Anda di halaman 1dari 8

ASAL-USUL

Etika menurut kamus BI artinya ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral.
Etika berasal dari bahasa Yunani, kata ethos yang mempunyai arti :
1. tempat kediaman yang biasa dari seseorang
2. kebiasaan, kelaziman, adat-istiadat
3. tabiat, hakekat, watak seseorang
4. cara mengungkapkan diri, tingkah laku, sikap seseorang
5. kecenderungan kepada kesusilaan, kesusilaan (yang berkaitan dengan adab dan
sopan santun, norma yang baik; kelakuan yang baik; tata krama yang luhur).

Dalam bahasa Yunani PB kata ethos hanya muncul satu kali 1 Kor 15:33, sehingga
dalam bahasa Yunani klasik kata ethos bisa diartikan :
1. kebiasaan, kelaziman (Luk 22:39; Yoh 19:40; Kisra 25:16 dan Ibrani 10:25)
2. adat-istiadat, hukum upacara (Luk 1:9; 2:42; Kisra 6:14; 15:1; 16:21; 21:21;
26:3; 28:17).

Dengan demikian etika bersangkut paut dengan :


1. Manusia itu sendiri.
Baik dalam segi batiniah yaitu tabiatnya, hakekatnya, wataknya,
kecenderungannya kepada kesusilaan.
Segi lahiriah manusia yaitu cara mengungkapkan diri, tingkah lakunya
2. Suatu kenyataan yang melebihi manusia perorangan yaitu kelaziman, kebiasaan,
adat-istiadat, hukum, upacara.

DEFINISI

Hubungan etika dg kehidupan batiniah manusia


J. Martineau (filsuf Inggris), etika sebagai ajaran tentang tabiat/hakekat/watak
manusia. doctrine of human character

Hubungan etika dengan kehidupan lahiriah,


E. Brunner (theology Swis), etika sebagai ajaran tentang sikap/tingkah laku manusia.
Etika sebagai ilmu tentang perbuatan manusia
Hubungan etika dengan kebiasaan, kelaziman, adat-istiadat, hukum dan upacara,
F. Paulsen (filsuf Jerman), etika sebagai ilmu tentang adat-istiadat.

G. Heymans (filsuf Belanda), etika sebagai ajaran tentang yang baik dan yang buruk
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dan masyarakat.

TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB

1. Tugas dan tanggung jawab etika ialah baik formal (etika formal), maupun
material (etika material), karena etika tidak hanya berbicara tentang form
(Inggris) atau bentuk daripada yang baik dan yang buruk itu, tetapi berbicara juga
tentang materi atau isi daripadanya. Ia tidak dapat hanya memberi perintah untuk
berpikir, berkata dan berbuat baik, tetapi haruslah juga menyatakan apa itu yang
baik yang harus dipikirkan, diperkatakan dan diperbuat manusia dalam situasi
mereka masing-masing.
2. Tugas dan tanggung jawab etika ialah baik deskriptif (etika deskriptif; Latin
describere = menggambarkan, menguraikan), maupun preskriptif (etika
preskriptif; Latin praescribere = mengharuskan, mewajibkan, memerintahkan)
atau normative (etika normative; Latin norma = aturan, pedoman dasar, petunjuk),
karena etika tidak hanya menggambarkan, menguraikan dan menjelaskan tentang
yang baik dan yang buruk dalam kenyataannya yang ada pada manusia dan
masyarakat sampai saat ini, tetapi juga harus memberi petunjuk kepada manusia
dan masyarakat untuk berbuat baik kini dan pada masa yang akan datang. Jadi
etika tidak hanya memakai kalimat berita, tetapi juga memakai kalimat-kalimat
perintah. Lakukanlah ini, tinggalkanlah itu.
3. Tugas dan tanggung jawab etika ialah baik teoretis (etika teoretis) maupun
praktis (etika praktis). Etika tidak hanya bertugas dan bertanggung jawab untuk
menyusun teori-teori tentang asal-usul, hakekat dan maksud/tujuan etos, tetapi
harus juga berguna untuk kehidupan sehari-hari dan harus menyusun baginya
aturan-aturan. Jadi tugas dan tanggung jawab etika sebagai disiplin ialah untuk
memberi suatu uraian teoretis yang mendalam tentang yang baik dan yang buruk
di satu pihak, dan suatu pengenaan praktis yang kongkrit dilain pihak.

