Anda di halaman 1dari 99

BAB I

PENDAHULUAN

Melihat betapa luasnya pengaruh teologi Feminis dalam perkembangan teologi di


Indonesia akhir-akhir ini, maka penulis memikirkan pentingnya tulisan yang dapat
meresponi dan meng"counter" pengaruh yang sangat berbahaya dari penafsiran teologi
Feminis tentang pemakaian istilah dan pengertian nama Allah. Pengaruh dari penggantian
istilah Nama Allah atau cara penafsiran mereka dapat merusak pondasi dan mencabut akar
ajaran teologi yang sudah mapan dan terjaga sepanjang sejarah gereja. Pengaruh inilah
yang akan diresponi, dibahas, digumulkan dan diluruskan kebenarannya dengan kebenaran
sejati dari Allah melalui FirmanNya, Alkitab.
Perhatian utama dalam tulisan ini adalah menyoroti penggantian istilah ke-Allah-an
dalam Tritunggal serta metode pemakaian penafsiran teologi Feminis. Penulis hanya akan
membahas beberapa tokoh teologi Feminis yang berkaitan khusus dengan keberanian
mereka dalam mengganti nama Allah. Tulisan ini juga menyinggung beberapa ayat-ayat
favorit yang digunakan oleh teolog Feminis dalam memosisikan kedudukan wanita dalam
gereja. Prinsip-prinsip hermeneutik yang dianut penulis adalah prinsip menjunjung tinggi
otoritas Alkitab sebagai Firman Allah. Alkitab tidak pernah membuat pembedaan kelas,
jenis kelamin, suku bangsa. Alkitab adalah Firman Allah untuk semua golongan manusia
dari seluruh penjuru dunia, dari semua sisi kehidupan tanpa pilih kasih. Jadi Alkitab
sebenarnya bukan hanya monopoli kaum laki-laki, kaum terpelajar, kaum bangsawan,
kaum tertentu lainnya tetapi Alkitab adalah milik setiap orang percaya (bagi teolog Feminis
Alkitab cenderung ditafsirkan hanya untuk kaum wanita saja, semua yang berbau laki-laki
dibuang dan digantikan dengan yang bercorak wanita atau bersifat netral).

A. Latar Belakang Penulisan dan Kontribusinya

Melihat sedikitnya tulisan, buku ataupun artikel dalam Bahasa Indonesia yang
membahas gerakan teologi Feminis dan yang meneliti secara mendalam pengaruh bahaya
hermeneutik ke-Allah-an mereka, maka penulis melihat adanya suatu kebutuhan yang
menantang dan sangat mendesak. Kebutuhan menganalisa interpretasi teologi Feminis
harus segera digarap, terus digumulkan dan diwujudkan dalam tulisan ini.

1
2

Diharapkan tulisan ini dapat menjadi sumbangsih bagi dunia akademik umum,
seminari-seminari Kristen interdenominasi dan lebih khusus bagi seminari yang teologinya
bernafaskan ajaran Reformasi-Injili.

B. Tujuan dan Maksud Penulisan

Tujuan tulisan ini adalah untuk menganalisa, mengevaluasi dan mengkritik


hermeneutik teologi Feminis dengan basis Firman Tuhan sebagai tolok ukur utama.
Metode penafsiran ulang teolog Feminis tentang konsep Allah ke dalam nuansa dan warna
kewanitaan bukannya hal baru. Hal ini sudah pernah disinggung dalam Alkitab, hanya saja
tidak diekspos secara eksplisit. Karya ini juga berusaha memberikan tanggapan-tanggapan
terhadap prinsip-prinsip hermeneutik teologi Feminis dengan menggunakan prinsip-prinsip
metode hermeneutik Reformasi. Dasar ultim hermeneutik reformasi adalah Alkitab harus
ditafsirkan oleh Alkitab. Semua yang ada di dalam Alkitab diinspirasikan oleh Allah.
Alkitab adalah kebenaran tertinggi sehingga Alkitab tidak memerlukan perubahan lagi.

C. Batasan dan Metode Penulisan

Batasan tulisan ini sudah jelas, yaitu hanya difokuskan pada pembahasan tentang
konsep Allah teologi Feminis. Jadi kritiknya hanya tertuju pada metode penggunaan istilah
nama Allah. Hal yang paling ditekankan adalah relasi antara pribadi Allah Bapa, Allah
Anak, dan Allah Roh Kudus. Pembahasan ayat-ayat Alkitab dalam tulisan ini juga terbatas
pada ayat-ayat yang sering dipakai teolog Feminis, yaitu ayat-ayat umum yang berkaitan
erat dengan peranan kedudukan wanita dalam ibadah gereja.
Selain itu tokoh-tokoh yang dibahas pun adalah tokoh-tokoh utama teologi Feminis.
Penulis juga membahas kedudukan wanita dalam perspektif Alkitab dan dalam perspektif
budaya sekitar bangsa Israel baik pada zaman Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian
Baru.
Tulisan ini juga memfokuskan penganalisaan hermenetuik pada ayat-ayat yang
sering digunakan oleh teolog Feminis sebagai 'senjata' untuk membela pandangan mereka.
Dalam pembahasannya nanti akan dipaparkan perbedaan prinsipil antara tafsiran
Alkitabiah dengan tafsiran teologi Feminis.
3

Karena dampak gerakan Feminisme secara umum sudah sangat besar dan banyak
mempengaruhi ajaran Kekristenan, maka dibutuhkan suatu antisipasi untuk "membela"
iman Kristen dalam membendung gerakan mereka dan meluruskan ajaran mereka dengan
kebenaran firman Tuhan.
Berbagai usaha mempertanggungjawabkan iman Kristen terhadap aliran teologi
Feminis ini sudah banyak dilakukan ahli-ahli teologi di Barat (Eropah dan Amerika). Baik
dimulai dari sudut pandang sosial, psikologi, filosofis, atau teologi historika-biblika-
sistematika-praktika. Sedangkan di Indonesia sangat sedikit ahli teologi yang membahas
bahaya vital pengaruh hermeneutik teologi Feminis. Bahkan terkesan pembahasan buku
tentang teologi Feminis ini cenderung menerima atau bahkan membela teologi Feminis
sebagai kebenaran yang mutlak yang harus diterima. Bahaya krusial usaha teologi Feminis
adalah usaha penggantian istilah Nama Allah dalam Alkitab ke dalam istilah nama "allah"
konsep teologi Feminis.
Penggunaan metode penelitian dan pendekatan secara literatur di perpustakaan
diupayakan dalam tesis ini. Penulis juga berusaha mencari data-data melalui buku sumber
"primary" dari para penulis teologi Feminis.

D. Perumusan Masalah

Letak permasalahan dalam tesis ini adalah usaha penekanan dan pengunggulan
hermeneutik Feminis yang terlalu mementingkan penafsiran secara "feminine feeling" atau
"feminine1 experience". Hermeneutik teologi Feminis ini pada mulanya hanya ingin meneliti
1
Webster's Third New International Dictionary, Philip Babcock G. Ph.D, and Meriam Webster,
ed., (Massachusettes: G & C, Meriam Company Publ.) 1976.

Feminine from Latin /Femininus/ - woman (wanita)


1. Female - the sex that produces offsprings ( Jenis kelamin yang memproduksi
keturunan)
2. Characteristics of or appropiate or peculiar to women (ciri khas yang sangat cocok
dengan kekhasan sifat wanita)

Feminism
1. Presence of female characteristics in males (Kehadiran sifat-sifat kewanitaan dalam
kelaki-lakian)
2. a. Theory of the political, economic, and social equality of the sexes
(teori politik, ekonomi dan sosial yang mengangkat derajat kesamaan wanita dengan laki-
laki)
b. Organized activity behallf of women's key notes and interests
(Kegiatan diorgnisasi atas kepentingan utama kaum wanita sebagai perhatian utama dan
minat)
pengaruh kaum 'patriach'2 dalam penafsiran ayat-ayat Alkitab, tetapi sayangnya mereka
kemudian melangkah terlalu jauh dalam menafsirkan pengertian ayat-ayat Alkitab yang
berwarna patriak. Mereka berani mengatakan bahwa ayat-ayat dalam Alkitab itu
dimonopoli dengan istilah kebapakan, bahkan mereka berani mengatakan bahwa hubungan
pribadi antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus pun sudah "dicurigai" mempunyai unsur
pilih kasih. Yang lebih berbahaya adalah para kaum Feminis Radikal mencurigai para
penulis Alkitab sendiri menyenangi dan cenderung memilih istilah Allah dalam konteks
bahasa maskulin. Hal ini terjadi karena pengaruh kebudayaan yang ada. Mereka juga
mempunyai masalah dalam pengakuan iman terhadap "otoritas Alkitab", mereka sudah
tidak mempercayai lagi kanonisasi Alkitab yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Pembuatan tesis ini untuk mengevaluasi dan menilai kritikan metode hermeneutik
teologi Feminis yang membahas tentang konsep doktrin Allah. Teolog Feminis
berpendapat bahwa istilah Nama Allah (lebih khusus lagi istilah hubungan pribadi
Tritunggal) yang digunakan dalam Alkitab dipengaruhi oleh sistem 'patriarchal'3 atau
'androcentricism'. 4 Untuk melakukan tugas yang besar ini alangkah baiknya jika tesis ini
juga membahas dan mengenal latar belakang sejarah timbulnya gerakan teologi Feminis.

E. Sistematika Penulisan Tesis

Penulisan tesis ini dibagi ke dalam lima bab, yaitu:


BAB I - PENDAHULUAN. Bagian ini menjelaskan latar belakang penetapan
judul, yaitu masalah yang diangkat dan dibahas, juga menerangkan latar belakang
penulisan dan kontribusinya, kemudian bab ini menjelaskan lingkup/batasan permasalahan
dan tujuan yang diharapkan, serta sistematika penulisan ini..

Feminist - one that advocates or practices Feminism


(seseorang yang mempraktekkan kegiatan-kegiatan feminisme)
2
Patriach Gk. \patriarches\
1a-one of the Scriptural fathers of the human race or of the Hebrew people specitic: One group
comprising Abraham, Isaac, Jacob, and the twelve sons of Jacob. (sebutan Alkitab untuk Bapa bangsa
Israel yaitu Abraham, Isak dan Jacob dan keduabelas anaknya)
1b -a man regarded as father or founder (as a race, sciences, religions…). (Seorang laki-laki
sebagai Bapa atau Penemu (misal suatu ras -suku bangsa, ilmu pengetahuan, agama, dll.)
3
Patriarchal menurut kamus Webster, ‘relating to a patriarch(s): governed by or subject to
patriarchs…’ maksudnya adalah laki-laki (patriach) sebagai penguasa tertinggi, wanita (matriarh) berada
di bawah laki-laki.
4
Androsentrisme adalah suatu paham yang menekankan bahwa pria adalah pusat kehidupan dan
mendominasi kedudukan dalam keluarga (khususnya kedudukan wanita) dan masyarakat.

4
5

BAB II - DASAR-DASAR METODE PEMIKIRAN HERMENEUTIK


TEOLOGI FEMINIS, menjelaskan latar belakang timbulnya teologi Feminis. Pengaruh
teologi Pembebasan dalam penafsiran teologi Feminis, serta mengemukakan sekilas
kritikan terhadap teologi Pembebasan. Kemudian penulis melanjutkan bab ini dengan
mengulas pemikiran dasar dan prinsip-prinsip hermeneutik dari beberapa tokoh teologi
Feminis; seperti Letty M. Russel, Rosemary Redford Ruether, Mary Daly, dan Elizabeth
Schüssler Fiorenza.
BAB III KEDUDUKAN WANITA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ALKITAB,
AGAMA DAN BUDAYA. Bab ini membahas perbedaan pandangan terhadap peranan
wanita di dalam Alkitab, baik PL atau PB dengan budaya dan agama yang ada disekitar
Kekristenan.
BAB IV - PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIK ALKITABIAH. Penulis
mengemukakan prinsip-prinsip hermeneutik alkitabiah, dan menganalisa ayat-ayat teologi
Feminis seperti Mrk 14: 3-9, Ef 5:21-23, Gal 3:23. Berikutnya diulas juga penggantian
istilah Allah - Tritunggal dan alasan teologis yang digunakan teolog Feminis dalam
menerangkan arti penggambaran Allah melalui metafora. Dan menjelaskan alasan boleh
tidaknya mengubah dan mereformulasikan nama Allah.
BAB V BEBERAPA TANTANGAN METODE HERMENEUTIK TEOLOGI
FEMINIS. Penulis mencermati timbulnya gerakan sekularisasi dalam Teologi Feminis, di
mana teologi Feminis ini mulai menggabungkan beberapa isme-isme yang menyesatkan.
Pengaruh dan kontribusi teologi Feminis dalam meresponi masalah teologi diuraikan oleh
penulis baik secara negatif ataupun positif.
BAB VI –KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI..
BAB II
DASAR-DASAR METODE PEMIKIRAN DAN
HERMENEUTIK TEOLOGI FEMINIS

A. Latar Belakang dan Asal-Usul Timbulnya Gerakan Teologi Feminis.

Pada akhir abad 20, sekitar tahun 1960an, teologi Feminis mulai bertumbuh dan
berakar dari North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology.
Ada kesamaan antara Teologi Feminis dan Latin American Liberation Theology, menurut
Stanley J. Grenz kesamaan di antara kedua teologi ini adalah pada tema utamanya yaitu
penindasan. Latin American Liberation Theology dimulai dengan berlandaskan pada suatu
pengalaman penindasan yang sangat mendalam sehingga 'penindasan' ini menuntut mereka
untuk mendapatkan pembebasan, sedang dalam gerakan Teologi Feminis landasan mereka
adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita di mana penindasan
menjadi dasar arah teologi mereka. Mereka ingin dibebaskan dari penganiayaan dan
penindasan (oleh kaum laki-laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu. 5
Pengalaman penderitaan wanita Amerika Latin dan Amerika Utara mendorong kaum
Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan meminta keadilan dalam hidup mereka.

Late twentieth century feminist theology shares certain similarities with North
American Black Theology and Latin American liberation theology. Like they, it
begins with a situation of opression, there by becoming crucial reflection on praxis
the experience of opressed persons freeing themselves from denomination.6

1. Teologi Pembebasan

Karena teologi Feminis berasal dari Teologi Pembebasan, maka alangkah baiknya
jika tulisan ini juga menyinggung tentang prinsip-prinsip dasar yang sangat penting dalam
teologi pembebasan, yang dipelopori oleh seorang pendeta Peruvian di Amerika Latin yang
bernama Gustavo Gutierrez. Ia adalah orang pertama yang mempopulerkan istilah 'Teologi
5
Sandra M. Schneiders, "Does the Bible Has a Post Modern Message?", dalam Post Modern
Theology: Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham ed., (San Fransisco: Harper and
Row, 1989) 65.
6
Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology : God and World in a Transitional
Age (Illinois: IVP, 1992) 225-226.

6
7

Pembebasan", dalam bukunya yang berjudul A Theology of Liberation, 1971. Ia memulai


sudut pandang teologinya dengan mengobservasi pengalaman hidupnya sebagai pendeta di
Amerika Latin yang menyoroti tentang tindakan penindasan, kekerasan dan ketidakadilan
terhadap orang miskin atau orang yang tertindas.
Semangat pembebasan ini dimulai pada Konsili Vatikan II 1962-1965, uskup dari
seluruh daerah Amerika Latin dan sekitarnya bertemu bersama-sama dan memecahkan
masalah-masalah sosial-politik dan mengupayakan adanya tindakan-tindakan kongkrit
yang harus dilakukan.7 Gutierrez bekerja di antara rakyat yang sangat miskin di Lima,
Peru. Ia meneliti serta memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menolong mereka.
Beranjak dari pemikiran ini ia mencoba untuk menyelesaikan penindasan dengan beberapa
teori dan ide pemikirannya. Michael Novak menyadur pemikiran Gutierrez yang dikutip
oleh Mary A. Kassian,

I discovered three things. (Firstly) I discovered that poverty was a destructive


thing, something to be fought out against and destroyed, not merely something
which was the object of our charity. (Secondly), I discovered that poverty was not
accidental. The fact that these people are poor and not rich is not just a matter of
chance, but the result of a structure. It was a structural question. (Thirdly), I
discovered that poor people were a social class. When I discovered that poverty
was something to be fought were a social class…it became crystal clear that in
order to serve the poor, one had to move into political actions.8

Fokus dari tujuan teologi Pembebasan adalah mendasarkan pemikiran mereka pada
konteks alkitabiah yang pesannya adalah untuk membebaskan manusia dari keterikatan
dunia mereka dari tindakan opresif. Letty M. Russel juga menyatakan demikian, 'hear,
understand, and accept this message of God's gift of freedom and salvation in their
lives'.9
Jadi Allah berada pada posisi membela orang-orang yang tertindas, 'God is on the
side of the opressed'.10 Gutierrez melihat bahwa perjalanan keluarnya bangsa Israel dari
Mesir dan perjalanan Kristus membebaskan manusia dari dosa "the Liberator of Sin",

7
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation, (New York: Orbis,
1973), 6-11. Lihat juga Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with
the Church, (Illinois: Crossway, 1992) 52.
8
Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with the Church,
(Illinois: Crossway, 1992) 52.
9
Letty M. Russel, Human Liberation in a Feminist Perspective: A Theology, (Philadelphia:
Westminster, 1974) 104.
10
Albert Curry, The Reformed Tradition and Liberation Theology, dalam Major Themes in the
Reformed Tradition, Donald Mc Kim ed., (Orlando: Wipe & Stock, 1998) 401.
8

menunjukkan secara jelas bahwa Allah adalah "pembebas" bangsa Israel dan masyarakat
tertindas di seluruh dunia.11 Ia juga menawarkan pengalaman sejarah secara praksis sebagai
cara berteologi yang baru.12 Karena itu ia melihat bahwa gereja memerlukan pembacaan
ulang mengenai kehidupan spiritualnya dengan bertolak dari sudut pandang si tertindas
atau orang miskin sebagai cara berefleksi yang baru.13
Penindasan menurut Gutirrez sudah bukan lagi tindakan individu tetapi sudah
merupakan suatu sistem dan terstruktur dengan baik. Ia mengusulkan agar teologi mulai
memikirkan, menganalisa dan mengusahakan suatu perbaikan dengan meminjam ideologi
dari teori komunis Marxist.14 Ia mengusulkan adanya pekerjaan penyelamatan "salvivic
work" dalam tiga tahap: pertama, pembebasan secara politik, kedua, pembebasan secara
kemanusiaan, dan terakhir, pembebasan dari dosa. Melalui hal ini semuanya dilihat bukan
hanya merupakan kesalahan individu, tetapi sudah merupakan kesalahan menyeluruh
dalam suatu struktur dan sistem masyarakat. 15 Fungsi gereja menurut dia adalah harus
membela keperluan dan memihak kepentingan kaum tertindas.

