Anda di halaman 1dari 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah

Agama diyakini sebagai wahyu Tuhan yang menjadi pedoman manusia

menjalani kehidupannya, dan suatu kebenaran yang tidak dapat dipungkiri.

Sedangkan tindakan manusia meyakini agama dalam bentuk apapun merupakan

realitas sejarah yang tidak dapat diragukan lagi. Oleh sebab itu, dari masa ke

masa, manusia manapun tidak akan dapat melepaskan diri dari agama. Orang

melihat agama yang ada di dunia ini secara menyeluruh akan mendapatkan paham

dalam bentuk yang sangat rumit. Sejak dahulu hingga sekarang, bentuk-bentuk

implementasi keyakinan beragama terus berkembang1.

Sebuah penyelidikan menyebutkan bahwa 70 persen dari penduduk bumi

adalah mereka yang menganut salah satu agama2. Artinya segala aktivitas dan

perilaku sehari-hari yang dilakukan manusia di bumi ini adalah berdasarkan

tindakan-tindakan yang terkait dengan agama.Agama mencakup tiga dimensi

tidak hanya berorientasi pada Tuhan melainkan juga mencakup bagaimana

hubungan antar manusia dan hubungan dengan ciptaan lainnya. Agama yang

berorientasi pada Tuhan maka manusia merasa terjaga karena meyakini ada

kekuatan Maha Agung yang senantiasa menjaga dan memberikan anugerah-Nya

kepada manusia. Agama yang berorientasi pada dimensi hubungan antar manusia

1
Arifinsyah, Agama Dialogis Misi Profetik Mencegah Konflik (Yogyakarta: Perdana
Publishing, 2016), hlm.13.
2
Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), hlm.6.
2

akan membentuk solidaritas dalam masyarakat dan agama yang berorientasi pada

dimensi hubungan dengan makhluk ciptaan lain maka akan terjalin sebuah

kerukunan sehingga manusia akan bersinergi dengan alam. dari uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa agama menjadikan kehidupan manusia lebih teratur

baik secara vertikal maupun horizontal.

Perbedaan dalam agama sering sekali menjadi hambatan yang karenanya

manusia seakan tersekat oleh benteng tembok yang kokoh sehingga antara satu

komunitas agama dengan komunitas agama lain harus terpisah dan tidak

dimungkinkan untuk bersatu. Fakta bahwa perkembangan peradaban manusia

dipenuhi dengan kekerasan-kekerasan agama yang kian terus terulang3. Sehingga

agama seperti menawarkan dua hal yang bertentangan sekaligus, yakni di satu sisi

menawarkan keindahan, ketentraman dan kebajikan tapi sisi lain menawarkan

kekerasan, permusuhan dan perpecahan.

Misalnya peristiwa yang menanamkan benih permusuhan dan kebencian

orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang

Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-

Maqdis pada tahun 471 H. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi

umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu sangat menyulitkan

mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen

itu, pada tahun 1095 M, Paus urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa

3
Ahmad Salehuddin, Memahami Kekerasan Agama Yang Terulang: Analisis
Doktri, Struktur dan Kultur dalam buku Antologi Studi Agama (Yogyakarta : Belukar,
2012) hlm.217.
3

supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang

Salib, yang terjadi dalam tiga periode4.

Sampai akhir zaman manusia akan terus berupaya untuk mencari

“keberadaan Tuhan” karena nilai-nilai ketuhanan telah melekat dan menjadi fitrah

manusia. Sejarah agama menunjukkan banyaknya gerakan keagamaan baru dalam

berbagai agama baik dalam bentuk pemahaman, aliran bahkan komunitas agama.

Pada umumnya gerakan keagamaan baru hadir sebagai respon dari ajaran agama

yang dianggap sudah tidak sesuai terhadap sistem keagamaan mainstream dan

dianggap tidak relevan sehingga diperlukan sebuah pemahaman baru yang

kontekstual. Kemudian memberikan sebuah alternatif jawaban-jawaban mengenai

hal yang bersifat fundamental dalam agama seperti diri, hakikat Tuhan, eskatologi

dan makna kehidupan.

Menurut Wilhelm Schmidt dalam bukunya the Origin the idea of God ia

menjelaskan bahwa telah terdapat satu monoteisme primitif sebelum manusia

menyembah banyak Dewa, pada awalnya manusia primitif hanya mengakui

terhadap satu Tuhan tertinggi, yang menciptakan dunia, mengatur dan menata

segala urusan manusia. Namun menciptakan Tuhan dalam kehidupan manusia

adalah hal yang terus dilakukan oleh manusia bahkan sejak awal sejarah dari

kehidupan manusia itu sendiri sehingga ketika satu ide keagamaan tidak lagi

efektif maka ia akan segera diganti5. Seperti yang disebut E.B Tylor tentang

“evolusi agama” ketika meneliti agama primitif, ia menyatakan bahwa agama

4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Depok: PT Grafindo Persada, 2017)
hlm. 77.
5
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan,Terj. Zaimul Am (Bandung : Mizan, 2011),
hlm. 27-28.
4

akan terus berevolusi karenanya agama yang ada saat ini adalah hasil evolusi dari

agama-agama yang telah ada sebelumnya.6

Dalam ajaran agama Baha’i, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu

proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan yang disebut

“perwujudan Tuhan”. Umat Baha’i percaya bahwa Bahaullah merupakan

Perwujudan Tuhan ditunjukkan untuk kondisi umat manusia di zaman ini. Ia

mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah di janjikan bagi semua umat. Ia

menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persaudaraan

dan persatuan seluruh dunia. Bahaullah artinya kemuliaan Tuhan, pembawa

wahyu agama Baha’i serta utusan Tuhan yang dipercaya sebagai “Dia yang

dijanjikan segala zaman”.

Agama Baha’i merupakan salah satu agama dengan jumlah penganut tidak

sebanyak agama-agama besar, akan tetapi kehadiran agama Baha’i sesungguhnya

diakui sebagai masyarakat agama. Agama Baha’i ini tetap eksis dan berkembang

serta menjadi fenomena keagamaan yang unik dan menarik di seluruh penjuru

dunia7.Dalam sejarah tercatat bahwa agama Baha’i masuk ke Indonesia pada akhir

abad ke-19. Saat ini agama Baha’i telah ada lebih dari 191 negara dan 46 wilayah

territorial di dunia8 dan telah memiliki perwakilan konsultatif resmi di

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Salah satu ciri khas masyarakat Baha’i adalah keanekaragamannya.

Agama baha’i merangkul orang-orang yang berasal dari ratusan ras, suku dan

6
Daniels L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCisod, 2011) hlm.70.
7
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor, (Jakarta : Prenadamedia Group,
2015), hlm. 1.
8
.....Agama Baha’i (T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2013), hlm. 32.
5

bangsa, bermacam-macam profesi serta berbagai golongan sosial ekonomi

semuanya bersatu demi mengabdi kepada kemanusiaan. Dalam masyarakat Baha’i

keanekaragaman dihormati dan dihargai, dalam segala keanekaragamannya,

masyarakat dapat hidup bersatu dengan penuh kedamaian dan cinta9.

Masyarakat Bahá'í, dalam memainkan perannya, berusaha untuk

menumbuhkan pola toleransi, kerja sama, dan persaudaraan dengan berbagai cara.

Sebagai individu, umat Bahá'í berusaha setiap hari untuk hidup sesuai ajaran dan

untuk mewujudkan dan mengekspresikan prinsip-prinsip agama dalam tindakan.

Kepada umat Bahá'í di dunia Balai Keadilan Sedunia telah menyatakan “Pikiran

dan tindakanmu harus begitu bebas dari segala jejak prasangka ras, agama,

ekonomi, kebangsaan, suku, kelas, atau budaya sehingga orang asing melihat

dirimu sebagai teman yang penuh kasih. “Sejak usia dini umat Bahá'í diajarkan

tentang kesamaan dasar dari semua agama dunia, untuk menerima dan mencintai

para Pendiri dari semua agama itu sebagai milik mereka sendiri, dan untuk

merangkul semua orang dari semua agama atau mereka yang tidak beragama

dengan keramahan dan persaudaraan.

Salah satu ajaran Bahaullah yaitu tercapainya kesatuan umat manusia

dengan cara mencintai seluruh dunia; mencintai umat manusia dan berusaha untuk

mengabdi kepada umat manusia; bekerja demi perdamaian dunia dan

persaudaraan universal.10 Selama ini, masalah yang dihadapi umat Baha’i dalam

mewujudkan persaudaraan manusia adalah prasangka agama. Bahá'u'lláh

9
www. Bahaiindonesia.org diakses Kamis, 02 Agustus 2018 jam 13:00Wib
10
Moh. Rosyid, Agama Baha’i Dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 48.
6

memberikan peringatan keras tentang efek buruk dari prasangka keagamaan,

dengan menyatakan bahwa "fanatisme dan kebencian keagamaan adalah bagaikan

api yang dapat membakar seluruh dunia, yang kekerasannya tak terpadamkan oleh

siapa pun. Hanya Tangan kekuatan Ilahi-lah yang dapat menyelamatkan umat

manusia dari bencana yang menghancurkan itu." Dia meminta umat Bahá'í untuk

bertindak sehingga "huru-hara perselisihan dan permusuhan antaragama, yang

menggelisahkan semua bangsa di bumi, dapat ditenangkan, sehingga setiap jejak

perselisihan dan permusuhan itu dapat dimusnahkan."

Konsep persaudaraan dalam Islam terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-

Hujurat ayat 10:

  


   
  
 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat.”11
Pentingnya persaudaraan seiman dalam Islam sangat jelas terlihat dalam

ayat di atas. Menurut al-Hujurat ayat 10 ini, bahwa orang-orang mukmin adalah

bersaudara, tidak perlu ada permusuhan dan perpecahan di dalamnya karena

mempunyai persamaan di dalam iman. Sehingga potensi-potensi yang mengarah

kepada perselisihan harus dihindari, dan jika terjadi perselisihan maka mukmin

lainnya harus mendamaikannya.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Jumanatul Ali-
11

ART, 2004), hlm. 516.


7

Dasar persaudaraan manusia di dalam agama Baha’i terdapat di dalam

buku Taman Baru, dikatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang

Maha Esa. Jika percaya kepada Bapa Surgawi yang satu, maka harus saling

menganggap satu sama lain sebagai saudara, anggota dari satu keluarga, yakni

keluarga manusia. Umat manusia diumpamakan sebagai suatu kebun yang luas,

yang didalamnya tumbuh berdampingan bunga-bunga yang beraneka warna,

bentuk dan wanginya. Keindahan dan daya tarik dari kebun itu terletak pada

keanekaragaman tersebut.12

'Abdu'l-Bahá menekankan bahwa "agama harus menjadi penyebab

persaudaraan dan cinta. Dia mendesak, "semoga semua umat manusia memasuki

ikatan persaudaraan, jiwa-jiwa bergaul dengan keselarasan yang sempurna,

bangsa-bangsa di bumi pada akhirnya mengibarkan panji kebenaran, dan agama-

agama di dunia memasuki kuil kesatuan Ilahi, karena fondasi-fondasi dari agama-

agama surgawi adalah realitas yang satu."

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah ajaran

Baha’i tentang konsep persaudaraan serta bagaimana upaya yang dilakukan umat

Baha’i untuk menjalin persaudaraan manusia. Hal itulah yang menarik penulis

untuk mengambil judul Konsep Persaudaraan Menurut Agama Baha’i.

12
Hushmand Fathea’zam, Taman Baru, (t.t : Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia,
2009), hlm. 58.
8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang masalah di atas, maka yang menjadi masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep persaudaraan menurut agama Baha’i ?

2. Bagaimana upaya Umat Baha’i dalam menjalankan ajarannya mengenai

konsep Persaudaraan ?

C. Batasan Istilah

Untuk lebih memperjelas para pembaca memahami judul tersebut, maka

penulis memandang perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat di dalam judul

tersebut, yakni:

1. Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konsep bermakna

rancangan atau buram surat dan sebagainya; ide atau pengertian yang

diabstrakkan dari peristiwa konkret; satu istilah dapat mengandung dua

yang berbeda.13 Konsep yang penulis maksud disini adalah dasar-dasar

yang dilakukan umat baha’i untuk menerapkan persaudaraan.

2. Persaudaraan berasal dari kata dasar saudara artinya orang yang

segolongan (sepaham, seagama, sederajat, dan sebagainya. yang ditambah

dengan per dan an yang menunjukkan kata benda. Sehingga pengertian

persaudaraan adalah persahabatan yang sangat karib, seperti layaknya

saudara; pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian saudara;14.

13
https:kbbi.web.id/konsep html diakses tgl 16 Agustus 2018 jam 12:00 Wib
14
https:kbbi.web.id/saudara.html diakses tgl 02 Agustus 2018 jam 13:00 Wib
9

3. Agama Baha’i, Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan

nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-

kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Kata agama sendiri

memiliki banyak pengertian karena agama didasarkan pada batin dan

setiap orang memiliki pengertian sendiri terhadap agama. Dasar kata

agama sendiri berbeda menurut berbagai bahasa. Dalam bahasa Sansekerta

agama berarti “tradisi”. kata agama juga berasal dari kata Sanskrit. Kata

itu tersusun dari dua kata, a=tidak dan gam=pergi, jadi agama artinya tidak

pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun dari satu generasi ke

generasi lainnya.15 Selanjutnya, kata Baha’i (dari bahasa Arab Baha’iyyah)

adalah agama monoteistik yang menekankan pada kesatuan spritual bagi

seluruh umat manusia. Agama Baha’i lahir di Persia (sekarang dengan

nama Iran) pada abad 19 oleh sang deklarator bernama Baha’u’llah. Pada

awal abad ke-21 jumlah penganut Baha’i mencapai sekitar enam juta

orang yang berdiam di lebih dari dua ratus negara di seluruh dunia16.

Agama Baha’i bermula pada tahun 1844 dengan sebuah misi yang

diumumkan oleh Sang Bab selaku pembawa pesan akan kedatangan

Baha’u’llah. Pada hari ini, sifat kesatuan yang menjadi ciri khas agama

yang mereka dirikan ini berasal dari perintah langsung oleh Baha’u’llah,

15
Maratua Simanjuntak dkk, Merawat Kerukunan Umat Beragama, (Medan: CV.
Manhaji, 2016), hlm.1.
16
Moh. Rosyid, Agama Baha’i Dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 50.
10

yang menjamin keberlangsungan agama-Nya setelah beliau wafat. Garis

penerusnya dikenal sebagai Perjanjian Baha’u’llah terdiri dari Putra-Nya

Abdu’l-Baha, lalu diteruskan cucu Abdul-Baha yaitu Shoghi Effendi dan

terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan perintah dari

Baha’u’llah.

Berdasarkan batasan istilah di atas, maka makna yang dimaksud menurut

hemat penulis adalah mengetahui dasar-dasar ajaran persaudaraan agama Baha’i

dan upaya umat Baha’i dalam mewujudkan persaudaraan.

D. Tujuan Penelitian

Dari uraian latarbelakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

penulis melakukan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep persaudaraan dalam agama Baha’i

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Umat Baha’i untuk

persaudaraan manusia.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian kelak diharapkan dapat berguna baik secara teoritis

maupun praktis :

a. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi para pembaca dan tentunya khasanah ilmu pengetahuan mengenai

ajaran persaudaraan dalam agama Baha’i.


11

b. Manfaat secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat di jadikan rujukan bagi mahasiswa

Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam khususnya dan mahasiswa UIN

pada umumnya sebagai wacana pengembangan, wacana keilmuan, dan

terlebih lagi sebagai acuan dan bahan pertimbangan dan juga

penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi berupa bahan

bacaan perpustakaan UIN Sumatera Utara. Serta memberikan

kontribusi pemikiran bagi seluruh masyarakat.

F. Tinjauan Pustaka

Untuk membuat suatu karya ilmiah menjadi lebih baik dari segi validitas

dan keabsahan suatu penelitian maka penulis perlu menampilkan beberapa karya

ilmiah baik skripsi, buku maupun artikel sehingga dapat mengetahui beberapa

karya ilmiah yang telah ada sebelumnya.

Dari hasil penelusuran penulis menemukan hasil penelitian yang terkait

dengan tema yang akan di teliti yaitu sebagai berikut:

Buku karangan Dr. Moh. Rosyid yang berjudul Agama Baha’i dalam

lintasan sejarah di Jawa Tengah. Dalam buku tersebut Moh Rosyid lebih fokus

meneliti kehidupan serta peta problematika umat agama Baha’i di Pati. Sedangkan

fokus penulis adalah konsep persaudaraan menurut agama Baha’i sehingga jauh

berbeda dengan isi buku karangan Dr. Moh. Rosyid

Buku yang diterbitkan oleh DIAN/INTERFIDEI yang berjudul Sejarah,

Teologi dan Etika Agama-Agama menjelaskan secara singkat profil dan sejarah
12

masuknya agama Baha’i di Indonesia. sehingga berbeda dengan judul penulis

yaitu konsep persaudaraan menurut agama Baha’i.

Penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Balai

Litbang Agama dan Perguruan Tinggi Agama (IAIN) yang berjudul Direktori

Aliran, Faham dan Gerakan Keagamaan di Indonesia meneliti kelompok penganut

agama Baha’i di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati.

Buku yang ditulis oleh Nuhrison M Nuh, Kustini yang berjudul Baha’i

Sikh, Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan hak-hak Sipil membahas seputar

eksistensi, hak-hak sipil dan dinamika umat Baha’ di beberapa tempat di

Indonesia.

Buku yang diterbitkan oleh Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia

yang berjudul Beberapa Penjelasan Abdu’l-Baha’ membahas tentang beberapa

pokok-pokok ajaran serta permasalahan-permasalahan dalam kehidupan menurut

Baha’i.

Buku yang ditulis oleh Hushmand Fathea’zam yang diterjemahkan oleh

Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia yang berjudul Taman Baru membahas

seputar penjelasan mengenai sejarah, pokok ajaran dan administrasi agama

Baha’i.

Tulisan-tulisan tokoh agama Baha’i di rangkum menjadi pembahasan

mengenai Kesatuan, Kehidupan Keluarga, Pendidikan Baha’i serta hidup secara

Baha’i

Skripsi Talenta Sidabutar Mahasiswi UNIMED yang berjudul Eksistensi

Agama Baha’i di Kota Medan Sumatera Utara Tahun 1957-2015. Dalam skripsi
13

tersebut Talenta menjelaskan tentang bagaimana Sejarah masuknya Agama Baha’i

ke kota Medan dan Implementasi pelayanan hak-hak sipil umat Baha’i oleh

pemerintah di kota Medan Sumatera Utara.

G. Kerangka Teori

Teori interaksionisme simbolis bersumber dari karya-karya Charles

Horton Coolley dan George Herbert Mead. Fokus teori Mead ada pada

pemahaman hubungan antara asal-usul dan aktivitas pikiran manusia. Mead

mempermasalahkan mengenai bagaimana metode-metode dalam ilmu alam dapat

diterapkan dalam memahami pikiran manusia dan aktivitas sosialnya. Mead

menunjukkan bahwa metode ilmu alam dapat diterapkan dalam studi pikiran

manusia dan aktivitas sosialnya. Menurutnya, pikiran manusia dapat diteliti secara

ilmiah seperti fenomena lain menggunakan metode-metode ilmiah. Metode-

metode ilmu alam dalam hal ini termasuk eksperimentasi hubungan-hubungan

kausal, observasi, dan interpretasi. Dalam hal ini termasuk penerapan prosedur

dan proses penelitian yang digunakan dalam fisika, kimia, dan biologi yang

menghubungkan beberapa variabel.

Herbert Blumer mengolaborasi analisis interaksionisme simbolis melalui

kritiknya mengenai analisis variabel. Analisis variabel berkaitan dengan

penjelasan hubungan antarvariabel khususnya antara dua atau lebih variabel,

misalnya frustrasi dan agresi. Kita dapat menunjukkan secara ilmiah variabel

independent dan variabel dependen. Dalam hal ini, Blumer berbeda dengan Mead.

Blumer berpendapat bahwa transfer prosedur (ilmu alam ke dalam ilmu sosial)
14

tanpa modifikasi dalam studi pikiran manusia (yang menjadi prinsip

interaksionisme simbolis) tidak dapat diterima.

Teori interaksionisme simbolis melihat bahwa agama terdiri atas

seperangkat simbol yang digunakan masyarakat untuk mempertahankan dan

menjelaskan kehidupan. Simbol-simbol yang digunakan dalam agama termasuk

objek-objek termasuk batu, sungai, gunung, dan bahkan binatang seperti sapi dan

harimau. Binatang-binatang dan objek-objek dipandang sebagai suatu yang suci

dan dimuliakan dalam ibadah-ibadah yang dilakukan umat agama. Tuhan

merupakan sesuatu yang spritual dan tidak dapat didekati manusia yang penuh

dosa. Ritual ibadah juga merupakan simbol lahiriah dari suatu kehidupan yang

terdalam dari jemaah. Individu membentuk dirinya sesuai dengan kehendak

Tuhan sebagaimana yang dilakukan jemaah lain.

Teori interaksionisme simbolis dalam agama memfokuskan pada proses

bagaimana seseorang menjadi religius. Perbedaan kepercayaan agama muncul

dalam konteks masyarakat dan kesejarahannya yang berbeda karena konteks

sosio-kultural itulah yang membingkai kepercayaan agama. Dengan demikian,

teori interaksionisme simbolis dapat menjelaskan agama dan kepercayaan yang

sama dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda karena konteks sosial budaya

antar orang berbeda. Dalam perspektif ini, teks kitab suci, misalnya, dilihat

sebagai sesuatu yang dapat diinterpretasikan secara berbeda.17

17
Sindung Haryanto, Sosiologi Agama dari Klasik hingga Postmodern, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), hlm. 53-54.
15

H. Metode Penelitian

Metodologi adalah ilmu tentang kerangka kerja untuk melaksanakan

penelitian yang bersistem; sekumpulan peraturan, kegiatan dan prosedur yang

digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu; studi atau analisis teoritis mengenal

suatu cara/metode; atau cabang ilmu logika yang berkaitan dengan prinsip umum

pembentukan pengetahuan. Penelitian sebagai upaya untuk memperoleh

kebenaran, harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangkan dalam

metode ilmiah.18

Penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang berorientasi pada

kajian pustaka (library research) dengan membaca buku-buku mengenai agama

Baha’i sebagai sumber pokok referensi dan sumber pendukung untuk dapat

menyelesaikan skripsi ini.

2. Sumber Data

Dari sisi penyajian data, maka data dalam penelitian bersumber dari dua

bentuk, yaitu data primer dan data sekunder. Kedua data ini merujuk kepada studi

kepustakaan (library research).

1) Sumber primer merupakan sumber data yang berkaitan langsung dengan

permasalahan yang akan dibahas, penulis menjadikan buku Taman baru

18
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Kencana, 2011), hlm. 22.
16

yang merupakan hasil terjemahan dari The New Garden Introduction to

the Baha’i Faith yang ditulis oleh Husmand Fathe’azzam kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan diterbitkan oleh Majelis

Rohani Nasional Indonesia. Peneliti juga menambah data primer yaitu

buku Beberapa Penjelasan Abdul Baha’ yang diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia oleh Lauren Silver dan Soesiana tri Ekawati. Penulis

juga mengambil data dari website resmi bahai http://bahaiindonesia.org

dan kumpulan buku-buku mengenai khutbah-khutbah pembawa ajaran

Baha’i seperti Bahaullah dan Soghi Efendi.

2) Data sekunder atau pendukung untuk pengayaan referensi yang diperoleh

dari berbagai literatur lainnya yang relevan dengan topik yang sedang

diteliti. Antara lain sumbernya adalah berasal dari tulisan berupa buku

maupun artikel-artikel yang ditulis terkait konsep persaudaraan dalam

agama Baha’i.

3. Teknik Analis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

kedalam pola, kategori, dan satuan dasar sehingga dapat dipertemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Setelah data

terkumpul, maka penulis mengolah data dengan menggunakan metode deskriptik

analitik, yaitu suatu penelitian yang meneliti proses pengumpulan data,

penyusunan dan penjelasan atas data, artinya data yang terkumpul kemudian di

analisa. Metode deskriptik analitik bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat

ini berlaku atau dengan istilah lain, metode deskriptik analitik berfungsi untuk
17

memperoleh informasi-informasi mengenai situasi dan kondisi yang sebenarnya

dan pada akhirnya dianalisa secara mendalam.

Apabila dilihat dari metode analitiknya merupakan penelitian yang bersifat

kualitatif. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode sebagai

berikut:

Pendekatan Sosiologis. Sebagai sebuah keyakinan (beleif), agama juga

merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai

perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah

kehidupan bersama. Kadang-kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu

sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh

terhadap perilaku sosial. Penelitian agama seringkali tertarik untuk melihat,

memaparkan, dan menjelaskan berbagai fenomena keagamaan. Juga kadang-

kadang tertarik melihat dan menggambarkan pengaruh suatu fenomena terhadap

fenomena lain.

Pendekatan sosiologis ialah: peneliti menggunakan logika-logika dan teori

sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena

sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.19

I. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini ditulis dan disusun terdiri dari lima bab bahasan, dimana

masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Hal ini dimaksudkan agar

19
Sayuthi Ali, Metodologi Penelitan Agama, Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 100.
18

pembahasannya lebih terarah dan dapat dipahami dengan mudah. Sistematika

penulisannya adalah sebagai berikut:

Bab I PENDAHULUAN; terdiri dari: Latarbelakang Masalah, Rumusan

Masalah, Batasan Istilah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,

Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II GAMBARAN UMUM MENGENAI AGAMA BAHA’I; terdiri

dari: Pengertian, Sejarah, Pokok-Pokok Ajaran, Perkembangan, dan Struktur

Agama Baha’i.

Bab III KONSEP PERSAUDARAAN MENURUT AGAMA BAHA’I;

terdiri dari: Pengertian, Ajaran Baha’i tentang Manusia, Pola Dasar Ajaran

tentang Persaudaraan, Kesempurnaan Hidup dalam Pandangan Baha’i.

Bab IV UPAYA YANG DILAKUKAN UMAT BAHA’I UNTUK

MEWUJUDKAN PERSAUDARAAN MANUSIA DI DUNIA; Terdiri dari:

Pendidikan Universal, Persatuan Bahasa, Majelis Rohani Setempat.

Bab V TINJAUAN ISLAM TERHADAP KONSEP PERSAUDARAAN

AGAMA BAHA’I; terdiri dari: Konsep Islam tentang Persaudaraan, Persamaan

dan Perbedaan.

Bab VI PENUTUP; terdiri dari: Kesimpulan dan Saran-Saran


19

BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI AGAMA BAHAI

A. Pengertian Agama Baha’i

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip

kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama

lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan

kepercayaan tersebut. Kata agama sendiri memiliki banyak pengertian karena

agama didasarkan pada bathin dan setiap orang memiliki pengertian sendiri

terhadap agama. Dasar kata agama sendiri berbeda menurut berbagai bahasa.

Dalam bahasa Sansekerta agama berarti “tradisi”. Kata agama juga berasal dari

kata Sanskrit. Kata itu tersusun dari dua kata, a=tidak dan gam=pergi, jadi agama

artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun dari satu

generasi ke generasi lainnya.20

Agama Baha’i (dari kata Baha’ berarti kemuliaan dan i berarti pengikut)

dideklarasikan di Iran 23 Mei 1844 oleh Mirza Husein Ali bergelar Baha’u’llah

(kemuliaan Tuhan) mengikuti gerakan Babiyah. pada tahun 1863 Ia

mengumumkan misinya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta

mewujudkan keselarasan di antara agama-agama. Baha’i mempercayai Tuhan

Yang Maha Esa pencipta alam, berasaskan mencari kebenaran dengan bebas,

mengupayakan cinta kasih, menyesuaikan ilmu pengetahuan dan teknologi,

menghilangkan prasangka, mendukung persamaan hak hidup, emansipasi, hak

20
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Pen. Universitas
Indonesia, 1985), hlm. 5.
20

yang sama tiap orang dalam perundangan, perdamaian semesta, larangan

mencampur agama dengan politik, pemecahan masalah ekonomi.21

B. Sejarah Agama Baha’i

Iran adalah negara Muslim Syi’ah. Dalam tradisi Syi’ah itsna Asyariyah

terdapat wacana 12 orang imam yang menunjukkan pintu gerbang kebenaran

agama. Imam yang ke-12 hilang pada abad ke-19, dan kaum Syi’ah meyakini

bahwa suatu saat nanti imam yang hilang akan muncul kembali sebagai al-Mahdi.

Al-Mahdi, yang dijanjikan akan membawa perdamaian dan keselarasan umat

manusia di muka bumi.22

Pada abad ke-19-an muncul gerakan-gerakan Mahdiisme (mesianisme).

Gerakan Syaykhis muncul tahun 1830 dipimpin Sayyid Kazim Rasyti, sebuah

sekte dari Syi’ah. Para syaykhis mengharapkan munculnya ‘Qa’im’ (pemimpin

yang dijanjikan). Menjelang kematiannya, Kazim Sayyid tahun 1843 menasehati

para pengikutnya untuk meninggalkan rumah mereka untuk mencari ‘Qai’im,

selanjutnya gerakan Babism (Babi) tahun 1844-1852, dipimpin oleh Sayyid ‘Ali

Muhammad dari Syiraz. Tidak seperti gerakan mesianis Islam lainnya, gerakan

Babi berusaha memulai sistem agama baru. Ia memberi tafsiran berbeda terhadap

finalitas wahyu Muhammad yang secara universal diterima semua kalangan Islam

baik Sunni maupun Syi’ah.

21
Moh. Rosyid, Agama Baha’i Dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 52.
22
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor, (Jakarta : Prenadamedia Group,
2015), hlm. 243.
21

Ali Muhammad menyatakan dirinya sebagai pesuruh Tuhan dengan

bergelar Bab (pintu). Ia mengemukakan dan menyuruh agar semua orang bersiap-

siap untuk menerima kedatangan al-Mahdi al-Munthadzar, yaitu nabi yang akan

datang di muka bumi ini yang akan mempersatukan seluruh umat manusia.

Pandangannya yang seperti ini mendapat penolakan keras dari para ulama dan

pihak pemerintah/penguasa. Maka pada 1850-an, ia beserta beberapa pengikutnya

yang setia dijatuhi hukuman mati.

Pada 1863 muncul seorang yang menyatakan diri sebagai nabi yang akan

datang sebagaimana yang disebutkan oleh Bab. Orang ini berasal dari bangsawan

Iran bernama Baha’u’llah (kemuliaan Tuhan). Dari nama inilah selanjutnya agama

Baha’i bermula, bermakna agama kemuliaan. Agama Baha’i menyatakan sebagai

agama sedunia yang bertujuan mempersatukan semua ras dan bangsa dalam satu

ajaran universal berdasarkan prinsip-prinsip keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan

persatuan seluruh umat manusia.

Berikut ini adalah nama-nama pembawa ajaran agama Baha’i

1. Sayyid Ali Muhammad (Sang Bab)

Sayyid Ali Muhammad atau yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Bab

yang artinya pintu gerbang, dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1819 di shiraz,

Iran. Ia berasal dari keluarga terkemuka dan terpandang. Ayahnya meninggal

dunia ketika Bab masih kecil, setelah itu ia diasuh dan dibesarkan oleh pamannya.

Setelah dewasa, bekerja bersama pamannya sebagai pedagang di Bushier, sebuah

kota di barat daya kota Shiraz. Ketika berada di kota tersebut, ia menikah dan
22

dikaruniai seorang anak yang bernama Ahmad, namun meninggal ketika masih

bayi pada tahun sebelum Bab mengumumkan dirinya sebagai qaim yang

dijanjikan.23

Sekitar tahun 1840, Sang Bab tinggal selama setahun di kota suci Syi’ah di

Irak. Di tempat inilah, ia menjalin kontak langsung dengan Sayyid Khazim Rasyti,

pemimpin Madzhab Syaikiyah semi ortodoks yang menekan gagasan esoteris.

Selanjutnya, dikisahkan bahwa setelah Sayyid Khazim wafat pada awal tahun

1844, seorang muridnya yang bernama Mulla Husain pergi ke sebuah masjid dan

bermeditasi selama 40 hari. Konon, Mulla Husain ke sana kemari mencari qaim

yang telah dijanjikan itu hingga akhirnya dia bertemu dengan Bab. Setelah

keduanya berbincang cukup lama, Bab menunjukkan beberapa bukti bahwa

dirinyalah qaim yang dijanjikan itu. Kemudian, ia berkata kepada Mulla Husain,

“wahai kamu yang pertama beriman kepadaku, sesungguhnya akulah bab pintu

Tuhan, dan kamulah babul bab, pintu dari segala pintu itu.

Sejak itu, Bab mengumumkan dirinya adalah pembawa amanat baru dari

Tuhan. Ia juga menyatakan bahwa ia datang untuk membuka jalan bagi wahyu

yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”.

Selanjutnya, Bab mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada di

dalam kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan secara harfiah. Ia

melarang perbudakan dan perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan

praktik yang banyak dilakukan oleh penganut Syi’ah di Iran.

