Anda di halaman 1dari 11

PERAN PANCASILA DALAM MEWUJUDKAN PERSATUAN DAN KESATUAN

Mata Kuliah
PPKN
Dosen Pengampu : Dr. Ilham Tohari, SH, M.H.I

Disusun oleh :

Anis Rohmah H. 932218818


Renis Setyo 932207518
Uum MidahLestari 932209718
Kelas–G

DEPARTMENT OF ENGLISH LANGUAGE EDUCATION


FACULTY OF EDUCATION
STATE ISLAMIC INSTITUTE OF KEDIRI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Agama merupakan sebuah kepercayaan yang dianut oleh seseorang dengan aturan-
aturan syariat tertentu. Agama merupakan pedoman dalam kehidupan. Dengan adanya
agama membuat hidup manusia menjadi teratur dan terarah.

Membicarakan tentang keteraturan, di dalam negara berarti hal ini berkaitan dengan
politik. Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata Negara, dan urusan yang
mencakup dalam pemerintahan ataupun masyarakatnya.

Di dalam kehidupan manusia tidak pernah berhenti dan mengurusi urusannya sendiri,
urusan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya, urusan bangsanya, ideologi dan pemikiran-
pemikirannya. Oleh karena itu setiap individu, kelompok, organisasi ataupun negara yang
memperhatikan urusan umat (dalam lingkup negara dan wilayah-wilayah mereka) bisa disebut
sebagai politikus. Kita bisa mengenali hal ini dari tabiat aktivitasnya, kehidupan yang
mereka hadapi serta tanggung jawabnya. Islam sebagai agama yang juga dianut oleh
mayoritas umat di Indonesia selain sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur hubungan
manusia dengan Rabb-Nya), juga merupakan aqidah siyasiyah (yang mengatur hubungan
antara sesama manusia dan dirinya sendiri). Oleh karena itu Islam tidak bisa dilepaskan dari
aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara. Islam bukanlah agama yang mengurusi
ibadah mahdoh individu saja. Persatuan termasuk dari maqoshid syar’iyyah(tujuan syari’at)
yang paling penting yang terkandung dalam agama ini. Al-Qur’an dan Rasulullah
senantiasa menyerukannya. Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak,
semuanya diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di
atas petunjuk dan kebenaran.

Seperti dikatakan oleh para Fuqaha (Ahli Fiqih) “Di mana ada maslahat, di situlah jalan
Allah”. Agama menghendaki kedamaian, kemaslahatan, dan keselamatan bagi umat manusia.
Agama tidak menghendaki kekacauan, kekerasan, dan kejahatan. Maka peran agama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah membawa kedamaian. kemaslahatan,
dan keselamatan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta mendorong manusia untuk berlomba berbuat
kebaikan (fa’stabiqul khairat).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna dan Fungsi Agama dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Agama merupakan sebuah kepercayaan yang dianut oleh seseorang. pengertian


agama adalah sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata cara peribadatan kepada
Tuhan dan hubungan antar manusia. Dalam ajaran sebuah agama, setiap
penganutnya diajari agar saling hidup rukun dengan sesama manusia.Persatuan adalahgabungan
(ikatan, kumpulan, dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu.

Sedangkan Kesatuan merupakan hasil perkumpulan tersebut yang telah menjadi satu
dan utuh. Sehingga kesatuan erat hubungannya dengan keutuhan. Persatuan dan kesatuan
berasal dari kata "satu" yang memiliki arti utuh atau tidak terpecah-belah. Kata Persatuan
sendiri bisa diartikan sebagai perkumpulan dari berbagai komponen yang membentuk menjadi
satu.