The church must become the church of the poor. Neutrality is impossible. Not to
side with the poor is side with those who opress them. …what is needed is the
"conversion" of the church, a conversion from the side of the powerful to the side
of the powerless. 16

11
Gustavo Guiterrez, A Theology of Liberation: Historiy, Politics and Salvation, (New York:
Orbis, 1973) 155-159.
12
Rebeca S. Chopp, Latin American Liberation Theology, dalam, The Modern Theologians: An
Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century, David F. Frod ed. (New York: Basil
Blackwell, 1989) 182.
13
Ibid.
14
Albert Curry Winn, 402.
15
Ibid 403.
16
Ibid.
9

Pusat refleksi teologi Gutierrez adalah pada orientasi 'orthopraxis'17 bukan pada
'orthodoxy'. Pada awal bukunya A Theology of Liberation ia menjelaskan, ia bukannya
menentang atau menolak ortodoksi tetapi ia lebih melihat bahwa ortodoksi sudah tidak
dapat lagi berbicara banyak untuk menolong situasi dunia saat itu, yaitu penindasan. Ia
melihat gereja sudah mulai "mandul" dengan meninggalkan dan lupa pada panggilannya
untuk membela dan bergerak secara nyata mengejawantahkan pentingnya memiliki
pendirian ortopraksis.18

2. Kritik terhadap Teologi Pembebasan

Teologi Pembebasan sangat menekankan "human experience" khususnya


pengalaman manusia yang ditindas, perspektifnya sangat anthroposentris. Penilaian teologi
pembebasan ini tidak obyektif, pertama, karena teologi ini mengamati dan menafsirkan inti
sari ajaran Alkitab dengan konteks sisi masyarakat yang tersisih atau tertindas dan
teristimewa terjadi di negara Amerika Latin.19 Apakah Allah hanyalah Allah yang memihak
kaum tertindas? Tidakkah Allah juga mencintai orang yang menindas? KasihNya tak
memihak pada salah satu kaum saja? Lihatlah apa yang dikerjakan Tuhan Yesus di dunia, ia
memberi pengampunan bukan hanya kepada kaum tertindas, tetapi juga kaum penindas,
pemungut cukai, orang Farisi, dll.
Kedua, teologi pembebasan terlalu memaksakan diri untuk dapat memasukkan
ajaran utama mereka sebagai suatu penyelesaian yang "final", dengan memakai metode
"praxis-historical-approach".20

17
Rene Latourella, Reno Fisichella, ed., Dictionary of Fundamental Theology, (New York|:
Crossroad, 1994).

/orthopraxis/ The word "orthopraxis" comes from the Greek words /orthe/ "right" or "correct"
and praxis, "deed", "action", or "practice". Orthopraxis is evidently meant to be understood in
comparison with orthodoxy. If orthodoxy concerns correct belief, orthopraxis is directed to correct
action…doctrine (othodoxy) must prove its truth in practice (orthopraxis). Practice must be informed by
doctrine and give rise to further doctrinal reflection.
(secara singkat dapat diterjemahkan demikian: Ortopraksis adalah ditujukan secara langsung
kepada tindakannya, artinya semua doktrin itu diterapkan dalam setiap aspek kehidupan dan dapat
dibuktikan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan kebaikan, kalau ortodoks itu hanya berorientasi
kepada teori-teori pengajaran tetapi ortopraksis berkaitan langsung dengan prakteknya dalam kehidupan
kita sehari-hari. Kebenaran ortodoks itu hanya benar jika melakukan kebenaran ortopraksis).
18
Gustavo, 10.
19
Gustavo, 13-15.
20
Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology,
(Michigan: William B. Eerdmans, 1991), 15.
10

Ketiga, pembebasan yang ingin mereka dapatkan adalah pembebasan secara


"utopia" mencapai masyarakat tanpa penindasan. Hal ini sangatlah tidak mungkin
dilaksanakan karena bertentangan dengan Alkitab itu sendiri, Yesus mengatakan,
"kemiskinan akan selalu ada padamu" (Mrk 14:7, Yoh 12:8). Masalah utamanya bukan
pada kemiskinan atau penindasan tetapi mengapa ada kemiskinan atau penindasan.
Jawaban dari akar pertanyaan itulah yang akan menentukan penyelesaian secara tuntas
tentang penindasan atau kemiskinan. Jawabannya sudah sangat gamblang dijelaskan dalam
Alkitab. Akar permasalahan dari kemiskinan atau penindasan, menurut Alkitab adalah
karena "The Fall" -kejatuhan manusia dalam dosa. Dan penyelesaian masalah dosa hanya
ada satu jalan yaitu melalui darah AnakNya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus (Mat 5-7).
Manusia memerlukan anugerah Allah bukan usaha dari kemampuan manusia sendiri (Ef
2:8-10).
Keempat, teologi Pembebasan mengatakan bahwa teologi haruslah yang
mengedepankan dan menomorsatukan "Critical Reflection-Orthopraxis" dan menomor
duakan "Critical Cognition-Orthodoxy".21 Mereka tidak puas hanya dengan "Church
Dogmatic's Karl Barth" atau "Tillich's Systematic Theology" berteologi "from above",
mereka menawarkan cara baru dalam berteologi yaitu teologi "from below".22
Kelima, pengaruh dari ajaran Karl Marx yang sudah nyata menyatakan warna
"atheis" dalam teori komunisnya, tidak di"filter" dengan sungguh-sungguh. Akibatnya titik
awal dan titik akhir dari teologi pembebasan adalah "human centered ability"23 sehingga
mau tidak mau akan menyingkirkan peranan Allah dalam menjalankan ideologinya. Tidak
ada konsep tentang kerusakan total manusia karena adanya dosa dan tidak ada konsep
bahwa manusia tidak membutuhkan anugerah Allah. Manusia baru atau kemanusiaan baru
yang diinginkan oleh teologi pembebasan adalah ciptaan manusia sendiri bukan karya
Allah, 2 Kor 5:17.

21
Gustavo, 11.
22
Daniel L. Migliore, 16.
23
Donald Mc Kim, 410. Albert Curry Winn mengikuti perkataan dari Guiterrez,"The main
problem, however lies in the second point: Liberation for the self-development of a new humanity. …"
man, the master of his own destiny"; "Liberation from all that limits or keeps man from self-fulfillment";
"liberation from all impediments to exercise of his freedom"; "man constructs himself"; "man makes
himself throughout his own destiny"; "the goal is the creation of a new man".
(Problema utama terletak pada poin ke dua: pembebasan untuk kemajuan diri dari kemanusiaan
yang baru "manusia tuan atas dirinya sendiri"; "pembebasan dari hal-hal yang membatasi atau menjaga
manusia dari pemenuhan diri"; "pembebasan dari semua hal menyulitkan untuk melatih kebebasannya"; "
manusia membentuk dirinya sendiri"; "manusia membuat dirnya melalui nasibnya sendiri"; "tujuannya
adalah penciptaan manusia baru").
11

Keenam, teologi pembebasan perlu diakui berhasil dalam mengingatkan gereja akan
kesadaran berteologi dengan perspektif hermenetik baru, yaitu "hermeneutical suspicion"
dan "hermeneutical priviledge of the poor". Teologi adalah "the Word of God must guide
praxis" bukan sebaliknya "praxis guides the Word of God". Firman menuntun tingkah laku,
Allah menuntun manusia, bukan tingkah laku menuntun Firman atau manusia menuntun
Allah. Jadi "the Living Word" Firman yang hidup bukan hanya dimiliki secara pengertian
tetapi di dalam Alkitab dijelaskan bahwa Firman itu Hidup di dalam kehidupan praksis
orang percaya. (Yoh 6:35, 48, 51. 14: 6, Kis 5:20)
Teologi Reformasi percaya bahwa "theology written in books must be written in
lives", the truest true test of a person's faith being love for the neighbor". (Calvin
Commentary Habakuk 2:6, lecuture 111).24 Sejarah gereja membuktikan bahwa perjalanan
Teologi Reformasi nyata sekali melibatkan diri dalam peranannya mengentaskan
kemiskinan, mulai dari John Knox, John Huss, Luther, dan terutama Calvin sangat nyata
terlihat dalam bukunya Institutio, ia menuliskan pembelaan imannya kepada Raja Perancis
jaman itu, King France I. Belum lagi bagaimana beratnya perjuangan para reformator
dalam upaya menelorkan suatu pengakuan iman mulai dari pengakuan iman Nicea sampai
pengakuan iman Westminster. Semua ini merupakan partisipasi para teolog 'Reformed'
untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada saat itu, menegakkan keadilan,
kebenaran, dan menolong kaum tertindas, tersisih, teraniaya, dan terbuang.25

3. Awal Merebaknya Gerakan Teologi Feminis

Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari


mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis.
Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia,
khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak
awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum
wanita diakui dan dilegalitaskan di Amerika dalam undang-undang.26 Lalu mulai ada
beberapa penulis wanita merasa terbeban dalam mengembangkan dan memperluas
pengaruh gerakan Feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti

24
Albert Curry, 412.
25
Donald Mc Kim, 407.
26
Grenz, 20th Century Theology, 225.
12

pengaruh 'patriarchal' yang ada di dalam Alkitab dan penafsiran tradisi gereja secara socio-
cultural dalam hal ini khususnya konsep Allah Tritunggal.
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis ini antara lain, Elizabeth
Schüssler Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of
Christian Origins 1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex
(1968) dan Beyond God the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human
Liberation in a Feminist Perspective - A Theology dan Feminist Interpretation of the
Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and God-Talk: Toward
a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice (1985), Virginia Ramey
Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as
Female, dan lain-lain.

4. Tiga Langkah Pengembangan dan Pendekatan Teologi Feminis

Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah yang selalu dipakai dalam berteologi;
pertama, kritiknya dimulai dari peristiwa masa lampau - suatu penyembuhan dari ingatan
bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa lampau yang dilakukan oleh
kaum laki-laki ‘patriarchal’,27 tradisi gereja dan budaya. Kedua, mencari alasan, istilah
dan alternatif lain untuk mendukung gerakan mereka yang disesuaikan dengan keinginan
mereka, bisa diambil dari Alkitab dan dari luar Alkitab. Ketiga, mereka mengembangkan
metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai dengan lingkup dunia wanita.28
Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme melihat teologi sebagai
refleksi dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas
oleh kaum laki-laki. Semua pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman
'praxis' wanita, bukan bersumber utama kepada gereja, Alkitab atau tradisi gereja. Sama
seperti Stanley J. Grenz yang mengatakan, “That this foundational step came last is no
accident, for feminist theology, sees theology as reflection on the process of
reconstructing Christian belief and life on the basis of women’s experience.” 29
Salah satu tokoh teolog Feminis, Rosemary Radford Ruether, mengevaluasi para
Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus, Socrates, Plato, Philo, dll.,
mereka hanya menghargai keberadaan kaum laki-laki sebagai ‘the Image of God’
sedangkan wanita bukan ‘the Image of God’, Thomas Aquinas menghargai wanita sebagai
27
Lihat footnote no.2.
28
Grenz, 225.
29
Ibid 227.
13

seorang laki-laki yang dilupakan dan Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status
wanita di dalam gereja, bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian
dengan Allah menduduki tempat nomer dua. 30 Chrysostom sependapat dengan Agustinus
bahwa hanya manusia khususnya laki-laki yang sesuai dengan ‘image of God’ karena itu
laki-laki mempunyai otoritas dan wanita tidak, 'Then why is the 'man' said to be in the
'image of God' and woman not? …'image' has rather to do with authority, and this only
the man has; woman has it no longer.' 31
Berdasarkan kutipan di atas, dasar kritik hermeneutik teologi Feminis tidak
mempunyai pijakan yang kokoh karena mereka menyandarkan penafsiran teologinya
dengan kacamata praktis-historis yaitu pengalaman hidup bapa-bapa gereja dijadikan olok
ukur, dalam mengerti konsep pemahaman tentang ajaran atau doktrin Allah tidaklah
diperbolehkan memakai metode penafsiran secara praktis saja.
Ruether mengatakan bahwa kekristenan sudah mewarisi suatu sistem dualisme yang
sangat kental yang sudah mengotori dasar pemikiran Alkitab baik secara epistimologi,
moral atau ontologi.32 Ia mengatakan bahwa pemikiran ini sudah meresap sampai ke tulang
sumsum tradisi penulisan Alkitab.
Kalau dicermati sebenarnya teologi Feminis mengalami kesulitan dalam menentukan
otoritas dan ketetapan pandangan teologi mereka sendiri, jika mereka hanya mengandalkan
pengalaman ‘womenhood’nya saja, ini berarti hermeneutik mereka sudah 'dead lock'
tertutup dari segala sudut pandang hermeneutik lainnya. Metode yang digunakan
Feminisme sangat tidak obyektif, karena tolok ukurnya adalah pengalaman praksis yang
sempit (khusus) dunia wanita, mereka secara tidak langsung menolak metode di luar
metode milik mereka. Grenz mengatakan, "The heart of the difficulty lies in feminist
theology’s view of authority, a view that actually amounts to rejection of any authority
except that exercised by feminist consciousness.33
Artikel Betty Talbert-Wettler menerangkan bahwa untuk mengerti apakah
Feminisme itu sekuler atau tidak, gereja wajib mengerti dan memahami presaposisi
mereka. Inilah beberapa presaposisi yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler, “The use of

30
Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston:
Beacon, 1983) 193-194.
31
Janet Martin Soskice, Can A Feminist Call God “Father” ?, di dalam Speaking the Christian
God: The Holy Trinity and Challenge of Feminism, ed. oleh Alvin F. Kimel, Jr., (Michigan: WM B.
Eerdmans, 1992) 85.
32
Rosemary Radford Ruether, Liberation Theology: Human Hope Confronts Christian History
and American Power (New York: Paulist Press., 1972) 16.
33
Stanley J. Grenz, 234.
14

the phrase “secular feminist religious philosophy” limits the subject to deal with those
feminists who accept the following presuppositions" :
1. Christianity is at its core a patriarchal system that oppresses women.
2. “Masculine symbolism for God reinforce sexual hierarchy, placing men in an
unbalanced position of authority over women.”
3. Christ is a distinctly male image, symbol of methapor for God. Christ as a
male symbol, metaphor, or role model is incompatible with women’s religious
needs.
4. Women must be “liberated” from an opressive male society based upon
different values than those traditionally offered by “male philosophy” of “male
religion.”34

(Arti kutipan di atas dapat dimengerti dalam terjemahan seperti di bawah ini:
1. Feminis melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat ‘patriarchy’ yang
menindas wanita.
2. Simbol ‘maskulin’ untuk Allah menguatkan sistem hirarki secara seksual,
menempatkan kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.
3. Simbol, metafor dan gambaran Kristus sebagai laki-laki tidak cocok dengan
kepentingan religi wanita.
4. Wanita harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki-laki baik secara
teologis dan sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang
berdasarkan pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat
‘patriarchy’.)

