Anda di halaman 1dari 20

REVIEW JURNAL

FILSAFAT ILMU

PERTEMUAN KE -5
Tentang
ONTOLOGI, ADA DAN KEBERADAAN, DAN BERBAGAI JENIS KEBERADAAN:
MINOSME, DUALISME, IDEALISME, MATERIALISME, PLURALISME,
PENOMENOLOGISME, AGNOTISISME, SERTA NIHILISME

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

Anggota:

FITRI HAYATI (20124011)


MAGHFIRAH AFIFAH (20124016)
RIRI ZULVIRA (20124028)
SANIA PUTRIANA (20124030)
SANIYAH OKTARISMA (20124031)
ULANDARI SAFITRI (20124060)

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. Aliasar, M.Pd


Dr. Yeni Erita, M.Pd

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TERINDEKS SCOPUS
FILSAFAT ILMU

Penulis M. Zainuddin

Tahun 2015
Judul Research Paradigms: A Slippery Slope for Fresh Researchers
Publikasi JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM
Vol & Volume 09, Number 02, December 2015
Halaman
Download http://repository.uin-malang.ac.id/2468/7/2468.pdf
Reviewer Kelompok 3: Fitri Hayati, Maghfirah Afifah, Riri Zulvira, Sania Putriana,
Saniyah Oktarisma, Ulandari Safitri
Tanggal 10/10/2020
Reviewer
Latar Indonesia is a pluralistic society in terms of ethnic, linguistic, cultural or
belakang religious differences. According to Heldred Geertz,1 inIndonesia, there are
more than three hundred ethnicities in which each has its own culture, and
more than two hundred and fifty languages are used. In addition, almost all
major world religions embraced by Indonesian people as a part of the
variety of native religions themselves. Meanwhile Coward asserted, that
pluralism is a phenomenon that cannot be avoided. Humans live in a
pluralism and is part of the pluralism itself.2 However, religious plurality is
inevitably also a challenge in the world today. It means, if the plurality of
religion is not addressed properly and wisely, it could cause not only
interreligious conflict, but also social conflict and disintegration.

Indonesia adalah masyarakat majemuk dalam perbedaan suku, bahasa,


budaya atau agama. Menurut Heldred Geertz, 1 di Indonesia, terdapat lebih
dari tiga ratus suku yang masing-masing memiliki budayanya sendiri, dan
lebih dari dua ratus lima puluh bahasa digunakan. Selain itu, hampir semua
agama besar dunia dianut oleh masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
ragam agama asli itu sendiri. Sementara Coward menegaskan, pluralisme
merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Manusia hidup dalam
pluralisme dan menjadi bagian dari pluralisme itu sendiri. Namun,
pluralitas agama mau tidak mau juga menjadi tantangan di dunia saat ini.
Artinya, jika pluralitas agama tidak disikapi dengan baik dan bijak, tidak
hanya akan menimbulkan konflik antaragama, tetapi juga konflik sosial dan
perpecahan.
Pembahasan In the context of modern Indonesia, Abu Rabi admitted that Islam
has become a force in growing the value of religious pluralism since
Indonesia's independence. However, according to him, its chance to
become a social movement of anti-Christian sentiment remains wide open.
Various trends and patterns of Islamic thought which emerged lately,
indicating differences among Muslims in dealing with other religious
communities. Therefore, according to Rabi', the growing religio-political
aspirations will remain an opportunity for the growth of Islamic social
movements which are difficult to uphold the values of tolerance, openness
and democracy. Additionally, this challenge appears to be more evident
with the development of post-modern religious discourse. Despite the role
of religions are to promote unity
from time to time, they also often encourage split rather than unified
humanity.
Essentially, religion should be able to answer the complex challenges
across the time. In order that adherents keep believe in it. Parts of
challenges are understanding religion and politicization of religion.
Meanwhile religious plurality can be a treasure of the nation if it is
understood as a gift of God by means of cooperation to build unity among
religious believers in order to realize the prosperity of the world. Then the
religion will be able to answer both current and future challenges.

Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi mengakuinya Islam telah


menjadi kekuatan dalam menumbuhkan nilai pluralisme agama sejak
kemerdekaan Indonesia. Namun, menurutnya, itu kebetulan Menjadi
gerakan sosial sentimen anti-Kristen tetap luas Buka. Berbagai
kecenderungan dan pola pemikiran Islam yang bermunculan Akhir-akhir
ini, menandakan adanya perbedaan diantara umat Islam dalam menghadapi
sesama komunitas agama. Karena itu, menurut Rabi ', semakin berkembang
aspirasi agama-politik akan tetap menjadi peluang untuk berkembang
gerakan sosial Islam yang sulit dijunjung tinggi nilai-nilainya toleransi,
keterbukaan dan demokrasi. Selain itu, tantangan ini tampak semakin nyata
dengan perkembangan post-modern wacana agama. Padahal peran agama
adalah mempromosikan persatuan dari waktu ke waktu, mereka juga sering
mendorong perpecahan daripada bersatu kemanusiaan.
Intinya, agama harus mampu menjawab tantangan yang kompleks
sepanjang masa. Agar penganutnya tetap percaya. Tantangannya adalah
memahami agama dan politisasi agama. Sedangkan pluralitas agama bisa
menjadi harta bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan melalui
kerjasama membangun persatuan antarumat beragama guna mewujudkan
kemakmuran dunia. Maka agama akan mampu menjawab tantangan saat ini
dan masa depan.