Dengan demikian persatuan dan kesatuan memiliki makna "bersatunya berbagai


macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi".
Persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dapat diartikan sebagai persatuan
bangsa/negara yang menduduki wilayah Indonesia. Persatuan itu didorong untuk mencapai
kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.Proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan awal dibentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Negara Indonesia yang diproklamasikan oleh para pendiri negara adalah negara
kesatuan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Sesuai
dengan semboyan bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya "meskipun berbeda-beda
tetapi tetap satu jua". Keragaman budaya turut serta didukung oleh wilayah
NegaraKesatuan Republik Indonesia yang terpisah wilayah-wilayahnya oleh
lautan.Keragaman merupakan suatu kondisi pada kehidupan masyarakat. Perbedaan
seperti itu ada pada suku bangsa, agama,ras, serta budaya.
B. Pluralisme Agama di Indonesia

Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian
ungkap Coward (1989:5). Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin
dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri,
baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Pluralisme keagamaan
merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti
pengamatan Coward (1989:167), setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau
dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika
tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan
dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan
disintegrasi bangsa. Kendati agama memiliki fungsi pemupuk persaudaraan dan fungsi tersebut
telah dibuktikan dengan fakta-fakta kongkret dari zaman ke zaman, namun di samping fakta
yang positif itu terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antarmanusia yang  bersumber pada
agama.   

Agama dan Pluralitas  secara normatif-doktriner agama selalu mengajarkan kebaikan,


cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis memperlihatkan sebaliknya, agama justru
dijadikan sumber konflik yang tak kunjung reda, baik konflik intern maupun ekstern, 
misalnya        bentrokan antara umat Kristen Gereja Purba dengan umat Yahudi, umat Kristen
dengan  penganut agama Romawi (agama kekaisaran) dalam abad pertama sampai abad ketiga.
Meminjam Syafiq Mughni, ketegangan atau konflik antarumat bergama di Indonesia biasanya
berkisar pada tiga wilayah yang berdiri sendiri atau saling terkait: pertama  wilayah ajaran, 
kedua wilayah sosial, ketiga wilayah kemanusiaan. Artinya, persoalan kemanusiaan (keadilan,
kejujuran, dan ketentraman dsb.) harus memancing respon dari berbagai agama untuk melakukan
kerjasama yang baik. Oleh sebab itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka
menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralitas  ini adalah dengan memahami ajaran
agama masing-masing secara utuh.

Sejak tahun 1967 hingga sekarang dialog antaragama gencar dilaksanakan, baik atas
prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu sendiri. Upaya dialog tersebut kemudian
dikenal dengan Musyawarah Antar-Agama, yang melibatkan para pemuka agama di Indonesia.
Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog yang
berlangsung di 21 kota. Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto (1998: 29-32),
tantangan yang dihadapi setiap agama saat ini ada tiga: pertama, soal disintegrasi dan degradasi
moral; kedua, soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga persoalan
tersebut sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif
yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalah
mengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut mengintervensi
agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-tantangan tersebut juga
dapat dijawab. Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja (1998:
79) menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah
bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat
yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat).

Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan (lihat: 1998: 23-24), bahwa ketegangan
agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris)
adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara
mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan kadang provokatif. Di
sinilah perlunya keterbukaan antarumat beragama melalui dialog-dialog segar dan menyejukkan
umat itu sendiri. Dialog yang ditindaklanjuti dengan kerja konkret, kata Victor I. Tanja (246).
Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus (1998:295) adalah,
dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis.
Karena setiap agama  memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi penegakan moralitas. Dengan tegas
dikatakan oleh Mudji Sutrisno (1998: 335), bahwa tidak cukup membangun dialog antaragama
hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika psikis. Maka ihktiar dialog
logis teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-pencairan psikologis, seperti rasa
saling curiga yang selama ini selalu muncul di kalangan umat beragama.