B. Prinsip-Prinsip Hermeneutik Teolog Feminis

Hermeneutik Feminis sebenarnya memuat hampir semua prinsip penting


hermeneutik yang sudah ada, pada tingkat pertama atau tingkat teoritis teolog Feminis
menawarkan suatu model hermeneutik secara 'socio-critical'.35 Hermeneutik 'Socio-critical'
adalah metode prinsip penafsiran teks Alkitab yang dibuat untuk mempromosikan dan
melegalkan kaum 'kedua' yaitu kaum wanita yang mengalami penindasan dalam kehidupan
sosial tatanan masyarakat yang dikuasai oleh sistem 'patriarchal'. Tujuan kritik terhadap
prinsip hermeneutik Feminis ini adalah untuk membuka tabir 'pelegalitasan' fungsi sosial
yang menindas dan menekan hak-hak wanita yang dipinggirkan.

34
Betty Talbert-Wettler, Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity, (San Diego:
EVSJ, 1995) 78-79.
35
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publ., 1992)
430.
15

Hermeneutik Feminis ini menyimpan suatu perasaan yang menaruh semacam


'kecurigaan' atau bahkan boleh disebut 'dendam' terhadap konstruksi yang ada dalam
kehidupan manusia di dunia khususnya pengaruh sistem 'kebapakan' dalam tradisi gereja,
teks Alkitab, yang tidak memberikan kenetralan dalam pemakaian penafsirannya.36

1. Letty M. Russel

Letty M. Russel mengatakan bahwa berita Kitab Suci dapat menjadi firman yang
membebaskan bagi mereka yang mendengar dan bertindak dalam iman. Namun, berita
Kitab Suci ini perlu dibebaskan dari penafsiran seksis yang mendominasi pikiran dan
tindakan kita. Hal ini diungkapkan di dalam bukunya The Liberating Word: A Guide to
Non-Sexist Interpretation of the Bible, yang diterbitkan tahun 1976 oleh satu tim kecil
dari The National Council of the Church of Christ (NCCC) yang bertugas khusus
membahas seksisme di dalam Kitab Suci. Sebenarnya buku sederhana ini sangat kurang
'matang' kalau dipakai sebagai pedoman penafsiran Alkitab secara menyeluruh. Dalam
bukunya itu Letty Russel berpendapat bahwa Kitab Suci perlu dibebaskan bukan saja dari
tafsiran-tafsiran yang telah ada, melainkan juga dari bias patriarkal yang ada di dalam teks
Kitab Suci itu sendiri. Ada dua prinsip hermeneutik penting yang ingin dipaparkan oleh
Letty Russel, pertama 'Firman yang Membebaskan', kedua, 'Firman yang Dibebaskan'. 37
Perjalanan gerakan Feminis ini berhasil menembus ke seluruh aspek kehidupan
sosial masyarakat khususnya di Amerika, mereka berhasil merevisi Alkitab bahasa Ibrani
menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan konteks pemikiran Feminis, kemudian
NCCC Amerika pun mengikutsertakan tokoh-tokoh kaum Feminis dalam merevisi ulang
Kitab Suci RSV (Revised Standard Version). Kemudian satu komisi: Phylis Bird, Cheryl
Exum dan Katherine Sakenfield bekerja sama dengan NCCC menerbitkan An Inclusive
Language Lectionary (Daftar buku bacaan Kitab Suci dalam bahasa Inklusif) untuk
digunakan dalam kebaktian dan khotbah.38
Prinsip-prinsip hermeneutik Feminis dimulai dengan kesadaran yang meliputi banyak
macam unsur. Feminisme mengandung unsur pluralisme sebagaimana terdapat di dalam
penafsiran aliran apapun yang kaya dan rumit, misalnya penafsiran terhadap manusia dan
dunia ini. Namun ada beberapa keyakinan pokok yang setidak-tidaknya disetujui oleh
36
Ibid 432.
37
Letty M. Russel ed., Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Bandung- Jakarta: BPK Gunung Mulia
dan Kanisius, 1998) 11. Dapat dilihat juga dalam buku versi aslinya The Liberating Word, 4-15.
38
Letty M. Russel, 13.
16

sebagian besar oleh teolog Feminis, termasuk di dalamnya Letty Russel sendiri. Margareth
A. Farley mengatakan, "(1) the principle of equality (women and men are equally fully
human and are to be treated as such) and (2) the principle of mutuality (based on a view
of human persons as embodied subjects, essentially relational as well as autonomous and
free)." 39
Tafsiran teologi Feminis dan tafsiran Teologi Pembebasan sama-sama mempunyai
usaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman "penindasan", bagi teolog Feminis
penindasan ditujukan khususnya pada pandangan dunia patriarkal yang tidak akan pernah
selesai karena kisah-kisahnya secara terus-menerus dibentuk oleh pandangan itu. Jika
demikian apakah harapan mereka mengenai Firman yang dibebaskan merupakan harapan
yang sia-sia? Mungkin jawabannya adalah Firman Allah tidak sama dengan teks Kitab
Suci. Cerita di dalam teks-teks Alkitab dialami sebagai Firman Allah pada saat cerita itu
didengar di dalam komunitas orang beriman yang bergumul sebagai saksi atas kasih Allah
terhadap dunia ini. Ini pun merupakan karunia Roh Kudus. Dialah yang menghidupkan
kata-kata sehingga kata-kata itu mengubah kehidupan si pendengar. Dalam proses
pendengaran yang baru, tradisi Alkitab dan tradisi gereja senantiasa membutuhkan kritik
dan tafsiran baru, jika tradisi itu ingin dibebaskan sebagai saksi di dalam situasi, perspektif,
serta tantangan-tantangan baru.40
Kunci lainnya ialah pembebasan merupakan proses yang berlangsung terus menerus,
suatu proses yang diungkapkan dalam dinamika karya penciptaan baru Allah. Penciptaan
baru ini sudah terwujud, namun belum sepenuhnya sempurna. Firman sudah dibebaskan
ketika Firman itu bersaksi untuk tindakan pembebasan Allah dalam kisah Israel dan Yesus
Kristus. Firman itu senantiasa perlu dibebaskan dari keterbatasan-keterbatasan historisnya
sendiri, sama seperti firman itu perlu dibebaskan dari keterbatasan-keterbatasan para
penafsirnya. Suatu saat firman itu akan dibebaskan, ketika firman Allah digenapi di dalam
ciptaan baru, saat segala sesuatu berada sesuai dengan kehendak Allah.41
Proses pembebasan ini biasanya melibatkan empat penekanan: 1) Para penafsir
teolog Pembebasan dan Feminis berjuang secara kritis terhadap teks. Semua sumber
terbaik digunakan untuk memungkinkan mereka memahami berita teks itu dalam horizon
pengharapan alkitabiah maupun dalam horizon situasi yang sedang dihadapinya. 2) Mereka
menaruh perhatian khusus terhadap konteks berita itu dan para pendengarnya. Sama
39
Margareth A. Farley, Feminist Consciousness and Interpretation of Scripture, ed. Letty M.
Russel, Feminist Interpretation of the Bible, (Philadelphian: The Westminster Press, 1985) 45.
40
Letty, 18-19.
41
Ibid.
17

seperti penerjemahan, penafsiran merupakan rekonstruksi makna secara kreatif. 3) Bagi


para Feminis, makna ini muncul secara nyata dan jelas melalui komunitas yang berjuang
untuk mengatasi dominasi dan dehumanisasi atas setengah penduduk dunia. 4) Penafsiran
dipahami sebagai tindakan yang lahir dari komitmen mereka yang miskin dan tersisih.
Kabar Baik disampaikan kepada mereka yang miskin dan tersisih sebagai suatu jalan untuk
memahami horizon pengharapan akan Penciptaan Baru Allah.42
Dasar dari tujuan teologi Pembebasan Feminis adalah "freedom". (Walaupun dalam
prakteknya di antara kaum Feminis sendiri pengertian "freedom" rancu.) Ia mengeluarkan
pernyataannya ini berdasarkan Roma 8:22-23. Di mana Paulus menggambarkan bahwa
seluruh dunia sedang dilanda kesakitan menantikan pembebasan. Letty juga memakai
peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir sebagai dasar pembebasan wanita dari
perbudakan laki-laki. 43
Kesadaran Feminis membuka jalan bagi kaum perempuan untuk mengakui
adanya hal-hal esensial kemanusiaan, sebagaimana telah dijelaskan di dalam filsafat
Pembebasan modern, yaitu otonomi individu dan kemampuan untuk memilih dengan
bebas. Jika hal-hal ini diakui sebagai hal esensial bagi perempuan seperti bagi laki-laki,
konsekuensinya ialah bahwa perempuan juga harus dihargai sebagai "tujuan", bukan
sekedar "alat". Kepentingan dan maksud mereka harus dihargai sama tingginya dengan
kepentingan laki-laki.44
Menurut Letty M. Russel, tujuan final yang 'ultimate' dari gerakan feminis adalah
merealisasikan kemanusiaan yang baru, "the final and ultimate goal of liberation (feminist
theology) that was the realization of a new humanity." 45 Teolog Feminis mempunyai visi
baru untuk jaman baru dalam memperbaharui dunia dan masyarakat lama.

In its state of mortality and decadance all the universe longs for the fulfillment of
God's new creation when all parts will be born again in harmony, when the New
Age promised by God and begun in Jesus Christ will be fulfilled…. When the end
and goal of this action is completed, Christ will hand himself and all things back to
God. 46

42
Ibid.
43
Mary A.Kassian, The Feminist Gospel: The Movements to Unite Feminism with the Church,
(Illinois: Crossway Books, 1992) 55-56.
44
Margareth A. Farley, 41.
45
Letty M. Russel, Liberation Theology, 126.
46
Ibid 34, 77.
18

Letty Russel maupun Rosemary Ruether membangun teologinya dengan bersandar


pada dua tema besar dan utama dari kerangka Alkitab, Pembebasan dan Keuniversalan.
"…Letty identified two majors motifs or themes of the Bible, Liberation and
Universality".47 Pembebasan sebagai kerangka yang menggaris bawahi teologi Feminis,
"They viewed liberation as the essensial crux for Scriptural interpretation,". Analisa
teologinya juga dimulai dari "woman-centered analaysis of …women's experience".48
Ia percaya bahwa Allah mempunyai rencana keselamatan secara eskatologi bukan
hanya bagi orang Kristen saja tetapi teristimewa bagi mereka yang memperjuangkan
pembebasan wanita dari segala macam penindasan, ia percaya bahwa semua manusia akan
menerima perjanjian Pembebasan dari Allah dengan merealisasikan kemanusiaan baru,
masyarakat baru, dan jaman baru.49
Metodologi teologi Feminis Russel, didasarkan pada presaposisi sifat dinamis dari
penafsiran pewahyuan. Russel menyebut metodologinya "critical reflection". Jadi teologi
Feminis menurut Russel harus memulai pengertian teologinya dengan pengalaman personal
wanita. Ia mengusulkan agar Teolog Feminis menggunakan logos (mind) dalam perspektif
God (Theos). Ia menyebut metode teologinya sebagai metode "logy-theo", dimulai dari
logos-mind milik wanita yang dialami secara individu lalu dengan pengalaman itu mereka
melihat dan menafsir 'revelation' atau "Allah".50 Keselamatan dianggap sebagai gerakan
pembaharuan sosial saja. "Too Feminist, salvation, was viewed as a social as well as
individual event."51
Walaupun demikian Letty M. Russel masih mempertahankan teks Alkitab sebagai
dasar berteologinya. Ia mengatakan, "Alkitab tetap menjadi Firman yang membebaskan
pada saat orang percaya mendengarkan dan berusaha menghayatinya bersama orang lain.
…meskipun teks Alkitab bersifat patriak, saya tidak berniat mengabaikan Alkitab sebagai
dasar dalam berteologi."52 Tetapi ditulisan selanjutnya ia berkata, "barangkali akan lebih
bermanfaat untuk tidak bersandar pada Alkitab sebagai sumber normatif bagi teologi saya.
Namun agaknya hal itu tidak dapat saya lakukan."53
Letty Russel mengungkapkan bahwa penafsiran Feminis tidak menerima otoritas
yang mendukung sistem patriark. Jika Alkitab sendiri mendukung sistem ini maka secara
47
Mary A Kassian, 93.
48
Mary A. Kassian, 89.
49
Mary A. Kassian, 93.
50
Ibid 90.
51
Ibid 92.
52
Letty, 151.
53
Ibid 153.
19

tegas teologi Feminis menolaknya. Yang paling berbahaya menurut Rusel adalah apabila
Alkitab disebut "Firman Allah" dan mengganggapnya pengilhaman dari Allah sehingga
apapun yang kita baca dari Alkitab selalu benar.54
Penulis melihat bahwa hermeneutik Letty M. Russel menghadapi keadaan yang
sulit dan dilematis. Hal ini disebabkan kepercayaan Russel pada Alkitab (Firman Allah)
sebagai otoritas tertinggi kurang kokoh dan perlu diragukan. Ia memegang Alkitab sebagai
acuan dasarnya (ia tak mau meninggalkan atau membuang Alkitab) tetapi ia juga
memegang metode penafsiran yang mengunggulkan "women experience-centered". Jadi
jika Alkitab tak sesuai dan membela kaum kebapakan dan menindas kaum perempuan, ia
akan menolak Alkitab! Terlihat ia tetap menomorduakan Alkitab.
Setelah memahami pikiran dan ulasan pendirian teolog Feminis, Letty M. Russel,
maka tiba saatnya penulis akan menguraikan konsep-konsep pemikiran Rosemary Radford
Ruether.

2. Rosemary Radford Ruether

Latar belakang kehidupan Ruether mempunyai dampak affektif dalam


pemikirannya, maka penulis ingin menguraikan dengan singkat 'background' kehidupan
tokoh Feminis ini. Ayahnya adalah seorang Anglikan, Republikan, dan kaum ningrat di
Virginia. Dia pernah ikut perang dunia kedua, dan meninggal waktu Ruether berumur
sebelas tahun. Pada saat itu, keluarganya menjadi keluarga yang bercorak "community of
mother and daughters who had to make it together." 55 Pengaruh masa lalu inilah yang
mendidik Ruether menjadi seorang wanita berfigur tegar dan mampu berdiri sendiri. Hal
ini disebabkan oleh didikan ibunya agar menjalani kehidupan dengan perjuangan keras. Ia
akhirnya belajar di sekolah Katolik di mana kepala sekolah, guru sampai semua pekerja-
pekerja administrasinya perempuan. Tidak ada seorang laki-laki pun di dalam kelas dan
lingkungannya, pendeta pun jarang sekali datang. Setelah ia menapaki keberhasilan dalam
studinya sehingga ia berhasil meraih gelar, B.A., M.A. dan Ph. D. (desertasinya tentang
'klasik dan patristik'). Perubahan pemikirannya mulai tampak saat ia hamil dan secara
biologis ia merasakan hal-hal yang membatasi dirinya sebagai wanita, yang memang pada
hakekatnya harus hamil dan melahirkan anak. Sedang dari sisi yang lain ia mendapatkan