Hasil Freedom of religion in the context of Indonesia is stipulated in the


legislation as “free to choose and embrace a particular religion” and it does
not recognize atheism and agnosticism, because Indonesia is a country
based on the Pancasila and Oneness of God. How is the relation between
religion and democracy? If it is viewed from the normative base, religion
and democracy is totally different. Religion is derived directly from the
revelation of God, while democracy is derived from human thoughts.
Religion itself has a role as to guiding human to the right path that
contains rules concerning the human relationship with God, with fellow
human beings and with surrounding nature. These rules are expected to be
able to maintain world peace, and thus human beings would be able to
pursue happiness not only in the world, but also in the hereafter. Logically,
in the context Indonesia, religion is supposed to guarantee peace and social
order, because Indonesia is a religious nation and our state which is not a
secular country. But, why the reality is just the opposite? Where is the role
of religion as a spirit and driving-force of the development? This is the
challenge that people face currently. Therefore, in my opinion, religion will
be able to be a purely positive force in the world today, if the teachings are
implemented in the community by promoting the ethics and social values,
for example, developing the values of democracy, human rights, universal
humanity, and so on.

Kebebasan beragama dalam konteks Indonesia diatur dalam undang-


undang sebagai “bebas memilih dan memeluk agama tertentu” dan tidak
mengakui ateisme dan agnostisisme, karena Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Pancasila dan Keesaan Tuhan. Bagaimana relasi agama dan
demokrasi? Dilihat dari landasan normatifnya, agama dan demokrasi sama
sekali berbeda. Agama bersumber langsung dari wahyu Tuhan, sedangkan
demokrasi bersumber dari pikiran manusia.

Agama sendiri berperan sebagai pembimbing manusia ke jalan yang


benar yang berisi aturan-aturan tentang hubungan manusia dengan Tuhan,
dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Aturan-aturan
tersebut diharapkan mampu menjaga perdamaian dunia, sehingga manusia
mampu mengejar kebahagiaan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Logikanya, dalam konteks Indonesia, agama seharusnya menjamin
ketentraman dan ketertiban masyarakat, karena Indonesia adalah bangsa
yang religius dan negara kita yang bukan negara sekuler. Tapi, mengapa
kenyataannya justru sebaliknya? Dimana peran agama sebagai spirit dan
penggerak pembangunan? Inilah tantangan yang dihadapi masyarakat saat
ini. Oleh karena itu menurut saya, agama akan mampu menjadi kekuatan
positif murni di dunia saat ini, jika ajaran tersebut diterapkan di masyarakat
dengan mengedepankan etika dan nilai-nilai sosial, misalnya
mengembangkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, universal.
kemanusiaan, dan sebagainya.

Kesimpulan The plurality of religions is a necessity, but in doing so as a challenge to


democracy in Indonesia. Religious plurality on the one hand has the
potential harmony, and also has the potential for conflict on the other hand.
In this context, there are at least two problems faced by adherents to the
religion in the face of the challenges ahead: first, the problem of
understanding of religious teachings. Second, the problem of politicization
of religion. In regards to understanding its teachings, religious doctrines
must be understood correctly through exploring its substantial meaning.
Contemporary issues concerning justice, human rights, democratization and
all kinds of siding society should be an indicator of the successful religious
propagation.
Kemajemukan agama adalah sebuah keniscayaan, namun hal itu menjadi
tantangan bagi demokrasi di Indonesia. Pluralitas agama di satu sisi
memiliki potensi kerukunan, dan di sisi lain juga berpotensi menimbulkan
konflik. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua masalah yang dihadapi
penganut agama dalam menghadapi tantangan ke depan: pertama, masalah
pemahaman ajaran agama. Kedua, masalah politisasi agama. Untuk
memahami ajarannya, doktrin agama harus dipahami secara benar dengan
menggali makna substansinya. Isu-isu kontemporer tentang keadilan, hak
asasi manusia, demokratisasi, dan segala bentuk masyarakat yang berpihak
harus menjadi indikator keberhasilan dakwah agama.

