PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.
Indonesia adalah negara hukum yang mewajibkan warga negaranya memilih satu dari
5 agama resmi di Indonesia. Namun kerukunan antar umat beragama di Indonesia dinilai
masih banyak menyisakan masalah. Kasus-kasus yang muncul terkait masalah kerukunan
beragama pun belum bias terhapus secara tuntas. Kasus Ambon, Kupang, Poso, forum-forum
islam ekstrimis dan lainnya menyisakan masalah ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu
siap membara dan memanaskan suasana di sekelilingnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemahaman masyarakat tentang kerukunan atar umat beragama perlu ditinjau ulang.
Dikarenakan banyaknya ditemukan ketidak adanya kerukunan antar agama, yang menjadikan
adanya saling permusuhan, saling merasa ketidak adilan. Dalam perjalanan sejarah bangsa,
Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis.
Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya
reformasi.
Namun dengan kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan
banyaknya agama yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi
kendala-kendala tersebut. Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan
kerukunan antar umat beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan,
pemerintah, dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam
masyarakat.Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan
dari kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan
hingga konflik agama. Di Indonesia sendiri saja ada beberapa agama seperti agama Kristen,
Konghucu, Hindu, Budha, Khatolik dan islam. Dan setiap agama pasti mempunyai aturan
masing – masing dalam beribadah. Dengan perbedaan agama tersebut kita harus bisa
menghormati agama lain. Jika kita mampu meningkatkan sikap saling menghormati maka
setidaknya kita dapat melakukan proses komunikasi antar individu sebaik –
baiknya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam
agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai
kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing- masing dan berpotensi konflik.
Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat yang multikultural. Multikultural
masyarakat Indonesia tidak sauja kerena keanekaragaman suku, budaya,bahasa, ras tapi juga
dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama islam,
Katolik, protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama tersebut terjadilah
perbedaan agama yang dianut masing-masing masyarakat Indonesia.
Dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan
konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang
mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong
menolong. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama yang
sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok
sosial yang berbeda agama guna menghindari ”ledakan konflik antarumat beragama yang
terjadi tiba-tiba”.Makalah ini akan membahas tentang pentingnya menciptakan kerukunan
antar umat beragama dilingkungan masyarakat. Kerukunan beragama di tengah
keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang
paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah
suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah
lenyap seiring dengan berlangsungny . Jadi, dapat disimpulkan makna kerukunan hidup umat
beragama adalah perihal hidup rukun yakni hidup dalam suasana baik dan damai, tidak
bertengkar, bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya, atau antara
umat dalam satu agama. Kerukunan juga tidak hanya suasana yang tidak memiliki konflik,
akan tetapi kerukunan juga merupakan keadaan damai dan diselesaikan dengan musyawarah
jika terdapat masalah-masalah yang dapat menimbulkan ketidak-rukunan umat beragama,
sehingga tercipta dan terpeliharalah kerukunan hidup umat beragama. Kerukunan adalah
istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam
masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan
dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka
“kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Untuk itu,
diperlukan kesepakatan dan kesamaan pandangan tentang pentingnya toleransi, saling
pengertian, kejujuran dalam pikiran dan tindakkan.
1.2,Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa itu arti kerukunan umat beragama?
2. Apa itu pengertian masyarakat pluralism ?
2. Apa kendala yg dihadapi dalam kerukunan umat beragama ?
3. Bagaimana cara menjaga kerukunan umat beragama ?
1.3.Landasan Teori.
Kerukunan Hidup beragama ( Drs.I Gusti Made Ngurah ) ,Kerukunan hidup beragama dalam
negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ,serta menjunjung tinggi sila Iyaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan tugas dan kewajiban kita bersama.Sebagai umat kerukunan hidup
umat beragama ,yang menjadi tugas pada departemen agama selaku Pembina dan
pngawasnya.
Tri kerukunan hidup umat beragama meliputi :
1. Kerukunan intern umat beragama
2. Kerukunan antar umat beragama,dan
3. Kerukunan antara uamat beragama dan pemerintah
BAB II
PEMBAHASAN
Kedua:
Kerukunan antar umat beragama
Konsep kedua dari trikerukunan memiliki pengertian kehidupan beragama yang tentram antar
masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak terjadi sikap saling curiga mencurigai
dan selalu menghormati agama masing-masing.Berbagai kebijakan dilakukan oleh
pemerintah, agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal
mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan
masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun dan damai di Negara
Republik Indonesia.
