Anda di halaman 1dari 12

PSIKOLOGI LINTAS AGAMA

HARMONISASI KEHIDUPAN UMAT BERAGAMA DI


INDONESIA
Makalah

Dosen Pengampu :

Drs. H. Jainudin, M.Si

Disusun Oleh :

Insan Falah Karim (J71215116)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2018
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur Kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang
telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Harmonisasi Kehidupan Umat Beragama di
Indonesia” dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

Makalah ini telah di selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, penyusun sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku penyusun
menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Demikian yang bisa penyusun sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Surabaya, 6 Juni 2018

Penyusun
BAB I

A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang diperlihatkan dari banyaknya agama,
suku, dan ras. Kemajemukan di Indonesia telah lama hadir sebagai realitas empirik yang
tak terbantahkan. Indonesia kemudian dikenal sebagai bangsa dengan sebutan “mega
cultural diversity” karena Indonesia terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnis dengan
lebih dari 500 jenis ragam bahasa yang berbeda.

Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah persoalan baru, tetapi memang sesuatu yang
sudah ada sejak lama. Istilah ini juga digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk
menggambarkan struktur masyarakat Indonesia.

Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu; pertama,
majemuk secara horizontal. Ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta kedaerahan. Kedua,
secara vertical, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan
lapisan bawah yang cukup tajam. Struktur masyarakat majemuk pada dasarnya tidak bisa
ditafsirkan sebagai ancaman bagi kohesivitas sosial. Sebaliknya justru menjadi potensi
besar pembentukan masyarakat yang demokratis, yang dicirikan terbangunnya civil society.
(Ismadi & Arisman, 2014)

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia diatur dalam kebijakan perundang-undangw


diantaranya, UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 & 2, pasal 29 ayat 2, UU No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik pasal 18, UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 22 dan UU No. 1/PNPS/1965, jo UU No. 5/1969
tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama.

Kebebasan beragama di Indonesia adalah hak setiap individu selama kebebasan itu
tidak merugikan orang lain. Manusia yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari
aktivitas berpikirnya yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dan lingkungan di mana dia
berada.

Dari keadaan ini memunculkan berbagai ide, baik itu berupa gagasan yang dituangkan
dalam bentuk tulisan maupun sikap. yang kesemuanya itu tidak mungkin terpenuhi tanpa
adanya sikap toleransi dari lingkungan dimana ia berada. Jadi, toleransi dan kebebasan
adalah dua hal yang mesti ada dan saling berhubungan.

1
Pemahaman keagamaan adalah hal yang paling esensial demi terwujudnya masyarakat
kondusif. Pada prinsipnya semua agama mengedepankan budaya toleransi dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari ketinggian kekuasaan Sang Khalik.
(Ahmad, 2018)

Pemahaman keberagaman ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya
membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa
sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah
yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi
dari para pegiatdakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik
(agama) orang lain.

Membangun harmonisasi beragama memang hal yang mesti dilakukan oleh umat
beragama dalam menyatukan serta menanamkan rasa persaudaraan juga rasa kekeluargaan
walau itu berbeda keyakinan. Keragaman suku, ras, agama didunia khususnya di Indonesia
memang bukan hal yang baru kita ketahui untuk itu perlu kiranya jika kerukunan umat
bergama di Indonesia khususnya ditanamkan untuk saling bahu membahu satu sama lain
dalam pembangunan Indonesia yang tercinta ini.

Namun harmonisasi bukanlah ranah untuk menyatukan kepercayaan umat bergama


melainkan hanya untuk menanam rasa welas asih antar-sesama. Dengan pengakuan dan
pelaksanaan inilah, Islam akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (rahmatan lil
'alamin).

Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun


pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah
lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketenteraman, keamanan, dan ketertiban
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuhkembangkan
keharmonisan saling pengertian, menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama
bahkan menertibkan rumah ibadah.

Namun, akhir-akhir ini, keberagaman umat itu ternoda oleh konflik yang bernuansa
agama. Bangunan harmonisasi dalam bingkai kerukunan umat beragama menjadi goyah.
Bila tidak ditata kembali, berpotensi rubuh yang berujung pada disintegrasi bangsa.
Munculnya konflik ataupun kekerasan dipicu sikap saling mencurigai antar umat beragama
maupun internal umat. Sikap ini muncul karena mereka kurang bersosialisasi antar agama
lain atau kurangnya memahami agama masing-masing maupun agama orang lain.

2
BAB II

B. PEMBAHASAN

Dalam upaya mengantisipasi disintegrasi dan konflik kekerasan atas nama agama,
kiranya perlu dilakukan upaya untuk mencapai saling mengerti seperti mencari titik
persoalan agama yang sedang dihadapi. Dialog antaragama dalam ruang publik diharapkan
dapat membangunkan kesadaran dari umat beragama, bahwa ternyata ada dimensi yang
relatif dan absolut dari setiap agama. Upaya saling kemengertian akan mencerminkan
dinamika kehidupan dan kerukunan beragama di Tanah Air.