ETIKA TEOLOGIS DAN ETIKA FALSAFI

Etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari praanggapan-praanggapan teologis
(Yunani : theos dan logos = etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari
praanggapan-praanggapan tentang Allah, yaitu kepercayaan kepada Allah, dan
memandang kesusilaan bersumber dari dalamnya), maka etika teologis didefinisikan
sebagai etika yang didasarkan atas (unsur-unsur) agama.
Karena Allah tidak dapat diamati dengan pancaindera manusia maka etika teologis
bersifat transempiris. Etika teologis sungguh-sungguh melampaui batas-batas akal budi
dan perasaan manusia, karena itu disebut juga etika transenden
Etika teologis disebut juga etika heteronom, karena ia takluk kepada hukum yang lain
(Yunani : heteros). Karena hukum yang kepadanya ia takluk ditentukan oleh Allah, maka
ia juga disebut etika teonom. Dan karena Allah sebagai pembuat hukum berada pada
pusat perhatiannya, maka ia juga ditetapkan sebagai etika teosentris.

Etika falsafi adalah etika yang bertitik tolak dari praanggapan-praanggapan yang
bersifat falsafi dan oleh karena itu disebut etika yang didasarkan atas unsur-unsur
kebijaksanaan manusia (Yunani = Sophia).
Etika falsafi bersifat transempiris dan empiris, namun demikian yang empiris tetap
tinggal dalam batas-batas kemanusiaan oleh sebab itu disebut etika imanen. Dan
karena etika falsafi hukum ditentukan oleh manusia yang cinta kebijaksanaan maka
disebut etika antroponom atau disebut etika antroposentris karena manusia (Yunani
= anthropos) berada pada pusat perhatiannya. (Kol 2:8)

Sejarah perkembangan etika falsafi menurut H. de Vos yang menganggap kesusilaan


itu bersumber dari kodrat manusia (etika naturalistis).

1. Hedonisme, yang mengatakan bahwa kesenangan (Yunani : hedone) adalah


kebaikan tertinggi atau awal dan akhir kehidupan yang berbahagia.
Hedonisme egoistis yaitu hanya memperhatikan kesenangan diri sendiri.
Heonisme altruistis juga memperhatikan kesenangan orang lain.
Tokoh-tokohnya :
Socrates (469 399), Plato (427 347), Aristoteles (384 322), Epicurus (341
271).

2. Eudaimonisme, mengatakan bahwa kebahagiaan (Yunani : eudaimonia) adalah


kebaikan tertinggi. Maksudnya kebahagiaan tidak dipilih oleh karena kesenangan,
tetapi berdisi sendiri. Kebahagiaan ialah keadaan memiliki roh (Yunani
daimon) yang baik (Yunani eu) melalui berpikir, berkata dan berbuat baik.
Tokoh-tokohnya :
Socrates (469 399), Plato (427 347), Aristoteles (384 322), Thomas dari
Aquino (1225 1274).

3. Stoisisme, adalah bentuk eudaimonisme yang dianut oleh mazhab Stoa. Yaitu
hidup sesuai dengan alam maksudnya adalah manusia harus memakai akal budi,
tidak membiarkan dirinya dihanyutkan oleh hawa nafsu, bahkan tidak
membiarkan dirinya disentuh oleh perasaan-perasaan. Ia berhati tabah dalam
segala macam kesusahan yang dialami dan sungguh-sungguh tahu menguasai diri.
Secara ringkas dapat dikatakan ajaran Stoa adalah orang bijaksana tidak takut
akan sesuatu apapun, tidak mengharapkan sesuatu apapun, dan tidak
menginginkan sesuatu apapun.
Tokoh-tokohnya :
Zeno (336 264), Kleanthes (330 232), Chrysippos (280 207), Panaitios (185
110), Poseidonios (135 51), Seneca 4 SM 65), Epictetus (50 138) dan
Marcus Aurelius (kaisar Romawi 161 - 180).