Ketiga:
Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah
Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan antara umat
beragama dengan pemerintah sendiri. Semua umat beragama yang diwakili para pemuka dari
tiap-tiap agama dapat sinergis dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan
pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.Trikerukunan umat
beragama diharapkan menjadi menjadi salah satu solusi agar terciptanya kehidupan umat
beragama yang damai, penuh kebersamaan, bersikap toleran, saling menghormati dan
menghargai dalam perbedaan.
3. Menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk
agama yang sama maupun yang berbeda.
Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misal, perijinan pembangunan
tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain, atau
memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting
demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia.
4. Selalu siap membantu sesama. Jangan melakukan diskriminasi terhadap suatu
agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan.
Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya
adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas
untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama.
5. Selalu jagalah rasa hormat pada orang lain tanpa memandang agama apa yang
mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan tidak sinis. Hal ini tentu akan
mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
6. Bila terjadi masalah yang menyangkut agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin
tanpa harus saling menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah
sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak
manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Dalam ajaran Kitab suci Veda,
masalah kerukunan dijelaskan secara gamblang dalam ajaran: tattwam asi, karma phala, dan
ahimsa.
Tatwam asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan
sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain
berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri
(Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang
menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman
yangb menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita
sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat tattwam asi ini mengandung
makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang
lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa
bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain.
Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya
semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka
akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang
artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.
. Pandangan ini mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup
beragama yang berlandaskan pada prinsip kebenaran ajaran tattwam asi. Oleh karena itu,
tiada alasan untuk menjelek-jelekkan/ menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah
kepada orang lain/ agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi
ini, tanpa terkecuali.
Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang
sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah
bertindak menyakiti/menyikasa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain
menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan
kebahagiaan itu juga.
1. Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang
serasi atas dasar “asah, asih, asuh” di antara sesama hidup. “Orang arif bijaksana melihat
semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap
makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang
dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai
balasanmu. Jangnanlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang
berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri”
(Sarasamuscaya 317).
2. Karma phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi. Umat
Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini. Apapun yang dilakukan sengaja maupun
tidak sengaja akan menimbulkan dampak. “Setiap sebab akan membawa akibat. Segala sebab
yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan. Segala karma (perbuatan) akan
mengakibatkan karma phala (hasil atau phala perbuatan). Hukum rantai sebab dan akibat
perbuatan (karma) dan phala perbuatan (Karma phala) ini disebut Hukum Karma” (Panca
Sradha, 2002;54). Jadi setiap akibat yang timbul tentu ada penyebabnya. Tidak mungkin ada
akibat tanpa sebab. Demikian juga sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan sudah pasti
akan menerima akibat, baik atau buruk, cepat maupun lambat mau tidak mau hasil akan
selalu mengikutinya. Ini merupakan dalil yang logis, yaitu setiap sebab pasti menimbulkan
akibat dan setiap akibat yang ada pasti ada penyebabnya. Antara sebab dan akibat tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, diibaratkan diri kita dengan bayangannya, bayangan akan
selalu mengikuti kemanapun kita akan pergi.
Karma phala adalah merupakan sradha (keimanan) ke tiga Panca Sradha. Karma
berarti perbuatan, dan phala berarti hasil/ buah. Perbuatan yang baik yang dilakukan akan
mendatangkan hasil yang baik, demikian juga perbuatan yang buruk pasti akan
mendatangakan hasil yang buruk pula. Batu dengan batu, atau kayu dengan kayu bila
digosok-gosok menimbulkan akibat yaitu panas. Hukum ini berlakum pada semua makhluk
hidup, lebih-lebih pada kehidupan manusia sebagai makhluk utama tidak perlu disangsikan
lagi dampak yang akan ditimbulkannya, cuman waktu untuk menerima hasil perbuatan
berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat, dan bahkan bisa pula diterima dalam
penjelmaan berikutnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada keyakinan tersebut, dalam
memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma. Yang
dipuji adalah karma. Sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah
perbuatannya yang baik, dan sebaliknya yang menjadikan orang berkeadaan buruk adalah
perbuatannya yang buruk. Seseorang akan menjadi baik, hanya dengan berbuat kebaikan,
seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya. “Subha asubha prawrtti yaitu baik buruk
atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala dharma
yang juga disebut subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma
yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala
berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir bathin” (PancaSradha,2002:60).