23
M Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia (Dari Masa Klasik Hingga
Modern), (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 511.
23

Sejak itu, ajaran Bab tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat di

semua kalangan di Iran. akan tetapi ajarannya dilawan dengan keras, baik oleh

pemerintah maupun para pemimpin agama. Akibatnya, Sang Bab ditangkap dan

dipenjarakan di benteng Mahku di Pegunungan Azerbaijan. Di tempat tersebut,

hampir semua penduduknya bersuku Kurdi, yang dikira membenci orang Syi’ah.

akan tetapi, tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agama yang dibawa oleh

Sang Bab. Mereka justru sangat ramah dan menerima dengan baik ajaran yang

dibawa oleh Sang Bab. Karena inti ajaran Baha’i adalah keselarasan umat

manusia.

Upaya pengasingan tersebut tidak berhasil, kemudian Bab dipenjarakan di

Benteng Chihr’q yang lebih terpencil lagi, tetapi ini juga tidak berhasil

mengurangi pengaruh Sang Bab. Bahkan, pengikutnya semakin lama semakin

banyak. Akhirnya, pemerintah Iran menghukum mati dan mengeksekusi Bab di

lapangan kota Tabriz pada 9 Juli 1850, saat ia baru berusia 30 tahun. Jenazahnya

diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran

ke Bukit Karmel, di Haifa, dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh

Baha’u’llah.

Setelah terjadinya revolusi di Turki, dan kawasan Haifa menjadi bagian

Israel, makam Sang Bab dibangun. Di tempat tersebut, dibangun sebuah taman

yang indah dan luas. Makam Sang Bab berada di senuah bangunan megah dengan

kubah emas. Sebelum Sang Bab meninggal, ia memilih dua muridnya sebagai

pengganti, Subuh Azal dan Baha’u’llah, untuk menjadi pendakwah. Namun,


24

keduanya juga diusir dari Iran. Subuh Azal diusir ke Siprus, sedangkan

Baha’u’llah ke Turki.

2. Mirza Husain Ali (Baha’u’llah)

Mirza Husain Ali yang kemudian lebih populer dengan sebutan

Baha’u’llah, lahir di Desa Nur, Propinsi Mazandran, Iran, pada 12 November

1817. Ayahnya bernama Al-Mirzah Abbas Basrak an-Nuri, seorang pegawai di

departemen keuangan di Kerajaan Iran (sebelum berdirinya Republik Islam Iran).

Sang ayah memiliki hubungan dekat dengan duta besar Iran untuk Rusia

dikarenakan saudaranya seorang juru tulis kepercayaan di kedutaan negeri

beruang merah tersebut. Adapun ibunya adalah Hanim Jani, yang merupakan istri

pertama dari Abbas.24

Husain merupakan anak ke-3 dari 15 bersaudara. Pada masa kecilnya, ia

tidak bersekolah di sekolah resmi atau madrasah keagamaan tertentu. Ia hanya

mendapat pendidikan dari ayahnya di rumah. Setelah itu, ia berusaha sendiri

mengkaji buku-buku untuk menambah pengetahuannya. Ia sering membaca buku-

buku sufi dan Syi’ah, terutama buku Syi’ah Ismailiyah dan filsafat Yunani klasik.

Selain itu, ia juga banyak terpengaruh oleh pemikiran Buddha dan Zoroaster.

Pada saat Sang Bab menyatakan sebagai Dia Yang Dijanjikan di

hadapannya, Baha’u’llah berumur 27 tahun, dan ia segera menerima Sang Bab

sebagai Perwujudan Tuhan dan menjadi salah satu di antara pengikut yang

terkenal dan berpengaruh. Ketika pemerintah dan ulama menentang dan mengejar

24
Ibid., hlm. 513.
25

para pengikut Sang Bab, Baha’u’llah tidak luput dari tindakan tersebut. Ia dua kali

dimasukkan ke dalam penjara.

Antara 1848 sampai 1852, lebih dari 20.000 pengikut Bab telah dibunuh,

termasuk hampir semua pemimpinnya. Pada 1863, ketika Baha’u’llah ditahan di

penjara bawah tanah Siyah-Chal (lubang hitam) di kota Teheran, dia menerima

permulaan dari misi Ilahinya sebagai ‘Dia yang akan Tuhan wujudkan’

sebagaimana telah diramalkan oleh Bab. Ia menceritakan pada suatu malam dalam

mimpinya, ia mendengar kata-kata bergetar dari segala penjuru:“Sesungguhnya,

Kami akan menjadikan engkau menang melalui engkau sendiri dan melalui

penamu.” Kata penamu disini bermakna menyebarkan agama Baha’i lewat

tulisan-tulisan.

Pada 21 April 1863, Baha’u’llah mengumumkan:“Wahyu yang dinyatakan

dari dahulu kala sebagai tujuan dan janji semua nabi Tuhan serta hasrat yang

didambakan semua utusan-Nya, kini... telah disingkapkan kepada manusia.”

Baha’u’llah mengumumkan misinya di sebuah taman yang diberi nama

Taman Ridwan, kepada para pengikut Bab yang berada di Baghdad, dan sejak itu

dikenal sebagai agama Baha’i. Pernyataan diri Baha’u’llah merupakan rangkaian

epos agung sejarah keagamaan umat manusia sebagai pemenuhan “perjanjian”,

yakni janji yang abadi di mana Pencipta segala makhluk menjanjikan kepada

manusia akan selalu memberikan bimbingan.

Dalam menyebarkan ajarannya, Baha’u’llah mengalami banyak tantangan,

pembuangan, dan pemenjaraan. Dia diasingkan sebanyak empat kali dari satu
26

negeri ke negeri lainnya, sampai akhirnya diasingkan ke Kota Akka (Ottoman).

Meskipun mengalami berbagai penderitaan, Baha’u’llah terus mewahyukan

firman Tuhan selama lebih empat puluh tahun dengan membawa cinta dan energi

rohani ke dunia ini, sehingga kesatuan dan kesejahteraan manusia pasti

terwujud.Baha’u’llah wafat pada 1892. Makamnya terletak di dekat kota Akka

dan menjadi tempat tersuci bagi umat Baha’i. Dalam surat wasiatnya, Baha’u’llah

menunjuk putra sulungnya, Abdul Baha’, sebagai suri teladan agama Baha’i.

penafsir yang sah atas tulisan sucinya, serta pemimpin agama Baha’i setelah

Baha’u’llah wafat.

3. Abdul Baha’

Nama Abdul Baha’ artinya “hamba Allah”, putra sulung dari Baha’u’llah

dilahirkan pada 23 Mei 1844, tepat pada malam yang sama ketika Sang Bab

mengumumkan misi-Nya pada 1844. Baha’u’llah sendiri yang langsung mendidik

Abdul Baha’, agar memiliki sifat seorang Baha’i sejati. Baha’u’llah

mengumumkan firman Tuhan kepada Abdul Baha’ meski dia masih anak-anak.

Abdul Baha’ menyadari kedudukan ayah-nya dan bersujud di kaki Baha’u’llah,

memohon agar diterima sebagai kurban bagi ajaran-Nya. Sejak hari itu, Abdul

Baha’ menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Baha’u’llah dan

mengorbankan kesenangan dunia untuk hidup di jalan-Nya.

Abdul Baha’ berusia delapan tahun, Baha’u’llah dimasukkan kedalam

penjara bawah tanah. Ia menyertai berbagai kesulitan yang dialami oleh sang

ayah, dan melewatkan empat puluh tahun dari hidupnya sebagai tawanan dan
27

orang buangan. Dia telah mengalami pembuangan dan pemenjaraan yang panjang

bersama ayahnya. Sampai pada saat dibebaskan sebagai akibat dari Revolusi

Pemuda Turki pada 1908, usianya sudah lanjut. Namun ia selalu bahagia.

Setelah bebas, Abdul Baha’ mengadakan suatu perjalanan selama tahun

1910-1913 ke berbagai negara, di antaranya Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis,

Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Hungaira, dimana dia membawa amanat

ayahnya dan mengumumkan misi ajaran Baha’i mengenai perdamaian, keadilan

sosial kepada sesama umat agama, berbagai organisasi pendukung perdamaian,

para pengajar di universitas-universitas, para wartawan, pejabat pemerintah, dan

khalayak umum lainnya. Dia menulis ribuan Loh kepada individu dan kelompok

untuk menjelaskan ajaran ayahnya. Semua tulisannya merupakan bagian yang

sangat penting dari tulisan-tulisan agama Baha’i.

Di Amerika, Abdul Baha’ meletakkan batu pondasi bagi gedung rumah

ibadah Baha’i yang pertama di Barat. Perjalanan Abdul Baha’ ke Eropa dan

Amerika membuahkan hasil yang mengagumkan. Agama Baha’i didirikan di

banyak negara, dan ketika Abdul Baha’ wafat, agama Baha’i telah tersebar di 35

negar, di samping selama masih hidup melakukan perjalanan membawa amanat

Baha’u’llah ke lebih dari 251 negara di dunia termasuk tempat-tempat yang

disebutkan oleh Abdul Baha’ dalam Loh Rencana Ilahi.

Abdul Baha’ meninggal dunia pada tanggal 23 November 1921 dalam usia

77 tahun. Makamnya terletak di salah satu ruang di sebelah makam Sang Bab, di

Haifa. Abdul Baha’ ialah juru tafsir agama Tuhan, juru tafsir tulisan-tulisan
28

Baha’u’llah, dan teladan yang sempurna dan utama dari ajaran-ajarannya. Dalam

wasiatnya Abdul Baha’ menunjuk cucu tertuanya, Shoghi Effendi Rabbani,

sebagai Wali Agama sekaligus sebagai Penafsir ajaran agama ini.

4. Shoghi Effendi

Shoghi Effendi dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1897. Ibunya ialah putri

Abdul Baha’dan ayahnya keluarga dekat Sang Bab. Sang kakek, Abdul Baha’

memberinya nama Shoghi Effendi yang makna “mutiara yang paling

mengagumkan, unik, dan tak ternilai, berkilau dari lautan kembar yang

bergelombang,” dan “dahan suci yang telah bercabang dari pohon-pohon suci

kembar”, karena dalam diri Shoghi Effendi bersatu keluarga Sang Bab dan

Baha’u’llah.

Shoghi Effendi dididik di bawah pengasuhan dan bimbingan langsung

Abdul Baha’. Shoghi Effendi masih kecil ketika Abdul Baha’ menulis wasiat

sebagai penggantinya. Dan, ketika menjadi wali agama Baha’i dan penafsir yang

sah ajaran-ajaran Baha’i sesuai dengan wasiat Abdul Baha’, ia berusia 24 tahun.

Ketika Abdul Baha’ meninggal, Shoghi Effendi sedang menuntut ilmu di

Universitas Oxford di Inggris. Cita-citanya mengabdi kepada sang kakek

Baha’u’llah dan dapat menerjemahkan tulisan-tulisan suci agama Baha’i ke dalam

bahasa Inggris supaya dibaca ribuan mukmin yang tidak bisa membaca dalam

bahasa Persia.

Selama hidupnya, hampir 36 tahun, Shoghi Effendi menerjemahkan

banyak tulisan suci Baha’u’llah dan Abdul Baha ke dalam bahasa Inggris, dan
29

menjelaskan makna dari tulisan-tulisan suci. Dia melaksanakan berbagai rencana

global untuk pengembangan masyarakat Baha’i, mengembangkan Pusat Baha’i

Sedunia, melakukan surat-menyurat dengan banyak masyarakat dan individu

Baha’i di seluruh dunia, mendirikan dan membangun struktur administrasi Baha’i

yang mempersiapkan jalan untuk didirikannya Balai Keadilan Sedunia. Shoghi

Effendi juga membangun atau memperluas kuil Baha’i dan taman di Israel.

Shoghi Effendi meninggal pada tahun 1957.

Shoghi Effendi membuat Rencana Sepuluh Tahun yang berakhir pada

tahun 1963. Menurut rencana tersebut, semua sahabat Baha’i di seluruh dunia

harus bekerja sama dalam membawa amanat Baha’u’llah ke berbagai wilayah di

mana agama Baha’i belum diperkenankan. Shoghi sendiri mengawasi langsung

rencana ini pada tahap-tahap awal, dan sebelum meninggal lebih dari 4200 pusat

Baha’i telah didirikan di dunia, sedangkan literatur Baha’i telah diterjemahkan ke

dalam lebih dari 200 bahasa.

C. Pokok-Pokok Ajaran Agama Baha’i

1. Konsep tentang Ketuhanan

Baha’u’llah mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha

Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengirim pada utusan Tuhan

untuk membimbing manusia. Tuhan adalah pencipta dari segala sesuatu. Dia telah

menciptakan langit dan bumi, dengan gunung dan lembah, gurun dan laut, dengan

sungai, padang rumput, dan pohon-pohonnya. Tuhan telah menciptakan hewan

serta menciptakan manusia.


30

Umat Baha’i percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta alam semesta

dan Dia bersifat tidak terbatas, tak terhingga, dan Maha Kuasa. Tuhan tidak dapat

dipahami, dan manusia tidak bisa sepenuhnya memahami realitas keilahian-Nya.

Oleh karena itu, Tuhan telah memilih untuk membuat diri-Nya dikenal manusia

melalui para utusan Tuhan, di antaranya Ibrahim, Musa, Krishna, Zoroaster,

Buddha, Isa, Muhammad, dan Baha’u’llah. Para utusan Tuhan yang suci itu

bagaikan cermin yang memantulkan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Mereka

merupakan saluran suci untuk menyalurkan kehendak Tuhan bagi umat manusia

melalui wahyu Ilahi, yang terdapat dalam kitab suci berbagai agama di dunia.

Wahyu Ilahi adalah “Sabda Tuhan” yang dapat membuka potensi rohani setiap

individu serta membantu umat manusia berkembang terus menerus menuju

potensinya yang tertinggi.

2. Kitab Suci

Kitab suci dalam agama Baha’i adalah kumpulan tulisan dan amanat Sang

Bab dan ajaran Baha’u’llah yang dikumpulkan dalam sebuah kitab disebut Kitab-

i-Aqdas. Tulisan-tulisan suci dalam bentuk asli disahkan oleh Baha’u’llah sendiri,

sehingga tidak ada keraguan atas keasliannya. Dalam ayat-ayat suci-Nya yang

diwahyukan antara tahun 1853-1892, Baha’u’llah mengulas berbagai hal, seperti

keesaan Tuhan dan fungsi wahyu Ilahi; tujuan hidup; ciri dan sifat roh manusia;

kehidupan sesudah mati; hukum dan prinsip-prinsip agama; ajaran-ajaran akhlak;

perkembangan kondisi dunia serta masa depan umat manusia, selain berpijak pada

tulisan suci Baha’u’llah, kehidupan masyarakat Baha’i juga dituntun melalui buku
31

dan surat yang ditulis oleh Abdul Baha dan Shoghi Effendi, juga dibimbing oleh

Lembaga Internasional Balai Keadilan sedunia.

3. Konsep Ibadah

Ibadah dalam agama Baha’i diantaranya sembahyang, puasa, mengerjakan

ziarah ke Tanah Suci, dan berdoa. Sembahyang terbagi dalam tiga macam yaitu

sembahyang pendek, sedang, dan panjang. Sembahyang pendek dilakukan antara

tengah hari sampai sebelum terbenam matahari. Sembahyang sedang dikerjakan

sebanyak 3 kali yaitu pagi, siang dan sore. Sedangkan sembahyang panjang

waktunya 24 jam. Setiap umat Baha’i bebas memilih salah satu dari tiga macam

sembahyang tersebut, tetapi ia wajib melaksanakan salah satu di antaranya dan

sesuai dengan petunjuk-petunjuk khusus yang berhubungan dengan sembahyang-

sembahyang itu.25

Ketika sembahyang diharuskan menghadap kiblat, arah kiblat menghadap

ke arah Barat Laut (Akka). Sebelum mengerjakan sembahyang orang harus

mengerjakan wudhu dengan membasuh muka dan tangan. Ketika mengerjakan

sembahyang pakaiannya harus bersih dan rapi.

Berdoa dilakukan pada waktu pagi dan petang, semakin banyak berdoa

maka akan semakin baik. Umat Baha’i mengerjakan puasa selama satu bulan (19

hari) dari tanggal 2-20 Maret. Puasa dilakukan dengan tidak makan dan minum

dari sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam. Mereka juga melakukan

ziarah ke Tanah Suci, dengan berkunjung ke kota Akka (Haifa) Palestina.

.... Doa, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2008, hlm. 1.


25
32

Setiap tahun mereka merayakan hari raya Nawruz (tahun baru) yang

dilaksanakan pada tgl 21 Maret. Pada hari raya tersebut dibacakan puji-pujian

pada Tuhan, berdoa dan saling bersilaturahmi. Mereka mengadakan open house

untuk menerima kedatangan keluarga dan teman-teman. Pada hari raya Nawruz

ada pejabat desa yang datang bersilaturahmi. Tempat ibadah umat Baha’i tidak

dikhususkan untuk orang Baha’i. di dalamnya semua orang bisa beribadah dan

berdoa. Rumah ibadah agama Baha’i umumnya terdiri dari 9 pintu yang

merupakan simbol penghormatan terhadap keagamaan. Tempat ibadah agama

Baha’i disebut Masyriqul Adzkar (tempat terbitnya pujian terhadap Tuhan).

