Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah
memberikan rahmat serta karuniaNya kepada kita semua sehingga saya dapat
menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu dengan judul “Sejarah Pendidikan
di Indonesia”.

Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dosen dan teman-teman


mahasiswa dapat dengan mudah memahami isi dari Makalah ini. Harapan saya
semoga Makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca.

Walaupun komposisi Makalah ini masih jauh dari unsur kesempurnaan,


terutama dari penyajian kelengkapan materi. Oleh karena itu, saran tak lupa saya
nantikan demi kesempurnaan Makalah ini.

Dengan selesainya Makalah ini, saya menghaturkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan
Makalah ini dari awal sampai akhir.

Palembang, Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 2
1.4 Manfaat .............................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
2.1 Pendidikan Indonesia di Masa Kerajaan........................................................ 3
2.2 Pendidikan Pada Masa Islam........................................................................... 6
2.3 Pendidikan di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda............................ 9
2.4 Pendidikan di Indonesia Zaman Jajahan Jepang (1942-1945) ................... 13
2.5 Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia ............................................ 14
2.6 Perjuangan Guru Dimasa Penjajahan Belanda dan Keadaan Pendidikan,
Guru Serta Bentuk-Bentuk Sekolah ......................................................................... 16
2.7 Hubungan Antara PGHB, Boedi Oetomo serta Asuransi Bumi Putera .... 19
2.8 Lahirnya PGRI dan Kongres PGRI .............................................................. 21
2.9 Peranan PGRI dimasa 1945-1950 (Pergerakan Kemerdekaan) ................. 23
BAB III............................................................................................................................. 24
PENUTUP........................................................................................................................ 24
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 24
3.2 Saran ................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia pernah mengalami masa penjajahan baik oleh bangsa barat


maupun pada masa penjajahan Jepang. Sehingga tidak mengherankan apabila
pengaruhnya sangat kuat dalam segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi,
maupun militer.

Masa penjajahan juga berpengaruh terhadap sejarah pendidikan di


Indonesia. Secara garis besar, sejarah pendidikan di Indonesia terbagi atas sistem
pendidikan di masa kerajaan, sistem pendidikan pra kemerdekaan dan masa
kemerdekaan.

Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: Era Prakolonial,
munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang
terutama mengandalkan perdagangan; Era Kolonial, masuknya orang-orang Eropa
(terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan
oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan
abad ke-20; Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
(1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa
pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta Era Reformasi yang berlangsung sampai
sekarang.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas
lebih jauh, antara lain:

1. Bagaimana pendidikan Indonesia di masa kerajaan?

2. Bagaimana pendidikan Indonesia di masa penjajahan Belanda?

3. Bagaimana pendidikan di Indonesia zaman penjajahan Jepang (1942-1945)?

1
4. Bagaimana pendidikan di Indonesia pada masa Islam?

5. Bagaimana perjuangan guru masa penjajahan Belanda?

6. Siapakah perintis perguruan pertama kali di Indonesia?

7. Bagaimana perjuangan guru dimasa penjajahan Belanda?

8. Bagaimana proses lahirnya PGRI?

1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan Indonesia di masa kerajaan

2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan Indonesia di masa penjajahan Belanda

3. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia zaman penjajahan Jepang


(1942-1945)

4. Untuk mengetahui pendidikan di Indonesia pada masa Islam

5. Untuk mengetahui perjuangan guru masa penjajahan Belanda

6. Untuk mengetahui perintis perguruan pertama kali di Indonesia

7. Untuk mengetahui perjuangan guru dimasa penjajahan Belanda

8. Untuk mengetahui lahirnya PGRI dan hasil kongres I – VI

1.4 Manfaat
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar dapat memberikan gambaran umum
kepada masyarakat luas tentang sejarah pendidikan di Indonesia, sehingga
pendidikan dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran. Selain itu juga
diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendidikan Indonesia di Masa Kerajaan


Pendidikan di masa kerajaan dimulai dari kerajaan Sriwijaya. Pada kerajaan
Mataram kuno terkenal atau berpusat di Jawa Tengah dan aktivitas pendidikannya
yaitu; menterjemahkan buku-buku agama Budha, menterjemahkan buku-buku lain
ke bahasa Jawa kuno seperti Ramayana dan perguruan tinggi di masa kerajaan
Mataram kuno sudah meliputi Fakultas Agama, Fakultas Sastra, Fakultas Bangunan
atau Teknik Bangunan. Selain kerajaan Mataram, juga ada kerajaan Hindu-Buddha
dan kerajaan Islam.

