Anda di halaman 1dari 9

NAMA

: RILLA FAUZIA N.A

NIM

: J71214072

Islam Nusantara: Antara Idealisme dan Realita


Jika kita ingin membahas Islam Nusantara, ada satu
organisasi yang tidak bisa lepas untuk ikut dibahas yaitu
Nahdatul Ulama atau yang lebih dikenal dengan akronim NU.
Organisasi

ini

merupakan

organisasi

Islam

terbesar

yang

didirikan oleh KH Hasyim Asyari, salah seorang pahlawan


nasional Indonesia. Alasan kenapa NU tidak bisa lepas dibahas
adalah organisasi ini merupakan pencetus gagasan Islam
Nusantara. Pada Muktamar ke-33 NU, Islam Nusantara menjadi
tema

besar muktamar yang

dirangkai

dalam

kalimat

Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan


Dunia. Tema ini merupakan penanda bahwa Islam Nusantara
merupakan bahasan pokok dalam pengembangan NU di masa
mendatang.
Setelah Islam Nusantara menjadi tema besar Muktamar
ke-33 NU, gagasan ini sebenarnya sudah dikemukakan dan
ditelaah oleh dua tokoh NU yaitu Rais Aam KH Mustofa Bisri dan
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurut KH Mustofa Bisri,
Islam Nusantara adalah solusi untuk peradaban, dimana nilainilai harmoni dan sosial masyarakat yang dibutuhkan oleh
masyarakat

berperadaban

ada

dalam

nilai-nilai

Islam

Nusantara. Islam Nusantara sendiri berkembang berdasarkan


atas bimbingan jaringan ulama Aswaja yang memiliki kedalaman
ilmu agama dan mampu meleburkan diri mereka di tengah
masyarakat, sehingga dengan sendirinya membentuk corak
masyarakat

Nusantara

yang

khas.

Para

ulama

Aswaja

mengedepankan kebersamaan, gotong royong, dan persatuan


sosial dalam NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini merupakan konsep yang mencerminkan pemahaman
Islam Aswaja yang berintikan rahmat terhadap sesama. Kondisi
yang berbeda dengan makna Islam Rahmatan lil Alamin tejadi di
Timur Tengah yang merupakan kiblat Islam. Kondisi disana sudah
tidak cocok dengan pandangan non-muslim dimana banyak
terjadi konflik akibat ketidakjelasan politik dan agama sehingga
muncul gejala islamphobia di negara

mayoritas non-muslim.

Lebih lanjut, KH Mustofa Bisri menggambarkan Islam Nusantara


sebagai Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang
seperti yang diajarkan oleh Walisongo, yaitu Islam yang damai,
rukun, tidak egois, dan rahmat bagi semua. Walisongo tidak
mengajarkan Islam hanya dengan lisan tetapi juga dengan
perbuatan.
Menurut KH Said Aqil Siroj, Islam Nusantara adalah sarana
pendorong terwujudnya perdamaian dengan mengkombinasikan
antara Islam dan nasionalisme. Untuk itu, NU selaku penggagas
akan mengekspor gagasan Islam Nusantara ke tingkat dunia,
terutama ke negara-negara Timur Tengah yang saat ini dalam
kondisi tidak damai. Dalam masalah keilmuan, ulama Aswaja
banyak berguru kepada ulama yang berasal dari Timur Tengah,
tetapi dalam pengaplikasian ilmu yang didapat, tidak serta merta
mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama Timur Tengah, bahkan
menyarankan ulama Timur Tengah untuk mempelajari cara
ulama Aswaja mengaplikasikan ilmu yang didapat. KH Said Aqil
Siroj juga mengatakan bahwa ulama Timur Tengah masih dalam
tahap mendalami ilmu-ilmu agama tetapi belum bisa memasuki
tahap pembinaan terhadap umat, yang dalam hal ini bisa
dipelajari oleh ulama Timur Tengah dari ulama Aswaja. Selain itu,