Sampai saat ini gedung tempat ibadah seperti ini sudah terdapat di Amerika

Serikat, Uganda, Kepulauan Samoa Barat dan New Delhi India.

4. Konsep tentang Agama

Umat Baha’i percaya bahwa semua agama berasal dari Tuhan. Ketika

mereka menjadi penganut agama Baha’i, mereka tidak menukar agama mereka,

karena mereka percaya bahwa Tuhan hanya mempunyai satu agama yang turun

kepada manusia dari waktu ke waktu, walaupun dengan nama yang berbeda-beda.

Dengan menerima agama segala zaman, umat Baha’i telah lebih

menyempurnakan kepercayaan kepada Tuhan.

Agama diibaratkan sebagai pohon dari sebuah benih mula-mula tumbuh

akar, lalu batang dan daun, kemudian bunga dan buah. Dari semula pohon itu

tetap pohon yang sama. Ia tidak berubah, tapi hanya tumbuh dan berkembang.

Matahari adalah matahari yang sama, meskipun ia terbit dari ufuk yang berbeda.
33

Orang Baha’i percaya bahwa semua Utusan Tuhan dari zaman yang lampau

memiliki derajat yang sama dan tujuan yang sama pula. Mereka memelihara

kebun Ilahi, dan membantu pertumbuhan Pohon Ilahi yang diberkati. Karena itu

orang-orang Baha’i yang berasal dari agama yang berbeda-beda dapat bersatu

dalam pandangan yang sama.

Agama Baha’i memiliki sikap yang sangat terbuka terhadap agama lain,

dan diharapkan dapat mengobati pemeluk agama lain dengan persahabatan dan

perdamaian. Tidak dijumpai aturan dalam komunitas Baha’i yang merugikan umat

di luar agama ini. Tidak ada paksaan terhadap anak-anak Baha’i untuk menerima

iman orang tua mereka, meskipun pendidikan spritual komprehensif yang mereka

terima, berarti bahwa mereka cenderung untuk tetap Baha’i.

Dalam berbagai pernyataannya, Baha’u’llah maupun para pendiri agama

Baha’i mengatakan bahwa tujuan agama adalah untuk mewujudkan persatuan dan

kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, para pengikut Baha’i

sangat dianjurkan untuk saling menghormati dan mencintai, serta kerja sama di

antara pemeluk agama yang berbeda akan membantu terwujudnya masyarakat

yang damai. Itulah sebabnya, umat Baha’i aktif berperan di berbagai usaha serta

proyek-proyek yang memajukan persatuan agama dan yang meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama lain.

Dengan kata lain, agama Baha’i sangat menghormati keanekaragaman

dalam melakukan ibadah keagamaan. Mereka pun berusaha untuk menghilangkan

konflik antaragama, dan untuk mendorong dilakukannya kerja sama antara


34

komunitas agama yang berbeda. Selain itu, Baha’i tidak percaya bahwa iman

mereka mengandung kebenaran final dan agama yang lengkap. Baha’i percaya

bahwa semua agama berasal dari satu sumber, dan mereka senang untuk

mempelajari agama-agama lain. Iman Baha’i bukanlah iman imperialis, tidak

berusaha untuk mengakhiri perbedaan agama dengan mendapatkan pemeluk

agama lain untuk menjadi Baha’i.

Dalam kitab suci agama Baha’i, disebutkan bahwa Baha’u’llah berkata,

“Agama merupakan sarana terbesar untuk menciptakan tata tertib di dunia dan

kebahagiaan yang sentosa bagi semua yang berdiam di dalamnya. Agama Tuhan

adalah untuk kasih dan persatuan, janganlah membuatnya menjadi penyebab

kebencian dan perselisihan.” Sementara, Abdul Baha’ juga mengatakan,

“perbedaan antara agama-agama di dunia adalah karena jenis berbagai

pemikiran.”

5. Prinsip-Prinsip Moral

a. Kesatuan Umat Manusia

Bahaullah telah mengajarkan tentang Kesatuan Umat Manusia. Semua

manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jika percaya kepada Bapa

Surgawi yang satu, maka harus menganggap satu sama lain sebagai saudara,

anggota dari satu keluarga, yakni keluarga manusia. Berbagai macam warna kulit

di dunia adalah bagaikan bermacam-macam bunga yang engkau lihat di sebuah

taman. Jika semua bunga dari suatu taman semuanya berwarna sama, taman itu

tidaklah kelihatan begitu indah.


35

Bahaullah bersabda bahwa Tuhan itu seperti seorang Gembala yang baik

hati, yang bagi-Nya domba putih tidaklah lebih baik daripada yang cokelat atau

yang hitam. Tuhan mencintai semua tanpa mempedulikan warna kulit apa pun

yang dimiliki atau dari bagian dunia mana berasal.

b. Penghapusan Prasangka

Baha’u’llah mengajarkan bahwa segala bentuk prasangka harus

dihapuskan, baik prasangka kebangsaan, ras maupun keagamaan. Selama orang-

orang masih berpegang pada prasangka, manusia tidak akan mendapatkan

perdamaian di bumi ini. Semua peperangan yang telah terjadi di masa lalu, segala

pembunuhan dan pertumpahan darah, disebabkan karena prasangka-prasangka

itu.26

c. Menyelidiki Kebenaran Secara Mandiri

Bahaullah mengajarkan bahwa kebenaran itu adalah tunggal. Jika orang-

orang di dunia mau berhenti meniru nenek moyang mereka dan mencari

kebenaran untuk diri mereka sendiri, mereka semua akan mencapai kesimpulan

yang sama dan menjadi bersatu.

d. Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki

Abdu’l-Baha berkata “Umat manusia bagaikan seekor burung dengan

kedua sayapnya: laki-laki dan perempuan. Burung itu tak dapat terbang ke langit

kecuali kedua sayap-nya kuat dan digerakkan oleh kekuatan yang sama”.

Hushmand Fathea’zam, Taman Baru, (t.t : Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia,
26

2009), hlm. 60.


36

Manusia tidak perlu membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

karena Rahmat Tuhan mencapai keduanya. Bagi orangtua yang penyayang, anak

laki-laki maupun anak perempuan sama-sama dicintai.

e. Agama dan Ilmu Pengetahuan Harus Berjalan Seiring

Kemajuan materi tidak ada gunanya bagi manusia jika tidak maju pula

dalam kerohanian. Tuhan telah memberikan agama untuk membantu kemajuan

rohani. Ilmu pengetahuan tanpa agama dapat mengakibatkan kerugian besar,

tetapi agama tanpa ilmu pengetahuan juga dapat menyebabkan kesukaran. Untuk

kemajuan sejati umat manusia, kedua-keduanya harus berjalan bersama-sama.

Ilmu pengetahuan dan agama harus bekerja sama.

f. Kekayaan dan Kemiskinan yang Berlebihan Harus Dihapuskan

Dalam Agama Baha’i ada beberapa hukum dan ajaran yang mengagumkan

untuk menciptakan suatu masyarakat yang seimbang, di mana tak akan ada

kekayaan yang berlebih-lebihan atau kemiskinan yang sangat. Banyak di antara

hukum-hukum ini yang harus dilaksanakan oleh pemerintah-pemerintah di dunia

ini, tetapi pemecahan dasar dari masalah-masalah ekonomi saat ini tergantung

pada individu. Bagi seorang Baha’i, kekayaan sejati adalah adanya cinta pada

Tuhan dalam hatinya, jika ia memiliki kekayaan yang besar ini, yang tak seorang

pun dapat merebut darinya, maka kekayaan material menjadi tidak bernilai di

matanya dan kemiskinan lahiriah tidak dapat menjadi penyebab kesedihan

baginya.
37

6. Konsep tentang Eskatologi

Dalam kepercayaan agama Baha’i, setiap manusia memiliki roh yang

kekal, meskipun manusia tidak sepenuhnya mampu memahami sifat roh tersebut.

Dalam kehidupan yang fana ini, roh seseorang tumbuh dan berkembang sesuai

dengan hubungan rohaninya dengan Tuhan. Hubungan tersebut dapat dipelihara

dengan jalan mengenal Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya yang diwahyukan oleh para

rasul dan nabi-Nya, seperti cinta kepada Tuhan, doa, meditasi, puasa, disiplin

moral, kebajikan-kebajikan Ilahi, menjalankan hukum-hukum agama, serta

pengabdian kepada umat manusia. Semua itu memungkinkan manusia untuk

mengembangkan sifat-sifat rohaninya, yang merupakan pondasi bagi kebahagiaan

manusia serta kemajuan sosial, dan untuk menyiapkan rohnya dalam kehidupan

sesudah mati.

Menurut agama Baha’i, saat kematian, roh manusia akan melanjutkan

perjalanannya dalam alam rohani. Orang-orang yang telah menaati ajaran-ajaran

para rasul dan telah mengembangkan kapasitas rohani mereka. Sesudah mati,

mereka akan mendapatkan keuntungan atas perbuatan-perbuatan mereka.

Sementara itu, terkait dengan surga dan neraka, agama Baha’i mempercayai

bahwa surga dan neraka bukanlah tempat, tetapi kondisi dari jiwa, yang tiada lain

adalah realitas manusia. Sifatnya abadi dan terus sesuai dengan keinginan Tuhan,

maka itulah surga. Sebaliknya, jika jiwa manusia adalah Tuhan maka itulah

neraka. Dengan demikian, penggambaran surga pada agama lain hanya simbol,

bukan yang sebenarnya.


38

7. Seseorang menjadi Baha’i

Seseorang menjadi Baha’i artinya ia yakin atas Keesaan Tuhan, bahwa

semua agama berasal dari satu sumber surgawi dan kesatuan umat manusia; ia

menyadari bahwa agama bersifat terus maju; dan tujuan agama adalah persatuan,

bukan perpecahan. Selain itu, seorang Baha’i yakin bahwa semua agama berasal

dari Tuhan dan mempunyai kedudukan yang sama. Orang Baha’i percaya bahwa

Baha’u’llah, Kemuliaan Tuhan, adalah Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Dan

Baha’u’llah, seperti juga para Perwujudan Tuhan pada zaman lampau, telah

datang untuk membuka suatu zaman baru yang akan membawa kebahagiaan dan

persatuan.27

Ketika seseorang menjadi Baha’i, ia menemukan cinta Baha’u’llah dalam

hatinya. Jika ia yakin atas semua itu, ia adalah seorang Baha’i. tidak perlu ada

upacara, pembabtisan atau mengganti nama untuk meresmikan keyakinan ini.

Dengan kata lain, orang tidak bisa menjadi Baha’i jika dia tidak yakin atas hal-hal

tersebut dan keyakinan itu cukup dalam hati, tidak memerlukan upacara apapun.

Tujuan orang Baha’i adalah mengabdi kepada semua manusia, dan membawa

persatuan dan kebahagiaan di dunia.

D. Perkembangan Agama Baha’i

Pada masa seratus tahun pertama perkembangan agama Baha’i dibagi

dalam empat periode, yaitu:

27
Ibid., hlm. 186-187.
39

1. Periode I {1844-1853} Zaman Pahlawan

2. Periode II {1852-1892} Zaman Pahlawan

3. Periode III {1892-1921} Zaman Pahlawan

4. Periode IV {1921-1944} Zaman Pembentukan

1. Periode I {1844-1853}28

Periode ini dimulai pada 23 Mei 1844 di kota Syiraz, ketika Sang Bab

mengumumkan diri kepada Mulla Husayn sebagai Dia Yang Dijanjikan;

puncaknya pada 9 Juli 1850 di Kota Tabriz ketika Sang Bab di matisyahidkan,

dan berakhir pada waktu Baha’u’llah menerima wahyu di Siyah-Cal pada 1852.

Agama Baha’i meyakini periode ini merupakan awal dari perkembangan dunia

baru, dan permulaan dari kurun zaman yang paling mulia dan yang agung dalam

sejarah rohani umat manusia di bumi.

Peristiwa penting yang terjadi dalam Periode I, antara lain:

a. Lahirnya wahyu baru.

Wahyu baru ini mulai dengan pengumuman Sang Bab kepada Mulla

Husayn, pada malam yang agung itu Sang Bab mewahyukan Qayyumul-Asma,

yaitu kitab-Nya yang pertama, yang paling hebat dan yang paling agung di mana

Ia mengumumkan dirinya sebagai Dia Yang dijanjikan oleh para Rasul, Sang

Qa’im, dan perintis dari seorang yang jauh lebih agung dari dia sendiri.

Mulla Husayn diikuti oleh 17 orang lainnya yang dikenal dengan gelar

huruf-huruf hidup yang mendapatkan Sang Bab dengan berbagai macam cara.

28
Nadroh, Agama-Agama Minor, hlm. 244-247.
40

Ada yang melalui mimpi, vision, atau bertemu langsung. Huruf-huruf hidup ini

menyebar ke seluruh pelosok. Di antara Huruf-huruf ini ialah Tahirih, wanita

pertama di agama ini dan Quddus, murid Siyyid Kazim terkemuka.

 Sang Bab sendiri pergi ke Mekkah untuk mengumumkan diri.

 Penganut Sang Bab banyak yang dimatisyahidkan kecuali Sang

Baha’u’llah.

 Sang Bab dibebaskan dengan syarat ia meninggalkan Syiraz. Sang

Bab pergi ke Istfahan dan gubernurnya, Manuchihr Khan menjadi

penganutnya.

b. Sang Bab diasingkan ke Pegunungan Adhirbayjan.

 Tiga tahun merupakan masa paling menyedihkan dan penuh

kejadian dramatis dalam misi Sang Bab. Sang Bab dipenjarakan

selama sembilan bulan di Benteng Mahku dan dua tahun di

Benteng Chihriq.

 Dalam masa ini agama Sang Bab mencapai puncaknya, hukum-

hukumnya ditetapkan, perjanjiannya didirikan, dan kedudukan

Sang Bab dan agamanya diumumkan.

 Di Konferensi Badasyt, kurun zaman yang lama ditutup dan agama

Sang Bab didirikan sebagai wahyu yang baru yang berdiri sendiri.

c. Kepahlawanan para penganutnya.

Kepahlawanan para penganutnya dapat disaksikan, misalnya:

 Kejadian di Benteng Tabarsi yang dipimpin oleh Mulla Husayn.

 Kejadian di Benteng Nayriz yang dipimpin oleh Vahid.


41

 Kejadian di Benteng Zanjan yang dipimpin oleh Hujjat.

 Tujuh pahlawan yang terkemuka meninggal di Tihran. Mereka

dikenal sebagai Tujuh Syuhada di Tihran.

d. Interogasi dan kesyahidan Sang Bab.

 Interogasi di Tabriz: dari Benteng Chihriq Sang Bab dibawa ke

Kota Tabriz dan di hadapan putra mahkota, gubernur, para ulama

terkemuka, dan para pemuka masyarakat, mengumumkan misinya.

Jawaban terhadap pertanyaan yang ditujukan oleh ketua pertemuan

kepadanya adalah: “Akulah, Akulah, Akulah Dia yang Dijanjikan.

Akulah Dia yang namanya engkau telah panggil selama seribu

tahun, yang jika disebut, engkau bangkit, yang kedatangannya

engkau hasratkan untuk disaksikan...”

 Sang Bab wafat di Tabriz pada 9 Juli 1850 oleh 750 serdadu dan

disaksikan oleh lebih dari 10.000 penonton.

2. Periode II (1853-1892)29

Periode ini diawali ketika Baha’u’llah menerima wahyu yang pertama di

penjara Siyah-Cal di Tihran, dan mencapai puncaknya dengan proklamasi misinya

kepada raja-raja dan penguasa di dunia. Periode ini berlangsung selama 39 tahun,

berakhir dengan wafat Sang Baha’u’llah dan wahyu ini merupakan bimbingan

Tuhan bagi umat manusia sekurang-kurangnya untuk 1000 tahun. Agama Baha’i

disebarkan ke negara Turki, Rusia, Irak, Syiria, Mesir, dan India. Burma dan

Indonesia, meski ditentang terus oleh Raja Iran dan Sultan Turki, dua penguasa

29
Ibid., hlm. 247-249.
42

paling kuat pada masa itu di negara-negara Timur, serta dimusuhi oleh kaum

fanatik.

Peristiwa penting yang terjadi dalam Periode II di antaranya:

a. Lahirnya wahyu Baha’i

Baha’u’llah menerima wahyu pertama pada akhir 1852 di penjara Siyah-

Cal. Baha’u’llah diakui antara lain sebagai:

 Sang Hakim.