Komentar Jurnal ini memberikan penjabaran yang lengkap tentang pluralisme yang
termasuk sistem demokrasi yang ada di indonesia. Dalam penulisan jurnal
ini dan penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan banyak
referansi untuk menguatkan dan membuktikan hipoetesa penulis tentang
pluralisme yang ada di Indonesia. Namun, penulis tidak mencantukan
metode penelitian yang dilakukan. Ha ini menjadi kelemahan dalam jurnal
penelitian in.
REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TERINDEKS SCOPUS
FILSAFAT ILMU

Penulis Dwita Laksmita Rachmawati1 , Fabiola Dharmawanti Kurnia2 , Ali


Mustofa3

Tahun 2020
Judul The Moral Philosophical Analysis As Reflected On Dan Brown’s Inferno
Publikasi Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris
Vol & Volume 9 (1) May 2020, page 26-39; ISSN: 2252-7818 E-ISSN: 2502-
Halaman 3543
Download https://journal.unismuh.ac.id/index.php/exposure
Reviewer Kelompok 3: Fitri Hayati, Maghfirah Afifah, Riri Zulvira, Sania Putriana,
Saniyah Oktarisma, Ulandari Safitri
Tanggal 10/10/2020
Reviewer
Pendahuluan as people have grown various social groups in the world, each of them
owns their philosophical viewpoint, along with their philosophical belief,
on value, consciousness, causality, justice, or freedom. It shows that people
have standing belief, desire, and state and those that drive their actions and
moral value (Hansson & Unit, 2003). Because of that case, the way people
see which one is the truth has become bias as they potentially have a
different cultural background. This way, people would think that other
people's philosophical belief is wrong as it is different from theirs while
none of them are probably wrong and vice versa. The wrongness and
righteous might be different from one society and other societies, or one
individual to another. Every viewpoint has its reason to make it right and
wrong because each society could place judgment on what is right or wrong
(Chowdhury, 2016). This novel reminded people that the difference of
viewpoint to see what is right and what is wrong does exist.

Seiring berkembangnya masyarakat berbagai kelompok sosial di dunia,


masing-masing mereka memiliki sudut pandang filosofis mereka, bersama
dengan keyakinan filosofis mereka, pada nilai, kesadaran, kausalitas,
keadilan, atau kebebasan. Ini menunjukkan bahwa orang memiliki
keyakinan berdiri, keinginan, dan negara dan mereka yang mendorong
tindakan dan nilai moral mereka (Hansson & Unit, 2003). Karena itu, cara
orang melihat mana yang merupakan kebenaran menjadi bias karena
berpotensi memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Ini Dengan cara
itu, orang akan berpikir bahwa keyakinan filosofis orang lain itu salah

berbeda dari mereka sementara tidak satupun dari mereka mungkin salah
dan sebaliknya. Itu kesalahan dan kebenaran mungkin berbeda dari satu
masyarakat dan masyarakat lain, atau satu orang ke orang lain. Setiap sudut
pandang memiliki alasan untuk membuatnya benar dan salah karena setiap
masyarakat dapat menilai apa yang benar atau salah (Chowdhury, 2016).
Novel ini mengingatkan orang akan perbedaan sudut pandang untuk
melihat apa adanya benar dan salah memang ada.

Metode Data Technique The technique to analyze the data was to find and arrange
analisis data the obtained data in a systematic way. It was done by organizing the data
into categories, then describing it before concluding. Having collected the
data, the writer analyses the moral-philosophical value by using philosophy
of mind approach and under the intentionality theory.

Teknik analisis data adalah dengan mencari dan menyusun data yang
diperoleh dengan cara yang sistematis. Itu dilakukan dengan menyusun
data ke dalam kategori, kemudian mendeskripsikannya sebelum
menyimpulkan. Setelah mengumpulkan data, penulis menganalisa nilai
moral-filosofis dengan menggunakan pendekatan filsafat akal dan bawah
teori intensionalitas.

Hasil This article has strengthened the structure of intentionality, which consists
of an idea that formed from a particular intentional stage. For instance,
memory or perception either Zobrist or Langdon and WHO staff has their
memory and perception on how to save the world, although they have
different perspectives to see which one is right or wrong (Duppen, 2018).
Thus, it can be concluded that the intention in intentionality theory has a
significant influence on philosophical studies as it relates to people's
actions and moral choices before doing, knowing, or believing something.
Hence, their perspective toward right or wrong might be different because
sometimes people are doing something consciously, but unconsciously,
they act poorly without even realizing it (Cole, 2014).

