinekaan agama merupakan kenyataan
aksiomatis (tidak bisa dibantah), dan merupakan keniscayaan sejarah (historical necessary) yang
bersifat universal.
Pluralisme agama harus dipandang sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang tidak
dapat dilenyapkan, tetapi harus disikapi. Pluralisme agama berpotensi melahirkan benturan,
konflik, kekerasan, dan sikap anarkis terhadap penganut agama lain.
Potensi ini disebabkan karena setiap ajaran agama memiliki aspek ekslusif berupa truth
claim, yaitu pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Tuhan yang disembah, Nabi yang
membawa wahyu, syariat atau ajaran agama yang dimiliki dan diyakini sebagai yang paling
benar. Konsekuensinya adalah agama lain dianggap tidak benar dan sesat. Agama yang benar
harus meluruskan dan mengembalikan manusia ke jalan yang benar, masuk dalam agama
mereka. Tidak mengherankan jika seluruh agama berlomba lomba melakukan dakwah untuk
mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Moderasi beragama tercermin dalam komitmen
kebangsaan yang menjunjung keberagaman, toleransi yang menghargai perbedaan keyakinan,

13
penolakan terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama, serta penerimaan dan akomodasi
terhadap kekayaan budaya dan tradisi yang ada dalam masyarakat.
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, menetapkan prinsip-prinsip yang mencakup
berbagai aspek kehidupan, termasuk agama.
1. Pluralisme Agama:
- Pancasila menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tidak mengikat pada satu agama
tertentu. Ini mencerminkan penghormatan terhadap keberagaman keyakinan agama.
- Dalam konteks ini, warga negara diakui memiliki kebebasan beragama sesuai dengan
keyakinan masing-masing, sejalan dengan Sila Pertama Pancasila.

2. Moderasi Beragama:
- Moderasi beragama tercermin dalam Sila Keempat Pancasila, yang menekankan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Dalam konteks moderasi beragama, Pancasila mengajarkan untuk menjunjung tinggi
toleransi, saling menghormati, dan bekerja sama meskipun dengan perbedaan keyakinan.

Jadi, Pancasila memberikan kerangka yang inklusif untuk menghargai keberagaman agama dan
mempromosikan sikap moderasi dalam beragama, memupuk semangat saling pengertian dan
kerjasama di tengah masyarakat yang beragam keyakinan.

BAB III
A. KESIMPULAN
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang
perlu dikelola dengan bijak. Pluralisme mencerminkan toleransi terhadap perbedaan,
sementara moderasi beragama menekankan pada pendekatan tengah dalam
menjalankan keyakinan. Meskipun Indonesia telah mencapai sejumlah kesuksesan
dalam membangun harmoni antaragama, tantangan masih ada, dan terus diperlukan
upaya bersama untuk memperkuat nilai-nilai pluralisme dan moderasi guna menjaga
stabilitas dan kerukunan di tengah masyarakat yang beraneka ragam

B. SARAN

14
Perlu melibatkan tokoh-tokoh agama terkemuka untuk menyampaikan pesan-pesan moderasi
beragama dalam masyarakat. Keterlibatan mereka dapat memberikan dampak positif dan memberikan
contoh bagi penganut agama.agar mendorong negara untuk aktif melindungi dan menjamin kebebasan
beragama sesuai dengan UUD 1945. Dalam konteks ini, peran negara dan tokoh termuka sangat penting
untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keberagaman agama tanpa diskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA
AKHMADI, Agus. Moderasi beragama dalam keragaman Indonesia. Inovasi-Jurnal Diklat
Keagamaan, 2019, 13.2: 45-55.
Darlis. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat Multikultural. Rausyan Fikr,
Vol.13 No. 2 Desember, 225-255.
Hanik, U. (2014). Pluralisme Agama di Indonesia. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 25(1),
44–63. https://doi.org/https://doi.org/10.33367/
HANIK, Umi. Pluralisme agama di Indonesia. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 2014,
25.1.
Khaerurrozikin, A. (2015). Problem Sosiologis Pluralisme Agama di Indonesia. Jurnal Kalimah,
13(1), 85–102. https://doi.org/10.21111/klm.v13i1.280
Pradipta, Y., Arifin, K., & Fadhil, A. (2014). Efektivitas Komunikasi Interpersonal Umat
Berahama di Perumahan Bekasi. Jurnal Studi Al-Qur`an; Membangun Tradisi Berfikir
Qur`ani, 10(2), 109–118.
Shihab, A. (1999). Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Sumbullah, U., & dkk. (2013). Pluralisme Agama; Makna Dan Lokalitas Pola Kerukunan Antar
Umat Beragama. Maliki Press.
Suryana, T. (2011). Konsep dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama. Pendidikan
Agama Islam -Ta’lim, 9(2), 127–136.
Utoyo, M. (2015). Wawenang dan Tugas Pemerintah dalam Perkembangan Paham Pluralisme
Agama. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 193–204.
https://doi.org/10.5281/zenodo.1257415
mdalam Konteks Keindonesiaan. Madina-Te, 16(1).
Zulkarnain, I. (2011). Hubungan Antarkomunitas Agama di Indonesia: Masalah dan
Penanganannya. Jurnal Kajian, 16(4), 681–705.

15

Anda mungkin juga menyukai