 Penyelamat umat manusia.

 Pengurus planet kita.

 Pemersatu umat manusia.

 Pembuka kurun zaman yang sudah lama ditunggu-tunggu.

 Pembuka siklus universal.

 Pendiri Perdamaian yang Maha Agung.

 Sumber keadilan yang Maha Agung.

 Proklamator masa kedewasaan seluruh umat manusia.

 Pencipta tata tertib dunia baru.

 Pendiri peradaban dunia.

b. Pembuangan ke Irak

 Setelah dibebaskan dari Siyah-Cal, Baha’u’llah diusir dari Teheran

dan diasingkan ke Baghdad. Pembuangan ini merupakan awal dari

suatu masa yang berlangsung hampir 40 tahun. Di mana Sang


43

Baha’u’llah diusir dari negara sampai akhirnya dibuang ke Tanah

Suci (Akka).

 Setelah kembali ke Baghdad, sabda Baha’u’llah diturunkan secara

berlimpah. Ia membangkitkan semangat para pengikut Sang Bab

dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi suatu masyarakat

yang sangat dihormati.

 Turunnya Kalimat Tersembunyi di tepi sungai Tigris, Baghdad.

Himpunan ini merupakan intisari amanat Baha’u’llah tentang

akhlak dan perbuatan.

 Kitab Iqan juga diwahyukan di Baghdad. Dalam Agama Baha’i

kitab ini merupakan kitab terpenting setelah kitab Aqdas30

c. Pengumuman misi Sang Baha’u’llah

Pada 21 April 1863 Baha’u’llah mengumumkan misinya kepada para

sahabatnya di Taman Ridwan, di luar kota Baghdad. Hari itu dijadikan Hari Raya

Baha’i yang paling suci dan paling penting dari semua hari besar. Sang

Baha’u’llah memanggil hari itu sebagai hari raya terbesar, raja semua hari raya,

perayaan Tuhan.

d. Pengusiran Baha’u’llah ke Konstantinopel dan Adrianopel

 Konstantinopel adalah ibukota Kerajaan Ottoman dan pusat Islam

Sunni. Dengan tibanya Baha’u’llah di sana, masa yang paling

30
Kitab Al-Aqdas, merupakan buku utama Agama Baha’i yang ditulis oleh pendiri agama
Baha’i, Baha’u’llah. Ini memiliki status yang sama seperti Al-Qur’an bagi umat Islam, Al-Kitab
bagi umat Kristen. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab al-Kitabu I-Aqdas, tetapi sering disebut
dengan judul Persia, Kitab Aqdas.
44

gelap dan penuh bencana tetapi paling mula dimulai. Masa ini

penuh dengan cobaan dan kesulitan dan juga kemenangan yang

luar biasa.

 Setelah empat bulan di Konstantinopel, Baha’u’llah dipindahkan

lagi ke Adrianopel. Dan di sinilah Baha’u’llah mengumumkan

misinya kepada beberapa raja dan para penguasa serta para

pemimpin agama. Pengumuman kepada para raja dilanjutkan di

Akka.

e. Pengasingan di Akka

Baha’u’llah dipindahkan dari penjara ke sebuah rumah diberi nama Bait

Abud, di mana ia tinggal selama tujuh tahun, dan di sini pula kitab Aqdas

diwahyukan. Baha’u’llah pindah ke Mazraih selama dua tahun dan pindah lagi ke

Istana Bahji, adalah tempat yang tersuci di bumi dan merupakan kiblat umat

Baha’i. sewaktu Baha’u’llah masih di penjara Akka, ia mengirim Loh kepada

Raja Nasiriddin Syah, disampaikan langsung oleh seorang pemuda berusia 17

tahun, bernama Aqa Buzurq yang diberi gelar badi. Ia wafat setelah

menyampaikan Loh itu ke tangan raja.

3. Periode III (1892-1921)31

Periode ini diawali pada saat wafatnya Baha’u’llah, dan pemberian wasiat

Baha’u’llah kepada Abdul Baha’ sebagai pusat perjanjian, dan diakhiri dengan

wafatnya Abdul-Baha’. Di bawah bimbingan Abdul Baha’, mulai tersebar ke

31
Ibid., hlm. 249-250.
45

dunia Barat, ajaran-ajarannya dan administrasinya dijelaskan dan keutuhan agama

dijaga.

Peristiwa penting yang terjadi selama periode III, antara lain:

a. Abdul-Baha’ memberikan khotbah di Eropa, Amerika, Perancis, Jerman,

dan Inggris.

b. Abdul-Baha’ meletakkan batu dasar rumah ibadah Baha’i di Amerika, ini

merupakan rumah induk di Barat.

c. Abdul Baha’i mendirikan makam Sang Bab di Gunung Karmel, meskipun

masih dengan sederhana, setelah 50 tahun, jenazah suci sang Sang Bab

yang dipindah dari tempat ke tempat akhirnya dapat disemayamkan di

tempat peristirahatan-Nya di Gunung Karmel, Tanah Suci. Di mana ribuan

orang dari seluruh dunia berziarah ke makam suci ini.

d. Abdul-Baha’ menulis Loh-loh Rencana Penyebaran Ilahi, isinya berseru

kepada umat Baha’i agar tersebar luas dan bertempat tinggal di seluruh

daerah yang beliau sebutkan dalam Loh-loh itu.

e. Abdul-Baha’ menulis wasiat dan testamennya berisi penjelasan mengenai

tata tertib administrasi sedunia dan mengangkat Shoghi Effendi sebagai

wali agama.

4. Periode IV (1921-1944)

Periode ini diawali pada saat wafatnya Abdul-Baha’ dan Shoghi Effendi

menjadi wali agama. Dan diakhiri pada tahun 1944 bersamaan dengan peringatan

seratus tahunnya pengumuman Sang Bab.


46

Peristiwa penting yang terjadi selama periode IV antara lain:

a. Penyebaran agama Baha’i ke seluruh dunia sesuai dengan Loh-loh

Rencana Penyebaran Ilahi.

b. Shoghi Effendi membuat Rencana Penyebaran Sepuluh Tahun, yaitu

Rencana Kabir Akbar, 1953-1963.

c. Shoghi Effendi mulai membangun dan mendirikan administrasi

Baha’i.

d. Shoghi Effendi memulai pembangunan gedung-gedung lengkung di

Gunung Karmel dan sekaligus merancang dan membuat taman-taman

yang indah di Tanah Suci.

e. Shoghi Effendi mengumpulkan para tokoh agama Baha’i untuk

bermusyawarah mengenai pembentukan Balai Keadilan Sedunia.

f. Shoghi Effendi menerjemahkan buku-buku Baha’i ke dalam Bahasa

Inggris, antara lain Kalimat Tersembunyi, Kitab Iqan, Himpunan

Tulisan-tulisan Suci Baha’ullah, Doa dan Meditasi, sebagian dari

Kitab Aqdas dan buku sejarah The Dawn Breakers. Buku-buku yang

diterjemahkan ini menjadi pedoman untuk terjemahan ke dalam bahasa

yang lain.

g. Sang Wali menyusun buku sendiri, yaitu buku God Passes By (dalam

penyusunan buku ini beliau mengumpulkan kurang lebih 200 buku

Baha’i yang lain).

h. Setiap hari beliau membalas surat dari seluruh teman Baha’i di seluruh

dunia sebanyak 700 halaman per hari, sehingga tidak ada satu surat
47

pun yang beliau lalaikan. Surat-surat ini menjadi petunjuk dan

bimbingan bagi umat Baha’i tentang berbagai macam masalah.

i. Shoghi Effendi membina hubungan dengan PBB. Sehingga agama

Baha’i mempunyai kedudukan yang penting di PBB. Masyarakat

Baha’i Internasional mempunyai status konsultatif di PBB di bagian

ECOSOC (Economic and Social Council) dan UNICEF (United

Nations Internastional Children Education Fund), dan juga sebagai

anggota tetap WWF (World Widelife Fund)

j. Dalam masa ini agama Baha’i diakui sebagai agama yang berdiri

sendiri.

5. Perkembangan Agama Baha’i dalam Abad Pertama32

Periode I: Masa Sang Bab (sembilan tahun pertama), Persia dan Irak.

Periode II: Masa Baha’u’llah (37 tahun), India, Mesir, Turki, Caucasus,

Turkistan, Sudan, Palestina, Syiria, Lebanon, Burma, dan Hindia Belanda

(Sulawesi/Indonesia).

Periode III: Masa Abdul Baha’ (29 tahun), Amerika, Kanada, Perancis,

Inggris, Jerman, Austria, Rusia, Itali, Belanda, Hungaria, Swiss, Arab, Tunisia,

Tiongkok, Jepang, Hawai, Afrika Selatan, Brazil dan Australia.

Periode IV: Agama Baha’i selama periode ini (23 tahun) tersebar ke 34

negara merdeka dan banyak lagi pulau dan negara yang belum merdeka di dunia.

Dengan data ini menunjukkan perkembangan agama Baha’i dalam abad pertama,

32
Ibid., hlm. 251-252.
48

dan semakin meningkat dalam abad kedua, hampir tidak ada lagi negara di dunia

yang tidak ada orang Baha’i.

Keempat periode ini dianggap sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan

dari suatu sistem yang akan mewujudkan Tata Tertib Dunia Baru Baha’u’llah.

6. Masa Seribu Tahun Agama Baha’i33

Masa seribu tahun agama Baha’i dibagi dalam tiga zaman, yaitu zaman

kepahlawanan, zaman pembentukan, dan zaman keemasan.

a. Zaman Kepahlawanan (1844-1921)

Zaman ini meliputi masa kehidupan Sang Bab, Baha’u’llah dan Abdul-

Baha’.

b. Zaman Pembentukan (sudah dimulai pada 1921)

Kapan berakhirnya zaman ini belum diketahui. Apabila zaman

pembentukan berakhir, mulailah zaman keemasan. Zaman pembentukan agama

Baha’i telah menampilkan permulaan sistem tata tertib agama Baha’i. sekaligus

sebagai suatu sistem yang juga menjadi pendahulu dan inti dari tata tertib dunia

baru. Dua puluh tiga tahun terakhir dari abad pertama agama Baha’i dapat

dianggap sebagai tahap permulaan masa pembentukan agama Baha’i. Suatu masa

transisi untuk berdirinya tata tertib administrasi yang di atasnya akan didirikan

lembaga persatuan Baha’i di zaman keemasan.

33
Ibid., hlm. 252-253.
49

Dalam zaman pembentukan ini, yang harus dicapai:

1) Berdirinya balai keadilan sedunia.

2) Disebarkannya kitab Aqdas dan hukum-hukumnya.

3) Berdirinya perdamaian kecil (pada masa sekarang ini, kita sedang

menjelang perdamaian kecil).

4) Tercapainya kesatuan umat manusia.

5) Tercapainya kedewasaan umat manusia.

6) Pelaksanaan rencana yang dirancang oleh Abdul-Baha’.

7) Agama Tuhan harus bebas dari cakar-cakar kefanatikan agama-

agama lain dan statusnya sebagai agama yang merdeka akan diakui

secara universal.

8) Lembaga-lembaga Baha’i akan mencapai tahap kedewasaan.

c. Zaman Keemasan (tahun 1- tahun 1000 BE)

Zaman ini akan dimulai apabila zaman pembentukan telah berakhir.

Tujuan Baha’u’llah ialah: dunia akan menjadi satu pemerintahan yaitu

pemerintahan Ilahi. Semua kejadian di dunia mengarah ke zaman keemasan,

sehingga agama Baha’i berangsur-angsur akan menjadi agama negara dan

kemudian menjadi agama sedunia.

Pada zaman ini ajaran dan hukum Baha’u’llah akan berlaku.

Persemakmuran dunia Baha’i akan berdiri dengan kukuh, lalu akan lahir

peradaban dunia yang merupakan Perdamaian Yang Maha Agung.


50

E. Struktur Agama Baha’i

Dalam Agama Baha’i, salah satu ciri-cirinya adalah, jabatan atau profesi

kependetaan atau yang semacam itu sengaja ditiadakan. Baha’u’llah bersabda

bahwa meskipun pada zaman dulu jabatan ini dibutuhkan, namun tidak diperlukan

lagi pada zaman sekarang agar masing-masing manusia mencari kebenaran bagi

diri sendiri. Baha’u’llah telah menghapuskan lembaga kependetaan atau

keulamaan ini, agar tak seorang pun dapat menyalahgunakan agama untuk

kepentingan pribadi dan duniawi. Untuk mengelola urusan-urusan agama dalam

masyarakat, Baha’u’llah meletakkan suatu sistem administrasi yang dikenal

dengan administrasi Baha’i. dalam penjelasan Shoghi Effendi, bahwa administrasi

Baha’i diibaratkan “Suatu sistem saluran dan selokan, yang melaluinya roh suci

dari Tuhan tercurah kepada masyarakat Baha’i yang tersebar di seluruh dunia”.

Administrasi Baha’i berasal dari Tuhan.

Baha’u’llah telah merencanakan suatu rancangan jaringan saluran yang

mengagumkan, yang melaluinya air hayat dialirkan ke dunia wujud. Rancangan

itu disebut Tata Tertib Dunia Baha’u’llah, dan administrasi Baha’i adalah

sebagian dari tata tertib itu. Baha’ullah meletakkan dasar tata tertib dunia dan

membuat rencana dari tata tertib itu. Abdul Baha’ menjelaskan rencana Ilahi

tersebut dan memulai proses pembangunannya. Shoghi Effendi melanjutkan usaha

tersebut, sampai kemudian berangsur-angsur administrasi Baha’i berdiri, dan

masyarakat Baha’i yang tersebar di berbagai belahan dunia dapat bergabung dan

menjadikan satu dengan lainnya sebagai bagian dari kesatuan masyarakat yang

besar.
51

Administrasi Baha’i terdiri dari beberapa bagian yang berhubungan satu

sama lain. Administrasi ini terdari dari Majelis-majelis Rohani Setempat yang

dipilih oleh umat Baha’i dari suatu desa atau kota. Dalam kitab Aqdas,

Baha’u’llah memerintahkan bahwa jika orang dewasa Baha’i berjumlah sembilan

orang atau lebih disuatu tempat, maka majelis rohani setempat harus dibentuk.34

Majelis Rohani ini merupakan suatu badan yang akan mengabdi kepada

masyarakat ditempat itu; Majelis-majelis Rohani Nasional dipilih oleh umat

Baha’i dari suatu negara; dan Balai Keadilan Sedunia dipilih oleh semua orang

Baha’i di dunia melalui Majelis-majelis Nasional.

Sang Suci Baha’ullah, Kitab Aqdas ayat 30, hlm. 42.


34
52

BAB III

KONSEP PERSAUDARAAN MENURUT AGAMA BAHA’I

A. Pengertian Persaudaraan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persaudaraan berasal dari kata

dasar ‘saudara’ yang artinya adik/kakak seayah dan seibu, sedangkan arti

persaudaraan adalah persahabatan yang sangat karib seperti layaknya saudara

atau pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian saudara.35

Persaudaraan menurut agama Islam dijelaskan di dalam Al-Qur’an, kata

(saudara) ini dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali.36 Kata ini dapat

berarti saudara kandung atau saudara seketurunan. Faktor penunjang lahirnya

persaudaraan adalah persamaan. Kata ukhuwah atau persaudaraan mencakup

persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan.

Mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan mengisyaratkan bahwa semakin

banyak persamaan dapat memperkokoh persaudaraan. Pengkajian konsep

persamaan ini pada tahap yang paling dalam akan membawa manusia menyadari

bahwa mereka semuanya memiliki persamaan yang sifatnya transenden, yaitu

berasal dari satu pencipta.

Islam mengingatkan orang akan kejadiannya yang berasal dari satu jiwa,

lalu menyadarkannya pada keberadaan Tuhan yang menciptakan mereka, dan

kepada-Nya semua akan dikembalikan. Nabi Adam oleh seluruh agama semit

35
https:kbbi.web.id/saudara.html diakses tgl 02 Agustus 2018 jam 13:00 Wib
36
M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 486.
53

dipercayai sebagai bapak dari umat manusia. Dari-Nya muncul kesadaran bahwa

semua manusia pada hakikatnya adalah bersaudara, dan diciptakan oleh satu

Tuhan yang sama. Namun demikian, persamaan yang menimbulkan persaudaraan

ini menjadi lebih kuat dalam ikatan yang lebih sakral yaitu satu iman.