Selama ini upaya untuk harmonisasi kehidupan umat beragama baru dilakukan sebatas
dialog antar kalangan elit semata. Tokoh-tokoh tersebut pada umumnya para elit agama,
pemimpin organisasi sosial keagamaan atau tokoh adat tanpa melibatkan aspek kehidupan
lainnya seperti pranata sosial, eknomi, dan budaya.

Hal ini disebabkan adanya anggapan masyarakat bahwa tokoh elit merupakan
manifestasi dari sosok yang mempunyai kharisma. Dialog di kalangan elit seperti tokoh
masyarakat, agama maupun adat belum menyentuh kalangan pranata sosial, ekonomi,
pendidikan dan lainnya. Akibatnya, dialog belum masuk ranah akar rumput dan kurang
menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. (UMY, 2011)

Peran elit dalam penyelesaian peristiwa-peristiwa disharmoni umat beragama


terkadang hanya bersifat artifisial, elitis dan kurang menyentuh akar permasalahan
sebenarnya. Sehingga muncul sebuah ungkapan yang sedikit sarkastis bahwa “semakin
banyak dialog antar tokoh semakin banyak pula disharmoni yang terjadi”. (UMY, 2011)

Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini bebas menganut agama tertentu dan
besok hari menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas
semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus
dipahami sebagai bentuk pengakuan akan adanya agama-agama lain selain agama kita
dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan
untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Dalam bertoleransi agar terciptanya harmoni setiap orang yang beragama harus percaya
bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain
juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar. Meyakini bahwa antara satu

3
agama dan agama yang lainnya selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan, hal ini
disebut dengan jalan agree in disagreement. (Ismadi & Arisman, 2014)

Melihat perkembangan kehidupan beragama di masyarakat, ada delapan faktor


penyebab rentannya kehidupan umat beragama di Indonesia diantaranya :

1. Pendirian tempat beribadah yang tidak memperhatikan situasi kondisi sekitarnya.


2. Penyiaran agama yang dilakukan baik melalui tulisan, media maupun secara lisan yang
ditujukan kepada orang yang sudah beragama lain.
3. Bantuan luar negeri baik secara materi/finansial maupun tenaga ahli yang tidak
mengikuti aturan.
4. Perkawinan beda agama
5. Perayaan hari besar keagamaan yang tidak memperhatikan kondisi situasi dan tempat
perayaan.
6. Penodaan agama yang umumnya bersifat melecehkan ataupun merendahkan agama
lain.
7. Kegiatan aliran yang tidak sesuai dengan kaidah hukum yang dilakukan sekelompok
orang yang memiliki keyakinan menyimpang terhadap suatu agama.
8. Aspek non agama yang mempengaruhi seperti kepadatan penduduk, kesenjangan sosial
ekonomi, pendidikan.

Delapan hal di atas tidak bisa di hindari. Maka dari itu, pemerintah harus
menggalakkan wawasan kebangsaan Indonesia mengharuskan adanya keberagaman dan
kebhinekaan sehingga setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan
tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.

Berdasarkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan disharmonisasi, maka peril


dilakukan upaya untuk mewujudkan keharmonisan beragama terutama pada masyrakat
indonesia yang heterogen, diantaranya:

1. Dialog antar agama


Dialog agama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai
agama, komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama, jalan
bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang
menyangkut kepentingan bersama, dan merupakan perjumpaan antarpemeluk
agama, tanpa merasa rendah dan tanpa merasa tinggi, serta tanpa agenda atau
tujuan yang dirahasiakan.