54
Ibid 154.
55
Rosemary R. Ruether, Disputed Question: On Being a Christian, (New York: Orbis Book,
1989) 101.
20

hal yang menakjubkan dari masa kehamilannya. Kemudian pengalaman hidupnya ini
dijadikan semacam metode penafsiran kehidupan secara umum dan secara khusus dalam
bidang hermeneutik kritik sosial Alkitab.56
Mary A. Kassian melihat bahwa perkembangan pemikiran hermeneutik teologi
Feminis Ruether ini dapat dilacak pada tiga bab permulaan bukunya. Ia seorang
perempuan yang unik, tidak pernah mengikatkan atau memegang satu wujud komitmen
kesetiaan pada satu bentuk agama, seperti Katolik yang ia anut, dasar pemikiran
teologisnya lebih dititikberatkan pada perspektif analisa klasik dan perspektif kegiatan
sosial daripada sudut pandang relasi antara Allah dengan pribadinya sendiri.57 Ia juga
sangat menentang pemikiran Feminis yang radikal seperti Mary Daly. "Ruether regarded
Mary Daly and the other secular feminist who were at that time beginning to explore
feminist spirituality as "radical" and "countercultural" extremist". 58 Sebaliknya ia
menyebut dirinya dan teolog Feminis yang sealiran dengannya sebagai "Rational
Reformists".59
Sudah sering dikatakan bahwa teologi dan teori penafsiran Feminis bersumber dari
pengalaman perempuan. Namun, makna pernyataan ini tidak jelas seluruhnya. Di dalam
teologi tradisional, ada asumsi umum bahwa setiap pengalaman, termasuk "pengalaman
perempuan", adalah sumber ide yang subyektif belaka dan terikat pada kebudayaan
setempat. Dengan demikian pengalaman tidak dapat dibandingkan dengan obyektivitas
Kitab Suci yang menyingkapkan "firman Allah" di luar, di atas, dan menentang
subyektivitas pengalaman dan hasrat manusia yang penuh dosa. Sebagai sumber terbatas
dan kontemporer, pengalaman tidak dapat dibandingkan dengan tradisi teologis yang
sudah dikumpulkan berabad-abad. Benar-benar keterlaluan jika kita mengusulkan bahwa
pengalaman perempuan dapat digunakan untuk menilai Kitab Suci dan tradisi teologis. 60
Selain meremehkan perempuan, komentar seperti itu sebenarnya salah dalam
memahami peranan pengalaman manusia dalam pembentukan Kitab Suci dan tradisi
teologis. Pengalaman manusia merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran
penafsiran. Tradisi yang sudah tersusun rapi mempunyai akar di dalam pengalaman dan
terus menerus diperbarui melalui ujian pengalaman. Pengalaman meliputi pengalaman akan
hal yang ilahi dan pengalaman akan diri sendiri, dalam hubungannya dengan masyarakat
56
Ibid 54.
57
Mary A. Kassian, 236.
58
Ibid Rosemary, Dispute Question, 134.
59
Ibid 237.
60
Letty Russel, (BPK -Kanisius) 119.
21

dan dunia ini, dalam interaksi dialektik. Simbol-simbol, rumusan-rumusan, dan hukum-
hukum diterima atau ditolak berdasarkan kemampuannya untuk menerangi dan
mengartikan keberadaan sehingga keberadaan dialami sebagai hal yang bermakna. Sistem-
sistem kewibawaan berusaha membalik hubungan ini dan membuat tradisi mendiktekan
baik apa yang patut dialami maupun bagaimana pengalaman ini patut ditafsirkan. Padahal
hubungan antara tradisi dan pengalaman terbalik. Apabila suatu simbol (tradisi) tidak
bermakna autentik bagi pengalaman, simbol ini akan mati dan disingkirkan atau diubah
untuk memberi makna baru.61
Dengan demikian, hal baru dari hermeneutik Feminis bukanlah bahwa pengalaman
dijadikan konteks penafsiran, melainkan bahwa pengalaman perempuan kini turut
diperhitungkan. Ini karena pengalaman perempuanlah yang telah diabaikan dalam
hermeneutik dan refleksi teologis di masa lalu, yang dilakukan dengan cara melarang
perempuan dalam mempelajari dan mengajarkan tradisi teologis. Perempuan telah dicegah
dalam mengikutsertakan pengalaman mereka ke dalam perumusan tradisi. Perempuan telah
disingkirkan dari upaya pembentukan dan penafsiran tradisi yang didasarkan pada
pengalaman mereka sendiri. Lebih dari itu, tradisi telah dibentuk dan ditafsirkan
sedemikian rupa sehingga menentang perempuan. Tradisi telah dibentuk untuk
membenarkan penyingkiran perempuan. Jejak-jejak kehadiran mereka telah dibenamkan
dan dihapus dari ingatan jemaat. Para penafsir tradisi - kaum laki-laki - mempunyai bias
androsentrik. Mereka menganggap kelaki-lakian sebagai ukuran normatif bagi
kemanusiaan. Bias androsentrik mereka tidak hanya menghapus kehadiran perempuan
dalam sejarah jemaat di masa lalu, tetapi membungkam pertanyaan-pertanyaan mengenai
ketidakhadiran perempuan. Kita bahkan tidak dimungkinkan untuk menyadari atau
memperhatikan ketidakhadiran perempuan, karena kebisuan dan ketidakhadiran mereka
sudah menjadi suatu norma.62
Jadi sikap kritis terhadap tradisi dalam konteks pengalaman perempuan bukan
sekedar menambahkan suatu sudut pandang baru kepada sudut pandang yang sudah ada.
Pengalaman perempuan adalah kekuatan kritis yang mampu membuktikan adanya
kesalahan dalam teologi klasik. Pengalaman perempuan menelanjangi teologi klasik,
termasuk tradisi dasarnya dalam Kitab Suci sehingga tersingkap bahwa teologi ini telah
dibentuk oleh pengalaman laki-laki, bukan oleh pengalaman manusiawi. Pengalaman

61
Rosemary Radford Ruether, Feminist Interpretation: A Method of Correlation, ed. Letty M.
Russel, (Philadelphia: The Westminster Press, 1985) 111.
62
Letty Russel, (BPK-Kanisius), 121.
22

perempuan mampu membongkar bias androsentrik yang tersembunyi di balik rumusan-


rumusan asli dan penafsiran tradisi. Bias androsentrik tidak lagi dapat bersembunyi di balik
misteri kewibawaan ilahi. Universalitas dari tuntutan tradisi kini dipertanyakan.63
Perempuan di dalam kebudayaan patriarkal dikepung oleh pesan-pesan yang
menegatifkan atau meremehkan keberadaan mereka. Tubuh seksual mereka dianggap
ancaman berbahaya bagi kemurnian laki-laki dan menjadi alasan untuk membenarkan
aniaya verbal dan fisik terhadapnya. 64
Peremehan ini "dibenarkan" dengan alasan bahwa perempuan mempunyai
kebodohan bawaan, tidak terdidik, tidak berwibawa, tidak bisa menjadi seorang pemimpin,
dan tidak mampu membuat pemahaman-pemahaman penting. Jadi mereka diasingkan dari
pikiran mereka sendiri, diasingkan dari kemampuan untuk mempercayai persepsi mereka
sendiri. Semua penilaian atas tubuh dan pikiran perempuan ini pada gilirannya digunakan
untuk membenarkan penyingkiran perempuan dari kesempatan-kesempatan kultural dan
kepemimpinan. Akhirnya, perempuan diminta untuk menerima hal ini sebagai sanksi moral,
alamiah dan suci.65
Pengalaman perempuan adalah kunci untuk hermeneutik atau teori penafsiran. Yang
kami maksud adalah pengalaman yang muncul pada saat perempuan menyadari
pengalaman penyesatan dan pengasingan yang dipaksakan kepada mereka oleh
kebudayaan yang didominasi laki-laki. Dalam maknanya, pengalaman perempuan pada
dirinya sendiri merupakan suatu peristiwa anugerah, yaitu pembebasan dari luar telah
menerobos masuk ke dalam konteks kebudayaan patriarkal dan memampukan perempuan
mengeritik dan menentang penafsiran-penafsiran androsentris tentang siapa dan bagaimana
mereka. Sikap ini menegatifkan dan meremehkan perempuan sebab bertentangan dengan
keautentikan kemanusiaan perempuan. Mereka lalu menemukan sudut pandang alternatif
dalam refleksi mereka bersama atas pengalaman ini. Mereka mengafirmasikan tubuh dan
pengalaman tubuh mereka sendiri sebagai hal yang baik dan normatif untuk mereka dan
bukan sebagai hal yang menyimpang. Mereka merasa yakin bahwa mereka sehat, cerdas
dan tidak bodoh. Dengan menerima kuasa pembebasan dan afirmasi diri ini, mereka
mampu menilai dan juga membebaskan diri sendiri dari kebudayaan yang menegatifkan
mereka.66

63
Ibid.
64
Ibid 113.
65
Ibid 114.
66
Letty Russel, (BPK-Kanisius) 123.
23

Jelaslah bahwa yang kami maksudkan dengan pernyataan "pengalaman perempuan"


adalah kunci penafsiran bagi teologi Feminis yaitu terjadinya proses kesadaran kritis
terhadap pengalaman perempuan dalam kebudayaan androsentris. Karena itu pengalaman
mengisyaratkan adanya perubahan mendasar yang memungkinkan mereka bersentuhan,
menyadari dan menilai pengalaman-pengalaman seksisme (pembedaan tidak adil
sehubungan dengan keberadaan mereka sebagai perempuan) dalam masyarakat
patriarkal.67
Kritik terhadap seksisme mengisyaratkan adanya prinsip penilaian yang mendasar.
Prinsip kritis teologi Feminis ini merupakan suatu afirmasi dan dukungan untuk
kemanusiaan yang utuh (the fully humanity of Women). Oleh karena itu, apa pun yang
menyangkal, mengurangi dan mendistorsi kemanusiaan perempuan harus dinilai sebagai
hal yang tidak mempunyai kuasa penebusan. Jika diungkapkan secara teologis apapun
yang mengurangi atau menyangkal kemanusiaan yang utuh harus dianggap sebagai sesuatu
yang tidak mencerminkan hal-hal ilahi atau hubungan autentik dengannya, bahkan tidak
autentik dengan segala sesuatunya. Prinsip negatif di atas mengisyaratkan adanya prinsip
positif. Apapun yang mendukung kemanusiaan yang utuh adalah hal yang datang dari
Allah, yang mencerminkan hubungan sejati dengan-Nya, yang merupakan sifat sejati segala
sesuatu, yang merupakan berita penebusan.68
Namun makna dari prinsip positif ini adalah menuju kemanusiaan yang utuh, yang
tidak dikenal sepenuhnya. Prinsip positif ini tidak pernah ada dalam sejarah, yang sudah
ada barulah prinsip negatif dari penyangkalan dan penyingkiran kemanusiaan wanita.
Sekalipun disingkirkan, kemanusiaan perempuan ini tidak hancur total. Kemanusiaan
perempuan ini terus menerus mengafirmasi diri sendiri, sekalipun kadang-kadang hanya di
dalam cara yang terbatas dan subversif. Kemanusiaan inilah batu ujian yang mereka
gunakan untuk menguji dan mengeritik segala hal yang melenyapkan mereka.69
Kritik seksisme Feminis melihat bahwa patriarki bukan hanya ada dalam
kebudayaan Kristen masa kini, melainkan juga sudah meresap dalam Kitab Suci. Kitab
Suci telah dibentuk oleh nafas dan warna kelelakian dalam kebudayaan patriarkal
sedemikian rupa sehingga pengalaman-pengalaman religiusnya ditafsirkan oleh laki-laki
dari perspektif patriarkal. Kemudian bias patriarkal ini ditindak lanjuti dalam perumusan

67
Ibid 113.
68
Ibid 124.
69
Ibid 126.
24

penafsiran dalam pengkanonannya. Ini dilakukan dengan cara menghapus jejak-jejak


pengalaman perempuan atau menafsirkan pengalaman perempuan dengan cara
androsentris. Dengan demikian Kitab Suci menjadi sumber yang berwibawa (autoritatif)
bagi pembenaran patriarki dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Itulah sebabnya prinsip
hermeneutik Feminis menuntut agar perempuan keluar dari bias patriarkal Kitab Suci dan
menghakimi bias tersebut. Dan hal yang paling berbahaya (pandangan teolog Feminis)
adalah jika benar apa yang dipikirkan oleh teolog Feminis tentang hal di atas, yaitu semua
kitab dalam "Kitab Suci" merupakan bias patriarkal, prinsip Feminis juga menuntut agar
demi kebebasannya sendiri Feminisme harus menolak seluruh Kitab Suci sebagai hal
normatif. Dalam keadaan seperti itu Kitab Suci hanya menawarkan berita yang
menyesatkan dan sangat jahat, karena tidak adil dalam menanggapi keberadaan
perempuan. Kitab Suci tidak menyediakan batu ujian bagi alternatif pembebasan.70
Namun bagi Rosemary R. Ruether, ia percaya bahwa Kitab Suci masih dapat
"dimanfaatkan" sebagai sumber paradigma pembebasan. Ini hanya dapat terjadi jika ada
korelasi antara prinsip kritis Feminis dan prinsip kritis yang dengannya pemikiran
Alkitabiah dapat mengkritik diri sendiri. Sebenarnya pengafirmasian diri perempuan ini
sudah berlangsung sejak dahulu, tetapi indoktrinasi patriarkal bahwa wanita harus
menerima inferioritas dan kedudukannya yang rendah, adalah indoktrinasi yang tak pernah
lengkap.71
Hermeneutik Feminis ini diharapkan oleh Ruether mampu bertugas pada masa kini
atau masa akan datang bukan hanya untuk mengembangkan dan menyatukan prinsip-
prinsip yang digunakan perempuan untuk menghayati kabar Injil sebagai kabar baik
tentang kebebasan dari patriarki serta mengembangkan kisah-kisah teks untuk
mengungkapkan kabar baik. Hermeneutik Feminis juga mempunyai tugas untuk
mengukuhkan teori penafsiran ini sebagai hal yang normatif dan tidak tergantikan untuk
memahami perihal iman, di sekolah-sekolah teologi tempat penafsiran diajarkan dan di
gereja serta sinagoga tempat kabar baik diberitakan. Dengan kata lain hermeneutik Feminis
juga mempunyai tugas bukan hanya untuk melakukan penafsiran kabar baik bagi kaum
perempuan, melainkan jangkauannya meluas sampai ke segala penafsiran secara kolektif
komunitas-komunitas iman.72

70
Ibid.
71
Ibid 126.
72
Ibid 124.
25

Ruether membagi tiga golongan gerakan teolog Feminis, pertama Liberal Feminis;
kelompok ini ingin mendapatkan jalan masuk ke dalam dunia pendidikan, ordinasi dan
memberi peluang pekerjaan/pelayanan kepada wanita oleh gereja, mereformasi dan
merestrukturisasi ulang bahasa dan penafsiran yang bercorak androsentris, kedua, Sosialis
Feminis; mereka sangat meragukan akan kesederajatan gender antara laki-laki dan wanita
dalam tatanan masyarakat ekonomi sosial yang ada, ketiga, gerakan Feminis yang
menentang kebudayaan, mereka ingin mendirikan suatu kebudayaan baru sebagai alternatif
dalam kehidupan mereka. Mereka menolak semua ide tradisi gereja atau pun Alkitab jika
tidak membela kebebasan kaum perempuan.73

3. Mary Daly

Mary Daly adalah seorang yang sangat brilian dalam studinya, ia berhasil
mendapatkan dua gelar doctor, pertama dalam bidang teologi dan kedua dalam bidang
filsafat. Sejarah timbulnya pemikiran Feminisnya berasal dari peristiwa di mana ia
mengharapkan dalam konsili Vatikan kedua ia mendapatkan 'tempat' atau paling tidak
perhatian dari peserta konsili. Tetapi apa yang Daly inginkan tak terwujud bahkan
sebaliknya ia sangat kecewa dengan sikap dan sambutan dari anggota konsili. Dari
perasaan ditolak dan 'dihina' inilah ia merasakan perlunya membuka wawasan pemikiran
tradisi yang kolot, yaitu tidak menganggap dan merendahkan kaum perempuan, di gereja
secara umum. Sewaktu ia pulang kembali ke kotanya, dengan hati berkecamuk dan dengan
visi yang baru yaitu memperbaharui dan mengubah status perempuan dalam gereja.74
Artikel pertama karangannya "A Built-In Bias" tidak mendapatkan perhatian yang
cukup berarti dari publik. Ia tidak berputus asa, kemudian ia menerbitkan buku berjudul,
The Church and the Second Sex (1968), yang sangat menggemparkan dunia perteologian,
karena ia dengan sangat berani memaparkan pembelaan pada kaum perempuan yang
sudah beratus-ratus tahun diinjak-injak oleh kaum laki-laki. Tetapi malangnya buku ini
sangat ditentang oleh gereja Katolik walaupun banyak orang dan mahasiswa mengajukan
keberatan mereka atas keputusan gereja itu dengan melakukan demonstrasi untuk
kebebasan berbicara.75 Lima tahun kemudian, Ia menerbitkan buku kedua dengan judul,
Beyond God the Father, boleh dikatakan buku ini merupakan wujud puncak rasa
73
Joseph Tong, Systematic Theology and Pastoral Ministry, (California: ITS, 1998, Silabus mata
kuliah) 23
74
Mary A. Kassian, 228.
75
Mary Daly, The Church and the Second Sex, (Boson: Beacon Press, 1968) 14.
26

ketidakpuasan Mary Daly terhadap sistem patriark yang ada di dalam Alkitab, menariknya
ia berani menyatakan "vereifying God" that is, of changing her conception/perception of
God from "the supreme being" to a state of "Be-ing". 76
Menurut penilaian Thiselton, Mary Daly sangat kecewa berat dengan respek dari
konsili Vatikan kedua, ia mencoba berusaha melalui gereja Roma Katolik tetapi menjadi
lebih berat lagi kecewanya dengan respon gereja Roma Katolik.