Persaudaraan menurut agama Kristen di dalam Alkitab dijelaskan

bagaimana persaudaraan itu dibangun, dan dipahami. Untuk lebih memperjelas

pelajari dahulu istilah saudara dalam Alkitab. Arti Saudara dalam Alkitab

bermacam-macam, dalam arti sempit saudara adalah orang sekandung di samping

melalui hubungan darah daging, istilah saudara juga digunakan untuk mereka

yang berkaitan satu sama lain melalui hubungan rohani. Misalnya persaudaraan

berkat iman: “hai tuan-tuan dan saudara sekalian, beranilah aku menyatakan

kepadamu dari hal nenek moyang kita Daud...” (Kisah Para Rasul 2: 29).

Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa umat manusia dijadikan “dari

satu orang saja” (Kisah 17:26, Lihat kejadian 1-2). Hubungan sebagai saudara

terputus. Kain membunuh Habel, saudaranya (Kejadian 4: 1-6). Tetapi Allah tetap

menghendaki persaudaraan: “janganlah engkau membenci saudaramu ...

melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu ...” (Imamat 19:17).

Memang, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara

diam bersama dan hidup rukun” (Mazmur 133:1).

Dalam Perjanjian Baru disebutkan persaudaraan universal yang diidam-

idamkan dan diperjuangkan oleh para nabi. Persaudaraan sejati yang meliputi

semua orang terwujud dalam Yesus Kristus. Dari Yesus sendiri berkata: “Siapa
54

pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki,

dialah saudara-Ku perempuan, dialah Ibu-Ku” (Matius 12:50 Lihat Mikha 3:35;

Lukas 8:21). Maksudnya adalah bila umat ingin membangun persaudaraan sejati

maka yang dilakukan adalah mengikuti jalan yang dibenarkan oleh Yesus, karena

dia tidak pernah membedakan umat-Nya dari jenis kelamin, keturunan, profesi

dan sebagainya.

Persaudaraan dalam agama Buddha digambarkan sebagai cinta kasih dan

norma kehidupan. Pengembangan cinta kasih atau Metta adalah rasa

persaudaraan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang

makhluk lain sama dengan dirinya sendiri (Dhammasugiri, 2004: 21). Hal tersebut

mencerminkan bahwa dengan melaksanakan cinta kasih maka akan dapat tercipta

keharmonisan. Seseorang yang mengembangkan cinta kasih berarti

mempraktekkan prinsip tanpa kekerasan, maka timbullah persaudaraan.

Buddha menjelaskan sifat cinta kasih secara rinci didalam Karaniya metta

sutta: Mata yatha niyam puttam, Ayusa ekaputtamanurakkhe, Evampi

sabbabhutesu, Manasambhavaye aparimanam : “Sama seperti seorang ibu yang

melindungi anak satu-satunya, bahkan dengan resiko hidupnya sendiri, orang

mengembangkan hati kepada semua makhluk dengan pikiran cinta tanpa batas

keseluruh penjuru dunia tanpa ada halangan, kebencian dan permusuhan.37

Selain itu Buddha memberikan nasihat “hendaknya seseorang menjauhi

pembunuhan, menahan diri dari pembunuhan makhluk, membuat alat pemukul

37
Khemanando Thera, Beauty of Dhamma (Perubahan, Cinta, dan Kebahagiaan),
(Medan: Triagung Abadi, 2015) hlm. 27.
55

dan pedang, malu dengan perbuatan kasar, hidup dengan cinta kasih, kasih sayang

dan bijaksana terhadap semua makhluk yang hidup, ini sila yang harus

dilaksanakan. (D.i.227)

Persaudaraan menurut agama Hindu, dalam ajaran kitab suci Veda,

masalah persaudaraan dijelaskan secara gamblang dalam ajaran Tattwam asi yaitu

ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya,

dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti

menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri

sendiri. (Upadesa, 2002:42. Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara.

Hakikat Atman yang menjadi hidup di antara saya dan kamu berasal dari satu

sumber yaitu Tuhan. Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama

untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Membuat orang lain

senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan

kebahagiaan itu juga.38

Persaudaraan menurut agama Khonghucu, Confusius mengajarkan bahwa

pemahaman dasar yang dapat membangun sebuah hidup berkerukunan adalah

tidak membeda-bedakan, para anggota masyarakatnya diikat dalam pemahaman

persaudaraan yang saling tenggang rasa, dan tidak membebani satu sama lain.

Konsep demikian diujarkan Confusius di dalam (LunYU.XII:5) yang berbunyi:

“di empat penjuru lautan, kita semua bersaudara,” berarti bahwa semua rata-rata

38
Arifinsyah, Agama Dialogis Misi Profetik Mencegah Konflik (Yogyakarta: Perdana
Publishing, 2016), hlm. 54.
56

di seluruh dunia dilahirkan sama dan karenanya harus bergaul dengan satu sama

lain dan hidup dalam harmoni.39

B. Ajaran Baha’i Tentang Manusia

Di dalam agama Baha’i, disebutkan bahwa manusia adalah buah-buah dari

satu pohon dan daun-daun dari satu dahan. Meskipun berbeda satu sama lain

secara jasmani dan perasaan, serta memiliki bakat dan kemampaun yang berbeda-

beda, namun manusia tumbuh dari satu akar yang sama. Oleh karena itu, semua

manusia adalah satu keluarga manusia. Karena kedudukan manusia sama di depan

Tuhan, maka agama Baha’i mengajarkan bahwa setiap manusia harus

diperlakukan dengan baik, serta saling menghargai dan menghormati.40

Dalam berbagai pandangannya, Baha’u’llah menegaskan bahwa ia sangat

mencela perbedaan ras dan kesukuan, serta mengajarkan bahwa semua orang

merupakan anggota dari satu keluar ga manusia, yang justru diperkaya dengan

keanekaragamannya. Oleh karna itu, manusia harus berupaya memperoleh sifat-

sifat mulia serta bertingkah laku sesuai dengan standar moral yang tinggi.

Manusia mengembangkan dan memperoleh sifat-sifat mulia, seperti kebaikan hati,

kedermawanan, toleransi, belas kasihan, sifat dapat dipercaya, niat yang murni,

dan semangat pengabdian. Kejujuran adalah dasar dari segala kebajikan manusia,

39
https://kebajikandalamkehidupan.blogspot.com di akses pada tanggal 26 September
2018 jam 13:22 Wib
40
M. Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: PT. IRCiSoD,
2015), hlm. 523.
57

tanpa kejujuran kemajuan dan keberhasilan dalam semua alam Tuhan tidaklah

mungkin bagi siapapun.41

Hakikat manusia adalah pikirannya, bukan badan jasmaninya, Manusia

bisa dikatakan merupakan bagian dari alam hewan, bedanya manusia memiliki

kemampuan berpikir yang lebih unggul daripada semua makhluk lainnya. Jika

seseorang selalu ditunjukan pada soal-soal ketuhanan, orang itu akan menjadi

orang yang suci, tetapi sebaliknya bila pikirannya dipusatkan pada hal-hal

duniawi saja, orang itu akan semakin tenggelam dalam hal-hal duniawi hingga

akhirnya ia sampai pada keadaan yang hanya sedikit lebih baik daripada hewan.42

C. Pola Dasar Ajaran Tentang Persaudaraan

Baha’u’llah telah mengajarkan kepada umat Baha’i Kesatuan Umat

Manusia. Semua manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jika umat Baha’i

percaya kepada Bapa Surgawi yang satu, maka harus saling menganggap satu

sama lain sebagai saudara, anggota dari satu keluarga, yakni keluarga manusia.

Berikut ini beberapa tulisan-tulisan Baha’i mengenai persaudaraan.

Sang ‘Abdu’l Baha’ berharap semoga cahaya Matahari kebenaran

menyinari seluruh dunia sehingga pertikaian dan peperangan, pertempuran dan

pertumpahan darah tidak akan ada lagi. Semoga fanatisme dan pemisahan agama

tidak dikenal, seluruh umat manusia memasuki ikatan persaudaraan, jiwa-jiwa

41
....Renungan Tentang Kehidupan Roh (T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia,
2006), hlm. 14
42
...,Khotbah-khotbah Abdul Baha’ di Paris terj dari Paris Talks. Addresses Given by
Abdul Baha’ in 1911 (T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2008), hlm. 5.
58

bergaul dengan kemufakatan sempurna, bangsa-bangsa di bumi akhirnya

menegakkan panji-panji kebenaran dan agama-agama di dunia memasuki kemah

kesatuan ilahi, karena pondasi agama-agama surgawi adalah satu kebenaran.43

Zamannya telah muncul ketika persaudaraan umat manusia akan menjadi

kenyataan. Persaudaraan dan saling ketergantungan di antara umat manusia

terwujud karena sikap saling tolong menolong dan kerja sama merupakan dua

prinsip pokok yang diperlukan yang mendasari kemakmuran umat manusia. Ini

merupakan hubungan jasmani antar umat manusia.

Pemberian Tuhan pada zaman yang cemerlang ini adalah pengetahuan

tentang kesatuan umat manusia dan kesatuan asasi agama. Peperangan akan

berhenti di antara bangsa-bangsa, dan atas kehendak Tuhan Perdamaian Yang

Maha Agung akan datang, dunia akan dipandang sebagai suatu dunia yang baru,

dan semua manusia akan hidup sebagai saudara.

Tujuan dasar yang mendorong wahyu Tuhan dan Agama-Nya adalah agar

melindungi kepentingan-kepentingan dan mendirikan kesatuan umat manusia,

serta memelihara suasana cinta dan persaudaraan di antara manusia. Janganlah

sampai Agama Tuhan dijadikan sumber perselisihan dan perpecahan, kebencian

dan permusuhan. (Sang Suci Baha’u’llah)

Bergaullah bersama dalam cinta persaudaraan, rela mengorbankan

kehidupanmu satu sama lain, bukan saja untuk mereka yang engkau cintai tetapi

untuk seluruh umat manusia. Anggaplah seluruh umat manusia sebagai anggota-

anggota satu keluarga, semuanya anak Tuhan, dan bila engkau berbuat

43
Majelis Rohani Baha’i Nasional Baha’i Indonesia, Tulisan Suci Baha’i mengenai
Kesatuan, hlm. 12.
59

sedemikian, engkau tidak akan melihat perbedaan diantara mereka. Perlakukanlah

semua sahabat dan sanak keluargamu, bahkan orang-orang asing, dengan

semangat cinta kasih dan kebaikan hati sepenuhnya.44

Adalah keinginan dan hasrat kami agar hendaknya setiap orang di

antaramu menjadi sumber segala kebaikan bagi manusia, dan suri teladan

kejujuran bagi umat manusia. Berhati-hatilah, jangan sampai engkau lebih

menyukai dirimu sendiri di atas tetangga-tetanggamu. Arahkanlah pandanganmu

pada Dia Yang menjadi Penjelmaan Tuhan di antara manusia. Sesungguhnya, ia

telah mengorbankan hidup-Nya sebagai tebusan bagi penyelamatan dunia.

Sesungguhnyalah, Ia Yang Maha Dermawan, Yang Maha Penyayang, Yang Maha

Tinggi. Jika ada perselisihan timbul di antara engkau, lihatlah aku berdiri

dihadapanmu, dan lupakanlah kesalahan-kesalahan satu sama lainnya demi

kepentingan nama-Ku dan sebagai tanda cintamu pada Agama-Ku yang nyata dan

cemerlang. Kami suka sekali melihat engkau senantiasa bergaul dalam

persahabatan dan kerukunan di dalam surga kerelaan-Ku, dan menghirup dari

perbuatan-perbuatanmu keharuman keramahtamahan dan persatuan, kasih sayang

dan persaudaraan.

Bukti dari harapan Baha’u’llah mengenai terwujudnya persaudaraan juga

dibersamai dengan doa yang berbunyi “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih! Engkau

telah menjadikan semua manusia dari keturunan yang sama. Engkau telah

mentakdirkan bahwa semuanya sekeluarga. Di Hadirat-Mu Yang Suci mereka itu

44
......Kehidupan Keluarga, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, hlm. 9
60

hamba-Mu semuanya, dan sekalian manusia berlindung di bawah Kemah

Kemurahan-Mu; semuanya diterangi oleh cahaya Kurnia-Mu.45

D. Kesempurnaan Hidup Dalam Pandangan Baha’i

Salah satu di antara rahmat Baha’u’llah yang terbesar adalah kegembiraan

dan kebahagiaan yang telah Ia ciptakan dalam hati Baha’i. gembira karena cinta

Tuhan ada di dalam hati. Bahagia karena mengerti arti dan tujuan hidup yang

singkat di bumi ini. Senang karena telah menemukan Kekasih dan melalui

pengaruh Sabda-sabda-Nya yang kreatif, umat Baha’i sekarang telah berada

dalam keadaan damai dengan umat manusia.

Hati setiap orang Baha’i penuh dengan kegembiraan karena telah

mengenal Sang Kekasih dan mendengar suara-Nya. Kurnia yang besar ini telah

dirasakan oleh beribu-ribu syuhada Baha’i yang gembira menyerahkan nyawa

mereka yang berharga demi Kekasih mereka. Jika kegembiraan karena agama

merebut hati, tak ada apa pun di bumi ini yang dapat menyebabkan umat Baha’i

berkecil hati atau bersedih hati. Kemiskinan, penyakit dan kesukaran dapat

dilupakan jika cinta pada Tuhan dan cinta pada makhluk-makhluk-Nya ada dalam

hati.

Kebahagiaan yang disebabkan oleh cinta yang dirasakan untuk Tuhan dan

sesama makhluk, membuat umat Baha’i lebih patut untuk memberikan pujian

kepada Yang Maha Kuasa dan menerima berkat-Nya. Orang Baha’i harus selalu

.......Doa, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, hlm. 102.


45
61

memantulkan cahaya kebahagiaan. Baha’u’llah bersabda bahwa hati adalah

singgasana Tuhan. Jika hati telah mengetahui kegembiraan dalam menerima

Kekasihnya, tidak ada kegembiraan di dunia yang dapat menandinginya.

Kekayaan dunia tak dapat menambah kegembiraan, tidak pula kemiskinan dapat

menjadi penyebab kesedihan pada hati yang demikian.

Kegembiraan yang berasal dari kesenangan dunia ini bukanlah

kebahagiaan yang sejati karena tidak berlangsung lama. Umat Baha’i diajak untuk

bergembira karena hidup pada zaman yang begitu mengagumkan. Orang Baha’i

harus menikmati surga yang telah disediakan Tuhan, di mana manusia hidup

sebagai saudara, dan di mana berbagai pertengkaran dan perselisihan di masa lalu

telah dilupakan.
62

BAB IV

UPAYA YANG DILAKUKAN UMAT BAHA’I UNTUK MEWUJUDKAN

PERSAUDARAAN MANUSIA

A. Pendidikan Universal

Ajaran Baha’u’llah lainnya adalah bahwa setiap anak, laki-laki ataupun

perempuan, harus mendapatkan pendidikan. Jika para orang tua mengabaikan

pendidikan anak-anaknya, mereka bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Inilah

perintah Baha’u’llah:

“Orang tua harus menggunakan segala usaha untuk membesarkan anak-

anak mereka agar beriman, karena jika anak-anak tidak mencapai perhiasan

yang terbesar ini, mereka tidak akan patuh pada orang tua mereka, yang dalam

pengertian tertentu berarti mereka tidak akan mentaati Tuhan. Sungguh, anak-

anak demikian tak akan menunjukkan sikap tenggang rasa kepada orang lain, dan

mereka akan berbuat apa saja sesuka hati mereka. (Loh-loh Baha’u’llah yang

diwahyukan setelah Kitab Aqdas).46

“Telah diwajibkan bagi setiap ayah agar mendidik putra-putrinya dalam

kepandaian membaca dan menulis.... Barangsiapa yang mengabaikan apa yang

telah diperintahkan kepadanya, maka jika ia kaya, wakil-wakil harus mengambil

darinya apa yang diperlukan untuk pendidikan mereka, dan jika tidak, persoalan

ini diserahkan kepada Balai Keadilan. Sesungguhnya Kami telah membuatnya

sebagai suatu perlindungan bagi orang-orang miskin dan yang membutuhkan.

46
...Pendidikan Baha’i, No 14, Dihimpunkan oleh Departemen Riset 1976, hlm. 5.
63

Barangsiapa yang mendidik anaknya atau anak orang lain, seakan-akan ia telah

mendidik salah seorang anak-Ku; baginyalah kemuliaan-Ku. Kasih sayang-Ku,

karunia-Ku, yang telah meliputi seluruh alam.”47

“Pusatkanlah pikiran dan kemauanmu pada pendidikan bangsa-bangsa

dan keluarga-keluarga di bumi, semoga perselisihan yang memisahkan mereka,

dapat dihapuskan dari muka bumi melalui kekuatan Nama Terbesar, dan seluruh

umat manusia menjadi penegak dari satu Tata Tertib, dan penghuni dari satu

Kota.”(Himpunan dari Tulisan Suci Baha’u’llah No 156)48

Pendidikan anak-anak adalah suatu keharusan dan hukum yang mengikat

semua orang Baha’i. jika seseorang sanggup mendidik anak-anaknya tetapi

mengabaikan tugas ini, maka Majelis Rohani harus memaksa agar memperhatikan

pendidikan anak-anak itu, tetapi jika orang itu tidak mampu, Majelis Rohani harus

memperhatikan pendidikan anak-anak itu dengan jalan menggunakan Dana-dana

dari masyarakat. Abdu’l Baha’ berkata bahwa meskipun ada persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan, tetapi dalam hal pendidikan, jika ada prioritas, maka

prioritas harus diberikan kepada perempuan. Karena merekalah yang akan

menjadi ibu di kemudian hari, dan seorang ibu yang terdidik dapat mendidik

anak-anaknya lebih baik.