4
Dialog harus diakui sebagai suatu cara yang paling penting untuk
membudayakan hidup rukun dan harmonis di antara seluruh umat beragama
yang sekarang berada dalam era global dan plural. Agama hanya bisa dihayati
baik dalam semangat dialog vertikal (antara individu dengan Tuhannya)
maupun dialog horizontal (antara sesama manusia). Dialog vertikal akan
membuahkan kehidupan yang suci, indah, dan jauh dari kesengsaraan.
Sedangkan, dialog horizontal akan menciptakan ketertiban, keserasian,
kedamaian, kerjasama dan sebagainya. (Izzah, 2013)
2. Lokakarya dan bakti sosial
Dalam ajang pemersatuan baik secara ideologis maupun secara social
masyarakat yang plural perlu menjalin kerjasama dalam hal mempererat cinta
kasih antar sesame, jika masyarakat sudah bisa melakukan berbaur dalam hal
positif maka akan terjalin rasa persaudaraan yang erat dan akan mustahil
terjadinya distorsi terhadap yang lain.
3. Bentrokan dan kerusuhan hanya menimbulkan luka
Menyakinkan masyarakat bahwa bentrokan dan kerusuhan hanya akan
meninggalkan luka dan trauma yang mendalam. Tak satupun daerah yang me-
ngalami konflik dan bentrok akan sembuh dengan cepat secara psikologis.
Ketakutan-ketakutan akan menghinggapi anggota masyarakat terutama kaum
perempuan dan anak-anak. Bahayanya lagi, bila stigma negatif akibat konflik
menjadi emberio lahirnya “pahlawan” atau “martir” dari kedua belah pihak dan
menjadi kenangan yang semakin memperdalam jurang pertikaian.
4. Menghilangkan prejudice
Menghilangkan prejudice atau prasangka negatif terhadap orang yang
berbeda dengan kita. Sebab prejudice menjadi bagian dari pemicu konflik sosial
di masyarakat. Memandang kelompok lain yang berbeda dengan prasangka ne-
gatif hanya akan menimbulkan antipati terhadap kelompok tersebut. Sehingga
memudahkan munculnya gesekan-gesekan yang akan memicu konflik. Artinya
harus muncul sikap saling menghargai perbedaan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
5. Menyelesaikan akumulasi permasalahan sosial
Menyelesaikan akumulasi permasalahan sosial, seperti, kemiskinan,
pengangguran dan lain-lain. Sebab konflik bernuasa agama tidak semuanya be-
rakar karena persoalan agama. Menurut KH Hasyim Muzadi 70 persen konflik
5
keagamaan terjadi karena faktor non-agama yang diagamakan. Terkadang
konflik lahir karena persoalan kegundahan sosial dan politik, kemudian
berevolusi menjadi bungkahan kekecewaan. Mereka tidak menemukan solusi
yang tepat dan menjadi pribadi atau kelompok yang teralienasi dalam meng-
hadapi berbagai masalah sosial. Akibatnya, mudah tersulut emosi dan dipenga-
ruhi pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab sehingga terjadilah konflik
sosial di masyarakat.
6. Regulasi pendirian rumah ibadah
Menegakkan regulasi tentang pendirian rumah ibadah dengan tegas dan
adil. SKB dua menteri sejatinya sudah baik bagi umat beragama sebagai pan-
duan dalam mendirikan rumah ibadah. Namun, banyak pihak-pihak yang me-
ngatasnamakan kebebasan beragama menerobos rambu-rambu yang telah di-
sepakati bersama. Sehingga menggunakan berbagai cara untuk membangun
rumah ibadah. Hasilnya, ada rumah ibadah yang sudah dibangun, tapi izinnya
belum didapatkan. Hal inilah yang terkadang memicu konflik dan diperkuat
dengan tidak tegasnya pemerintah daerah dalam menegakkan aturan.
7. Membentuk Kultur yang Toleran
Terdapat beberapa faktor untuk merajut kerukunan antarumat beragama,
dalam membentuk kultur yang toleran, inklusif terhadap sesama perbedaan
agama yang lain, diantaranya:
a. Perlu dilakukan revitalisasi mengenai tiga prinsip kerukunan antarumat
beragama. Diperlukan tindakan komunikasi yang aktif antar-internal umat
beragama, dan dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama. Hal
itu bertujuan membina mental dan keagamaan umat beragama melalui
bimbingan-bimbingan yang mengarah kepada keharmonisan beragama
sehingga terjalin saling mengakui, saling percaya, dan saling menghargai
antara agama yang satu dengan yang lain.
b. Membangun kesadaran terhadap setiap pemeluk agama akan arti penting
kerukunan, sebagai upaya menghindarkan pertentangan antaragama,
sehingga tidak menimbulkan destruktivitas yang dapat mengancam umat
yang lain. Kerukunan beragama adalah hidup berdampingan di atas
perbedaan agama yang lebih menekankan damai dan ketenteraman dalam
beragama.