Islam Nusantara juga bisa dijadikan sebagai bentuk penegasan


Islam yang memberi kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana
yang terjadi di Indonesia. Dengan digunakannya gagasan Islam
Nusantara oleh negara-negara lain, diharapkan kiblat peradaban
Islam akan bergeser dari yang semula berada di Timur Tengah
menuju ke Indonesia.
Dukungan dan penolakan oleh beberapa ulama Islam
tehadap gagasan Islam Nusantara telah terjadi sejak pertama
kali gagasan ini dimunculkan. Salah satu dukungan untuk
gagasan ini berasal dari KH Afifuddin Muhajir. Beliau mengatakan
bahwa

gagasan

ini

berada

pada

konteks

syariat ijtihadiyyah yang bersifat dinamis dan tidak menyasar


kepada konteksaqidah, tasawuf, dan syariat tsawabith. Ciri dari
syariat ijtihadiyyah adalah memiliki hukum yang bersifat umum,
adanya prinsip-prinsip yang terkadang merinci, dan dapat
berubah

hukumnya

dengan ijtihad yang

berdasarkan

pada

kondisi masyarakat. Beliau mengambil salah satu contoh syariat


ini yaitu dalam hal kebolehan penentuan harga bagi pedagang.
Pada masa Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam, hal ini dilarang
tetapi ketika masa tabiin, hal ini diperbolehkan. Perbedaan ini
terjadi karena kondisi pasar yang berubah dimana pada masa
Rasulullah Shallahu Alaihi Wasalam, harga melambung karena
kelangkaan barang dan meningkatnya penawaran, sedangkan
pada masa tabiin disebabkan oleh keserakahan pedagang. Di
sini para tabiin membedakan antara ekonomi modern dengan
persaingan sempurna dan pasar monopoli atau oligopoli. Dari
pengertian syariat ini, KH Afifuddin mengatakan boleh saja
menambahkan Nusantara lain di belakang Islam sebagai
pemaknaan bahwa pemahaman, pengamatan, dan penerapan
Islam

dalam fiqih

muamalahmengikuti

hasil

dialektika

antara nash, syariat, dan urf dengan budaya dan realita di bumi
Nusantara.
Sementara penolakan pada gagasan ini dikemukakan
oleh Habib Riziq Sihab. Beliau memberikan 8 alasan penolakan
terhadap gagasan ini yang dapat dirangkum menjadi 2 alasan.
Pertama, gagasan ini seperti menggambarkan bahwa Islam tidak
diturunkan kepada orang non-Arab tetapi kepada orang Arab
yang kemudian memasuki negara Indonesia untuk menyebarkan
Islam sehingga Islam harus menyesuaikan terhadap tradisi dan
budaya yang telah berkembang di Indonesia. Akibatnya, Islam
akan

terpecah-pecah

menjadi

Islam

yang

berbeda-beda

tergantung negaranya. Kedua, gagasan ini juga menegaskan


bahwa yang harus diambil adalah agama Islam, bukan Arabnya
sehingga segala hal yang berbau Arab harus ditanggalkan.
Akibatnya, hukum dan tradisi Islam akan dikatakan sebagai
hukum dan tradisi Arab yang harus disingkirkan oleh penganut
Islam. Beberapa hukum dan tradisi Islam yang bisa disingkirkan
oleh gagasan ini adalah membaca Al-Quran dengan cara bicara
dan bahasa orang Arab, mengenakan jilbab bagi muslimah,
mengucapkan Assalamualaikum ketika berjumpa, dan terakhir,
mengubah bahasa Al-Quran menjadi bahasa asli negara Islam.
Pandangan kedua tokoh ini, baik dari segi dukungan
maupun penolakan, dapat memberikan poin penting dalam
merumuskan Islam Nusantara sebagai gagasan yang layak
untuk diangkat oleh masyarakat Indonesia. Dari pernyataan
tokoh-tokoh NU yang menjelaskan maksud dan tujuan dari
gagasan Islam Nusantara ini, didapat beberapa sisi posisif atau
manfaat dari gagasan ini. Pertama, memberikan sudut pandang
baru terhadap non-muslim bahwa negara mayoritas Islam tidak
selamanya berperang, walaupun tetap ada konflik. Kedua,

memberikan solusi terhadap permasalahan konflik yang terjadi di


negara mayoritas Islam lain dengan memberikan contoh nyata
terhadap penyelesaian konflik. Ketiga, memberikan gambaran
bagaimana Islam yang anti kekerasan dan pembawa perdamaian
kepada

penganut islamphobia.

model terhadap

penyatuan

Keempat,

konsep

memberikan role

agama

dengan

konsep

nasionalisme yang sejak dulu menjadi permasalahan di dunia.