… the documents seemed to address women only as wives, mothers, widows,


daugthers, or "religious" women; in other words, in terms of roles defined by their
relation to men, rather than as a persons in their own right. Mary Daly at first tried
to work within the Roman Catholic church but became increasingly disillusioned
with the church's lack response.77

Dalam Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women's Liberation (1975), Daly
mulai bergerak menjadi teolog "radical" Feminis, setelah penerbitan buku ini ia mulai
menyerang kelelakian dalam sistem gereja, Allah Bapa dalam Alkitab yang memakai
gender 'laki-laki', tradisi Ibrani yang menomerduakan perempuan baik dalam tata upacara
keagamaan maupun kehidupan sehari-hari. Ia juga menjadi teolog Feminis yang anti gereja
dan tradisi serta 'masa kewanitaan'.78
Mary Daly dan Rosemary R. Ruether secara efektif mendirikan perkumpulan
pertemuan wanita dalam 'American Academy of Religion' tahun 1971. Rasa 'sirik'
disebabkan luka yang sangat dalam membuat Mary Daly akhirnya mulai berani mengadili
tradisi gereja, pelayanannya, metode penafsiran yang lama, pengaruh tradisi Yahudi dalam
hermeneutik Alkitab, dll. Mary Daly sebenarnya mempunyai pemikiran yang analitis dan
selalu berhati-hati dalam memilih dan menggunakan bahasa. Namun sepertinya ia menjadi
sangat yakin dengan dirinya dan ia mengklaim bahwa istilah bahasa yang ia gunakan itu
benar demikian juga definisi yang digunakannyapun menyempurnakan definisi yang lama.
Hal ini merupakan kunci gerakan teologi Feminis, sayangnya ia menjadi lebih 'khusus-
particular' dan sangat tertutup dalam memilih istilah yang dipakainya lebih disesuaikan
dengan lingkup keberadaan wanita.
Mary A. Kassian mengeritik metode Mary Daly dalam merefleksikan penggunaan
gaya bahasa yang khusus dalam bukunya yang ketiga, Gyn/Ecology: The Metaethics of
Radical Feminism, dan hanya mengkontekskan dalam proposisi kewanitaan maka secara
76
Ibid xvii.
77
Thiselton, A New Horizon,. 436.
78
Ibid.
27

otomatis Mary Daly sendiri sedang menutup dirinya saat ia memakai metode hermeneutik
'suspicion-socio'-kritiknya.79

4. Elizabeth Schüssler Fiorenza

Elizabeth Schüssler Fiorenza adalah seorang professor wanita di Universitas


Harvard. Ia juga mengajar di Universitas Notre Dame. Penulis beberapa buku dan artikel-
artikel yang membahas tentang teologi Feminis, Sejarah Gereja, dan studi Perjajnjian Baru.
Karyanya yang terkenal adalah In Her Memoriam of Her: A Feminist Theological
Reconstruction of Christian Origins (1984). Ia membahas metode hermeneutiknya secara
sitematis dan terpadu dengan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:

a. Pusat Hermeneutik: Women-Church - Gereja Perempuan


Pusat hermeneutik penafsiran Alkitab kaum Feminis adalah gereja perempuan
(ekklesia gynaikoon), pemahaman alkitabiah yang terbuka kepada penganut perempuan
maupun laki-laki yang berorientasi Feminis. Ekklesia perempuan merupakan bagian dari
gerakan perempuan yang lebih luas dalam masyarakat dan keagamaan yang memahaminya
bukan hanya sebagai gerakan hak-hak asasi, melainkan juga merupakan gerakan
pembebasan perempuan. Sasarannya bukan hanya "kemanusiaan yang utuh" (fully
humanity) kaum perempuan karena definisi kemanusiaan juga telah dinodai oleh kaum
laki-laki. Sasarannya adalah penegasan secara religius, kekuasan dan kebebasan kaum
perempuan dari segala bentuk alienasi, penyepelean dan penindasan dengan corak
patriarkal.80

b. Hermeneutik "kecurigaan"
Teolog Feminis sudah menetapkan suatu aturan dalam penafsirannya, yaitu "crux
interpretum"81 artinya bahwa mereka tidak menerima segala penafsiran Alkitab yang tidak
mendukung kebebasan kaum wanita. Ada beberapa metode hermeneutik yang dipakai oleh
Fiorenza, pertama hermeneutik 'kecurigaan'. Dalam metode penafsiran ini ia tidak
memakai otoritas Alkitab sebagai otoritas tertinggi, ia menerima asumsi dasar gerakan
Feminisme bahwa teks Alkitab dan interpretasinya bercorak androsentrik (/andro/-male

79
Mary A. Kassian, 230.
80
Letty, 137-138.
81
Mary A. Kassian, 89.
28

artinya 'laki-laki', /centric/-center artinya pusat) dan Kitab Suci itu memperkuat sistem
'patriarki'.

c. Hermeneutik Proklamasi
Metode kedua yang dipakai Fiorenza (dalam bukunya In Memoriam of Her: A
Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins) ialah hermeneutik proklamasi,
maksudnya ialah penafsiran yang hanya melihat pada porsi dalam teks Alkitab yang harus
diproklamasikan untuk kebebasan kaum Feminis kontemporer yang tertindas dan dianiaya,
jadi yang tidak menyuarakan kebebasan kaum wanita ditolak mentah-mentah. 82 Contoh
ayat-ayat yang diterima karena penafsirannya memproklamasikan kebebasan bagi kaum
wanita, Gal 3:28; Yoh 8:36, Rom 16:1, tetapi untuk 1 Kor 11, Ef 5:22, 1 Tim 2:11 akan
dibuang jauh-jauh alias tidak dipakai.83

d. Hermeneutik Ingatan
Metode ketiga yang dipakai oleh Fiorenza adalah metode hermeneutik kenang-
kenangan, artinya metode hermeneutik yang mendorong dan memberi semangat kepada
kaum Feminis untuk mengeksplorasi penderitaan perempuan dalam Alkitab dan mencari
artinya untuk kepentingan kaum perempuan. Metode ini bukan menghilangkan ingatan
masa penindasan, tetapi sebaliknya metode ini yang mengklaim kembali penderitaan
mereka yang tidak digubris kaum laki-laki.84
Contoh yang diangkat adalah cerita tentang Abraham tertawa waktu ia mendengar
akan mempunyai anak, hal ini tidak menjadi masalah, tetapi saat Sarah tertawa Allah
langsung "membau" tertawaan Sarah, hal ini menunjukkan adanya pengaruh kuat sistem
patriarkal dalam penulisan cerita ini. Contoh kedua yaitu Harun, ia tidak kena kusta waktu
ia bersalah, sedangkan Miriam begitu berdosa kena 'kusta', hal ini menunjukkan
ketidakadilan dalam cara Allah menghukum manusia.85

82
Elizabeth Schüssler Fiorenza, Emerging Issues in Feminist Biblical Interpretation," Christian
Feminism: Visions of a New Humanity, , ed.Judith L. Weidman, (Harper & Row: Harper & Row, 1984)
47-54.
83
Mary A. Kassian, 113.
84
Ibid.
85
Ibid.
29

e. Hermeneutik Pengaktualisasian yang Kreatif


Fiorenza tidak hanya yakin dengan menggunakan tiga metode hermeneutik di atas
ddan merasa sudah cukup, tetapi ia menambahkan metode hermeneutik yang dapat
mencukupi kekurangan ketiga metode yang sebelumnya, yaitu metode hermeneutik
pengaktualisasian yang kreatif. Metode hermeneutik pengaktualisasian yang kreatif ini
merupakan metode proses di mana teolog Feminis membaca teks, membubuhi,
mengurangi, menyesuaikan teks Alkitab dengan visi kebebasan kaum wanita dalam
melaksanakan tata cara penyelenggaraan ibadah.86
Contohnya mereka tidak hanya merevisi istilah Allah Tritunggal saja namun juga
merevisi semua hal penting dalam ibadah, seperti Doa Bapa Kami, cerita diubah bahasa
dan istilahnya jadi berbau 'kewanitaan', lagu-lagu diganti sesuai dengan istilah mereka,
pokoknya yang menjadi pusat pemberitaan adalah diri-kaum-wanita.87
Pendapat Fiorenza ini dikuatkan oleh pemikiran Katherine Doob Sakenfeld, ia
menyadari adanya bahan-bahan Kitab suci yang patriarkal. Feminis Kristen mendekati teks
setidak-tidaknya dengan tiga penekanan, yakni: 1) Mencari teks tentang perempuan untuk
menentang teks-teks terkenal yang digunakan "menindas" perempuan. Misalnya, Kej 2
-perempuan diciptakan setelah laki-laki, Kej 3 -wanita terlebih dahulu jatuh dalam dosa, 1
Kor 14 dan 1 Tim 2:13-14 -perempuan harus tutup mulut di gereja, Ef 5 -perempuan harus
menempatkan diri di bawah laki-laki. 2) Menyelidiki Kitab Suci secara umum (bukan
hanya teks tentang perempuan) untuk membentuk perspektif teologis yang dapat
mengeritik patriarki. Beberapa orang menyebut perspektif ini sebagai "perspektif
pembebasan". 3) Menyelidiki teks tentang perempuan untuk belajar dari perjumpaan
sejarah dengan kisah-kisah perempuan kuno dan modern yang hidup di dalam kebudayaan
patriarkal. Misalnya, Hak 19 -pemerkosaan, pembunuhan, pemotongan tubuh perempuan
yang tak bernama, Hak 11 -pengorbanan seorang anak perempuan korban nazar ayahnya.88

86
Letty, Interpreting, 60
87
Ibid.
88
Katherine Doob Sakenfeld, "Feminist Uses of Biblical Materials", di dalam Letty M. Russel,
Feminist Interpretation of the Bible, 55-64.
BAB III
KEDUDUKAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ALKITAB DAN BUDAYA

A. Kedudukan Wanita dalam Jaman Perjanjian Lama

Pembahasan wanita dalam jaman perjanjian lama akan dilihat dari konteks budaya
saat itu. Budaya yang akan disoroti adalah budaya Assiria dan Babilonia. Budaya Assiria
dan Babilonia inilah yang paling banyak memberikan informasi tentang keadaan dimana
kitab perjanjian lama ditulis.
Ada beberapa hukum yang mengatur peranan wanita, Hukum Kode Hammurabi
(1792-1750 BC), yang membahas peranan wanita jaman bapa Abraham. Lalu ada Kode
Hukum Asiria Tengah, yaitu menerangkan peranan wanita pada zaman bangsa Israel keluar
dari Mesir yang dipimpin oleh Musa.

1. Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Babilonia 1775 BC 89

Abraham meninggalkan Ur Kasdim sekitar tahun 1800 BC. Sedangkan Hukum


Kode Hammurabi ditulis sekitar zaman pemerintahan raja Babilonia. Kode Hukum ini
ditemukan di daerah Susa.
Dalam perkawinan, wanita mendapatkan kedudukan sangat baik, kontrak
perkawinan memang di lakukan oleh seorang laki-laki, baik oleh seorang bapak, baik dari
pihak laki-laki ataupun wanita. Kontrak itu menggunakan mas kawin dan berbagai macam
hadiah. Kontrak ini merupakan ikatan perjanjian yang melindungi hak istri jika suaminya
meninggal dunia. Seorang janda akan didukung oleh anak-anak laki-lakinya dan
mendapatkan haknya sampai janda itu meninggal dunia. Pengaturan akan tatacara
perkawinan sampai perceraian yang sangat baik ini khususnya untuk melindungi
kepentingan wanita. Wanita tidak dapat menceraikan suaminya. Suami mendapatkan hak
menceraikan istrinya, jika ada hal-hal yang mengkhianati perkawinan mereka. Tetapi istri
berhak pisah ranjang dan menunjukkan ketidaksenangannya dengan jalan bersikap
menjauhkan diri dari suami sampai suami mengijinkan perceraian. Istri yang diceraikan
akan tetap mempunyai hak harta dari suaminya dan mengambil kembali semua miliknya.
Suami yang menceraikan istrinya harus membayar uang cerai yang ditentukan aturan

89
James B. Hurley, Man and Woman in Biblical Perspective, (Michigan: Zondervan, Academic
Books, 1981) 20-25.

30
31

hukum perkawinan Hammurabi. Jika terdapat penipuan atau kesalahan dalam pembagian
harta, suami atau istri yang melarikan diri, menghina istri/suaminya dan terbukti bersalah
mereka akan mendapat hukuman berat yaitu ditenggelamkan. Ketidaksetiaan dalam
perkawinan baik karena suami /istri berselingkuh dengan wanita atau laki-laki lain, kedua-
duanya tetap mendapatkan hukuman yang sama.
Dalam kehidupan sosialnya, wanita khususnya istri, janda, anak perempuan
mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Peranan mereka sangat berarti dalam
kehidupan sosial masyarakat. Peranan wanita ini sangat terasa di dalam keluarga. Di
bidang perekonomian pun ada kesan wanita berhak dan boleh melakukan perdagangan
dengan leluasa.
Dalam kehidupan beragama dan kependetaan, wanita mendapatkan kedudukan yang
sama, sering seorang pendeta wanita mempunyai kedudukan mengatur kesejahteraan
masyarakat dan sosial. Menurut Kode Hammurabi, tidak ada indikasi wanita direndahkan
oleh masyarakat. Janda dan pendeta wanita pun (yang tidak menikah) mendapatkan
kebebasan dan hak hukum istimewa daripada wanita biasa dalam masyarakat.

2. Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Assiria 1450-1250 BC

Perkawinan dalam Hukum Assiria, mengatakan "jika seorang suami menceraikan


istrinya karena kehendaknya sendiri, maka ia harus memberikan sesuatu, jika bukan
kehendaknya, si suami berhak tidak memberikan apa-apa pada istrinya." Tidak ada indikasi
wanita berhak menceraikan suaminya, tetapi ada indikasi jelas suamilah yang berhak
menceraikan istrinya. Pada sisi yang lain, seorang janda harus mendapat dukungan dan
topangan kehidupan dari anak laki-lakinya. Janda dapat mempunyai hak kembali menikah
dan ada tata aturannya di dalam hukum Assirian. Selain itu wanita mendapatkan
perlindungan begitu baik, seperti James Hurley mengutip Hukum Assiria,

If the woman's husband puts his wife to death, then he shall put the man to death;
(but) if he has cut off his wife's nose, he shall make a eunuch and the whole of his
face shall be mutilated. Or if he has allowed his wife to go free, the man shall be
allowed to go free.90

Hukum Assiria mengatur pakaian wanita untuk membedakan antara wanita baik-
baik dengan wanita jalang, pelacur.
90
James Hurley, 27.
32

Women, whether married of (widows) or (assirians) who go out in the (public)


street must not have their heads uncovered… A harlot shall not be veiled; her head
must be uncovered. He who sees a veiled harlot shall arrest her… Slave-girls shall
not be veiled, and he who see a veiled slave-girl arrest her…91

Jilbab merupakan suatu lambang harkat dan martabat seorang wanita. Jika wanita
itu tidak mematuhi hal di atas maka, masyarakat dapat menghukumnya dengan bermacam-
macam hukuman, dari dikucilkan sampai dipukul dengan rotan 40 kali, dan ditaburi
semacam 'tér-aspal'.
Wanita tidak boleh sembarangan keluar rumah dan harus menjaga ketat
keluarganya. Kebanyakan mereka bekerja di dalam lingkungan rumah tangga. Wanita tidak
diikutsertakan dalam diskusi kehidupan beragama.
Ada kesamaan status secara umum antara wanita dalam budaya Assirian dan
Babilonia. Pada Hukum Assiria kepemimpinan dipegang oleh kaum 'patriakh' sedangkan
wanita hanya sebagai pendamping. Hukum Assiria lebih kasar dalam memperlakukan
wanita daripada Hukum Babilonia, dan memberikan hak kepada suami secara berlebihan
untuk melakukan hukuman dan retribusi/ganjaran, baik kepada anaknya atau istrinya.

3. Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Israel Perjanjian Lama

Pengaturan peranan wanita didasarkan kepada kitab Kejadian pasal satu dan dua.
Pandangan bangsa Israel terhadap peranan wanita dan pria adalah sama sederajat pada
mulanya. Pengertian manusia (wanita/pria kedua-duanya) adalah gambar dan teladan
Allah, merupakan suatu pengertian yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Perubahan itu mulai terjadi saat, Allah melalui perjanjian kekalNya menyebut "Abraham
sebagai Bapa segala bangsa", istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan bahwa
yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada di tangan "kaum patriakh". Hal ini
terjadi sampai pada jaman Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang kudus, umat perjanjian
Allah.
Peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok, seperti Abraham,
mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah, mengambil keputusan
menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat itu tetap melalui jalur otoritas
seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan

91
Ibid.
33

kembali kepada anaknya, Ribkah. Demikian juga kepemimpinan bapa Abraham boleh
dikatakan tidak dominan lagi, sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk
beluk keluarga.
Dalam hal perceraian Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan
informasi tetapi berdasarkan Ul 22:13-29 ada dua hal, pertama suami tidak diperbolehkan
menceraikan istrinya: jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal ketidaksucian istrinya,
dan kedua jika ia memaksa istrinya (memperkosa) padahal istrinya tidak mau melayaninya.
Di dalam Perjanjian lama, banyak teks Alkitab yang membahas bagaimana keluarga harus
melindungi kesucian wanita, janda dan anak perempuan. Ul 22-25.
Menurut Bil. 30:3-16, kedudukan ayah sangat dominan dalam menentukan
kehidupan anaknya (wanita) pada masa gadisnya bahkan setelah menikah pun sang ayah
dapat menolong anaknya dengan menerima dia kembali saat diceraikan, jika ayahnya sudah
meninggal maka kewajiban saudara laki-lakinya yang melindungi janda ini. Terlihat jelas
bahwa wanita harus tunduk pada pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita tetapi
untuk melindungi hak-hak wanita. Perjanjian Lama sangat sarat dengan peranan wanita,
kalau mau dijelaskan satu persatu pasti tidak memungkinkan di sini tetapi kalau dilihat
secara mendalam peranan wanita dalam PL, khususnya ibu sangat penting sekali, baik dari
sisi pengaruh negatif dan positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di mana kasih
seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan, dampaknya sangat luar biasa parahnya.
Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada, seperti kasus Salomo, anak kesayangan
Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dll. Wanita pun mendapatkan hak sebagai pemimpin
bangsa. Baik peranan mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dll. Misalnya, Deborah, Naomi,
Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dll.

B. Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Yahudi

Setelah mencermati wanita pada Perjanjian Lama, selayaknyalah penulis


memberikan informasi penting tentang wanita pada kebudayaan Yahudi. Wanita dalam
kebudayaan Yahudi tidak jauh berbeda dengan agama lainnya yaitu, merendahkan wanita.
Hampir semua penafsiran tentang wanita mengarah kepada penghinaan kedudukan wanita
sebagai “the second class”. James Hurley meringkaskan pandangannya setelah membaca
dan meneliti kitab Talmud. Rabbi Judah ben Elai mengatakan, ”A man is bound to say the
following thre blessings daily: "[blessed art thou…] who hast not made me a heathen",
34

"…who hast not made me a woman","…and who hast not made me a brutish man", Rabbi
Eliezer dengan arti yang sama berbicara,"There is no wisdom in woman except with the
distaff [spindle]. Thus also does Scripture say: and all the women who are wisehearted
did spin with their hands." 92 (Dalam doa pagi …. seorang pria Yahudi setiap pagi
mengucap syukur bahwa Allah tidak menciptakan dia sebagai “seorang kafir, seorang
budak, atau seorang wanita…") Dalam hukum Yahudi wanita dianggap bukan sebagai
pribadi yang mempunyai nilai, arti dan hak seperti kaum pria. Hidup perempuan Yahudi
nasibnya ada ditangan suami.”93 Yosephus juga mengemukakan hal yang sama, ia melihat
bahwa wanita berada pada posisi yang lebih inferior dari pada pria. Seorang wanita setelah
diceraikan tidak dapat kawin lagi selama suaminya tidak mengijinkannya. Dan juga wanita
tidak mendapatkan hak untuk bersaksi di persidangan hukum.94 Sedangkan Philo
mengatakan, "the attitude of man is informed by reason (nous), [that] of woman by
sensuality (aisthesis)," (Tingkah laku pria diinformasikan oleh pikirannya dan wanita oleh
perasaannya).95

C. Kedudukan Wanita dalam Kebudayaan Yunani

Penindasan terhadap kaum wanita ini bukan hanya terjadi di kalangan Israel atau
Yahudi saja tetapi juga dalam tulisan-tulisan para ahli filsafat jaman Yunani. Plato seorang
filsuf ternama Yunani sebelum Kristus lahir, sudah mempunyai prasangka dan penilaian
yang begitu buruk terhadap kaum wanita, ia mengatakan bahwa jiwa terperangkap dalam
tubuh, jika mau melepaskan belenggu keterikatan itu manusia harus melakukan
reinkarnasi. Ia menyimpulkan bahwa nasib malang bisa menimpa laki-laki kalau ia
direinkarnasikan menjadi wanita. "… the most religious animals; and as human nature
was of two kinds, the superior race….be called man,…. If [the man/male] he failed in
attaining this, at the second birth he would pass into a woman…"96
Aristoteles, yang disebut sebagai bapa pengetahuan modern khususnya dalam
bidang Biologi pun mempunyai penilaian yang sangat dangkal terhadap wanita. Ia

92
Ibid 63-64.
93
William Barclay, Galatia Efesus, (Jakarta: Gunung Mulia) 253-255.
94
Wn Whiston dan La Sor (penerjemah), The Complete Works of Josephus Flavius, On the
Antiquity of the Jews, Book II, (Michigan: Kregel, 1960) 327, 97.
95
De Opificio Mundi, 165, diikuti dari G. Kittel ed., Theological Dictionary of the New
Testament (hereafter TDNT) (Michigan: Zondervan 1965) vol. 1, 782.
96
Robert Maynard Hutchins, ed., et all, Great Books of Western World: Dialogues of Plato:
Timaeus, (Chicago: Encyclopedia Britanica, 1952) II, 3, 452-453.
35

menyebut wanita sebagai “a kind of mutilated male” (jenis pria yang tak sempurna atau
lengkap). Ia menulis,”Betina adalah jantan yang tak sempurna, yang secara tidak sengaja
dilahirkan demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh jahat angin selatan
yang lembab.” 97

D. Kedudukan Wanita dalam Perjanjian Baru

1. Yudaisme

Dalam kebudayaan Yahudi ada beberapa buku penting yang dipakai oleh mereka,
seperti Apokripha, tulisan Philo dan Yosefus. Dalam Yesus bin Sirakh yaitu salah satu kitab
hikmat Apokripha, menilai wanita sedemikian tinggi dalam satu segi Yesus bin Sirak
mengatakan 'The women makes man'

Kecantikan perempuan menggirangkan hati roman muka dan mengatasi segenap


keinginan manusia. Jika kebaikan hati dan kemanisan keluar dari mulutnya maka
suaminya tidak sama seperti manusia lain. Barangsiapa mendapat isteri
memperoleh milik yang unggul, seorang pembantu yang serasi dengannya dan
sebuah tiang penyangga. Tempat tidak ada pagar tanah akan dirampoki, dan
tempat tidak ada isteri suami mengembara sambil mengeluh. Sebab siapa
gerangan akan percaya pada perampokan di jalan raya, yang lari dari kota ke
kota? Demikianpun halnya seseorang yang tidak bertempat tinggal dan
menginap di mana saja kemalaman. Sirakh 36:22-27

Berbahagialah suami dari isteri yang baik dan panjang umurnya akan berlipat
ganda. Isteri berbudi menggembirakan suaminya, yang dengan tenteram akan
menggenapi umurnya. Isteri yang baik adalah bagian yang baik, yang
dianugerahkan kepada orang yang takut akan Tuhan. Sirakh 26:1-3

Biar luka apa saja, asal bukan luka hati; biar keburukan apa saja, asal bukan
keburukan perempuan; lebih aku suka berumah bersama singa dan naga dari
pada bersama isteri yang jahat. Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan
dengan keburukan perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang berdosa.
Hati murung, muka suram dan luka hati disebabkan istri jahat; tangan kendor
dan lutut lumpuh demikian isteri yang tidak membahagiakan suaminya.
Permulaan dosa dari perempuan an karena dialah kita sekalian mesti mati.
Jangan membiarkan air meluap dan jangan pula membiarkan muka isteri yang
jahat berleluasa. Jika ia tidak berjalan menurut tuntunanmu, pisahkanlah dari

97
Robert Maynard Hutchins, Aristoteles, The Generation of Animals, II.iii, 24.
36

tubuhmu." Sirak 25:13,16,19,23-26. Jadi Yesus bin Sirakh melihat wanita jahat
menyatakan sumber dari kejatuhan manusia.

2. Dunia Greko Romawi

Semua literatur yang ditemukan khususnya yang berkaitan dengan fungsi dan
peranan wanita di jaman Greko Romawi kebanyakan berorientasi kepada dunia wanita
yang mampu, hampir tidak ada informasi tentang keadaan wanita miskin atau kalangan
rakyat jelata.98 Pada jaman nenek moyang orang Grika, wanita tidak mempunyai tempat di
dalam kehidupan sosial masyarakat. Peranannya lemah sekali. Wanita hanya dipandang
sebagai penerus keturunan saja dan pemuas nafsu pria.
Selain itu perempuan ditegaskan berada di bawah otoritas orang tua laki-laki atau
bapak "patris potestas" dan di bawah kuasa laki-laki. Sedikit informasi perkawinan satu
jenis kelamin, seperti homoseksual dilarang di jaman ini.
Beberapa wanita di jaman perjanjian baru seperti Lidia, perempuan kelas menengah
ke atas. Priskila dan Akwila pedagang tenda. Lidia seorang Grika Yahudi dan Priskila
seorang Romawi.

E. Kedudukan Wanita dalam Kehidupan Tuhan Yesus

Ada banyak wanita yang menjadi pengikut Yesus. Siapakah saudara dan orang tua
Yesus? Mat 12:49-50, "siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga dialah
saudaraku laki-laki, saudaraku wanita dan ibuku," Wanita pertama dalam kitab Injil
Yohanes yang ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria. Yoh 4:5-30. Setelah itu wanita
dari Kanaan yang menjerit meminta tolong Yesus dalam Yoh 15:22-28. Wanita yang
mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon si orang Farisi. Luk 7:44-50. Seorang wanita
yang menderita bungkuk delapan belas tahun, Luk 13:10-17. Wanita dalam ceritera
parabel Tuhan Yesus; seorang wanita mengaduk tepung dengan ragi Mat 13:33, gadis yang
mencari koin yang hilang Luk 15:8-10, sepuluh gadis pintar dan sepuluh gadis bodoh Mat
25:1-13. Janda yang ulet dalam memohon kepada seorang hakim Luk 18:1-8 dan Janda
miskin yang memberikan seluruh hartanya kepada Tuhan Mat 12:38-44.
Wanita yang menjadi murid Yesus dalam hal pengajaranNya, Maria dan Marta, Luk
10:38-42. Maria Magdalena, seorang wanita yang disembuhkan Yesus karena kuasa roh
98
James Hurley, 75.
37

jahat, menerima Yesus di rumahnya dan mendukung pelayanan Yesus dengan menjual dan
memberikan harta miliknya. Luk 8:1-3. Salome dan ibu dari Yakobus anak Zebedius Mat
27:55-56 serta Maria ibu Yesus.
Pengajaran Yesus tentang perkawinan, perceraian, dan selibat. (Mat 19:3-12 dan
Mrk 10:11-12) Jauh melampaui tradisi atau hukum Yahudi. Pertama, pada prinsipnya Allah
tidak menghendaki perceraian, kedua, Yesus mengatakan suami yang menceraikan istrinya
kemudian menikah lagi, suami itu melakukan perzinahan. Prinsip kedua ini tidak sama
dengan tradisi dan hukum Yahudi, yang menekankan pada kebebasan suami untuk menikah
lagi. Isu moral yang Tuhan Yesus ajarkan melampaui pengajaran rabbi-rabbi Yahudi. Mat
5-7.
Semua rabbi Yahudi setuju dan menghalalkan serta melegitimasikan adanya
perceraian. Tuhan Yesus tidak. Rabbi Hilel lebih toleran dalam membela kepentingan laki-
laki, "a man might divorce his wife if she spoiled his food." Rabbi Shammai lebih ketat
dan menekan perceraian, ia mengatakan perceraian itu "shameful thing" or "indecency".99

F. Kedudukan Wanita dalam Zaman Para Rasul

Dalam jaman para Rasul kedudukan wanita adalah sebagai teman sekerja dalam
penginjilan. Priskila dan suaminya Akwila, dalam Kis 18:2, mereka adalah kawan sekerja
Rasul Paulus. Seperti dalam Rom 16:3-5, salam dari Paulus dapat dilihat bagaimana
dekatnya hubungan Paulus dengan mereka. Ada beberapa wanita lagi yang sangat
mendukung pelayanan penginjilan, seperti Eudia, Sintekhe dan Febe.
Kalau dilihat dalam banyak hal maka Alkitab tidak pernah membuang apalagi
merendahkan peranan wanita. Teologi Feminis harus melihat peranan mereka secara
menyeluruh dan dari semua sisi kehidupan wanita, bukan hanya sisi ketidakadilannya,
tetapi juga bagaimana hebatnya pelayanan mereka dalam mengembangkan penginjilan yang
dilakukan mulai dari jaman Tuhan Yesus sampai jamannya para Rasul. Peranan wanita ini
terus berlangsung dan sangat positif disambut dalam kehidupan gereja mula-mula.

G. Kedudukan Wanita dalam Sejarah Bapa-Bapa Gereja

99
Ibid 102-105.
38

"If it was once true that women were neglected factor in the church history, that
imbalance is quickly being rectified", kalimat ini merupakan kalimat pertama dari William
Weinrich dalam menanggapi analisa dan tulisan dari tiga tokoh teologi Feminis, yaitu,
Rosemary R. Ruether dan Rosemary Keller (ed.) Women and Religion in America dan
Sharon K. Elkins. Holy Women in Twelfth-Century England. Sangat diragukan penguraian
mereka tentang peranan wanita yang disepelekan oleh para 'patriakh' atau bapa gereja.
Mereka melihat kedudukan wanita sangat ditekan sehingga tidak ada tempat lagi bagi
wanita dalam gereja. Tanggapan tidak adil ini dijawab oleh William Weinrich dengan
meneliti peranan dan kedudukan wanita disepanjang sejarah gereja. Hasilnya para teolog
Feminis sangat tidak 'fair' dan 'objective' dalam menguraikan pendapatnya, karena terbukti
dalam sejarah gereja, peranan wanita sebagai pelayan Tuhan, hamba Tuhan; diaken dan
biarawati sangat positif.100
Kecenderungan menyepelekan wanita juga melanda bapa-bapa gereja abad
permulaan sampai pertengahan. Tertulianus sebagai contoh, yang menelorkan istilah
“Tritunggal”101 dan yang mengungkapkan gagasan "dosa warisan"102 mempunyai anggapan
terhadap wanita seperti berikut, ”Kau adalah pintu masuk Iblis; kau perusak meterai pohon
(yang terlarang) itu; melanggar pertama kali hukum ilahi; kau adalah pembujuk pria yang
Iblis tidak punya nyali menyerangnya. Kau begitu gampang merusak

100
John Piper and Wayne Grudem (ed.), Recovering Biblical Manhood and Womanhood: A
Response to Evangelical Feminism, (Illinois: Crossway, 1991) 263. William Weinrich menyelidiki
kebenaran ini dari sudut perspektif sejarah gereja. Ia melihat bahwa pengetahuan sejarah gereja atau lebih
terfokuskan lagi sejarah "ibu-ibu" gereja sangat banyak nilai positifnya. Ia menganalisa tanggapan para
teolog Feminis tentang peranan wanita yang disepelekan dalam sejarah "bapa-bapa" gereja sebenarnya
hanya sisi yang sempit yang dilihat para teolog Feminis. Secara Historis peranan wanita sudah cukup
terbukti, dan memang tidak terekspos dengan sangat luas. Hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa
kejadian ini merupakan kesalahan "bapa-bapa gereja" semata-mata.
101
Louis Berkhof, The History Christian Docrine, (Michigan: Baker, 1937) 67-68.
102
Hendrikus Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1987) 41.
39

citra Allah, yaitu pria. Akibatnya ganjaran yang kau terima -yaitu, kematian- bahkan Anak
Allah pun harus menderita kematian."103

H. Kedudukan Wanita dalam Agama-Agama.104

Kedudukan wanita dalam umat beragama menjadi sasaran kritik karena berabad-
abad lamanya kedudukan wanita baik secara teoritis maupun secara praktis tidak
disamakan dengan kedudukan kaum pria. Tidak dapat disangkal, bahwa dalam banyak hal
kritikan ini sangat tepat. Walaupun pada umumnya para wanita diijinkan mengambil bagian
dalam hidup keagamaan, peranan yang sama penting dengan pria jarang boleh dilakukan
oleh wanita. Ritus-ritus inisiasi biasanya dikhususkan bagi pria; karena menstruasi dan
kehamilan dianggap najis, sehingga wanita dilarang untuk ikut serta dalam upacara. Dalam
beberapa agama, wanita menjalankan ritus-ritus tertentu, khususnya yang berhubungan
dengan kesuburan (kultus Dionisius di Yunani), terutama sebagai imam wanita di kuil-kuil
berdasarkan beberapa agama kuno Timur Tengah. Menurut agama Persia (Zaratustra) dan
juga Buddhisme, kedudukan dan peranan wanita jauh lebih rendah daripada pria. Demikian
juga dengan Yudaisme yang walaupun dalam Perjanjian Lama, dikenal tokoh-tokoh wanita
sebagai "hakim" dan "nabi", mereka hanya menjadi penonton dan pendengar saja dalam
ibadat.
Menurut agama Islam pun peranan wanita dalam ibadat, syariat dan pergaulan sosial
sangat dibatasi, kecuali adat setempat menghalangi pelaksanaan itu (misalnya di beberapa
daerah di Indonesia). Yesus tidak pernah menolak para wanita yang mau mengikutiNya
serta memilih para wanita yang mau mengikutiNya dan memilih Maria Magdalena sebagai
saksi pertama kebangkitanNya, Yoh 20:11-18tetapi Ia tidak menerima satu wanita pun di
antara para RasulNya.105 Seberapa jauh kenyataan itu merupakan penyesuaian dengan