Artikel ini telah memperkuat struktur intensionalitas yang terdiri dari ide
yang terbentuk dari tahap sengaja tertentu. Misalnya, memori atau persepsi
baik Zobrist atau Langdon dan staf WHO memiliki ingatan mereka dan
persepsi tentang bagaimana menyelamatkan dunia, meskipun mereka
memiliki perspektif yang berbeda untuk melihat mana yang benar atau
salah (Duppen, 2018). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa intensi
dalam teori intensionalitas memiliki pengaruh yang signifikan studi
filosofis yang berkaitan dengan tindakan orang dan pilihan moral
sebelumnya melakukan, mengetahui, atau mempercayai sesuatu.
Karenanya, perspektif mereka terhadap kanan atau salah mungkin berbeda
karena terkadang orang melakukan sesuatu sadar, tetapi tidak sadar, mereka
bertindak buruk bahkan tanpa menyadarinya (Cole,2014).

kesimpulan From the results and discussion above, it can be said that what is right and
what is wrong can be justified from one side because both sides will have
their opinion to stick on their philosophical beliefs about what is wrong and
what is right. Zobrist's action and decision to kill a massive number of
humans has his reason as he is affected by Dante's Inferno. It is mentioned
that there is a way to eliminate people and send them to the core of the
earth, which is the Inferno or hell. Zobrist thought that the earth is too old
to hold the number of overpopulations, and he has to do something.

Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa apa yang benar
dan apa yang salah dapat dibenarkan dari satu sisi karena kedua belah pihak
akan berpegang pada keyakinan filosofisnya tentang apa yang salah dan
apa yang benar. Tindakan dan keputusan Zobrist untuk membunuh
sejumlah besar manusia memiliki alasannya sendiri karena ia dipengaruhi
oleh Inferno Dante. Disebutkan bahwa ada cara untuk melenyapkan
manusia dan mengirimkannya ke inti bumi, yaitu Neraka atau Neraka.
Zobrist berpikir bahwa bumi terlalu tua untuk menampung jumlah
kelebihan penduduk, dan dia harus melakukan sesuatu.

Komentar Dalam jurnal ini dibahas tentang masalah kebenaran yang dimiliki setiap
orang mungkin berbeda dari orang lain; karenanya, mereka tidak akan
setuju dengan kita atau kepercayaan orang lain.

REVIEW JURNAL SINTA


FILSAFAT ILMU

Judul Problem Dualisme dalam Ontologi Filsafat Barat Modern dan


Pascamodern
Nama Jurnal Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam
Volume dan Volume 1, No.2, halaman: 227-243
halaman
Tahun Tahun Agustus 2017
Download https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tasfiyah/article/downloa
d/1852/1243
Penulis Ismail Al-‘Alam
Reviewer Kelompok 3: Fitri Hayati, Maghfirah Afifah, Riri Zulvira, Sania
Putriana, Saniyah Oktarisma, Ulandari Safitri
Tanggal Reviewer 10/10/2020
Abtrak The problem of Dualism along the history of Western philosophy
arise from full using of human ratio as the only source of knowledge,
without refer to Holy Revelation in its original and final form. Ratio
used in every speculation thinking about truth and reality. As an
impact of these mode, according Heidegger’s argument in An
Introduction to Metaphysics, the philosophers faced some inherent
problems when they to explain what Being is. The problem is what
Syed Muhammad Naquib al-Attas says as absolute-dichotomy on
hakikat (an Indonesian word that refer to both Truth and Reality).
Dialectically, the philosophers who emerge later always trying to
solve this problem based on previously thought until now, when
Postmodernism deconstruct subject, ratio, and Being. Even if their
project is eliminate Being in philosophical reasoning, Postmodernist
only shifting it without avoid the problem of Dualism.

Problem Dualisme sepanjang sejarah filsafat Barat muncul dari


penggunaan penuh terhadap akal budi manusia sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan, tanpa merujuk kepada Kitab Suci dalam
bentuknya yang asli dan final. Sebagai dampak dari keadaan ini,
mengikuti argumentasi Heidegger dalam An Introduction to
Metaphysics, para filsuf menghadapi beberapa persoalan inheren
tatkala mereka mencoba untuk menjelaskan apa itu Wujud. Persoalan
tersebut ialah apa yang Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebut
sebagai penduaan mutlak peri hakikat (sebuah istilah bahasa
Indonesian yang merujuk sekaligus kepada Kebenaran dan Hakikat).
Secara dialektis, filsuf yang muncul belakangan selalu mencoba
mengatasi persoalan ini berdasarkan kepada pemikiran sebelumnya
hingga saat ini, saat Posmodernisme mendekonstruksi subyek, akal
budi, dan Wujud. Meskipun proyek mereka adalah menyingkirkan
wujud di dalam penalaran filosofis, para Posmodernis hanya
menggesernya tanpa menghindari persoalan Dualisme.
Pendahuluan
Filsuf muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, menyebutkan bahwa salah satu ciri khas pandangan hidup
(worldview) Barat adalah dualisme. Kamus Cambridge Daring secara umum
mengartikan dualisme sebagai “keyakinan bahwa segala sesuatu terbagi atas
dua bagian yang biasanya sangat berbeda dan berlawanan”. Kamus Oxford
Daring juga menunjukkan arti sejenis, dengan menambahkan
pengartian khusus dalam peristilahan filsafat, yakni “sebuah teori atau
sistem pemikiran yang memandang realitas dalam dua prinsip yang
independen.” Menurut Al-Attas, dualisme menguasai semua ranah
kehidupan dan filsafat Barat baik yang spekulatif, sosial, politik, dan
kebudayaan. Dualisme terjadi ketika akal budi manusia melakukan
“...penduaaan mutlak peri hakikat”. Apa yang dimaksud Al-Attas sebagai
“yang spekulatif ” pada gambaran tentang dualisme tersebut adalah telaah
akal budi untuk melihat ke depan (speculari), secara refleksif, hal-ihwal
hakikat wujud yang hadir di kesadarannya. Sebagaimana yang ditulis
al-Attas sbb:

“intisari dari falsafah hidup kebudayaan Barat ini


berdasarkan kepada penerimaan faham dualisme, atau
penduaan yang mutlak peri hakikat, termasuk penduaan
nilai kebenaran, sebagai kenyataan yang dianggapnya
benar dan mutlak. Faham dualisme ini mengikrarkan
adanya dua hakikat dan kebenaran yang bertentangan dan
yang mutak.”

Penelusuran akan hal-ihwal hakikat wujud mengantarkan


Barat kepada tradisi Esensialisme. Setiap kali berupaya merumuskan
dan menyampaikan hakikat realitas yang utuh-penuh-padu, para
filsuf sejak Thales (abad 7) sampai kaum Positivisme Logis dan
Neomarxis di abad 20 senantiasa berhadapan dengan realitas lain
yang dinegasikannya. Hal ini menghasilkan dualisme atau, dalam
bahasa Martin Heidegger (1889-1976), suatu dikotomi antara
Ada (dengan A besar, Being) dan ada-an (beings), serta yang-ontologis
dan yang-ontis. Heidegger menawarkan analisis baru terhadap
realitas, yakni hermeneutika, yang berangkat dari kesadaran terawal
manusia sebagai “Dasein” (Ada-di-dunia) sebelum memenuhi akal
budinya dengan pemikiran esensialis yang diwariskan para filsuf
terdahulu. Karena filsafat adalah asal-usul dari ilmu pengetahuan,
“wabil khusus” ilmu pengetahuan modern, dualisme atau tradisi
esensialisme memberi dampak pada pengembangan metodologi
ilmu pengetahuan tersebut.
Permasalahan Tulisan ini akan membahas secara singkat asal-muasal dualisme
dan tradisi esensialisme, dengan merujuk hanya pada beberapa
pemikiran filsuf yang mempengaruhi zamannya dan zaman
setelahnya. Dengan mengacu pada uraian Heidegger, penulis akan
menunjukkan bahwa dualisme adalah keadaan niscaya dari upaya
filsuf Barat dalam merumuskan realitas yang utuh-penuh-padu.
Setelah itu, penulis akan menguraikan kritik Heidegger terhadap
dualisme atau tradisi esensialisme tersebut, yang melahirkan tradisi
baru bernama Fenomenologi (sebagai kritik terhadap dualisme)
dan Eksistensialisme (sebagai kritik terhadap esensialisme). Kedua
konsep tersebut ditafsirkan secara radikal dan nihilistis oleh para
filsuf setelah Heidegger, seperti Lacan (1901-1981), Derrida (1930-
2004), dan Lyotard (1924-1998), dan menandakan sebuah era baru
bernama Pascamodernisme (Postmodernism).
Meski Pascamodernisme bersifat nihilistis dan terkesan
menuntaskan persoalan dualisme, penulis akan menunjukkan bahwa
pemikiran mereka justru melahirkan dualisme baru; dualism bentuk
lain, yakni antara ‘Realisme’ dan ‘Idealisme.’ Secara singkat, Realisme
adalah aliran yang memahami bahwa ralitas adalah wujud di luar
kesadaran dan tidak korelat dengan kesadaran, sedangkan Idealisme
adalah aliran yang memahami bahwa realias wujud sejauh ia korelat
dengan kesadaran, karena ia bermula dari dan berakhir kepada
kesadaran manusia itu sendiri. Dengan menghancurkan kepastian
bahasa sebagai representasi dari realitas, sebagaimana akan
disinggung di bawah, Pascamodernisme adalah Idealisme dalam
bentuk ekstrim. Hal tersebut diakui oleh beberapa filsuf muda
seperti Quentin Meillasoux (1967). Dalam rangka memberikan
kritik mendasar, sekaligus sebagai penutup, penulis di bagian akhir
akan membahas pandangan Islam terhadap wujud dengan kembali
pada pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Hasil dan Dualisme dalam Penelusuran Filsafat-Pertama
pembahasan
Telaah akal budi yang spekulatif terhadap wujud secara
keseluruhan dan sebagaimana adanya menjadi salah satu cabang
filsafat, bahkan yang paling utama, bernama ontologi. Ontologi
berasal dari kata “ontos” (ada) dan “logos” (pembicaraan, ilmu).
Secara sederhana, ontologi berarti ilmu tentang “yang ada sebagai