4. Utilisme, juga dinamai utilitarianisme yang menganggap berguna (Yunani :


utilis) tidaknya sesuatu itu sebagai ukuran untuk menentukan baik tidaknya
sesuatu itu. Dalam banyak hal azas kebergunaan/kemanfaatan menentukan
tindak-tanduk kita kini dan di sini. Seringkali kita hanya bersedia melakukan
sesuatu jika ada guna untuk kita; jika tidak ada, maka kita tidak bersedia dan
memohon maaf.

5. Positivisme, etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan mempunyai


tugas dan tanggung jawab untuk menyelidiki dan menjelaskan fakta-fakta di
bidang etika. (A. Comte/Perancis 1798 1857; E. Littre/Perancis 1801 1881).

6. Marxisme sering disamakan dengan sosialisme Bukan kesadaran menentukan


kehidupan, melainkan kehidupan menentukan kesadaran. (K. Marx dan F.
Engels/Jerman).

7. Evolutionisme
Ch. Darwin perjuangan hidup dan ketahanan hidup dari yang terkuat)
H. Spencer menganggap pandangan-pandangan kita sekarang tentang yang baik
dan yang buruk sebagai hasil suatu perkembangan yang sangat panjang sekali.

8. Vitalisme, kehidupan (Latin = vita) sebagai kebaikan tertinggi. Ajarannya segala


sesuatu yang memajukan kehidupan adalah baik, sedangkan segala sesuatu ysng
memadamkannya adalah buruk. (F. Nietzsche)

9. Pragmatisme (Empirisme radikal), perbuatan yang mencapai tujuan, yakni yang


berhasil adalah baik, sedangkan yang tidak efektif dianggap tidak baik. (Ch. S.
Peirce, W. James dan J. Dewey)

10. Instrumentalisme (behaviorisme), segala sesuatu yang memberi semangat kepada


manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memperlancar penyesuaian
terhadap dunia sekitar disebut baik sedangkan segala yang menghambat disebut
buruk. (J. Dewey/ Amerika)

11. Analisa bahasa, perkataan yang melukai orang lain adalah buruk
(Shaftesbury/Inggris).

Etika idealistis (kesusilaan bersumber dari ide, roh, akal budi manusia),

1. Rationalisme mengutamakan penggunaan akal budi saya berpikir, saya ada


(R. Descartes).
2. Idelisme kritis/susila, hukum susila memberi kepada manusia perintah mutlak
untuk berbuat baik. (Imanuel Kant/Jerman)

3. Romantik dan idealisme Jerman, menganggap kesusilaan sebagai tujuan tertinggi


manusia. (J.G. Schlegel).

4. Nilai-nilai, Nilai senang-tidak senang, nilai vital (mengaitkan kehidupan), nilai


rohani (estetis, hukum , kebenaran murni dan nilai keagamaan/kudus dan tidak
kudus)

5. Deontologi, menitikberatkan kewajiban untuk berpikir, berkata dan berbuat baik.


(HA. Prichard & WD. Ross/Inggris)

6. Fenomenologi, melukiskan dan menetapkan semua fakta kesadaran susila. (M.


Scheler)

7. Eksistensialisme (S. Kierkegaard) ia menghendaki filsafat yang kongkrit yaitu


dalam kehidupan sehari-hari kita menghadapi bermacam-macam pertentangan,
dan itu hanya dapat dipecahkan jika kita selalu mengambil keputusan-keputusan
yang kongkrit.

Pada akhirnya kita harus waspada dengan etika falsafi Kol 2:8.

HUBUNGAN ETIKA TEOLOGIS DAN ETIKA


FALSAFI

Menurut P.L. Lehmann ada 3 jawaban yang menonjol :

1. Revisionisme (Agustinus), bahwa etika teologis bertugas merivisi, yaitu


mengoreksi dan memperbaiki etika falsafi.