3.Ahimsa juga merupakan landasan penerapan kerukunan hidup beragama. Ahimsa adalah
perjuangan tanpa kekerasan, termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum
alam maka akan mengundang reaksi keras. Jadi ahimsa, mengandung pengertian tidak
melakukankekerasan dalam bentuk tidak membunuh-bunuh makhluk hidup apapun, ahimsa
juga dimaksudkan tidak melakukan kekerasan agar tidak menyakiti hati orang lain.
Bertentangan dengan ahimsa karma, perbuatan membunuh-bunuh adalah adharma,
bertentangan dengan agama. Tan sayogya prihen, tidak pantas dilakukan oleh orang yang
sedang mencoba mengamalkan ajaran dharma. “Ahimsa ngaranya tan pamati-mati sarwa
prani, nguniweh janma manusa….” (Ahimsa berarti tidak membunuh-bunuh makhluk hidup,
terlebih lagi manusia).
Bersahabat adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada
manusia normal yamg tidak membutuhkan persahabatn. Ciri-ciri kemanusiaan seseorang baru
akan nampak apabila dia berada di tengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia
membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam anjuran
yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam pergaulan hidup.
Kalau merasa diri kurang kuat, bersahabatlah dengan yang kuat, dengan demikian tidak akan
ada rasa cemas. Jika ajaran brata ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan
berkembangnya sifat-sifat kemarahan, kebingungan, iri hati, dan bahkan dapat menumbuh
suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, sebagai musuh di dalam diri kita yang paling
sulit diatasi
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap
pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam
menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat
membuat kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam
maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari
misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi
pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran
dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama,
seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam
menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya
perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan
pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini.
Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi
juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah
antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih mementingkan bangunan-
bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan
kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan
mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan,
baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun
berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah
bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi
agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni
pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di
negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar
teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk
dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai
kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
3.1 Kesimpulan.
Mayoritas penduduk di Indonesia memeluk agama islam membuat minoritas pemeluk
agama lain dikucilkan. Secara tidak langsung unsur SARA masih sangat kental di negara ini
sehingga dengan mudahnya dijadikan ladang keuntungan demi kepentingan politik.
Kerukunan umat antar beragama di Indonesia tidak 100% nyata. Di sekolah dasar pun guru
agama akan mengajarkan kebenaran agama islam dengan bumbu penyedap lawakan tentang
betapa bodohnya agama lain. terwujudnya kerukunan hidup beragama dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia mutlak diperlukan, karena kondisi masyarakatnya yang
majemuk. Melalui wadah FKPA (Forum Komunikasi antar Pemuka Umat Agama)
memungkinkan terakomodasi kepentingan semua umat beragama untuk berdialog.
Konsep kerukunan hidup beragama menurut Hindu mencakup: ajaran tattwam asi,
karma phala dan ahimsa. Tattwam asi mengajarkan kesosialan tanpa batas, menyadari
hakekat dirinya bersumber dari yang satu yaitu Sanghyang Widhi Wasa berupa atman yang
menghidupkan setiap tubuh makhluk hidup. Hukum karma phala memotivasi umat agar
senantiasa berbuat baik kepada orang lain/umat beragama lain. Dan ahimsa menolak berbagai
bentuk kekerasan yang akan dapat merusak terwujudnya sendi-sendi kerukunan antar umat
beragama.
Adapun upaya untuk membina kearah terwujudnya kerukunan hidup beragama dapat
ditempuh dengan pendekatan secara manusiawi, melalui musyawarah, berdialog, temu muka
antar pemuka agama, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran akan hidup bersama, saling
membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya.
3.2.Saran.
Saran yang dapat di berikan untuk semua masyarakat Indonesia supaya menanamkan
sejak dini prilaku yang baik yakni menjaga kerukunan hidup beragama, baik antar umat
seagama maupun umat yang bebeda agama ,guna terciptanya kurukunan hidup antar sesama .
DAFTAR PUSTAKA