Pendidikan diindonesia padazaman sebelum kemerdekaan dapat


digolongkan kedalam tiga periode, yaitu: 1) pendidikan yang berlandaskan ajaran
keagamaan; 2) pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajah; dan 3)
pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.

2.1.1 Pendidikan Hindhu-Budha

Perkembangan pendidikan pada zaman Hindhu-Budha menunjukkan suatu


gerakan pendidikan dengan misi penyebaran agama dan cara hidup yang lebih
bersemangat dibandingkan dengan perkembangan pendidikan sebelumnya.

Ajaran hindu dan Budha memberikan corak pada praktek pendidikan di


Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai),
Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya).

Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Nusantara,


sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan tidak
hanya di dalam keluarga dan di dalam kehidupan keseharian masyarakat tetapi juga
di biara-biara atau padepokan, Perguruan (Paguron) atau Pesantren.

Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai.


Pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana,
kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan para
Brahmana. Terdapat tingkatan guru: pertama, guru (perguruan) keraton, di sini yang

3
menjadi murid-muridnya adalah para anak raja dan bangsawan; kedua adalah guru
(perguruan) pertapa, di sini yang menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan
rakyat jelata. Namun demikian para guru pertapa juga biasanya selektif dalam
menerima seseorang untuk menjadi muridnya. Ini antara lain merupakan implikasi
dari feodalisme yang berkembang saat itu.

Untuk pengajaran tidak ditarik bayaran, semua pengeluaran ditanggung


oleh masyarakat, walaupun penghasilan guru hanya didapat dari pemberian murid-
muridnya, kedudukannya dimasyarakat sangat tinggi, terlebih jika ia pimpinan
upacara-upacara keagamaan. Hubungan antara guru dan murid erat sekali dan
berlangsung terus-menerus bahkan setelah murid itu menamatkan pelajarannya,
mereka tetap menghormati gurunya seperti mereka menghormati orangtuanya.

Pendidikan bersifat aristokratis, artinya masih terbatas hanya untuk


minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan Ksatria, belum menjangkau
masyarakat mayoritas, yaitu anak-anak kasta Waisya dan Syudra, apalagi bagi
anak-anak dari kasta Paria. Pada zaman ini pengelolaan pendidikan bersifat
otonom, artinya para pemimpin pemerintahan (para raja) tidak turut campur
mengenai pengelolaan pendidikan, pengelolaan pendidikan bersifat otonom di
tangan para guru atau pandita.

Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta di didik menjadi
penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat
yang berlaku saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum
pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan menulis
(huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat atau membuat candi, dan
bela diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya
(perguruan), maka metode atau cara-cara pendidikannya pun adalah “Sistem Guru
Kula”. Dalam sistem ini murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama,
murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.

Hinduisme dan Budhaisme yang datang ke Indonesia tumbuh dan


berkembang berdampingan secara harmonis. Penjelajah Tiongkok I-tsing
mengunjungi Sriwijaya dalam rangka menunaikan ibadah agamanya yang ditulis di

4
Sriwijaya antara tahun 670 dan 692, ia menyebutkan betapa mashurnya Sriwijaya
sebagai pusat agama Budha.

Pada zaman berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan


Sriwijaya (di Palembang), telah terdapat “Perguruan Tinggi Budha”. Selain dari
dalam negeri sendiri, murid-muridnya juga berasal dari Asia Tenggara, Tiongkok,
Jepang, dan Indocina. Darmapala sangat terkenal sebagai maha guru Budha.
Perguruan-perguruan Budha menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya.

Bukti lain majunya pendidikan pada masa itu antara lain pada candi
Borobudur terdapat arca “Dhayani Budha” yang bersikap “Dama Cakra Madya”
yang kedua tangannya bersilang di dada yang merupakan symbol atau motto
“bahwa setiap orang hidup itu haruslah belajar” kawi nagarq kartanegaradan juga
terdapat Candi Mendut, dan Kalasan yang merupakan pusat-pusat pendidikan
agama Budha. Perhatikan hasil sastra yang ditulis para empu (pujangga) yang
bermutu tinggi. Contoh: Pararaton, Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan
Baratayuda. Para pujangga yang terkenal antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah,
Empu Panuluh, dan Empu Prapanca. Pada kitab yang dikarang Empu Prapanca
yang menyatakan “bahwa setiap perjalanan hayam wuruk kedaerah-daerah selalu
menyempatkan diri kesekolah-sekolah untuk melihat kegiatan belajar mengajar
dilembaga pendidikan tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa


ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengatahuan yang meliputi sastra, bahasa,
filsafat, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu di
tanah Jawa banyak melahirkan para empu dan pujangga besar yang melahirkan
karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa itu, pendidikan mulai tingkat
dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Namun
demikian pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal, sehingga
seorang siswa yang belum merasa puas ilmu yang diperolehnya dapat dicari dan
pindah guru yang satu ke guru lainnya.

Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya


kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan dengan corak Islam
dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.

5
2.2 Pendidikan Pada Masa Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para
saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Di pulau Jawa, pusat
penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon, Demak hingga ke Gresik.
Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya kerajaan-kerajaan Hindu, ajaran
Islam makin berkembang dengan baik di pesisir maupun di pedalaman pulau-pulau
Jawa dan Sumatera.

Saudagar-saudagar dari Gujarat jelas memeluk agama Islam, di samping


berdagang mereka juga berupaya mengajarkan dan mengembangkan agama islam
di kalangan pribumi dan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

Pada masa itu ada 2 tipe guru, pertama adalah guru untuk kalangan keraton
dan bangsawan yang di undang atau tinggal di lingkungan keratin untuk mengajar
putra raja dan ksatria lainnya. Yang kedua, guru pertama yang menyendiri bertapa
sambil belajar, serta meneladani ilmu-ilmu ketuhanan dan ilmu lainnya, muridnya
berasal dari kalangan bangsawan.

Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan Islam diarahkan agar manusia


bertaqwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, sehingga mencapai keselamatan di
dunia dan akhirat melalui “iman, ilmu dan amal”. Selain berlangsung di dalam
keluarga, pendidikan berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti:
di langgar-langgar, pesantren dan madrasah.

A. Pendidikan di Langgar

Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar bersifat elementer, di mulai


dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau kadang-kadang langsung
mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci Al-Qur’an.
Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas yang disebut Amil, Moden
atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping memberikan doa pada
waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru.

Pengajian Al-Qur’an pada pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua
tingkatan yaitu :

6
1. Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan
sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung.

2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan


pelajaran lagu, kasida dan barzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan.

Ditempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak.


Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah pengajian penyampaian-
penyampaian ajaran islam oleh Muballigh ( Ustadz, Guru, Kyai )

Kepada para jamaaah dalam bidang yang berkenaan dengan aqidah, ibadah
dan akhlak. Sedangkan pengajian untuk anak-anak berpusat kepada pengajian Al-
Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan membacanya dengan baik sesuai
dengan kaedah-kaedah bacaan dan juga diberi pendidikan keimanan ibadah dan
akhlak.

Langgar merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam


lingkungan masyarakat muslim. Pada dasarnya langgar mempunyai fungsi yang
tidak terlepas dari kehidupan keluarga. Sebagai lembaga pendidikan, berfungsi
sebagai penyempurna pendidikan dalam keluarga, agar selanjutnya anak mampu
melaksanakan tugas-tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya. Pada
mulanya pendidikan di langgar atau masjid, dalam arti sederhana dapat dikatakan
sebagai lembaga pendidikan formal, dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.

B. Pendidikan Pesantren

Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar santri.


Para santri yang belajar di asramakan dalam satu komplek yang dinamakan pondok.
Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama.
Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada
tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama dan Al-Qur’anul
Kariim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki
kecerdasan tertentu maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik
ini juga di klasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi.

Mahmud Yunus membagi pesantren menjadi empat tingkatan, yaitu :

7
a. Tingkat dasar.

b. Menengah

c. Tinggi.

d. Takhassus.

Setelah datang kaum penjajah barat (Belanda), peranan pesantren sebagai


lembaga pendidikan islam semakin kokoh. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda
sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan sekolah-sekolah
umum.

Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sistem pendidikan


pesantren baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional.
Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh
pemerintah kolonial Belanda, non klasikal, metodenya sorogan, wetonan hafalan.
Menurut Zamaksyari Dhofier agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah
umum Belanda sama sekali tidak mengajarkan pendidikan ada lima unsure pokok
pesantren :

- Kyai.

- Santri.

- Masjid.

- Pondok.

- Pengajaran kitab-kitab klasik.

Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika,


kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat
modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern.
Karena itu hinga saat sekarang pesantren tersebut di bagi menjadi dua secara garis
besar: Pesantren Salafi, adalah pesantren yang masih terkait dengan system dan
pola yang lama. Pesantren Khalafi, adalah pesantren yang telah menerima unsure-
unsur pembaharuan.

8
C. Pendidikan Madrasah

Di tinjau dari segi pendidikan, madrasah adalah lembaga pendidikan awal


bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di madrasah
para murid di ajar menulis, membaca huruf Arab, ilmu agama, dan akhlaq. Pendiri
dan pelopor pendidikan madrasah adala Nizan El-MULK dari Irak di kota Baghdad.