yang-ada.” Istilah ini diperkenalkan oleh Christian Wolff (1679-1754)7


dalam upayanya melakukan kategorisasi dan sistematisasi terhadap
pemikiran para filsuf terdahulu, seperti Aristoteles (384-322). Ada
beberapa bab dari karya Aristoteles yang ditulisnya setelah buku
Fisika; oleh Andronikos dari Rhode. Karya-karya tersebut dinamai
metafisika, atau “setelah fisika.” Kandungan dari metafisika tersebut
adalah pembahasan hal-ihwal yang ada sebagai yang ada dan ihwal
teologi, sebagai abstraksi tingkat lanjut dari pembahasan hal-
ihwal fisika. Istilah fisika sendiri sebenarnya bermakna “tentang/
mengenai alam.” Istilah “setelah” atau “meta-” pada kata metafisika
tidak bermakna ruang atau waktu, melainkan dalam sistematika
pembahasan, sehingga metafisika dapat dimaknai sebagai upaya
Aristoteles dalam melakukan abstraksi terhadap penampakan fisikal
yang diamatinya menuju ke arah yang ada sebagai yang-ada.

Dalam pembacaan Martin Heidegger,ontology


mengantarkan fisafat Barat pada pembicaraan tak berkesudahan
tentang “ousia” atau esensi, sehingga filsafat Barat adalah filsafat
yang merentang sebagai tradisi Esensialisme. Dampak dari hal
tersebut, bagi Heidegger, adalah kemunculan dikotomi antar
keadaan permanen dari esensi yang dirumuskan para filsuf dengan
hal-ihwal di dalam realitas yang senantiasa berubah.

Kritik Atas Filsafat-Pertama sebagai Esensialisme

Upaya menelusuri filsafat pertama para filsuf Barat ini, bagi


Heidegger adalah sebuah tradisi Esensialisme yang lupa
memisahkan antara Ada (Being) dan adaan-adaan (beings),antara
wujud (existence) dan maujud (existent). Para filsuf telah
melupakan hal paling dasar dari keberadaan dirinya, dan
keberadaan manusia pada umunya, bahwa sebelum upaya-upaya
rasional tersebut manusia sudah terlebih dahulu ada disana
(dasein). Dalam hal ini, Heidegger mengikuti gurunya, Edmund
Husserl (1859-1938) yang dikenal sebagai bapak Fenomenologi.
Melalui Fenomenologi, Husserl hendak mengembalikan
kesadaran manusia yang terhalang pelbagai teori dan spekulasi
akal budi para filsuf, ke kesadaran termurni terhadap dunia
kehidupan (lebenswelt). Fenomenologi Heidegger melampaui
Husserl, semenatara Hussserl masih mempercayai adanya ‘ego
Cartesian’ yang substansial sebagaimana dirumuskan oleh
Descartes, Heidegger lebih mengutamakan fenomenologi agar
kembali pada kesadaran eksistensial manusia dengan faktisitasnya,
sehingga yang hadir adalah pengalaman estetis-hermeneutis yang
unik.

Bagi Heidegger, segala rumusan esensial para filsuf, tetapi


juga teori-teori di pelbagai ilmu pengetahuan sosial-humaniora
yang saat itu tengah mengembangkan diri terlepas dari filsafat,
adalah penelaahan ontis yang berbeda dengan penelaahan ontologis.
Upaya penelaahan ontologis harus dikembalikan kepada manusia
yang mengada-dalam-dunia. Keadaan ini mengharuskan kita untuk
memisahkan antara cara manusia memahami dirinya (manusia)
dengan cara manusia memahami realitas partikular-individual
non-manusia (ontis). Manusia sebagai “dasein” akan memiliki
pemahaman primordial tentang dunia eksistensial. Di sinilah
Heidegger membuka jalan bagi tradisi baru dalam filsafat, yakni
hermeneutika radikal. Hermeneutika adalah filsafat pemahaman.
Pada mulanya, hermeneutika dibicarakan bersamaan dengan
kesadaran akan subyek Cartesian sehingga posisinya hanyalah
sampingan. Dalam pemikiran Kant, upaya hermeneutis manusia
diandaikan sejajar setelah Kant secara rasional merumuskan daya
telaah manusia yang (menurutnya) seragam. Setelah Heidegger
memberikan kritik mendasar atas tradisi esensialis, hermeneutika
memiliki kedudukan lebih terpusat bukan cuma di ranah
epistemologi, tetapi juga di ranah ontologi. Hermeneutika menjadi
filsafat pertama, sebelum pelbagai pemikiran rasional menawarkan
gagasannya.
Kesimpulan
Kritik Derrida sudah tepat tatkala ia menyebutkan bahwa
rasio manusia tak akan mampu merumuskan dan menyampaikan
realitas semesta. Namun alih-alih mengantarkannya kepada sesuatu
yang adiluhung. Derrida justru meradikalkan fenomenologi
Heidegger ke titik nihilisme. Bagi Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, inilah keadaan di mana akal manusia bekerja menelaah
realitas tanpa bimbingan wahyu.