103
Tertullian, On the Apparel of Women, Book 1, Chapter 1, (The Ante-Nicene).
104
A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja I A-G, (Jakarta: Yayasan Pitaloka 1991), 319-320.
105
Penulis melihat ada beberapa alasan yang sangat vital mengapa Tuhan Yesus tidak memilih
rasul seorang wanita.
Alasan teologis:
1. Tuhan Yesus harus mutlak memenuhi tuntutan hukum Taurat. Ia sebagai seorang
Rabbi atau Farisi yang sudah dinyatakan lulus menjalani ujian pada umur 30 tahun. Dalam
Luk 4:16-30, Ia mempunyai "hak" membaca ayat nubuatan Mesias yang sangat penting, hal
ini menunjukkan statusnya sebagai seorang Rabbi. Jika tidak Ia tidak akan diperbolehkan
membaca Kitab Suci. Tidak semua orang boleh atau sembarangan membaca ayat-ayat itu di
muka umum. Ia harus menjalani seluruh tuntutan Hukum Taurat itu sampai kepada
kehidupan praktis dan syarat-syarat sebagai seorang Rabbi/Farisi. Dalam adat atau tradisi
Rabbi tidak diperbolehkan adanya murid perempuan.
40

kedudukan sosial wanita dalam umat Yahudi pada abad ke-1, atau merupakan keputusan
Yesus yang harus diterima gereja untuk selamanya, kurang jelas. Posisi wanita yang kuat
dalam Gereja Purba (sebagai diakon, penginjil, penatua, presbiter jemaat) digeser pada
abad ke-2. Pengaruh dualisme menganggap wanita lebih rendah (yang lebih emosional
daripada rasionya-rohani) sehingga mengecilkan peranannya dalam umat.106
Penghormatan terhadap Bunda Maria mendukung penghormatan terhadap
keperawanan dan kehidupan biarawati. Dalam hirarkhi, wanita (sampai sekarang) tidak
diterima oleh Gereja Katolik dan Gereja Orthodoks, sedangkan gereja-gereja Protestan
dan Anglikan mengenal pendeta wanita.
Dalam agama Buddha, khususnya pendiri agama itu, Sang Buddha sendiri
mempunyai anggapan dan pemikiran untuk menghindari kehidupan yang berbau seksual,
karena kehidupan seksual menghalangi kehidupan monastik yang lebih khusuk, jadi akan
sulit melakukan kehidupan monastik jika ada wanita. Walau pada akhirnya agama ini
membuka diri terhadap kehadiran biarawati atau pendeta wanita, tetapi posisinya tetap
berada di bawah pria. Dalam ibadah pemimpin tidak pernah diangkat dari seorang pendeta
wanita, yang memimpin tetap pendeta pria. Seberapa tua usia pendeta wanita itu tetap tak
bisa berada di depan.107
Menurut agama Hindu, seseorang yang dilahirkan dengan jenis kelamin wanita
dianggap semacam "kesialan" karena kesalahan orang tuanya di masa lalu. Bahkan wanita
hanya dianggap sebagai pemuasan-pemenuhan nafsu kesenangan bagi suaminya. Wanita
2.Seorang Rabbi Yahudi dilarang keras berhubungan dengan wanita, apalagi hidup
bersama-sama dengan murid wanitanya. Ingatlah bahwa Yesus selalu berkeliling negeri dan
tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Murid-murid atau rasul-rasulNya pun hidup
bersama-sama, makan bersama-sama, tidur dalam satu ruangan/tempat bersama-sama
denganNya. Segala sesuatunya mereka lakukan bersama-sama. Jika ada rasul wanita hal ini
menimbulkan sesuatu yang "aib" pada konteks budaya saat itu dan konteks jabatanNya
sebagai Rabbi.
Alasan sosial budaya:
3. Bisa dibayangkan apa yang dipikirkan oleh rakyat Yahudi saat itu tentang
kehidupan Yesus, jika ia mempunyai rasul wanita. Problema sosial akan lebih banyak dan
semakin rumit. Hubungan relasi di antara rasul-rasul akan semakin kompleks bahkan akan
banyak gesekan psikologi dan sosial antara mereka, "the way of life" wanita dan pria sehari-
harinya berbeda. Jadi secara konteks budaya sangatlah tidak mungkin untuk mengangkat
rasul seorang wanita.
4.Konteks budaya rasul-rasul yang dipilihNya itu zaman itu sudah tertanamkan
dalam diri pria bahwa kehidupan seorang wanita dan laki-laki sudah sedemikian dipisahkan
dan ada "larangan" berrelasi dengan wanita yang bukan keluarganya. Peraturan tentang
hubungan pria dan wanita dalam sosial budaya Yahudi itu sudah diatur sedemikian rupa (ada
peraturan secara lisan dan tertulis) dan sudah dijalankan selama berabad-abad lamanya..
106
Ibid.
107
Dorothy R. Rape, In Search of God's Ideal Woman: a Personal Examination of the New
Testament, (Illinois: IVP, 1976) 24-25.
41

harus melayani suaminya sampai mati. Ritual agama yaitu "Sutee" dianjurkan bagi wanita
(janda) yang ditinggal mati suaminya untuk mengabdikan diri dengan mati dibakar
bersama-sama dengan jenazah suaminya. Sedangkan jika wanita yang meninggal dunia,
suaminya tidak dituntut untuk melakukan "Sutee" mati bersama-sama dibakar bersama
istrinya, malahan duda itu diperbolehkan menikah lagi. Walaupun upacara ini akhirnya
dilarang oleh undang-undang karena perjuangan para Misionaris Kristen di India, tetapi
kepercayaan ini masih tetap berlangsung di daerah yang terpencil di India.108
Selain ajaran agama di India, di Cina pun, ajaran Kong Hu Cu tidak jauh berbeda
dari tetangganya di India. Kong Hu Cu mengatakan bahwa posisi wanita tetap harus patuh
di bawah pria, di sini pria itu maksudnya bisa suaminya, bapaknya, anaknya laki-laki
(khususnya yang pertama). Jadi otoritas wanita selalu di"subordinasi" oleh pria. Ajarannya
selalu terkait dengan dunia pemerintahan yang memang dikuasai laki-laki pada jaman itu.
Murid-muridnya pun semuanya laki-laki tidak ada catatan kalau ia mempunyai murid
seorang perempuan. Wanita yang melahirkan anak perempuan diperlakukan tidak
sewajarnya atau tidak dihargai seperti jika ia melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-
laki yang memegang kendali keturunan, marga akan diturunkan dari laki-laki bukan
perempuan.109
Agama Islam pun mempunyai kesamaan tentang kedudukan wanita dalam upacara
agama. Wanita selalu berada dibelakang pria saat mereka melakukan ibadah. Wanita yang
menstruasi tidak diperbolehkan memasuki mesjid. (Hal ini pun berlaku juga di beberapa
tempat suci Hindu di Bali). Alasannya adalah wanita dalam kondisi tidak bersih, atau
"najis". Dorothy R.Rape menuliskan pengalamannya saat ia membaca sebuah tulisan di
sebuah mesjid dengan perkataan seperti berikut, "Women, dogs, and Other Impure
Animals not permitted." Ia juga menceritakan bagaimana Muhammad pernah menikahi
seorang gadis yang baru berumur sembilan tahun.110

108
James Kennedey, Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? Dan Bagaimana Jika Alkitab
tidak pernah Ditulis? (Jakarta: Interaksara, 1999) 231.
109
Dorothy, 25.
110
Ibid.
42

BAB IV
PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIK ALKITABIAH

A. Asas-Asas Pedoman Hermeneutik Alkitab

Kaum Feminis sudah mengotak-atik doktrin Allah Tritunggal serta berani mengganti
istilah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus dengan istilah dan prinsip yang mereka buat
sendiri. Mereka memakai metode hermeneutik ‘orthopraxis’ yang artinya ajaran teologi
mereka bukan hanya dipahami secara dogmatis/secara teori pengajaran saja ‘orthodoxy’
tetapi ajaran mereka harus diwujudkan, dilakukan dan dipraktekkan secara nyata.
Gereja harus berani dengan jujur untuk berapologetika menguraikan fakta-fakta dan
kebenaran pemakaian istilah Allah Tritunggal. Dalam membahas doktrin Allah, khususnya
Allah Tritunggal ini, kita harus mempunyai prinsip-prinsip Alkitabiah yang benar (sebagai
'presaposisi atau 'starting point') yang harus dijadikan pedoman untuk memahami
penafsiran istilah Allah, diantaranya:
Pertama, Allah hanya dapat dikenal dengan dua macam pewahyuan; wahyu umum -
‘general revelation’ dan wahyu khusus - ‘special revelation’.111 Melalui wahyu umum,
Allah dapat dikenal secara umum oleh semua manusia tanpa terkecuali tanpa perlu melihat
penyataan Allah di dalam Alkitab. Wahyu umum ini tidak dapat menebus dosa manusia dan
tidak dapat menyelamatkan manusia dari murka Allah, yang dapat menyelamatkan manusia
adalah wahyu khusus yang terdapat di dalam diri Yesus Kristus dan Alkitab. Pendekatan
dan penghayatannya dapat dimulai dari sudut pandang aspek seluruh aspek kehidupan
manusia; seperti sosial, historis, psikologi, biologi, dll.
Kedua, pengenalan gereja akan Allah tetap terbatas, yaitu sejauh Allah menyatakan
diriNya kepada gereja yaitu persekutuan umat pilihanNya, sejauh mana Ia membukakan
diri sejauh itu pula batas gereja mengenal Dia. John M. Frame mengatakan tentang
keterbatasan pengetahuan manusia (baik dalam bahasa, pikiran, keadaan, jaman, kondisi,
perasaan dll.) untuk memahami keberadaan Allah, ia menguraikannya sebagai berikut :

(1) God’s thought are uncreated and eternal; ours are created and limited by time.
(2) God’s thought ultimately determine, or degree, what comes to pass. God’s
thoughts cause the truths that they contemplate; our do not. This is the lordship
attribute of control in the realm of knowledge. (3) God’s thought, therefore, are
self-validating; they serve as their own criteria of truth. (4) God’s thought always
111
Louis Berkhof, Systematic Theology, (Michigan: WM B. Eerdmans, 1986) 36.
43

bring glory and honor to Him because God is always “present in blessing” to
Himself. (5) God’s thought are originals of which ours, at best, are only copies,
images. (6) God does not need to have anything “revealed” to Him; He knows
what He knows simply by virtue of who He is and what He does. He knows, then,
at His own initiative. But all of our knowledge is based on revelation. When we
know something, it is because God decided to let us know it, either by Scripture or
by nature. (7) God has not chosen to reveal all truth to us. We do not know the
future, beyond the what the Scripture teaches.112

Arti kutipan di atas, (1) Pikiran Allah adalah kekal dan tidak diciptakan;
pikiran kita dicipta dan dibatasi oleh waktu. (2) Pikiran Allah sangat pasti dan terencana
terhadap segala sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang, sedangkan manusia tidak
dapat. (3) Pikiran Allah absah dalam diriNya sendiri; hanya melayani kriteria kebenaranNya
sendiri. (4) Pikiran Allah selalu membawa kemuliaan dan pemujaan kepada diriNya karena
Allah selalu menjadi berkat untuk diriNya sendiri. (5) Pikiran Allah adalah pikiran yang
orisinil sedangkan pikiran manusia yang terbaik pun merupakan jiplakan dari pikiran Allah.
(6) Allah tidak memerlukan sesuatu yang ‘dibukakan-diwahyukan’ pada diriNya. Ia
mengetahui sebagaimana ia tahu dari nilai diriNya sendiri dan apa yang Dia lakukan.
PengetahuanNya berasal dari inisiatifNya sendiri tidak dipengaruhi oleh sesuatu di luar
diriNya. Tetapi semua pengetahuan kita secara menyeluruh didasarkan atas pewahyuan.
Ketika kita tahu sesuatu, hal itu karena Allah memutuskan untuk memberitahukannya pada
kita, baik melalui Alkitab atau alam. (7) Allah tidak memilih untuk memberikan semua
kebenaranNya kepada kita, kita tidak mengerti masa depan kita bahkan pengetahuan yang
melebihi Alkitab.
Ketiga, percaya bahwa Alkitab adalah wahyu Allah dan mempunyai otoritas
tertinggi dari segala sumber pengetahuan tentang Allah, hanya di dalam Alkitab satu-
satunya sumber pengetahuan pengenalan akan Allah yang Sejati. Alkitab sudah sempurna
dan mencukupi kebutuhan kita akan pengenalan Allah, tidak memerlukan penambahan dan
pengurangan, pereduksian atau perevisian.113 Kesukaran dalam memahami Alkitab bukan
merupakan kesalahan Alkitab tetapi biarkanlah kesukaran itu dijawab Alkitab sendiri atau
biarkanlah Alkitab menafsirkan Alkitab sendiri (Scriptura Scripturae interpres, that is,
Scripture is the interpreter of Scripture; and (2) omnis intellectus ac expositio Scripturae
sit analogia fidei, that is, let all understanding and exposition of Scripture be in

112
John M. Frame. The Doctrine of the Knowledge of God, (New Jersey: Presbyterian and
Reformed., 1987) 22-23.
113
Ibid 81.
44

conformity with the analogy of faith). 114 Alkitab hanya berbicara sebatas Allah mengijinkan
pengetahuan tentang diriNya itu dimiliki manusia.115
Keempat, menyelidiki diri Allah haruslah dilakukan dengan kesungguhan hati,
ketaatan, takut dan gentar serta dengan hati penuh penyembahan dan pengucapan syukur,
agar jangan menyebut nama Allah kita dengan sia-sia (Kel. 20:1-17). Kita harus sadar
bahwa yang kita teliti bukan ‘obyek’ tetapi subyek yang mencipta kita, yaitu Allah yang
jauh melampaui segala akal, pikiran dan pengetahuan kita.
Jalan satu-satunya untuk mengerti dan mengenal Allah secara benar dan
bertanggung jawab adalah melalui pewahyuan Allah di dalam Alkitab di mana Allah sendiri
berbicara tentang siapakah diriNya. Walaupun ‘misteri’ tentang Allah ini sudah dapat kita
mengerti, hal ini bukan berarti pengetahuan dan pengertian kita dapat dengan sempurna
mengenal diri Allah.

The Triune identity of God who gives us His very self knowable, strictly, only
through revelation. But even though the mystery is known, it permanently eludes
human comprehension. The mystery of the presence of the three-personed God to
human knowledge and love in grace is inexhaustible and in that sense never fully
comprehensible or expressible. To be sure, faith, is the source of our knowledge of
this mystery. But since its object is the transcendent God, this knowledge can never
be complete of comprehensive.116

Hanya melalui ‘iman’, yang merupakan ‘pintu’ pengetahuan, kita dapat mengenal Allah
yang sejati yang khusus diberikan hanya kepada anak-anakNya.
Tantangan bagi teolog Feminis adalah melihat ulang metode mereka yang terlalu
dipaksakan dengan memakai satu metode hermeneutik pengalaman perempuan (walaupun
diluaskan keseluruh aspek kehidupan) untuk mencakup seluruh kesulitan dan 'kesalah
kaprahan' tradisi yang ada. Bahkan yang paling celaka adalah dengan memakai metode
'narrow minded' ini teolog Feminis berusaha mengubah dan merestruktur ulang semua
istilah yang dipusatkan pada istilah Allah. Alkitab jauh melampaui segala keterbatasan kita

114
Louis Berkhof, Principles of Biblical Interpretation (Sacred Hermeneutics), (Michigan: Baker,
1950) 26.
115
Elizabeth Achtemeier, "Exchanging God for ‘No God’: A Discussion of Female Language for
God", dalam Speaking the Christian God: The Holy Trinity and the Challenge of Feminism. (Michigan:
WM B. Eerdmans, 1992) 2.
116
J.A. Dinoia O.P, Knowing and Naming the Triune God: The Grammar of Trinitarian
Confession, dalam Speaking the Christian God the Holy Trinity and Challenge of Feminism, edited by
Alvin F. Kimel, (Michigan: WM B. Eerdmans, 1992) 164.
45

dalam menghayati segala problema kehidupan di dunia, baik penghayatan secara pemikiran
dan kognitif, maupun dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat affektif.
Sejak Mary Daly dengan berani mengatakan "God is male," said Mary Daly, "
Male is God",117 perkataan ini akhirnya menjadi problema besar bagi teologi Feminis.
Kemudian timbul diskusi dunia sekuler yang dimulai oleh beberapa kaum perempuan yang
mempunyai kesamaan ide, atau paling tidak yang menyetujui pendapat Mary Daly ini.
Mary A. Kassian dengan tegas mengatakan bahwa Feminis Kristen menolak semua bias
budaya patriarkal yang ada di dalam Alkitab. Mereka, termasuk Mary Daly dan beberapa
teolog Feminis, akhirnya malah menduga bahwa penulis Alkitab (autographa) memang
sengaja menuliskan tradisi kebudayaan yang mempengaruhi mereka dengan menonjolkan
dan mengutamakan kelelakian daripada kewanitaan, kaum wanita didesak, diperas,
dijadikan kambing hitam, pokoknya segala hal yang jahat dan jelek berasal dari kaum
perempuan.118 Letty Russel mengatakan,

The Bible was written in a patriarchal culture in which the father was supreme in
clan, family, and nation, and wifes and children were legally dependent. The
interpretation and translation of the Bible through the centuries has been carried
out in societies and Christian communities that are male-centered, or androcentric.
Just as non-Western cultures must seek to liberate the white, Western
interpretations of Scripture and theology so that they are heard a new in different
cultures and sub-cultures, women must seek to liberate the interpretation of God's
Word from male-bias.119

Menurut teori teologi Feminis, simbol-simbol linguistik memberikan bentuk bagi


masyarakat untuk bertindak, asal tingkah laku masyarakat berubah. Kemudian simbol
tradisi linguistik akan ditantang untuk menghadapi hal ini. Menurut Russel, hal ini saling
timbal balik mempengaruhi antara penggunaan linguistik dengan tingkah laku masyarakat,

Language and social structures are reciprocal in relationship. Language not only
shapes given concepts of reality and ways of acting, it is also shaped by changes in
concepts and social behaviour…. The type of biblical and theological language
used in church services of worship, discussion group[s] educational ……tends to

117
Mary Daly, The Qualitative Leap Beyond Patriarchal Religion, Quest (women and Spirituality)
(1974): 21, di dalam Alvin Kimel, Speaking the Christian God: The Holy Trinity and Challenge of
Feminis, (Michigan: Wm B. Eerdmans, 1995) 21.
118
Mary A. Kassian, The Feminist Gospel, 136.
119
Letty M. Russel, The Liberating Word: A Guide to Non-Sexist Interpretation of the Bible,
(Philadelphia: Westminster, 1976) 15.
46

exclude women from the Christian community. Women…becoming conscious of


their social exclusion reflected in that language.120

Metode pendekatan Feminis ini menganggap bahasa adalah simbol manusiawi,


bahasa itu dapat menggambarkan kenyataan yang berada di luar dirinya melalui gestur,
lukisan, imej, ritme, metafor, simile, mitos, -hal ini hanya merupakan simbol saja. Secara
tradisi simbol gereja dalam menyebut Allah sebagai IA-laki-laki, Raja, Tuan dan Hakim,
semua berorientasi pada bahasa laki-laki. Simbol dalam tradisi gereja ini membuang
keberadaan perempuan. Maka menurut teolog Feminis simbol lingusitik ini perlu diganti
dan direvisi untuk membawa simbol itu ke dalam bahasa inklusif kesedejaratan antara
wanita dan pria.