Masalah kerukunan umat beragama dan antar umat beragama   sangat penting untuk terus
dibina, sebab akhir-akhir ini kerusuhan di berbagai daerah yang melibatkan umat beragama, terus
bergejolak, meskipun pemicunya sangat kompleks menyangkut soal ekonomi dan politik. Tetapi
jika ajaran agama dipahami secara benar, sesungguhnya tidak akan terjadi kerusuhan tersebut,
sebab setiap agama mengajarkan kerukunan dan cinta kasih, menyerukan kebajikan dan
mencegah kemungkaran atau dalam bahasa al-Qur’an disebut amar ma’ruf nahi munkar.
C. Peran Agama dalam persatuan dan kesatuan bangsa

Agama terlihat menjadi faktor pemecah-belah. Sebab itu, persatuan bangsa terdengar
ironis.Tetapi kerukunan dan kerjasama antar berbagai kelompok agama merupakan keharusan,
dengan membentuk Indonesia merdeka sebagai negara-bangsa, kita semua bertekad untuk terus
hidup demokratis, dan damai.

Kini rasanya kita mengalami kemunduran dalam pemeliharaan persatuan bangsa,


terutama dalam pengertian ras dan keagamaan, kalaupun dalam arti etnis dan budaya kita sudah
banyak mencapai kemajuan. Yang seringkali dilupakan orang kelihatannya adalah bahwa
kebangsaan Indonesia merupakan konsep politik, tidak didasarkan atas ikatan etnis, rasial,
keagamaan, kultural, bahasa, atau ikatan-ikatan sektarian atau “primordial” lainnya. Bangsa
Indonesia dibentuk oleh kehendak “bangsa-bangsa” dalam arti sempit (Jawa, Sunda,
Minangkabau, dsb.) untuk hidup bersama dan senasib-sepenanggungan dalam suatu bangsa baru,
yaitu bangsa Indonesia, sehingga Indonesia merdeka yang hendak didirikan akan merupakan
negara-bangsa, dalam wilayah tanah air Indonesia, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
yang merupakan konsensus atau kompromi antara bahasa berbagai “bangsa” dalam pengertian
sempit tadi. Itulah yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Pemikiran dan aspirasi politik itulah yang merupakan faktor pemersatu utama bangsa
Indonesia. Kemudian, dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi negara, sebenarnya
berbagai agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia dipersatukan oleh sila Ketuhanan YME.

Implikasi konsep kebangsaan itu ialah bahwa tiada kelompok dalam Indonesia merdeka,
besar atau kecil, apa pun dasar atau ikatannya, mempunyai kedudukan istimewa atau menikmati
hak-hak istimewa. Semua orang dan semua kelompok mempunyai hak, kesempatan dan
kewajiban atau komitmen yang sama sebagai warga negara dan berkedudukan sama (equal) di
depan hukum.

Apakah musuh bersama yang akan selalu dapat mempersatukan bangsa? Musuh bersama
itu terutama adalah ketidakadilan. Kita tidak dapat memelihara persatuan dan integrasi bangsa
tanpa mengusahakan pemerataan atau mewujudkan keadilan. Tiada orang atau kelompok
bersedia diajak bersatu atau berintegrasi jika dalam persatuan itu dia atau mereka merasa
diperlakukan secara tidak adil, atau menderita sesuatu bentuk ketidakadilan seperti diskriminasi,
apa pun dasarnya, yang menyangkut kepentingannya.

Sebab itu inti masalahnya adalah, bagaimana berbagai golongan agama di Indonesia
dapat bekerjasama dalam perjuangan menegakkan keadilan, di samping menanggulangi masalah-
masalah bersama lainnya, seperti kemiskinan, keterbelakangan dan lingkungan hidup, yang
melampaui batas-batas keagamaan, etnis, rasial, bahasa ataupun budaya.

Keadilan merupakan prinsip, norma, atau sikap, yang menuntut persamaan. Dalam
pengertian ini keadilan sama dengan asas demokrasi sebagai suatu cita-cita. Sebab itu demokrasi
dan keadilan saling berkaitan, bahkan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Demokrasi menuntut persamaan dan keadilan, sedang keadilan dalam masyarakat atau keadilan
sosial hanya dapat diwujudkan secara lebih baik dalam sistem demokrasi.