Tradisi Esensialisme, menurut Al-Attas, muncul karena


pandangan terhadap realitas dilangsungkan berdasarkan tingkat
penalaran dan pengindraan biasa, perkembangan filosofis dan
saintifik kehidupan yang berkembang darinya. Jika ditilik dari
sudut pandang metafisika Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
hikmah, tak ada perbedaan nyata antara Esensialisme dan
Eksistensialisme. Postulasi atas dua posisi tersebut hanya wujud di
dalam pikiran manusia, bukan dalam realitas di luar kesadaran
manusia. Hal ini karena status ontologis Wujud dalam Islam tidak
terpisah. Semua wujud di alam ghaib dan syahadah adalah
makhluk yang wujudnya bergantung pada Allah yang
memberikannya wujud. Wujud tidak terpisah-pisah selain dalam
benak mental manusia, sebab wujud pada hakikatnya adalah
kesatuan, inilah yang disebut dengan “tauhid”.

Dalam Tauhid, pembahasan tentang wujud akan


mengantarkan manusia pada pengenalan terhadap Kebenaran.
Menurut Al-Attas, satu-satunya Wujud Mutlak adalah Allah,
sedangkan manusia dan segala makhluk-Nya adalah kenyataan
yang masa kehidupannya tak lebih dari dua atom perjalanan waktu
karena keberadaan mereka yang senantiasa hancur (fana). Wujud
selain Allah senantiasa ada disebabkan oleh penciptaan Allah yang
senantiasa menciptakan kembali sesuatu yang serupa dengan
sesuatu itu setiap kali dihancurkan. Artinya, tanpa ‘tauhid’, upaya
penelusuran yang ada sebagai yang-ada akan terus berada dalam
keadaan terombang-ambing sebagaimana dialami Barat dalam
rentang sejarahnya yang panjang.
Kelebihan Pada jurnal ini pendahuluan atau kajian teori dituliskan dengan begitu
tepat dan ringkas sesuai dengan judul. Daftar Pustaka juga banyak.
Hasil penelitian disajikan dengan kesimpulan - kesimpulan. Jurnal ini
dilengkapi dengan tabel analisis dan peta konsep. Selain itu, jurnal ini
dilengkapi dengan foot note.
Kekurangan Abstrak tidak mengandung tujuan penelitian. Kemudian metode
penelitian yang digunakan tidak tergambar pada jurnal. Batas-batas
antara tinjauan pustaka dan hasil penelitian kurang tergambar.
Komentar Setelah mereview jurnal ini, kami menemukan beberapa hal yaitu:

Masalah Dualisme filsafat Barat bersumber dari akal budi manusia


sebagai satu-sayunya sumber pengetahuan tanpa berpedoman kepada
Kitab Suci. Beberapa ahli filsuf memaparkan bahwa filsafat0filsafat
baru yang muncul saat ini selalu mencoba mengatasi permasalahan
dengan melihat ide-ide dari yang sebelumnya, sehingga dapat
menyingkirkan wujud dalam penalaran filosofis. Para posmodrnis
hanya mampu menggeser permasalahan tersebut tanpa menghindari
persoalan dualisme.

Serangan dari pascamodernis terhadap filsafat pertam seperti sudah


menyelesaikan pertentangan dualism, namun justru mengantarkan
filsafat pada keadaan serba tidak pasti karena realitas, rasio, dan
bahasa yang digugat. Para pascamodernis sebenarnya tidak
menyelesaikan persoalan dualisme. Meski tampak berada di pihak
Anti-realisme mutlak karena tidak mempercayai realitas sebagai Wujud
yang mandiri terhadap dirinya, mereka tetap mengandaikan sesuatu yang
telah Wujud terlebih dahulu sebelum kesadaran secara intensif (sesuai
dengan tesis Husserlian yang mereka ambil dari Heidegger)
mengarahkan dan menyematkan bahasa kepadanya -senihil apapun
bahasa dalam pemahaman mereka. Jika mengacu kepada peta konsep
Heidegger di atas, kaum Pascamodernis hanya sedang membalikkan apa
yang-wujud (being) dengan yang-mewujud (becoming) sambil terjebak
oleh luaran dari pemikiran mereka, yakni semesta yang-tampak
(appearance).