2. Sintese (Thomas Aquino), menggabungkan etika falsafi dengan etika teologis


sedemikian rupa, sehingga kedua disiplin ini dengan mempertahankan identitas
masing-masing, menjadi suatu keseluruhan yang baru yaitu etika falsafi sebagai
bagian bawah yang bersifat umum, dan etika teologis sebagai bagian atas yang
bersifat khusus.

3. Diaparellellisme, (F.E.D. Schleiermacher), etika teologis dan etika falsafi sebagai


gejala-gejala yang sejajar (inggris = parallel).
ETIKA KRISTEN
Etika teologis : etika yang berdasarkan agama, etika transenden, etika teonom dan etika
teosentris.

Etika Kristen memang etika yang berdasarkan agama, etika transenden, etika teonom dan
etika teosentris, tetapi juga digambarkan sebagai etika kristonom dan etika kristosentris
karena untuknya bukan hanya oknum dan pekerjaan Allah yang Mahakuasa, melainkan
juga oknum dan pekerjaan Yesus Kristus sebagai gambar dan rupa Allah yang sejati
adalah sangat menentukan.

Etika Kristen juga digambarkan sebagai etika injili, karena secara hakiki ia memahami
oknum dan karya Yesus Kristus yang daripadanya ia berasal dan kepadanya ia takluk
sebagai penyampaian kabar baik, yang berisi damai sejahtera (Efesus 2:17). Oleh karena
itu etika Kristen juga digambarkan sebagai etika damai sejahtera.

Bagi agama selain Kristen, agama yang monoteistis (yahudi & Islam) etika sebagai etika
monoteonom atau monoteosentris. Tentu saja mereka bukanlah etika kristonom dan
kristosentris walaupun mereka berbicara tentang damai sejahtera juga. Mereka menolak
damai sejahtera yang ditawarkan Yesus Kristus. Mereka berpusat kepada hukum semesta
alam, atau pada Taurat dan Fiqh.

Titik tolak alkitabiah etika Kristen

Etika Kristen mempunyai titik tolak dalam penyataan kehendak Allah kepada
Musa dan kepada para nabi dan di dalam Yesus Kristus yang disaksikan oleh Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru.

Perjanjian Lama

TAURAT
Perjanjian Lama terdiri atas Taurat, nabi-nabi dan kitab-kitab yang tidak hanya
diterima oleh orang-orang Yahudi sebagai firman Allah, tetapi juga oleh orang-orang
Kristen. Orang-orang Kristen menerima Taurat, nabi-nabi dan kitab-kitab bersama
dengan Injil-injil dan surat-surat rasuli sebagai Alkitab.
Yesus Kristus dan etika Kristen tidak bersikap negatif, tetapi bersikap positif
terhadap hukum Taurat Musa (Mat 5:17; Roma 13:8 10). Bahkan Taurat Musa juga
merupakan titik tolak etika Kristen, karena ia menenpatkan semua lapangan kehidupan
manusia di bawah perintah Tuhan. Misalnya :
Perintah 1 4 menempatkan kehidupan agamani manusia di bawah perintah
Allah.
Perintah 5 8 kehidupan sosial dan individual manusia di bawah perintah Allah.
Perintah 9 perkataan di bawah perintah Allah.
Perintah 10 pikiran di bawah perintah Allah.
NABI NABI
Bangsa Israel adalah bangsa yang istimewa dimana selain percaya kepada Tuhan
juga memiliki beberapa nabi di tengah-tengah mereka. Nabi-nabi bertindak atas nama
Tuhan dan melawan berbagai bentuk penindasan dan berbagai ketidakseimbangan (Yes
5:8; Mikha 2:2). Dan Injil Yesus Kristus dan etika Kristen mempertahankan, meneruskan
dan memperluas perjuangan para nabi (Luk 4:18-19 = Yes 61:1-2).
Di dalam Yesus tidak ada lagi perbedaan semua dipanggil dan diberkati serta dijanjikan
masa depan (2 Petrus 3:13).