Tuntutan atas persamaan itu ialah agar hak setiap orang dihormati dan semua manusia
diperlakukan secara sama, karena semua manusia diciptakan sama di hadapan Tuhan. Ini berlaku
pada kepentingan manusia dalam semua hidang kehidupan.

D. Agama Sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Agama adalah suatu keyakinan yang di jadikan suatu pedoman hidup, setiap agama
memiliki tujuan yang sama dalam berbagai hal kehidupan. Pada dasarnya eksistensi di
ciptakannya suatu manusia untuk menyembah atau mempercayai sang pencipta. Dalam proses
kehidupan untuk menyembah atau meyakini pencipta (Tuhan) disitu terbentuk suatu komunikasi,
ras, kebudayaan,tempat atau wilayah yang berbeda yang terciptanya suatu bangsa atau yang
disebut suatu kelompok manusia yang memiliki tujuan yang sama sehingga mereka dapat
melakukan sesuatu secara bersama-sama. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk sosial
yang tidak akan pernah bisa hidup secara individu, mereka saling membutuhkan satu sama lain
dalam hal itu toleransi, saling menghargai dan menghormati sangat berpengaruh pada tujuan
yang ingin mereka capai.Menurut Ibnu Khaldun keagamaantumbuh dari kesadaran diri
bukan semata-mata hasil dari pendidikan(Putra 2018), melainkan karena keyakinan mereka
pada sang pencipta (tuhan).
Secara universal agama ditinjau dari setiapkorelasi hukum yang berlaku di dalam
sebuah Negara,maka Agama islam sendiri mempunyai falsafah hidup, mempunyai satu
idiologi sebagaimana Kristen mempunyai falsafah hidup danidiologi, seperti juga orang
fasis atau komunis mempunyai falsafah hidup dan idiologinya sendiri pula(Shaleh and
Wisnaeni 2019). Agama islam adalah agama terakhir atau sebagai agama yang menyempurnakan
agama-agama sebelumnya untuk mereka yang meyakini itu. Di Indonesia sendiri ada enam
agama yang diyakini masyarakannya yaitu islam, kristten, katolik, Buddha, hindu, dan khong hu
cu. Agama Islam berisi kandungan nor-matif nilai-nilai spritual dan moral dalam Hubungan
tri dimensial, yakni umat Islam dengan Allah Swt, umat Islam dengan umat agama lain, dan
umat Islam dengan lingkungannya Hubungan ini sesuai dengan penegasan Al-Qur'an
Surah Ai-Hujuraat, 13: "Hai manusia, kami men-ciptakan kamu dari seorang laki-
laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengena(Rahman 2017). Karena setiap agama memiliki batesan-batesan atau
hukum-hukum yang di jadika mereka sebagai pedoman untuk hidup di akhirat, sedangkan untuk
kehidupan di dunia setiap agama pasti mengajarkan pada kebaikan untuk hidup. Agama Islam
mampu berfungsi sebagai sumber kekuatan spiritual, moral dan etik(Rahman 2017). Oleh
karena itu sumber hukum yang paling utama berasal dari agama.

Negara dapat terbentuk karena ada empat syarat yang harus dipenuhi suatu negara untuk
berbangsa yaitu adanya pemerintahan, wilayah, rakyat atau penduduk, dan kedaulatan. Dalam
suatu negara memiliki tujuan yang akan dicapai dalam hal kesejahteraan ekonomi, toleransi atar
umat beragama dll. Negara dalam pandangan Ibn Khaldun merupakan sebuah tatanan politik
yang berdiri atas dasar „ashabiyah atau kesatuan kelompok, penyerbuan serta kehendak
untuk mewujudkan kekuasaan(Putra 2018). Indonesia hidup dengan berbagai suku, ras, budaya
dan keyakinan yang berbeda-beda. Mereka disatukan dengan tujuan yang sama yang tidak
terlepas dengan peran agama sebagai satu kesatuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia memilik enam keyakinan yaitu islam, Kristen, katolik, buddha, hindu, dan khong hu
cu.