Madrasah di samping tempat belajar, juga berfungsi antara lain:

1. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an

2. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan
membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut :

1. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.

2. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.

3. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.

4. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri / bulan puasa

5. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.

6. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan

7. Letak madrasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat
mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.

2.3 Pendidikan di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda


A. Kondisi Pendidikan Nasional Pada Masa Portugis

Karena berkembangnya perdagangan, pada awal abad ke-16 datanglah


Portugis ke Indonesia yang kemudian disusul bangsa Spanyol. Waktu orang-orang
Portugis datang ke Indonesia, mereka dibarengi oleh missionaris, yang diberi tugas
untuk menyebarkan agama Khatolik di kalangan penduduk Indonesia. Seorang di

9
antaranya adalah Franciscus Xaverius, berpendapat bahwa untuk memperluas
penyebaran agama Khatolik itu perlu sekali didirikan sekolah-sekolah.

Pada tahun 1536 didirikan sebuah seminarie di Ternate, yang merupakan


sekolah agama bagi anak-anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan
juga pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Di Solor juga didirikan semacam
seminarie dan mempunyai ±50 orang murid, di sekolah ini juga diajarkan bahasa
Latin. Pada tahun 1546 di Ambon sudah ada tujuh kampung yang penduduknya
beragama Khatolik, ternyata di sana juga diselenggarakan pengajaran untuk rakyat
umum. Karena sering timbul pemberontakan, maka kekuasaan Portugis melema
akibat peperangan dengan raja-raja Indonesia daan pada akhir abad-16 habislah
kekuasaan Portugis di Indonesia. Ini berarti habis pula riwayat missi Khatolik di
Maluku.

B. Pendidikan Pada Zaman VOC

Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke


Indonesia pada abad ke -16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari
rempah-rempah dengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemusian diikkuti
oleh misi penyebaran agama terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-
sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-
Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan
bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau
Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan
pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan yang lebih beragam. Pendirian
sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan mendukung misi
VOC di Nusantara.

Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan
tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya
sekitar 18 sekolah. Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan,
membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum
tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-
muridnya berasal dari anak-anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak
diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang

10
Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang
sebelumnya telah dididik di Belanda.

Setelah peperangan kolonial dengan kerajaan-kerajaan yang ada di


Indonesia, akhirnya Indonesia jatuh ke tangan Belanda seluruhnya. Metode
kolonialisasi Belanda sangat sederhana, yaitu mereka mempertahankan raja-raja
yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu, akan tetapi
menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber daya alam.

C. Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda

Sebagai kelanjutan dari zaman VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan


kolonial Belanda pun mengecewakan bangsa Indonesia. Kebijakan dan praktek
pendidikan pada zaman ini antara lain:

1) Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di


Pulau Jawa menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi kebijakan ini
tidak terwujud.

2) Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan


bagi rakyat juga diabaikan.

3) Tahun 1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt menghasilkan Undang-


undang Pengajaran yang dianggap sebagai dasar pendirian sekolah, tetapi Peraturan
Pemerintah yang menyertainya yang dikeluarkan tahun 1818 tidak sedikit pun
menyangkut perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya
berkenaan dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi
penganut Protestan.

4) Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan


Tanam Paksa demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda.
Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang
banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana
anggaran belanja tiap tahunnya untuk mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa
dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Pada
tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah (di tiap keresidenan). Namun sekolah ini
hanya diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyai/bangsawan,

11
sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan
pendidikan bagi kalangan bumi putera yang dicanangkan sejak 1848 mengalami
hambatan karena kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka pada
tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta, dan
menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anakanak golongan
priyai.

5) Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh
diterima bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor
dengan syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada
tgl. 10 September 1864. Demi kepentingan itu di Batavia didirikanlah semacam
sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).

6) Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.

7) Tahun 1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada


pihak partikelir untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan
sekolah.

8) Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu
Sekolah Kelas I untuk golongan priyai, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan
rakyat jelata.

9) Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van
Heutsz mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan Bumi Putera: pertama,
mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh
Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua,
memberi corak sifat ke-Belanda-an ada Sekolah Kelas I. Maka tahun 1914 Sekolah
Kelas I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa
pengantar bahasa Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan
atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari
Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak
pribumi mengalami perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang
lainnya.

12
10) Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami
hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de
Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan
terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.

Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-


usaha pendidikan bagi kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah
penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%.

Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi


pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan
bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan priyai; kedua,
pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai
rendahan.

Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:

1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang


dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera

2) Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan


menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi
efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama,
tetapi dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi
Putera yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri

3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda

4) Menghambat gerakan nasional

5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional


(kemerdekaan)

2.4 Pendidikan di Indonesia Zaman Jajahan Jepang (1942-1945)


Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang
mengadakan perubahan-perubahan yang besar dengan menghapus berbagai jenis
pendidikan rendah berdasarkan golongan-golongan penduduk itu, yang ada hanya
satu jenis sekolah rendah untuk sekolah lapisan masyarakat yang disebut “Syoo-

13
gekkoo” (sekolah rendah) lama belajarnya 6 tahun. Selanjutnya, ada “TYUU
Gakkoo” (sekolah menengah pertama) 3 tahun “Kootoogakkoo”. Sedang sekolah
pendidikan gurunya ialah Kyoin Yoogoi sho (sekolah guru B) lamanya 4 tahun dan
si han Gakkoo (sekolah guru atas).

Pendidikan ala Jepang mempunyai prograsivitas dan lebih dinamis,tetapi


dinamika dan progresivitas itu lebih ditekankan pada physical training, bukan
mental disiplin. Demokratisasi pendidikan pada masa penjajahan Jepang juga
mempunyai tujuan politis, dan tidak bersifat dinamis.

Pendidikan pada zaman Jepang, tujuan pendidikan bukan untuk memajukan


bangsa Indonesia, tetapi mendidik anak-anak untuk dapat menunjang kepentingan
perang Jepang melawan sekutu.

• Kelemahan pendidikan zaman Jepang

- Kerja bakti; kinrohosi, cari iles-iles : nama jarak cari besi tua

- Bahasa Inggris dilarang : pengetahuan sempit

- Latihan kemiliteran/ baris-berbaris : kyoren

• Keuntungan

- Sekolah rakyat 6 tahun

- Bahasa Indonesia : bahasa pengantar

- Senam pagi : taiso

2.5 Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia


Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia.
Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam.

A. Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa


Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari
pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi

14
Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan
menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa
yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar
islam.

Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal


18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu
tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah
ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H.
Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan
pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah
kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah
Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah
menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi oleh Pemerintah
Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland Inlandse
Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu
menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing
sekitar 50%.

Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada


hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari
isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.

B. Taman Siswa

Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu


kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara,
pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami
masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar
menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Dengan
mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa
disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman

15
Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa dengan Taman
Indriya sebagai tingkat terendah.

C. Pendidian Ma’arif

Pendidikan Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul


Ulama. Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga
merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain
membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam
mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen
modern.

D. INS Kayutanam

Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada
tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang kemudian
dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-
1966) bersama Marah Soetan.

Sekolah ini didirikan sebgai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang


berlansung saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan
mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat
anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi
cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang
rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar
dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau
Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam
pengamatan.

2.6 Perjuangan Guru Dimasa Penjajahan Belanda dan Keadaan


Pendidikan, Guru Serta Bentuk-Bentuk Sekolah
Pada masa penjajahan guru tampil dan ikut mewarnai perjuangan bangsa
Indonesia. Semangat kebangsaan Indonesia tercermin dan terpatri dari guru pada
masa penjajahan tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi
perjuangan guru-guru pribumi pada zaman belanda pada tahun 1912 berdiri

16
organisasi agama, Muhammadiyah di Yogyakarta dengan nama persatuan guru
hindia belanda (PGHB) yang diketuai oleh Karto Soebroto. Organisasi ini
merupakan dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah
kemudian Vereniging Inlands Personeel (VIPBOW), Perserikatan Pegawai
Pengadaian Hindia Belanda (PPPHB).

Dengan semangat perjuangan dan kebangsaan yang menggelora, para guru


pribumi menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan pihak belanda. Sebagai
salah satu bukti dari perjuangan ini adalah kepala HIS yang sebelumya selalu
dijabat oleh orang belanda, bergeser ke tangan orang Indonesia. Semangat
perjuangan guru terus bergelora dan memuncak serta mengalami pergeseran cita-
cita perjuangan yang lebih hakiki lagi, yaitu Indonesia merdeka.

Pada tahun 1932 persatuan guru hindia belanda (PGHB) berubah menjadi
persatuan guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini suatu langka berani penuh
risiko, karena mengusung nama “Indonesia” di mana belanda tidak suka dengan
kata tersebut yang dianggap mengorbangkan semangat nasionalisme yang tinggi
serta dorongan untuk hidup merdeka menjadikan organisasi ini tetap eksis sampai
pemerintahan kolonial belanda berakhir.