KITAB-KITAB
Sama seperti Taurat Musa, kitab-kitab Perjanjian Lama mempunyai banyak
persamaan dengan tulisan-tulisan dunia di sekitar Israel yaitu mereka memandang takut
akan Tuhan (Ayub 28:28; Maz 111:10) hal ini didukung oleh Perjanjian Baru (Kis
9:31).
Selain itu bila kita baca kitab Mazmur, maka kita kan melihat betapa besar
pengaruh kitab ini akan Injil Yesus Kristus dan etika Kristen. Dalam Mazmur 7:10 Allah
yang adil menguji hati dan batin manusia. Ia memandang ke bawah dari sorga untuk
melihat apakah ada yang berakal budi dan mencari-Nya (Maz 14:2; 53:5). Ternyata tidak
ada seorang pun (Maz 14:3; 53:6). Manusia yang sadar akan dosanya tentu mencari
Tuhan (Maz 51:12 14). Semua ajaran ini dipelihara dalam Perjanjian Baru (Mat 5:8)
dan tidak ada yang baik selain daripada Allah (Mark 10:18; Mat 19:17; Luk 18:19).
Semua orang telah berbuat dosa (Roma 3 : 9 20), Allah yang menyelidiki hati (Roma
8:27), Allah yang menguji hati (Wahyu 2:23 = Maz 7:10).

Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Baru sebenarnya merupakan kelanjutan dari Perjanjian Lama,


meskipun tentu ada beberapa hal yang kelihatannya tidak berkesinambungan bahkan
seolah bertentangan (makanan halal dalam PL tidak dalam PB dll).

YESUS KRISTUS
Etika Yesus Kristus berbicara tentang kerajaan Allah yang akan datang dan panggilan-
Nya untuk bertobat (Mat 4:16; Mark 1:15; Mat 3:2).
Etika Yesus Kristus juga berbicara tentang undang-undang dasar kerajaan Allah yang
akan datang Khotbah di bukit (Mat 5-7; Luk 6:20-49). Di sini Yesus berbicara tentang
kebenaran yang merupakan ciri khas kerajaan Allah yang akan datang (Mat 6:33), bahkan
dalam Mat 5:20 dikatakan syarat masuk kerajaan Allah.

Bahkan Yesus dalam PB berbicara dan bertindak dengan suatu kuasa yang sungguh-
sungguh baru (Mat 5:20,22,26,28,32,34,39,44) bahkan Dia mengintisarikan semua
perintah dan larangan dalam hukum, etika dan agama. Hukum yang terutama dan utama
atau Magna charta=gubahan besar) Kasih kepada Allah (Ul 6:5) dan kepada sesama (Im
19:18; Mat 22:34-40; Mark 12:28-31; Luk 10:25-28).
Bila dalam Yes 28:10, 13 manusia harus begini dan begitu Yesus mengubahnya dengan
kuk yang enak (Mat 11:30).

Yesus juga mengajarkan ketaatan yang total dan universal (Mat 12:50; Mark 3:35 dan
Luk 8:21).

Yesus juga meminta kepada manusia sesuatu yang tidak gampang, mata ganti mata dll
(Mat 5:38 bnd Kel 21:23-25; Im 24:19,20; Ul 19:21) menjadi sesuatu yang bersifat ilahi
Mat 5:39, 41. Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu (Mat 5:43) lebih
mudah disbanding Mat 5:44.

Yesus menuntut kesempurnaan (Mat 5:48), Dia tidak hanya mengajar tetapi memberikan
teladan juga, ketika dicaci Dia menyerahkan kepada yang Mahaadil (1Pet 2:23), dalam
Mat 26:51-52 Yesus melarang murid-Nya membela Dia, di depan mahkamah agama Ia
berdiam diri (mat 26:67) bahkan Dia berdoa Bapa ampunilah mereka (Luk 23:34).

Bahkan pada jemaat Kristen yang pertama apa yang diberitakan oleh Yesus yaitu kasih
menjadi ciri mereka (Kis 2:42). Dan ajaran ini dilanjutkan oleh rasul-rasul dan
penginjil-penginjil.

Anda mungkin juga menyukai