Kelima, menjadikan Indonesia sebagai tempat dan kiblat ilmuilmu dunia Islam seperti sosial dan politik.
Selain dapat menghasilkan manfaat dalam penerapan
gagasan ini,

beberapa

memberikan

penolakan

gambaran

dari

seperti

tokoh

apa

Islam dapat
sisi

negatif

atau mudharat yang timbul jika gagasan ini terwujud. Pertama,


memperjelas perpecahan umat Islam se-dunia karena terjadi
pembagian oleh tata cara dan tradisi dalam melaksanakan ajaran
Islam. Kedua, dapat dijadikan sebagai alat pengadu domba antar
umat

Islam

perbedaan

oleh

non-muslim

paham

terhadap

dengan
budaya

cara
lokal.

membenturkan
Ketiga,

terjadi

pendangkalan terhadap hukum dan tradisi Islam yang luhur


seperti

tilawah,

zikir,

salam,

dan

lain-lain.

Keempat,

mempermudah penistaan terhadap hukum dan tradisi Islam


dengan menyebutkan sebagai budaya Arab. Kelima, mengurangi
penghormatan kepada RasulullahShallahu Alaihi Wasalam yang
orang Arab asli. Keenam, pendangkalan makna situs-situs Islam
yang sudah dimuliakan oleh AllahSubhanahu wa Taala seperti
Masjidil

Haram,

sebagainya.
pemikiran

Masjid

Ketujuh,

yang

Nabawi,

Aqsha,

menumbuhkembangkan

merusak

toleransi dan kebebasan.

Masjidil

Islam

dengan

dan

lain

pemikiran-

mengatasnamakan

Dari

manfaat

dan mudharat terhadap

pelaksanaan

gagasan Islam Nusantara dapat dikritisi beberapa hal. Pertama,


konsep Islam Nusantara masih dalam idealisme tetapi sudah
berbicara realita. Maksudnya adalah Islam yang berkembang di
Nusantara masih berada dalam tahap penyempurnaan aqidah
karena masih banyak tradisi Nusantara yang sangat tidak sesuai
dengan Aqidah Islamiyah. Contoh nyatanya adalah banyaknya
daerah di Indonesia, terutama Jawa yang masih memberikan
sesajen dalam bentuk pengorbanan hewan ternak seperti di
daerah

Banyuwangi.

Yang

terjadi

di

Banyuwangi

adalah

mengorbankan kerbau dan melarungnya setiap tahun untuk


meminta

berkah.

dengan aqidah tetapi

Pengorbanan
Walisongo

ini

bertentangan

selaku dai membiarkannya

padahal mereka paham dengan aqidah. Hal ini terjadi karena


strategi dakwah Walisongo yang melalui tradisi dan tidak
mungkin Islam bisa diterima oleh masyarakat Banyuwangi jika
langsung bertentangan dengan tradisi Banyuwangi sehingga
mereka berusaha mengurangi hilangnya nyawa yang sia-sia.
Inilah

salah

satu

kondisi

nyata

dari

tahap

penyempurnaan aqidah di daerah Jawa dan seharusnya ulama


Aswaja

yang

berkonsentrasi

terhadap

budaya

melakukan

pembinaan terhadap tradisi ini.


Kedua, tidak layaknya percontohan yang dibawa oleh
Islam Nusantara untuk dijadikan contoh oleh dunia luar karena
Islam yang katanya berbaur dengan tradisi dan budaya Jawa
masih mempunyai tradisi yang sangat bertentangan dengan
hukum-hukum dasar Islam seperti primbon. Primbon adalah
kepercayaaan orang Jawa bahwa segala nasib baik memiliki
kaitan dengan hari atau tanggal. Dalam hukum Islam, semua
jenis ramalan sudah jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa

Taala karena

bersifat

syirik.