Dari penjelasan diatas dapat dikatsakan bahwa peran guru pada masa
penjajahan sangat penting dan mempunyai nilai yang strategis dalam
membangkitkan semangat kebangsaan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan.
Dengan peran guru sebagai pengajar dan pendidik yang berhadapan langsung
dengan para siswa, maka guru bisa secara langsung menanamkan jiwa nasionalisme
dan menekankan arti penting sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Pada zaman Belanda, terdapat bermacam-macam sekolah diperuntukan bagi


golongan tertentu. Umumnya sekolah desa atau sekolah rakyat (Volksschool) untuk
masyarakat desa, sekolah dasar Angka II ( Tweede Inlandse School) untuk rakyat
biasa di kota-kota. Dan sekolah Dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak
priyai.atau anak-anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Guru-gurunya adalah
tamatan bermacam-macam sekolah guru, seperti Normalschool (NS), Kweekschool
(KS), Hongere Kweekschool (HKS) dan banyak lagi dan setiap golongan guru
tersebut mendapat gaji yang berbeda-beda pula. Hal ini sengaja diciptakan oleh

17
Belanda untuk mempengaruhi golongan guru dan memecah belah penduduk
Indonesia, bukan hanya dalam pendidikan, namun juga dalam kehidupan social-
ekonomi.

Secara umum sistem pendidikan khususnya macam-macam persekolahan


didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas)
social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu :

1. Pendidikan rendah (Lager Onderwijs)

Pendidikan rendah atau bisa disebut sekolah dasar, di bagi menjadi 2 yaitu:

Sekolah kelas 1 untuk anak priyayi (bangsawan) dan anak pemerintah belanda

Sekolah kelas 2 untuk anak rakyat jelata (rakyat indonesia)

2. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

a. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai
empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914.

b. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum


kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra
dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun
1915.

c. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, Didirikan
pada tahun 1860.

3. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan


perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah
sebagai berikut:

a. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah.

18
b. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa
pengantar Belanda.

c. Sekolah teknik (Technish Onderwijs)

d. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs)

e. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs)

f. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs)

g. Pendidikan Rumah Tangga (Huishoudschool)

h. Pendidikan keguruan (Kweekschool)

4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:

a. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School)

b. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school)

c. Pendidikan tinggi kedokteran

2.7 Hubungan Antara PGHB, Boedi Oetomo serta Asuransi Bumi Putera
Pada kongres pertamanya di kota Magelang tanggal 12 Februari 1912,
terbentuklah kepengurusan besar PGHB. Bersama dengan kongres tersebut
dibentuklah perusahaan asuransi jiwa nasional yang pertama, Onderlinge
Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B., disingkat O.L. Mij. PGHB yang
kemudian hari menjadi Asuransi Jiwa Bumipoetra (AJB Bumipoetra) 1912 sebagai
usaha memperjuangkan nasib anggotanya yang terdiri dari berbagai pangkat dan
latar belakang pendidikan yang berbeda.

Gagasan Dwidjosewojo untuk mendirikan perusahaan asuransi jiwa telah


membuktikan bahwa ia adalah tokoh yang cakap dan berwawasan jauh ke depan.
Pada saat Budi Utomo masih bergerak dibidang pendidikan dan kebudayaan,
Dwidjosewojo telah melompat ke depan untuk mencoba mengembangkan bidang

19
usaha yang berwawasan sosial ekonomi, bahkan sebelum Sarekat Dagang Islam
lahir.

Langkah-langkah yang ditempuh oleh PGHB membentuk O.L. Mij. PGHB


itu lebih banyak didorong oleh cita-cita luhur demi kebaikan sesama kaum
bumiputera, khususnya para guru yang tergabung dalam PGHB, dan tidak disadari
bahwa mereka itu telah memiliki suatu bidang usaha yang kelak berkembang pesat.

Perusahaan Asuransi Boemipoetra yang langsung di bawah pengurusan


PGHB yaitu : Dwijo Suwijo”didirikannya asuransi bumi putra dengan tujuan :

1. Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan guru

2. Untuk menggalang persatuan dan kesatuan dibidang permodalan

Untuk itu tidak mudah bagi PGHB untuk memperjuangkan nasib


anggotanya yang pada waktu itu memiliki latar belakang pendidikan, pangkat, dan
status yang berbeda hanya dengan asuransi jiwa. Kondisi sosial dan politik pada
waktu itu mempersulit juga terciptanya persatuan di antara guru.

Tujuh tahun kemudian setelah pendiriannya (1919), PGHB pecah dengan


bermunculan organisasi-organisasi guru berdasarkan latar belakang pendidikan,
pangkat atau tingkat sekolah yang berbeda. Organisasi-organisasi guru yang lahir
itu antara lain Kweekschool Bond (KSB), Perserikatan Guru Desa (PGD),
Perkumpulan Normaalschool (PNS), School Opziener’s Bond (SOB), Vaak
Onderwijszer’s Bond (VOB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Hogere
Kweekschool Bond (HKSB), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap
(NIOG), Christelijke Onderwijzer’s Vereeniging (COV), Onderwijzer’s Vak
Organisatie (OVO), Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB), dan Chineesche
Onderwijzer’s Bond (COB).