Pendidikan menurut Baha’u’llah, bukan hanya belajar membaca dan

menulis. Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga mereka akan dapat

mengabdi kepada umat manusia. “Sekolah-sekolah harus pertama-tama mendidik

47
...Kitab Aqdas, No. 48 hal. 53
...Pendidikan Baha’i, No. 5 Hlm. 2.
48
64

anak-anak dalam prinsip-prinsip agama, agar janji dan ancaman yang tercatat

dalam Kitab-kitab Tuhan dapat mencegah mereka dari hal-hal yang dilarang dan

menghiasi mereka dengan jibah perintah-perintah-Nya, namun ini dalam kadar

sedemikian rupa sehingga tidak merugikan anak-anak dengan mengakibatkan

kefanatikan yang bodoh dan keras kepala.” (Daun Firdaus yang Kedelapan,

‘Kata-kata Firdaus’ dari Loh-loh yang diwahyukan setelah Kitab Aqdas)49

Sekarang ini, anak-anak yang hidup di berbagai bagian dunia dididik agar

setia pada negeri mereka sendiri saja, dan kadang-kadang kebencian terhadap

bangsa lain diukir dalam pikiran mereka yang masih muda, mereka diajari agar

bangga karena mereka bangsa Jerman atau Arab, atau China dan mereka diajari

untuk percaya bahwa ras mereka, agama mereka atau kasta istimewa mereka

adalah yang terbaik di dunia. Menurut Agama Baha’i hal ini tidak dibenarkan.

Tujuan pendidikan haruslah mendidik laki-laki dan perempuan agar percaya

bahwa “Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya.” Dengan

demikian mereka memberikan cinta mereka dan pengabdian mereka demi

perbaikan seluruh dunia. Menurut umat Baha’i, jika orang-orang memakai cara

pendidikan seperti ini, maka hanya akan memerlukan satu generasi untuk

mendirikan persaudaraan dan persatuan seluruh umat manusia.

B. Persatuan Bahasa

Suatu hal yang menyebabkan kesalahpahaman di dunia ini adalah orang-

orang tidak dapat saling memahami bahasa mereka. Setiap negara mempunyai

49
Ibid., No, 15 hlm. 5.
65

bahasa yang berbeda dengan bahasa yang dipakai oleh negara lain, dan jika

seseorang pergi ke negara lain ia merasa bahwa ia berada di antara orang-orang

asing.

Menurut ajaran Baha’i, Baha’ullah telah datang untuk mempersatukan

semua orang di dunia dan menjadikan mereka seperti anggota-anggota dari satu

keluarga. Oleh karena itu salah satu dari hukum-hukum-Nya ialah bahwa satu

bahasa umum harus diajarkan di setiap negara di dunia, sehingga setiap orang

akan belajar bahasa itu di samping bahasanya sendiri. Dengan demikian, orang

akan merasa bahwa dia berada di rumahnya sendiri kemana pun mereka pergi,

karena mereka semua dapat saling mengerti. Bahasa sedunia akan menghilangkan

kesalahpahaman di antara bangsa-bangsa di dunia, sehingga persatuan dan

perdamaian sedunia dapat ditegakkan.

Perbedaan bahasa kadang-kadang menyebabkan salah paham dan bahkan

dapat mengakibatkan persengketaan yang berbahaya. Misalnya, Nama Sang

Pencipta; dalam bahasa Hindi ia disebut Ishwara, dalam bahasa Arab disebut

Allah dan dalam bahasa Indonesia disebut Tuhan. Orang-orang berpikir bahwa

Tuhan berbeda dengan Ishwara atau Allah, mereka saling berkelahi

mempersoalkan nama yang berbeda ini. Jika semua orang dapat berbicara dalam

satu bahasa umum atau bahasa sedunia, mereka akan menyadari bahwa mereka

sedang membicarakan Pencipta yang sama. Dengan sendirinya bahasa sedunia

akan menghilangkan kesalahpahaman di antara mereka.


66

Umat Baha’i telah menterjemahkan Amanat Baha’ullah ke dalam lebih

dari 800 bahasa di dunia, karena orang-orang belum mengerti satu bahasa sedunia.

Jika bahasa sedunia telah ada, maka akan lebih mudahlah untuk memberikan

ajaran-ajaran Baha’u’llah ke pelbagai bangsa, dan setiap orang akan dapat

membaca Tulisan-tulisan Suci dari Perwujudan Tuhan Sendiri dalam bahasa

tersebut.

Tulisan Baha’i mengenai persatuan bahasa “patutlah bagi... pejabat-

pejabat pemerintah untuk mengadakan suatu pertemuan dan memilih satu di

antara berbagai bahasa, dan demikian pula salah satu tulisan yang ada, atau

menciptakan suatu bahasa yang baru dan suatu tulisan yang baru untuk

diajarkan kepada anak-anak di sekolah di seluruh dunia. Dengan cara ini mereka

akan memperoleh hanya dua bahasa; satu adalah bahasa aslinya sendiri, yang

lain adalah bahasa yang akan dipakai oleh semua orang di dunia. Jika manusia

berpegang erat kepada apa yang telah disebut. Seluruh dunia akan dianggap

sebagai satu negara, dan manusia akan dibebaskan dari memperoleh dan

mengajari berbagai bahasa yang berbeda.”50

C. Majelis Rohani Setempat

Tugas dari Majelis Rohani ialah agar berusaha menciptakan persahabatan,

persaudaraan dan cinta di antara para mukmin. Majelis harus menciptakan suasana

persatuan yang penuh kasih sayang di antara umat Baha’i; Majelis itu harus

berusaha agar setiap orang dapat merasa gembira berada dalam lingkungan itu.

50
......Ibid. Hlm. 7
67

Jika ada suatu masalah di antara teman-teman, Majelis Rohani harus dapat

berusaha menyelesaikan masalah itu. Majelis Rohani harus laksana orangtua yang

bijaksana dalam membimbing orang-orang Baha’i di daerahnya.

Mengenai tugas-tugas Majelis Rohani, Sang Wali menulis: “Pada setiap

waktu mereka harus dengan sepenuhnya mengulurkan bantuan kepada yang

miskin, yang sakit, yang cacat, yang yatim piatu, yang janda, tanpa memandang

warna kulit, kasta dan kepercayaan.” Tugas penting lainnya dari Majelis Rohani

menurut Sang Wali adalah: “mereka harus melakukan persiapan untuk pertemuan-

pertemuan tetap bagi teman-teman, pertemuan Sembilan Belas Harian dan Hari-

hari Peringatan, dan juga pertemuan-pertemuan khusus yang bertujuan melayani

dan memajukan kepentingan-kepentingan sosial, pendidikan dan kerohanian dari

sesama manusia.

1. Pertemuan 19 harian

Dalam agama Baha’i tidak dikenal ibadah mingguan, karena dalam satu

bulan hanya ada 19 hari. Sehingga yang ada adalah ibadah harian dan bulanan.

Dalam ibadah bulanan tersebut yang terjadi setiap tanggal 19 pada penanggalan

Baha’i, biasanya diadakan pada hari pertama setiap bulan Baha’i yaitu malam

sebelumnya setelah matahari terbenam. Ini yang dianjurkan oleh Shoghi Effendi.

Waktu pertemuan 19 hari-an ini tidak mutlak harus dilakukan dengan menafikan

berbagai halangan dan kondisi yang tidak memungkinkan. Bila karena satu dan

lain hal tidak memungkinkan diselenggarakan acara selamatan 19 hari-an ini,

maka acara selamatan tersebut sejatinya dapat diundurkan. Jika masyarakat Baha’i
68

merasa bahwa kebanyakan teman tidak dapat hadir pada hari itu, Majelis Rohani

boleh memutuskan untuk mengadakan sembilan belas harian itu pada hari yang

lebih cocok.

Walaupun Majelis Rohani secara administrasi bertanggung jawab atas

pertemuan Sembilan Belas Harian, biasanya Majelis meminta seorang atau

beberapa orang Baha’i untuk menjadi Tuan Rumah secara bergiliran. Pertemuan

ini merupakan momentum untuk bermusyawarah dan membantu menyelesaikan

masalah masyarakat setempat.

Salah satu kewajiban Majelis adalah berusaha agar semua teman di desa

atau kota di wilayahnya dapat menghadiri pertemuan-pertemuan Sembilan Belas

Harian. Penyelenggaraan pertemuan berkala ini amat penting karena pertemuan

ini “... dimulai oleh Sang Bab dan ditetapkan oleh Baha’u’llah.”

Abdu’l Baha berkata bahwa dalam Sembilan Belas Harian tujuan dari

acara ini yaitu “...Pertemuan ini adalah pembawa kegembiraan, Pesta ini

merupakan dasar kesatuan dan keselarasan. Pertemuan ini merupakan kunci

kasih sayang dan persaudaraan. Dan pertemuan ini menebarkan kesatuan umat

manusia.”51

“...kamu telah menanyakan tentang pertemuan yang diadakan setiap

bulan Baha’i. pertemuan tersebut diadakan untuk memelihara persaudaraan dan

cinta, untuk mengingat Tuhan dan memohon kepada-Nya dengan kalbu yang

insaf, dan untuk mendorong kegiatan sosial. Maksudnya, teman-teman yang


51
...Tulisan Suci Baha’i Mengenai Kesatuan, (t.t. Majelis Rohani Nasional Baha’i
Indonesia) hlm. 28
69

berada di sana harus hadir hanya karena Tuhan dan memuliakan-Nya,

memanjatkan doa-doa dan membaca ayat-ayat suci dan memperlakukan satu

sama lain dengan cinta dan kasih sayang yang mendalam. Jika suatu masalah

timbul di antara dua orang teman, undanglah keduanya dengan ramah-tamah,

dan harus dilakukan usaha untuk menyelesaikan perbedaan yang ada di antara

mereka. Biarlah semua pembicaraan berpusat pada kegiatan sosial dan

perbuatan-perbuatan suci, sehingga hasil yang terpuji biasa diperoleh darinya.

orang-orang dapat berkumpul bersama dan secara terbuka menunjukkan

persaudaraan dan cinta, sehingga Rahasia-rahasia Ilahi dapat dibukakan.

Tujuannya ialah keselarasan, sehingga melalui persaudaraan ini kalbu-kalbu

dapat menjadi bersatu dengan sempurna, dan sikap saling tolong menolong dan

timbal balik dapat ditegakkan.

Pertemuan sembilan belas harian terdiri atas tiga bagian, yaitu acara

kerohanian; do’a-do’a dan pembacaan Tulisan-tulisan Sang Bab, Baha’u’llah dan

Abdu’l-Baha. Ini dapat dilakukan oleh siapa pun di antara kawan-kawan Baha’i

yang hadir yang diminta oleh ketua, dan yang lain mendengarkan Sabda-sabda itu

dengan penuh khidmat dan perhatian. Jumlah doa dan Tulisan Suci yang dibaca

jangan terlalu banyak sehingga membuat orang-orang menjadi letih. Ketika umat

Baha’i selesai dengan bagian pertama, kemudian masuk kepada bagian kedua

yaitu acara administrasi, Ketua Majelis Rohani meminta kepada Sekretaris untuk

membacakan laporan acara majelis dan membicarakan program yang akan

dilakukan Majelis kedepannya.


70

Bagian ketiga dari acara Sembilan Belas Harian itu adalah acara ramah

tamah. Umat Baha’i menyediakan hidangan makanan ala kadarnya untuk dimakan

bersama. Sekelompok muda-mudi yang pandai bernyanyi dipersilahkan untuk

menyanyi, dan teman-teman yang lain ikut menyanyi bersama. Umat Baha’i

menjalankan Sembilan Belas Harian mereka dengan semangat persatuan dan

kasih sayang, dan ini membawa anugerah-anugerah rohani yang dirasakan oleh

semua orang. Mereka mengakhiri pertemuan Sembilan Belas Harian dengan

membaca sebuah doa penutup, dan pulang ke rumah masing-masing dengan

membawa rasa bahagia.

Kegiatan ini dimulai dari tingkat majelis rohani setempat dan majelis

rohani nasional. Di samping itu pula, pemeluk Baha’i sering mengadakan

kegiatan-kegiatan konferensi tingkat dunia yang tidak hanya dihadiri oleh

pemeluk Baha’i tetapi juga bisa dihadiri oleh non Baha’i. karakter Baha’i ini

sangat terbuka sehingga keberadaannya mudah diterima oleh berbagai etnis, ras,

suku, agama, dan bangsa.

2. Do’a Bersama

Setiap pertemuan umat Baha’i selalu dibuka dan ditutup dengan doa. Doa

bersama merupakan salah satu kegiatan atau budaya yang ingin dibangun dalam

masyarakat dari berbagai latar belakang dan keyakinan. Doa bersama lintas agama

merupakan suatu sarana komunikasi, bagian dari pendekatan multikultural dan


71

bila dilakukan secara rutin dapat menghilangkan prasangka keagamaan, memupuk

keakraban dan persatuan.52

Selain itu kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kerinduan setiap kalbu

untuk berhubungan dengan pencpta-Nya, dan bergabung dengan orang-orang lain

dalam doa dan menghadapkan hati mereka pada Sang Pencipta. Pada saat-saat

tertentu umat Baha’i bersama sahabat-sahabat, saudara-saudara dan tetangga-

tetangga terdekat, melakukan doa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa

memandang latar belakang masing-masing. Biasanya, para umat yang ikut do’a

bersama ini akan bergiliran berdoa menurut cara dan ajaran agama atau

kepercayaannya masing-masing. Ini bertujuan untuk menyehatkan kehidupan

rohani dengan berbagai aneka doa yang dipanjatkan kepada Sang Tuhan Yang

Maha Esa. Umat Baha’i meyakini dari keadaan dan latar belakang apapun, semua

adalah penerima rahmat Ilahi.

52
Nuhrison M Nuh, et.al, Baha’i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan Hak-
Hak Sipil (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2015). hlm. 151-152.
72

BAB V

TINJAUAN ISLAM TERHADAP KONSEP PERSAUDARAAN AGAMA

BAHA’I

A. Konsep Islam tentang Persaudaraan

Secara sosiologis, dalam konsep Islam persaudaraan dapat dibagi menjadi

tiga macam. Pertama Persaudaraan Islam atau Ukhuwah Islamiyah. Kedua,

Persaudaraan Keluarga atau Al-Ukhuwwah An-Nasaliyyah. Ketiga Persaudaraan

sesama manusia atau Al-Ukhuwwah Al-Basyariyyah. Persaudaraan dalam Islam

tercermin jelas seperti yang dibawa oleh para Nabi kepada Ummat manusia.

1. Persaudaraan dalam Islam (Ukhuwwah Al-Islamiyyah)

Dalam Islam telah dikenal adanya Persaudaraan Islamiyyah atau Al-

Ukhuwwah Al-Islamiyyah. Hal ini didasarkan pada ajaran Islam yang bersumber

dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Diantara firman Allah yang menjelaskan

tentang masalah persaudaraan adalah, Firman Allah:

Di dalam Al-Qur’an surah Al Hujurat ayat 10 Allah berfirman:

  


   
  
 
Artinya: “Sesunggunya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu mendapat rahmat.”53

53
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Jumanatul Ali-
ART, 2004), hlm. 516.
73

Pentingnya persaudaraan seiman dalam Islam jelas terlihat dalam ayat di

atas. Menurut ayat ini, bahwa orang-orang mukmin adalah saudara, tidak perlu

ada permusuhan dan perpecahan di dalamnya karena mempunyai persamaan di

dalam iman. Sehingga potensi-potensi yang mengarah kepada perselisihan harus

dihindari, dan jika terjadi perselisihan maka mukmin lainnya harus

mendamaikannya.