6
c. Kementerian Agama harus turut serta dalam membangun bingkai kerukunan
umat beragama dan bahkan melalui Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB), dengan mendatangkan beberapa tokoh pemuka agama dari Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, serta menghadirkan ormas keagamaan
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gereja Kristen Indonesia (GKI), NU,
dan Muhammadiyah. Tujuannya bekerja sama membentuk ruang dialog
antaragama dalam menyelesaikan konflik antara agama yang saat ini terjadi
di Indonesia. Institusi-institusi agama juga harus secara konsisten
mendukung kembali tiga prinsip kerukun¬an, serta memelihara Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia serta
keumatan dalam beragama.
d. Pemerintah melalui Kementerian Agama harus berpartisipasi kembali untuk
mengaktifkan FKUB yang ada di daerah-daerah seluruh Indonesia. Program
FKUB dalam menyelenggarakan dialog antarumat beragama merupakan
kepentingan bersama dalam upaya merajut kembali kerukunan dan
keharmonisan dalam beragama.
8. Pranata Sosial
Drs. Abdul Madjid, M.Ag menjelaskan salah satu upaya untuk menciptakan
harmonisasi dalam kehidupan umat bergama yaitu, pranata sosial.
Pranata sosial merupakan sistem norma yang bertujuan untuk mengatur
tindakan maupun kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan
bermasyarakat bagi manusia. Dalam kehidupan masyarakat pranata sosial
berwujud meliputi pranata keluarga, politik, pendidikan, ekonomi dan agama.
Tujuan dari pranata sosial itu sendiri adalah untuk menjaga keutuhan dalam
masyarakat tertentu, memberikan pedoman pada anggota masyarakat untuk
bertingkah laku atau bersikap, serta memberi pegangan pada masyarakat untuk
menandakan sistem pengendalian sosial.
Menurutnya posisi pranata-pranata sosial tersebut baik formal maupun non
formal secara kelembagaan dan kultural mempunyai pengaruh yang kuat di
masyarakat. “Selain itu juga berpotensi kuat sebagai perekat atau agen
harmonisasi kehidupan beragama. (UMY, 2011)

Umat beragama pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara


kerukunan umat beragama, pada bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan.

7
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara
pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintah lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertikal, menumbuh kembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat
beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.

Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan;

1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama


2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan mematuhi peraturan keagamaan baik
dalam Agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.

Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama,
ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.

8
BAB III
C. PENUTUP

Kehidupan beragama yang dinamis merupakan faktor dasar yang bersifat menentukan
bagi terwujudnya stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan, kerukunan, perdamaian dan
ketenangan hidup. Kehidupan beragama yang dinamis menuju terciptanya kerukunan umat
beragama sesungguhnya berdampak positif bagi kehidupan umat manusia.

Menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai


berikut. Pertama, saling tenggang rasa, menghargai, dan bertoleransi antarumat beragama.
Kedua, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Ketiga,
melaksanakan ibadah sesuai agamanya. Keempat, mematuhi peraturan keagamaan baik
dalam agamanya maupun peraturan negara atau pemerintah.

Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antarumat beragama merupakan


indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan
hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.

Perlunya peran semua elemen bangsa terutama pemerintah menjadi penting dalam
mewujudkan masyarakat Indonesia yang harmonis. Selaras dengan UU No 7 tahun 2012
pasal 9 yang menyatakan bahwa, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib meredam po-
tensi konflik sosial di masyarakat”.

Pemerintah, terutama Kementerian Agama perlu meningkatkan sosialisasi pemahaman


keagamaan yang inklusif, terbuka, moderat dan saling bekerjasama pada masyarakat
sehingga mendukung upaya aktif mewujudkan kerukunan umat beragama. Pemerintah
secara aktif harus turut menfasilitasi kelompokkelompok sosial, budaya dan keagamaan
untuk membicarakan agendaagenda kegiatan budaya agar tidak menjadi persaingan yang
kurang sehat dan mengarah pada pertentangan atau konflik, tetapi sebaliknya agenda
kegiatan budaya tersebut dapat saling mengisi dan mengautkan kerukunan masyarakat,
khususnya umat beragama. Tokoh-tokoh agama dan budaya di Singkawang juga perlu
untuk menjalin kerjasama antar umat beragama dalam bidang budaya, serta melakukan
rekacipta budaya yang mempererat interaksi antar umat beragama.

Kerjasama dan sinergisitas dengan pemerintah yang berlandaskan toleransi pasti akan
mampu menciptakan kerukunan dan keharmonisan hidup umat beragama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

9
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F. (2018, April 21). Mewujudkan Harmonisasi Umat Beragama. Retrieved from NU
Online | Soeara Nahdlatoel Oelama: www.nu.or.id
Haryanto, J. T. (2012). Interaksi dan Harmoni Umat Beragama. Walisongo, 211-234.

Ismadi, & Arisman. (2014). MEREDAM KONFLIK DALAM UPAYA HARMONISASI


ANTAR UMAT BERAGAMA. TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama,
200.

Izzah, L. (2013). Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia.


Religi, 1-22.

Kirom, S. (2015, Juli 27). Merajut Harmonisasi Umat Beragama. Retrieved from Media
Online Gagasan Hukum | Artikel, Legal Opinion:
https://gagasanhukum.wordpress.com
Redaksi, T. (2015, Oktober 22). Membangun Harmonisasi Umat Beragama. Retrieved from
Harian Haluan | Mencerdaskan Kehidupan Masyrakat: https://harianhaluan.com/

UMY, B. (2011, Januari 3). Tingkatkan harmonisasi kehidupan umat beragama melalui
Penguatan Pranata Sosial. Retrieved from UMY | Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta: www.umy.ac.id

10

Anda mungkin juga menyukai