Menurut kelompok, jurnal ini sudah sangat cukup baik untuk


mengetahui sebuah informasi yang ingin dicari, jurnal ini sudah
memaparkan penjelasan dengan baik sehingga pembaca dapat
menangkap point penting dengan jelas serta penyampaian materi dari
ahli-ahli filsafat dapat memperkuat konsep dari dualism, ontology,
pascamodernis, dan sebagainya. Akan tetapi, pada jurnal ini harus
ada beberapa hal yang harus diperbaiki baik dari segi penulisan
maupun dari segi keterangan yang dibahas di dalam jurnal ini.

Judul MEMBANGUN ONTOLOGI JURNAL MENGGUNAKAN


PROTÉGÉ
Nama Jurnal Jurnal Transformatika
Volume dan Volume 10, No.1, halaman: 20-25
halaman
Tahun Tahun 2012
Download http://journals.usm.ac.id/index.php/transformatika/article/view/66/66
Penulis Atmoko Nugroho
Reviewer Kelompok 3: Fitri Hayati, Maghfirah Afifah, Riri Zulvira, Sania
Putriana, Saniyah Oktarisma, Ulandari Safitri
Tanggal Reviewer 10/10/2020
Abtrak In this time a lot of journal which its name almost same as another,
although one and another differ its content. That's make difficult to
find an expected article. Knowledge base on semantic or meaning
like ontology represent solution for problems like this. To build an
ontology used tool like Protégé, yielding a knowledge bases which in
the form of OWL.
Pendahuluan Saat ini dunia pendidikan di Negara Indonesia, terutama pendidikan
tinggi sedang gencar-gencarnya mendorong pertumbuhan penulisan
karya ilmiah, terutama untuk penerbitan jurnal yang dinilai masih
sangat kurang. Untuk memicu pertumbuhan jurnal, Pemerintah
Indonesia dalam hal ini melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mewajibkan setiap mahasiswa baik S-1, S-2 ataupun S-3
menerbitkan artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi.Aturan ini
tentunya membuat jurnal semakin banyak, semakin beragam, dan
membuat pencariansuatu artikel menjadi suatu pekerjaan yang tidak
mudah untuk dilakukan secara cepat.Pencarian suatuartikel
seringkalitidak dapatcepat dan tidak selalu sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini dikarenakanadanya persepsi yang berbeda-beda
diantara para pencari artikel tersebut, dan mesin pencari tidak bias
mengakomodasi persepsi yang ada. Contohnya adanyakesamaan arti
antara jurnaldan prosiding, yang halini bisa dipahami olehmanusia,
tetapi mesin (dalam hal ini komputer) tidakbias melihat hal ini. Agar
dapat mengakomodasi kaitan-kaitan persepsi yang ada
dibutuhkansuatu basis pengetahuan akan makna dan arti yang dikenal
sebagai ontologi
Metode Proses pembangunan ontologi merupakan suatu bentuk seni, yang
sebenarnya jauh dari sifat engineering. Setiap kelompok membangun
berdasarkan konsepnya sendiri-sendiri, belum ada kesepakatan. Hal
inilah yang menyebabkan pengembangan ontologi menjadi cukup
sulit. Menurut I Wayan SW (2007) ada beberapa metodologi yang
seringkali dipakai, dan metodologi yang sesuai adalah Metodologi
On-To-Knowledge (OTK).
Hasil dan Pada tahapan ini domain yang akan dibuat basispengetahuan ontologi
pembahasan akan digalimaterial yang adadidalamnya, sehingga semua hal yang
berkaitan dengan domain akan muncul untuk diolah lebih lanjut.
Selain menggali lebih dalam dengan pertanyaan, juga mencari keluar,
apakah ada basis pengetahuan yang berkaitan dengan domain yang
sudah ada, sehingga dapat menjadi bahan pengolahan lebih lanjut.
Kesimpulan Pembuatan ontologi jurnal yang menghasilkan file dalam formOWL
dapat dilakukan dengan alat bantu Protégé
Dengan memakai Protégé, dapat dilihat relasi-relasi yang ada, juga
hasil pencarian berdasarkan query-nya
Kelebihan Pada jurnal ini pendahuluan atau kajian teori dituliskan dengan begitu
tepat dan ringkas sesuai dengan judul. Daftar Pustaka juga banyak.
Dan hasil penelitian disajikan dengan kesimpulan- kesimpulan
Kekurangan Abstrak tidak mengandung tujuan penelitian. Kemudian hasil.
penelitian tidak dilengkapi dengan table.
Komentar Menurut kelompok dari jurnal ini sudah sangat cukup baik untuk
mengetahui sebuah informasi yang ingin dicari dan jurnal ini juga
harus ada beberapa hal yang harus diperbaiki baik dari segi penulisan
maupun dari segi keterangan yang dibahas di dalam jurnal ini

Anda mungkin juga menyukai