Orang-orang

Jawa

yang

mempercayai primbon masih banyak yang berada dalam daerah


dakwah NU. Ini adalah satu tradisi Jawa yang masih tersebar luas
dan dilakukan oleh banyak masyarakat Jawa yang beragama
Islam.
Ketiga, penyelesaian konflik yang terjadi di Indonesia lebih
mengedepankan

semangat

nasionalisme

dan

persatuan

ditambah dengan kepasrahan korban untuk menerima apa yang


sudah menimpa keluarga atau dirinya. Model penyelesaian ini
tidak mungkin dilakukan dalam konteks selain Indonesia karena
di Indonesia sendiri, model penyelesaian ini hanya berlaku di
sebagian masyarakat terutama masyarakat Jawa. Selain itu, jika
yang memulai konflik adalah kaum minoritas, maka proses
perdamaian yang terjadi akan menuntut kaum mayoritas untuk
bersabar dan tidak bertindak tegas kepada kaum minoritas.
Proses ini berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah.
Contohnya negara Saudi Arabia, ketika terjadi konflik antara dua
orang dan salah satu terbunuh, maka tradisi yang berlaku adalah
pembalasan atau jika rela, diganti dengan uang tebusan yang
besar. Perbedaan ini yang menjadikan Islam Nusantara akan
sulit

untuk

dijadikan

referensi

penyelesaian

konflik

berkepanjangan di Timur Tengah. Sesuai dengan fakta yang ada


di lapangan, konflik yang sedang terjadi di Timur Tengah tidak
serta merta ada karena masyarakatnya yang tidak menjalankan
syariat

Islam

dengan

kepentingan

non-muslim

melemahkan

muslim

baik,

tetapi

untuk

sehingga

disebabkan

mengadu

mereka

adanya

domba

dapat

dan

menjalankan

agenda-agenda mereka dengan leluasa.


Keempat, mudharat yang

dikemukan

masih

berupa

ketakutan terhadap masa depan Islam sehingga tidak relevan

dengan kondisi saat ini. Mudharat yang dikemukakan juga hanya


berupa pendapat walaupun mudharat ini muncul disebabkan
adanya oknum-oknum yang bertindak sesuai dengan ketakutan
serta peristiwa sejarah di masa lalu.
Setelah

evaluasi

terhadap

manfaat

dan mudharat dari

gagasan ini, dapat disimpulkan bahwa gagasan Islam Nusantara


masih belum sesuai dengan tujuan besarnya serta dapat
menimbulkan lebih banyak polemik dalam umat Islam sendiri.
Organisasi NU jika ingin mengekspor gagasan ini, maka yang
harus dilakukan terlebih dahulu adalah memperbaiki masyarakat
Indonesia sehingga sesuai dengan hukum Islam dan tidak ada
penyimpangan

dalam

hal aqidah, tasawuf,

dan

syariat tsawabith. Selain itu, NU harus bisa memperjelas maksud


dan tujuan dari gagasan ini karena berdasarkan definisi dan
maksud yang dikemukakan oleh NU, kosa kata Islam Nusantara
tidak cocok dengan gambaran tersebut karena Islam bukan
merupakan kata benda yang bisa disematkan kata lain di
belakangnya. Dengan penggambaran tersebut, lebih cocok jika
menggunakan kata Muslim Nusantara karena yang digagas
adalah pelaku Islam yang bertempat tinggal di Indonesia
sedangkan kata Islam itu sendiri tidak dijadikan sebagai pokok
gagasan.
Ditengah-tengah usaha kaum muslim seluruh dunia untuk
mengabungkan

tujuan

dan

menghilangkan

perbedaan,

munculnya gagasan ini bersifat kontradiktif dengan usaha


tersebut karena penyematan kata penjelas pada suatu kata
hanya membatasi makna kata tersebut sehingga penyematan
kata Nusantara pada Islam selain mengurangi makna kata
Islam, juga memberikan batas yang jelas terhadap Islam yang
berbeda dengan Islam lain. Seharusnya NU sebagai organisasi

Islam terbesar di negara muslim terbesar di dunia tidak


membatasi makna Islam dan berusaha untuk mempersatukan
Islam yang sekarang sedang dipecah-belah.

Anda mungkin juga menyukai