Perpecahan ini sangat buruk akibatnya bagi guru, antara lain martabat guru
menjadi turun dan mereka tidak kompak lagi dalam memperjuangkan statusnya.

20
2.8 Lahirnya PGRI dan Kongres PGRI
PGRI lahir tanggal 25 November 1945, hanya berselelang tiga bulan setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Semangat dan suasana batin perjuangan
kemerdekaan Indonesia turut membidani lahirnya PGRI. Pada perkembangan
selanjutnya semangat kemerdekaan itu senantiasa mewarnai perjuangan PGRI.
Bertempat disekolah Guru Putri (SGP) Surakarta diselenggrakan Kongres I PGRI
dari tanggal 24-25 November 1945. Pada konngres itu disepakati berdirinya PGRI
sebagai wahana persatuan dan kesatuan segenap guru di seluruh Indonesia.
Pendirinya antara lain :

1. Ketua I : Amin Singgih

2. Ketua II : Rh. Koesnan

3. Penulis I : Djajeng Soegianto

4. Penulis II : Ali marsaban

5. Bendahara I : Soemidi Adisasmito

6. Anggota : Abdullah Noerbambang

7. Anggota : Soetono

Dengan kongres guru Indonesia, maka semua guru di Indonesia melebur


dan menyatu dalam suatu wadah atau persatuan guru repuplik Indonesia (PGRI).
Kini tidak ada lagi sekat-sekat guru karena perbedaan latar belakang guru. Melalui
organisasi PGRI, siap berjuang untuk menggangkat harkat dan martabat guru,
sekaligu harkat dan martabat bangsa indonesia.

Sejarah pertumbuhan PGRI dari masa ke masa dapat di lacak dari hasil-hasil
kongres yang satu ke kongras berikutnya. Akan tampak bahwa PGRI sangat lekat
dengan situasi kehidupan politik pada zamanya, bahkan dapat di katakan bahwa
sejarah pertumbuhan PGRI tidak ubahnya dengan sejarah” politik bangsa”.

1. Kongres PGRI ke-1

Kongres I PGRI di laksanakan di Surakarta (Solo), Jawa Tengah pada Tanggal 23-
25 November 1945, yang menghasilkan:

21
a. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.

b. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran.

c. Membela hak dan nasib buruh umumnya dan guru khususnya.

2. Kongres PGRI ke-2

Kongres ke II PGRI di adakan di Surakarta (Solo) Jawa Tengah pada Tanggal 21-
23 Desember 1946, yang menghasilkan :

a. System pendidikan selekasnya didasarkan atas kepentingan nasional.

b. Gaji guru supaya tidak berhenti pada satu kolom.

c. Diadakannya UU pokok pendidikan dan UU pokok perburuhan.

3. Kongres PGRI ke-3

Kongres ke III PGRI di adakan di Madiun Jawa Timur pada Tanggal 27-29 Februari
1948, menghasilkan :

a. Mulai terbir majalah PGPI (Guru sarana kemudian berubah menjadi Suara
Guru).

b. Bapak RH. Koesnan (Ketua BPPGRI) diangkat menjadi Menteri Perburuhan.

c. Mulai mengadakan hubungan dengan Persatuan Guru Internasional.

4. Kongres PGRI ke-4

Kongres ke IV yang berlangsung di Yogyakarta 26-28 februari 1950 ini,


menyatakan :

a. PGRI yang sempat “disintegrasi” akibat terbentuknya Negara RIS menyatakan


bersatu kembali dalam wadah PGRI (maklumatnya persatuan PGRI)

b. PGRI yang telah bersatu kembali, tetap AD/ART ke 1 dari kongres PGRI 1

5. Kongres PGRI ke-5

Diadakan di Bandung pada tanggal 19-24 Desember 1950, menghasilkan :

a. PGRI menetapkan memilih asas Pancasila.

22
b. Pendidikan Agama di sekolah mulai dibicarakan.

6. Kongres PGRI ke-6

Kongres PGRI ke-6 diadakan di Malang pada tanggal 24-30 November 1952

a. Membangun rakyat dari kegelapan, sebagai penyuluh dan pembimbing bangsa.

b. Insyaf akan kewajibannya, mendidik dan mengajar para putra-putri bangsa.

c. Membangun jiwa sebagai kekuatan Negara.