Selain di dalam Alqur’an, Nabi SAW. juga bersabda dalam hadits yang

dibawakan oleh An-Nu’man bin Basyir:

َ ‫ط ِف ِه ْم َمث َ ُل ْال َج‬


‫ إِذَا ا ْشت َ َكى‬،ِ‫سد‬ ُ ‫َمث َ ُل ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ فِى ت َ َو ِاد ِه ْم َوت َ َرا ُح ِم ِه ْم َوتَعَا‬
‫َاري‬ ِ ‫ أ َ ْخ َر َجهُ ْالبُخ‬.‫س ْه ِر َو ْال ُح َّمى‬
َّ ‫س ِد ِبال‬َ ‫سائِ ُر ْال َج‬ َ ُ‫ تَدَا َعى لَه‬،‫عض ٌْو‬ ُ ُ‫ِم ْنه‬

Artinya: ”perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam


hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara
mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka
semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Hadits di atas menggambarkan hakikat hubungan antara sesama kaum

muslimin yang begitu eratnya menurut Islam. Hubungan antara mereka dalam hal

kasih sayang, cinta, dan pergaulan diibaratkan hubungan antara anggota badan,

yang satu sama lain saling membutuhkan, merasakan, dan tidak dapat dipisahkan.

Jika salah satu anggota badan tersebut sakit, anggota badan lainnya ikut

merasakan sakit.54

Rahmat Syafe’i, AL Hadist Aqidah, Akhlak, Sosial,dan Hukum, (Bandung: CV Pustaka


54

Setia, 2000), hlm. 201.


74

Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda:

‫ ُمتَّفَ ٌق َعلَ ْي ِه‬.‫ضا‬ ِ ‫ا َ ْل ُمؤْ ِم ُن ِل ْل ُمؤْ ِم ِن َك ْالبُ ْن َي‬


ُ ‫ان َي‬
ُ ‫شدُّ َب ْع‬
ً ‫ضهُ َب ْع‬
Artinya: Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu

sama lain saling menguatkan. (Muttafaq Alaihi).

Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada

ataupun rusak. Hal itu menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara sesama

umat Islam. Itulah salah satu kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh kaum

mukmin dalam berhubungan antara sesama kaum mukminin. Sifat egois atau

mementingkan diri sendiri sangat ditentang oleh Islam. Sebaliknya umat Islam

memerintahkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu karena persaudaraan

seiman lebih erat daripada persaudaraan sedarah. Itulah yang akan menjadi

pangkal kekuatan kaum muslimin. Setiap muslim merasakan penderitaan

saudaranya dan mengulurkan tangannya untuk membantu sebelum diminta, yang

bukan didasarkan atas “take and give”, tetapi berdasarkan lillah.

Keadaan seperti itu telah dicontohkan oleh kaum mukminin pada masa

kepemimpinan Rasulullah SAW. Di Madinah ketika beliau dengan para sahabat

hijrah ke Madinah. Di kota inilah, persaudaraan antara umat Islam terlihat sangat

nyata. Penduduk kota Madinah menyambut kedatangan kaum Muhajirin dengan

suka cita, melebihi sambutan kepada oranglain karena pertalian darah atau

keluarga. Segala keperluan dan kepentingan kaum Muhajirin, mulai dari tempat

tinggal, makanan, serta berbagai kebutuhan lainnya mendapat santunan dari

penduduk kota Madinah. Tidak mengherankan jika penduduk Madinah mendapat


75

sebutan kaum Anshar, yakni kaum penolong dan pembela dalam arti yang luas,

tanpa mengharapkan balasan apapun.

Salah satu landasan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau

bersaudara ialah persamaan kepercayaan atau akidah. Ini telah dibuktikan oleh

bangsa Arab yang sebelum Islam selalu berperang dan bercerai-berai, tetapi

setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama (way

of life) baik lahir maupun batin, mereka dapat bersatu.

Dalam syari’at Islam pun banyak sekali ajaran yang mengandung muatan

untuk mempererat tali persaudaraan dan solidaritas sesama umat Islam, seperti

zakat, qurban, ibadah haji, shalat berjamaah dan lain-lain.

2. Persaudaraan Keluarga atau Al-Ukhuwwah An-Nasaliyyah

Dalam sejarah kehidupan umat manusia, perselisihan dan pertengkaran

dalam keluarga sering kali terjadi, dengan berbagai sebab. Misalnya karena faktor

kecemburuan dan ketidakadilan, baik dalam masalah harta, seperti warisan

maupun masalah lainnya. Mungkin kita masih ingat, pembunuhan yang dilakukan

oleh Qabil terhadap habil atau kakak terhadap adiknya.

Untuk menjaga hubungan persaudaraan dalam keluarga, Nabi Muhammad

SAW telah mengajarkan kepada kita dengan sabda nya: “Sedekah kepada orang

miskin hanya mendapat pahala sedekah saja, sedang sedekah kepada sanak

kerabat (keluarga) mengandung dua keutamaan, yaitu sedekah dan menyambung

tali kekerabatan (persaudaraan).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan

Ibnu Majah). Disisi lain Nabi saw juga memberikan penegasan dan sekaligus
76

ancaman bagi orang yang memutuskan tali persaudaraan dengan sabdanya: “Tidak

akan masuk surga seorang pemutus tali silaturrahmi (persaudaraan).” (HR.

Bukhari Muslim).

3. Persaudaraan Sesama Manusia atau Al-Ukhuwwah Al-Basyariyyah.

Pada dasarnya semua manusia itu berasal dari bapak yang sama, yakni Adam.

Allah SWT berfirman:

  


  

 
 
 
 
 
  
  
  
  

 
   
 
 
  
  
  
  

77

Artinya: Manusia adalah umat (bangsa) yang satu lalu diutus oleh Tuhan
nabi-nabi yang menjadi pembawa berita gembira dan menyampaikan peringatan.
Dan diturunkan-Nya bersama mereka (nabi-nabi tersebut) kitab yang
mengandung kebenaran supaya dia memberikan keputusan antara sesama
manusia dalam persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan.” (Q.S. Al-
Baqarah: 213).55

Al-Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, mengatakan

bahwa ayat al-Qur’an di atas merupakan peringatan kepada kita untuk senantiasa

mengingat kembali asal-usul kita. Terutama jika menghadapi konflik atau

pertikaian, hendaklah kita membuka nurani dengan mengingat kembali pada asal

mula kita. Manusia pada hakikatnya adalah umat yang satu, yakni sama-sama

sebagai keturunan Adam. Begitu dalamnya pernyataan Qurthubi, seolah-olah

meyakinkan kita bahwa, sebagai manusia kita sama-sama diciptakan Allah dari

tanah, dan kelak jika meninggal kita akan dikubur ke dalam tanah (juga).

Dengan pandangan ini, perbedaan yang ada bukan menjadi masalah, tapi

sebaliknya merupakan rahmat yang dikaruniakan Allah. Inilah ajaran universal

yang ditawarkan oleh Islam. Ajaran untuk berpegang teguh kepada persaudaraan

antar sesama manusia, atau yang dikenal dengan ukhuwah basyariyah.

Ukhuwah basyariyah bukan hanya sebatas penghormatan kepada sesama

manusia. Juga bukan sebatas sikap tidak mau mengganggu orang lain. Namun

tindakan aktif yang merupakan panggilan jiwa untuk menjunjung harkat dan

martabat kemanusiaan. Jiwa kita akan terpanggil untuk memberi makan bagi

mereka yang lapar dan menolong yang terkena musibah. Bersedia meringankan

beban penderitaan orang lain dengan atau tanpa dimintai pertolongan. Dan yang

lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang damai.

55
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 33.
78

B. Persamaan dan Perbedaan

Salah satu Persamaan antara konsep persaudaraan agama Islam dan agama

Baha’i adalah sama-sama mengajarkan persaudaraan universal. Di dalam Islam

secara sosiologis persaudaraan dapat dibagi menjadi tiga macam diantaranya

persaudaraan manusia atau yang dikenal dengan nama ukhuwwah basyariyah

karena semua manusia pada hakikatnya adalah bersaudara, dan diciptakan oleh

satu Tuhan yang sama. dalam Surah Al-Baqarah ayat 213 disebutkan bahwa

manusia adalah umat (bangsa) yang satu. Namun demikian, persamaan yang

menimbulkan persaudaraan ini menjadi lebih kuat dalam ikatan yang lebih sakral

yaitu satu iman. Begitupun di dalam ajaran Baha’i, Baha’u’llah telah mengajarkan

kepada umat Baha’i bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

maka harus menganggap satu sama lain sebagai saudara.

Perbedaan antara konsep persaudaraan agama Islam dengan agama Baha’i

adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan persaudaraan. Di dalam agama

Baha’i upaya yang dilakukan untuk mewujudkan persaudaraan terdiri dari

pendidikan universal, persatuan bahasa, majelis rohani setempat sedangkan di

dalam Islam ajaran yang mengandung muatan untuk mempererat tali persaudaraan

sesama umat Islam seperti zakat, Qurban, Shalat berjamaah, ibadah Haji.
79

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah memaparkan dan menguraikan konsep ajaran persaudaraan dalam

agama Baha’i maka dapat diambil kesimpulan bahwa persaudaraan menurut

Baha’i ada tiga pilar yaitu; Tuhan itu satu, yang menciptakan bumi dan seluruh

isinya, walaupun penyebutan nama Tuhan itu bias berbeda-beda, ada yang

menyebut Allah, Allah swt, Syanghiyang widi, dll; Manusia itu satu, karena

manusia diciptakan dari asal dan sumber yang sama; Agama itu satu, karena

mendapatkan sumber ilham yang sejati dari Tuhan yang sama.

Persaudaraan manusia bisa ditempuh dengan beberapa cara diantaranya ;

a). persatuan bahasa, bahasa sedunia akan menghilangkan kesalahapahaman di

antara bangsa-bangsa di dunia, sehingga persaudaraan dan perdamaian sedunia

dapat ditegakkan. b). Pendidikan universal, bahwa setiap anak laki-laki ataupun

perempuan harus mendapatkan pendidikan. Anak-anak harus dididik sedemikian

rupa sehingga mereka akan dapat mengabdi kepada umat manusia demi

terciptanya persaudaraan manusia. c). Mewujudkan persaudaraan manusia tidak

terlepas dari tugas Majelis Rohani setempat dimana setiap bulannya mereka

mengadakan pertemuan yang disebut dengan pertemuan 19 harian, tujuannya

untuk membahas program Baha’i kedepannya termasuk dalam hal membantu

memecahkan permasalahan yang ada di dalam masyarakat setempat. Serta mereka

mengadakan kegiatan doa bersama yang dimana tujuannya untuk lebih

mempererat persaudaraan antar umat manusia.


80

B. Saran-Saran

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan beberapa saran sebagai

berikut:

1. Kepada para mahasiswa jurusan Studi Agama-Agama, penulis

menyarankan untuk meneruskan pengkajian dan wawasan mengenai

penelitian ini, karena masih banyak hal-hal yang bisa dikaji dari sisi

lain, khususnya mengenai ajaran-ajaran dalam agama Baha’i.

2. Kepada pihak Jurusan Studi Agama-Agama agar membuat satu

matakuliah yang akan membahas mengenai agama Baha’i guna

pembelajaran dan pengetahuan kepada setiap mahasiswa studi agama-

agama, meninjau erat kaitannya agama Baha’i terhadap agama

Abrahamik.

3. Untuk Universitas Islam Negeri Sumatera Utara khususnya Fakultas

Ushuluddin dan Studi Islam agar bisa menyediakan referensi buku

lebih banyak lagi mengenai agama Baha’i.


81

DAFTAR PUSTAKA

.......,Khotbah-khotbah Abdul Baha’ di Paris terj dari Paris Talks. Addresses


Given by Abdul Baha’ in 1911 T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia,
2008)
..........Doa, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2008

.......Tulisan Suci Baha’i mengenai Kesatuan, Majelis Rohani Baha’i Nasional


Baha’i Indonesia
......Kehidupan Keluarga, Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia

......Pendidikan Baha’i, Dihimpunkan oleh Departemen Riset, 1976

......Renungan Tentang Kehidupan Roh T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i


Indonesia, 2006
Ali, Sayuthi Metodologi Penelitan Agama, Pendekatan Teori dan Praktek,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002

Arifinsyah, Agama Dialogis Misi Profetik Mencegah Konflik. Yogyakarta:


Perdana Publishing, 2016.

Armstrong, Karen Sejarah Tuhan,Terj. Zaimul Am, Bandung : Mizan, 2011

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Jumanatul


Ali-ART, 2004
Fathea’zam, Hushmand Taman Baru, t.t. : Majelis Rohani Nasional Baha’i
Indonesia, 2009.
Haryanto, Sindung Sosiologi Agama dari Klasik hingga Postmodern, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016
https://kebajikandalamkehidupan.blogspot.com

https:kbbi.web.id/saudara.html.

Keene,Michael Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: PT Kanisius, 2014.

Khemanando Thera, Beauty of Dhamma Perubahan, Cinta, dan Kebahagiaan,


Medan: Triagung Abadi, 2015
L. Pals, Daniels Seven Theories of Religion. Yogyakarta: IRCisod, 2011
82

M Ali Imran, Sejarah Terlengkap Agama-agama di Dunia Dari Masa Klasik


Hingga Modern), Yogyakarta: IRCiSoD, 2015
M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor. Jakarta : Prenadamedia


Group, 2015.
Nasution,Harun Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: Pen. Universitas
Indonesia, 1985

Noor, Juliansyah Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Kencana, 2011.

Nuhrison M Nuh, et.al, Baha’i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas dan Perjuangan
Hak-Hak Sipil Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015
Rahmat Syafe’i, AL Hadist Aqidah, Akhlak, Sosial,dan Hukum, Bandung:CV
Pustaka Setia, 2000
Rosyid,Moh. Agama Baha’ Dalam Lintasan Sejarah di Jawa Tengah,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.

Salehuddin, Ahmad Memahami Kekerasan Agama Yang Terulang: Analisis


Doktri, Struktur dan Kultur dalam buku Antologi Studi Agama,
Yogyakarta : Belukar, 2012.

Simanjuntak dkk, Maratua Merawat Kerukunan Umat Beragama, Medan: CV.


Manhaji, 2016.

www. Bahaiindonesia.org

Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam, Depok: PT Grafindo Persada, 2017.


83

GLOSARIUM

Akka; Sebuah koloni pemasyarakatan dari Kekaisaran Ottoman (sekarang bagian


dari Israel utara).

Bab, Sang; Arti harfiahnya “Pintu Gerbang”, gelar yang dipakai oleh Mirza Ali
Muhammad setelah pengumuman Misi-Nya di Shiraz. Ia adalah pendiri
Agama-Nya dan Bentera bagi Baha’u’llah.

Baha’; Baha’ berarti kemuliaan. Ini adalah nama terbesar Tuhan dan suatu gelar
dengan mana Baha’u’llah dipanggil.

Baha’i;Seorang pengikut Baha’u’llah, atau kata sifat yang digunakan dalam


menghubungkan sesuatu atau seseorang dengan agama Baha’i.

Baha’u’llah; “Kemuliaan Allah”, gelar Mirza Husein Ali pendiri agama Baha’i.

Kitab Al-Aqdas; kitab tersuci agama Baha’i yang ditulis oleh pendiri agama
Baha’i, Baha’u’llah. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab Al-Kitabu I-
Aqdas, tetapi sering disebut dengan judul Persia, Kitab Aqdas.

Loh; Surat yang berisikan doa-doa dan tulisan-tulisan suci.

Mashriqu’l-Adhkar; secara harfiah artinya “Tempat terbit pujian kepada


Tuhan”, nama gedung ibadah Baha’i.

Nawruz; Tahun baru dari kalender Baha’i, jatuh pada hari musim semi ekuinoks,
yaitu hari dimana matahari memasuki rasi Aries dilihat dari Teheran.

Perwujudan Tuhan; kata mewujudkan artinya memunculkan, menyingkapkan


sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Para Perwujudan Tuhan adalah
orang-orang khusus yang menyampaikan firman dan kehendak Tuhan
kepada manusia.

Shoghi Effendi; Wali agama Baha’i. ia adalah cucu tertua Abdul-Baha dan
diangkat oleh-Nya sebagai kepala agama.

Siyah-Chal; Secara harfiah berarti “Lubang Hitam”. Penjara bawah tanah yang
gelap, berbau busuk di Teheran dimana Baha’u’llah dipenjarakan selama
empat bulan dalam tahun 1852.
84

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : DELIMA FATMALINI SITOMPUL

2. Nim :42.14.4.001

3. Jurusan : Studi Agama-Agama

4. Tmpt/Tgl. Lahir : Palopat Maria, 08 Maret 1997

5. Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Studi

Islam UIN Sumatera Utara Medan

6. Alamat : Jl. Letda Sujono Gg. Parsambilan Kec.

Medan Tembung

II. Jenjang Pendidikan

1. SD Negeri 200118 Padangsidimpuan :2002-2008

2. SMP Negeri 4 Padangsidimpuan :2008-2011

3. SMA Negeri 6 Padangsidimpuan :2011-2014

4. Mahasiswa FUSI :2014-2018

Anda mungkin juga menyukai