Agama merupakan landasan pembangunan suatu negara dan kerajaan, peran agama
dalam negara menurut Ibnu Khaldun diantaranya: pertama agama sebagai pemersatu,
kedua agama sebagai pendorong keberhasilan, dan ketiga agama sebagai legitimasi sistem
politik (Putra 2018).

1. Agama sebagai pemersatu

Ibnu Khaldun mengutarakan peran penting agama, khususnya Islam dalam


kehidupan sosial politik, yaitu sebagai faktor pemersatu dan pengutuh
masyarakat(Putra 2018). Jika suatu agama dan negara dipertentangkan akan
mempercepat munculnya disintegrasi suatu agama. Dalam pemersatuan negara
dibutuhkan solidaritas, saling menghargai, toleransi dan mempunyai tujuan yang
sama.

2. Agama sebagai pendorong keberhasilan

Dalam syariat Islam tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan
manusia tetapi juga sebagai pendorong akan keberhasilan dalam menjalankan
kehidupan sosial menjadi terarah(Putra 2018).

3. Agama sebagai legitimasi sistem politik

Negara sebagai konstruksi sosial manusia sebenarnya telah mampu untuk


melegitimasikan keberadaan dirinya sebagai organisasi sosial-politik yang
mempunyai tujuan untuk melindungi kepentingan dan tujuan bersama(Putra
2018).
BAB III
PENUTUP

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman agama. Perbedaan agama


yang dimiliki Indonesia bukanlah suatu halangan untuk berkembang dan memajukan masyarakat
Indonesia. Dengan keberagaman yang unik serta rasa toleransi yang tinggi membuat masyarakat
Indonesia harus bisa bersatu dan menjadikan toleransi sebagai pemersatu bangsa. Walaupun
berbeda agama namun, Indonesia adalah negara yang memiliki jiwa penguat yaitu Pancasila.
Landasan negara Indonesia sebagai pedoman dan tujuan dari seluruh masyarakat Indonesia.
Selain hal tersebut masyarakat Indonesia menunjukkan sikap ketoleransian dengan
masalah kerukunan umat beragama dan antar umat beragama   sangat penting untuk terus dibina,
sebab akhir-akhir ini kerusuhan di berbagai daerah yang melibatkan umat beragama, terus
bergejolak, meskipun pemicunya sangat kompleks menyangkut soal ekonomi dan politik. Tetapi
jika ajaran agama dipahami secara benar, sesungguhnya tidak akan terjadi kerusuhan tersebut,
sebab setiap agama mengajarkan kerukunan dan cinta kasih, menyerukan kebajikan dan
mencegah kemungkaran atau dalam bahasa al-Qur’an disebut amar ma’ruf nahi munkar.
REFERENSI

Andito (ed) (1998). Atas Nama Agama: Wacana Dialog Bebas Konflik. Bandung, Pustaka  
Coward, Harold (1989). Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta, Kanisius.
Dian Interfidei (1995). Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I. OC.
Hendro Puspito (1984). Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius. Ulumul Qur’an (1993). No. 4,
Volume IV.        
 Imarah. 1999. Islam dan Pluralitas. Jakarta : Gema Insani Press.                        
Putra, Davit Hardiansyah. 2018. “Peran Agama dalam Negara Menurut Ibnu Khaldun,” no. 2:
20.
Rahman, Abd Rasyid. 2017. “PERAN AGAMA DALAM MEMPERKUAT INTEGRASI
NASIONAL (DALAM PRESPEKTIF SEJARAH),” 9.
Shaleh, Ali Ismail, and Fifiana Wisnaeni. 2019. “HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
MENURUT PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1 (2): 237–49.
https://doi.org/10.14710/jphi.v1i2.237-249.

Anda mungkin juga menyukai