2.9 Peranan PGRI dimasa 1945-1950 (Pergerakan Kemerdekaan)


Pada tahun ini perjuangan PGRI dititik beratkan melawan NICA-Belanda
guna menyelamatkan perang kemerdekaan. Dalam usaha meningkatkan pendidikan
dimulai dengan peralihan pendidikan yang bersifat kolonial ke pendidikan
nasional. Pada tahun 1948 PGRI mulai menerbitkan majalah GURU SASANA,
yang kemudian diganti majalah SUARA GURU sampai sekarang. Dalam
hubungannya dengan luar negeri, mulai 1948 dirintis menjalin kerjasama/hubungan
dengan National Education Association (NEA). PGRI juga mendapat undangan
kongres WCOT P (World Confideration of Organization of the Teaching
Profession) yang kedua di London pada bulan Juli 1948.

Akhirnya Belanda mulai tanggal 1 Januari 1950 mengakui kedaulatan RI


dan sejak itulah organisasi PGRI mulai ditata kembali organisasinya. Persatuan
Guru Indonesia (PGI) di Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur dapat disatukan bergabung dengan PGRI. Pada tahun 1950 terjadi 2 kongres
PGRI yaitu kongres IV di Yogyakarta (Februari 1950) dan yang kedua kongres V
(Desember 1950) di Bandung dalam usaha penataan kembali organisasi. Tahun
1950 merupakan tahun persatuan karena akhirnya kongres itu membuat suatu
“maklumat persatuan”.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :

1. Pendidikan Indonesia di masa kerajaan terbagi atas dua yaitu kerajaan Hindu-
Budha dan kerajaan Islam

2. Pendidikan Indonesia di masa penjajahan bangsa barat 350 tahun lalu dimulai
pada masa pemerintahan Belanda

3. Pendidikan pada masa Islam berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan


seperti: di langgar-langgar, pesantren dan madrasah.

4. PGRI adalah organisasi perjuangan, profesi, dan tenagakerjaan, berskala nasional


yang bersifat :

- Unitaristik, tanpa mmemandang perbedaan ijzah, tempat bekerja,


kedudukan,suku, jenis kelamin, agama, dan asal usul

- independent, yang berlandaskan pada prinsip kemandirian organisasi dengan


mengutamakan kemitrasejajaran dengan berbagai pihak

- non partai politik, bukan partai politik, tidak terkait dan atau mengikat diri pada
kekuatan organisasi/partai politik manapun.

5. PGRI bertujuan :

- Mewujudkan cita-cita Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan


mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945

- Mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan kemampuan


profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya

- Menjaga, memelihara, membela, serta meningkatkan harkat dan martabat guru


melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi.

24
3.2 Saran
Dengan mengetahui sejarah pendidikan diharapkan calon pendidik dapat
memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang pendidikan Indonesia di
masa kerajaan, pendidikan Indonesia di masa penjajahan bangsa barat 350 tahun
lalu, pendidikan Indonesia zaman penjajahan Jepang dan pendidikan Indonesia
pada zaman kemerdekaan sehingga tujuan untuk menumbuhkembangkan potensi
kemanusiaan dapat dilakukan dengan tepat dan benar.

25
DAFTAR PUSTAKA

Hardiyanti. 2011. Sejarah Pendidikan Di Indonesia. Program Pascasarjana


Universitas Hasanuddin. Jurnal

Noprianto, C. 2014. Pengantar Pendidikan Sejarah Pendidikan Di Indonesia.


Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Mipa Fakultas Keguruan
Dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako. Makalah

Sabarudin, M. 2015. Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati. Jurnal Tarbiya
Volume: 1 No: 1 - 2015 (139-174)

Fidayat, “Sejarah Pendidikan Nasional”, November 2012


(http://pendidikandasar12.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-pendidikan-
nasional.html#)

Pendidikan Pada Masa Awal Masuknya Islam Di Indonesia,” November 2012


(http://sarjanaspdi.blogspot.co.id/2012/11/pendidikan-pada-masa-awal-
masuknya.html)

Uncha, “Perjuangan Guru Dimasa Penjajahan Dan Lahirnya PGRI”, April 2013
(http://deeuncha.blogspot.co.id/2013/04/perjuangan-guru-dimasa-penjajahan-
dan.html)

Tatang. “Landasan Historis Pendidikan Indonesia”,


(http://file.upi.edu/Direktori/DUALMODES/LANDASAN_PENDIDIKAN/BBM_5.
pdf)

Wawan,”Guru Tiga Zaman”, Oktober 1994


(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197101011999031-
WAWAN_DARMAWAN/GURU.pdf)

Zulfadly, “Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kemerdekaan”, Desember 2012


(https://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan
sekarang.pdf)

26

Anda mungkin juga menyukai