We can not wait for a new generation of female or male scholars to publish new
Bible translations and commentaries the hitherto unconscious sexist bias of writers,
most of whom are male. Right now, women sit with men in the pews of the
church.121

Ruether melihat ada tiga problema dasar penggunaan tradisi bahasa dalam gereja,
pertama, mendukung adanya 'stereotypes'122 inferioritas dan superioritas, kedua
pengasingan kaum wanita dalam penafsiran Alkitab dan tradisi gereja, ketiga, pembatasan
Allah dalam konsep patriarkal yang sempit.123 Dengan bahasa inklusif kaum Feminis
merevisi Doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus seperti demikian,

Our Father, who art in heaven, Our mother/Father, who is every where,
Hallowed be Thy name, Holy be your names,
Thy kingdom come, May your new age come
Thy will be done, May your will be done
On earth, as it is in heaven In this and in every time and place
Give us this day our daily bread Meet our needs each day and
And forgive us our debts, Forgive our failure to love
As we forgive our debtors. As we forgive this same failure in
others.
And lead us not into temptation, Save us in hard times, and
120
Ibid 16-17.
121
Letty, 14.
122
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: UI, 1993), Steriotip (Kornblum): citra yang
kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra
tersebut. Steriotip (Banton): kecenderungan bahwa sesuatu yang dipercayai orang bersifat terlalu
menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta obyektif, Steriotip superego (Janowitz dan Bettleheim):
melihat bahwa suatu kelompok mempunyai sifat-sifat pribadi tertentu, seperti sifat ambisi, rajin, penuh
usaha, cerdas, curang, tidak jujur. Steriotip id (Janowitz dan Bettleheim): melihat bahwa suatu kelompok
yang cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat bersifat malas, tanpa tanggung jawab, tidak
berambisi, bodoh, malas, tidak bisa menahan diri.
123
Ibid 18.
47

But deliver us from evil, Lead us into the ways of love,


For Thine is the kingdom, For yours is the wholeness,
and the power, and the power
And the glory, forever, Amen. And the loving, forever, Amen. 124

Bahkan Russel mengusulkan beberapa prinsip pandangan agar gereja mengubah istilah
Allah yang memakai gender laki-laki dengan bahasa inklusif kaum Feminis,
1. Do not use Man or Brotherhood in the generic sense, substitute inclusive
language such as persons, people, everyone.
2. Avoid masculine pronouns to refer to men and women together by using "he
and she", or by shifting to the plural form.
3. Avoid use of male-dominant phrases where all the people of God are to be
included. Sons of God to children of God; "faith of our fathers" to "faith of our
forbears, ancestors, or forerunners."
4. Call both women and men by their full names. Not John Brown and his wife,
but John and Sally Brown, or Ms. when preferred by women.
5. Alternate references to women and men in speech and writing, he and she, she
and he, etc.
6. Refer to the clergy as clergy persons rather than clergymen; clergy and
spouses, not clergy and wives.
7. Avoid referring to people and the church with female pronouns.125

Russel juga mengusulkan perubahan-perubahan dalam konsep penyebutan nama Allah bagi
orang Kristen:
1. "Names for God should avoid excessive use of male imagery and pronouns and
those which model the social relationships of patriarchal culture, such as
'Father', 'King', 'master'. …It is also helpful to include references of both
masculine and feminine pairs (Mother and Father, he and she)."
2. Avoid the overuse of the words "Our Father," substitute "Our Parent" or Our
God."
3. Emphasize non-sex specific words for God, such as Spirit, Wisdom, Glory,
Holy One, Rock, Fire, First and Last, Sustainer, Liberator, Creator, Advocate,
Maker, Defender, Friend, Nurturer. In addition, it is suggested that the
trinitarian formula of "Father, Son and Holy Spirit," be changed to "Creator,
Redeemer, Sustainer," or "Source, Servant, Guide."
4. Speak about Jesus as male only when the designation refers to his earthly life as
a male.
5. Speak of the Holy Spirit as "she" or "it".126

124
Mary A. Kassian, 143.
125
Letty M. Russel, 142.
126
Ibid.
48

Teolog Feminis yakin sekali dengan perubahan simbol dan pemakaian bahasa inklusif
akan membawa gereja semakin mendekat pada sifat karakter sejati Allah. Mary A.
Kassian menuliskan sebagai berikut,

Because the Bible symbolizes God as possessing "feminine" characteristic, feminist


felt that they could take the liberty of calling God "She" or "Mother" this argued
would more acurately communicate the true character of God. Feminist took a
quantum leap, however, when they moved from observing the feminine
characteristic of God to the practice of addressing God with feminine prounouns.
When feminist changed biblical language about God they changed the biblical
image of God.127

Hermeneutik teolog Feminis ini dikritik oleh Mary A. Kassian dalam beberapa cara
metode penafsiran mereka. Pertama, teologi Feminis telah men'seksualitas'kan Allah
pencipta sebagai Allah ciptaan yang mempunyai gender sebagai laki-laki atau perempuan
atau pun netral. Ketika teolog Feminis mengubah simbol bahasa maskulin menjadi simbol
bahasa feminin dalam penjelasannya tentang Allah, sebenarnya mereka sedang
merendahkan posisi Allah dari pencipta sebagai mahluk ciptaan.128
Dengan menamakan kembali Allah dengan sebutan "She"/"He"-Ia perempuan/Ia
laki-laki berarti hal ini mengotak-atik kemerdekaan Allah sebagai pribadi yang sepenuh-
penuhnya bebas. Allah adalah suatu pribadi yang bebas menyatakan wujud diriNya dalam
metafor yang dipilih olehNya sendiri baik Ia sebagai pribadi "laki-laki" atau "perempuan".
Menamakan ulang pribadi Allah dengan mengganti istilah baru yang "bernafaskan warna
feminin" mengindikasikan secara logis berarti mengikis kemerdekaan ontis pribadi Allah.129
Pemakaian kata-kata 'maskulin' untuk pribadi Allah Tritunggal bukan hanya masalah
penggunaan bahasa kiasan fenomenal saja yang dapat diganti-ganti tetapi hal ini mengacu
kepada pemikiran yang lebih mendalam secara ontologis yaitu menerangkan karakter
pribadi Allah yang luas dan dalam artinya. Penggunaan istilah yang patriarkal ini bukan
seperti yang diduga oleh teolog Feminis yaitu penulis Alkitab dipengaruhi oleh pengalaman
budaya yang menjunjung tinggi nilai manusia laki-laki. Pemilihan kata-kata ini benar-benar
didasarkan atas pemilihan Allah sendiri untuk memakai kata-kata atau istilah yang Dia
ingin sampaikan kepada manusia tentang siapakah diriNya dalam komunikasi secara
akomodasial.

127
Mary A. Kassian, 144.
128
Ibid.
129
Ibid, 145.
49

Pemakaian sebutan Allah 'Lord, King, Judge, and Father' bukan simbol yang
berkorespondensi dengan perasaan suatu kelompok, kaum atau kelas sosial tertentu.
Namun hal ini semata-mata ditujukan kepada suatu realitas keberadaan Allah secara ontis-
Nya. Jadi hal ini lebih mengacu kepada keobyektivitasan dari pada kesubyektivitasan. Jadi
kalau simbol ini diubah maka secara langsung juga menyerang hakekat terdalam dari
karakter Allah.130
Kalaupun teolog Feminis tetap memaksakan kehendaknya mengubah istilah nama
Allah yang berwarna kelelakian ini berarti akan mengakibatkan hilangnya relasi dalam diri
'inter-personal-relationship' pribadi-pribadi Allah. Karena kedudukan Bapa dan Anak
serta Roh Kudus mustahil dapat diganti dengan nama lain yang mempunyai kualitas
kedalaman, kesatuan dan keharmonisan seperti yang sudah diwahyukan Allah dalam
Alkitab.
Hubungan ketiga pribadi Allah itu bukan hanya pengertian hubungan tubuh secara
kontak fisik, secara psikologis, secara sosial-ekonomis, melainkan hubungan itu lebih
mengarah kepada 'alam-Being' yang dimiliki oleh Allah. Jadi istilah yang dipakai itu
sebenarnya merupakan suatu jembatan atau pijakan pengertian yang memang Allah
gunakan untuk menerangkan siapakah diriNya dengan bahasa (manusia) yang terbatas
untuk memahami Allah yang tak terbatas. Jadi masalah dalam teologi Feminis sebenarnya
terletak pada metode hermeneutik mereka yang hanya menekankan salah satu aspek
metode penafsiran saja (yaitu metode penafsiran pengalaman perempuan yang tertindas).
Teolog Feminis menyangkal hubungan pribadi Allah Tritunggal (yang diwahyukan Allah
dalam Kitab SuciNya) maka konsekuensinya mereka secara otomatis menyangkal juga
keberadaan Allah yang seutuhnya.131
John Calvin mengatakan bahwa pengenalan Allah akan membawa pencerahan pada
pengenalan siapakah diri manusia,132 maka jika teolog Feminis tetap menggunakan bahasa
inklusif yang dicocokkan dengan pengalaman kaum perempuan. Pemakaian bahasa itu
bukan semakin memperjelas pengertian kita tentang diri Allah tetapi semakin mengaburkan
dan mengacaukan keberadaan Allah. Tidak hanya sampai di situ saja, bahkan mungkin
yang jauh lebih parah adalah menggantikan Allah sejati dengan Allah palsu ('allah' yang
dikonseptualisasikan oleh para teolog Feminis). Akibat lainnya adalah kaum perempuan itu
130
Ibid.
131
Donald Bloesch, The Battle for the Trinity, The Debate over Inclusive God-Language, (MI:
Servant Book, 1985) Xviii.
132
John Calvin, Institute of the Christian Religion, (Michigan: WM.B. Eerdmans, 1989) trans.
Henry Beveridge, Buku I, Bab I, paragraf 1, 37-38
50

akhirnya tidak dapat mengenal dengan jelas siapakah dirinya sendiri, di mana kedudukan
mereka, sampai akhirnya membawa mereka memberanikan diri menyatakan bahwa diri
mereka adalah "allah", seperti Virginia R. Mollenkott memproklamasikan dirinya, ' I am a
manifestation of God. God Herself! God Himself! God Itself! Above all. Through all.
And in us all'. 133
Allah Alkitab berbeda dengan 'allah-allah' yang disembah oleh penyembah berhala,
'allah-allah' mereka tidak mempunyai suatu 'consort' - hubungan pasangan paling intim
yang mau tidak mau secara hakekat tidak dapat dipisahkan keberadaanNya (seperti suami-
istri). Hubungan ini pun diutarakan oleh Yesus bahwa Dia melambangkan diriNya sebagai
mempelai laki-laki dan gereja sebagai mempelai perempuan.
Sebenarnya Kitab Suci benar-benar dijaga oleh Allah dari pengaruh perbuatan dosa
yang dapat membawa kepada kesalahan dalam penulisan Alkitab, maksudnya Roh Kudus
melindungi dan menjaga kekudusan isi Kitab Suci dari pengaruh sifat-sifat keberdosaan
penulis yang mula-mula. Kalau ditelusuri dengan teliti Alkitab juga banyak memberikan
bahasa figuratif dengan memakai nuansa imajinasi gambaran feminin, misalnya, Yes. 42:14,
Luk. 14:9, Kis. 17:26, Rom. 8:22, Ayb. 38:8, Yoh. 3:1-6, Yoh. 16:21, Gal. 4:19, Ul. 11:12,
Hos. 11:3-4, Yes. 46:3, Gal. 3:27-28, Maz. 102:25-26, Ul. 32:11-12.
Pada awalnya teolog Feminis menamai ulang keberadaan diri mereka, kemudian
menamai dunia lingkungan mereka, kemudian tidak puas dengan hal di atas, akhirnya
sampai mereka menamai ulang nama Allah. Dengan demikian mereka telah menggantikan
'hak prerogatif' Allah dalam memberikan nama kepada Allah sendiri. Kalau dilihat dari
amanat agung Allah kepada Adam, yang diberiNya hak untuk menamai seluruh binatang
yang ada tetapi Adam tidak mempunyai daya untuk menamai dirinya sendiri, apalagi
menamai Allah. Allah memperbolehkan manusia bertanya tentang namaNya, tetapi Allah
tidak pernah memperbolehkan manusia menamai diriNya.
Manusia tidak mampu menamai dirinya sendiri karena hanya Allah yang mampu
memberikan nama manusia (Adam-Hawa). Kalau ditinjau dari sudut peristiwa hari
penciptaan, maka teolog Feminis seharusnya sadar dan tunduk kepada otoritas Alkitab dan
Allah, sebab jika tidak demikian teolog Feminis sedang melanggar perintah Allah. Mereka
bukan saja melanggar tetapi juga sudah berani menentang Allah dengan meninggikan diri
mereka yaitu dengan memberi nama kepada Allah. Manusia tidak berhak memberi nama
Allah. Allahlah yang berhak memberi nama manusia, urutan ini jika dibalik akan sangat
133
Virginia Ramey Mollenkott, Godding: Human Responsibility and the Bible, (New York:
Crossroad, 1988), 64.
51

fatal akibatnya. Sebab arah penyembahan umat Tuhan akan berubah dari teosentris menjadi
anthropo(female)sentris.
Kalau kritikan metode hermeneutik Feminis memakai tradisi gereja yang diambil
dari pemikiran bapa-bapa gereja, yang mana menurut kaum Feminis sangat merendahkan
martabat dan kedudukan wanita, kritikan ini tidak beralasan kuat sebab jikalau diteliti lagi
dengan cermat karya-karya bapa-bapa gereja banyak memakai gambaran seorang
perempuan dalam karangan-karangan mereka. Di bawah ini penulis memberikan contoh
yang lumayan banyak tentang tulisan dari bapa-bapa gereja yang membahas isi teologinya
dengan memakai simbol linguistik bahasa feminin:

Clement of Alexandria's Paidagogos focuses nearly a whole chapter on a maternal,


suckling God. To Clement, the aspect of God's nature that has sympathy with
humankind is Mother: "By His loving," Clement says,"The Father became of
women's nature. 134

St. John Chrysostom (347-407 A.D.) uses allusions to God's motherhood in his
Homilies on the Gospel of Saint Mattew. In his baptismal Instructions Chrysostom
says that "Just a woman nurtures her offspring with her own blood and milk, so
also Christ continuously nurtures with His own blood those whom He has
begotten. At the same time St. Ambrose of Milan speaks of "the Father's Womb"
and even of the nourishing breasts of Christ.135

Others in the orthodox Christian tradition who utilize one or several of the biblical
images of God as female include Valentius (2nd century), St. Gregory of Nyssa (±
395 A.D.), St. Augustine of Hippo (354-430), Peter Lombard (1110-1164),
Thomas Aquinas (1225-1274), St. Bonaventura (1221-1274), etc. 136

B. Analisa Ayat-Ayat Teologi Feminis

1. Markus 14:3-9

Markus 14:3-9 (Yoh. 12:1-8, Mat. 26:6-13) ayat-ayat ini adalah ayat yang
memberikan pencerahan kepada teolog Feminis, khususnya Elizabeth S. Fiorenza,
134
Jennifer Perone Heimmel, God Is Our Mother: Julian of Norwich and the Medieval Image of
Christian Feminine Divinity, (Dessertation ) (MI: University of MI., 1980) 5.
135
Ibid 21-22.
136
Virginia Ramey Mollenkott, The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female,
(New York: Crossroad, 1984) 8-13.
52

karena ayat ini telah membuka kesadaran dirinya tentang betapa penting nilai perempuan
yang sudah dibuang. Ia mengatakan bahwa 'partisipasi' Feminis dalam membangun inti
pesan Injil sangat kuat signifikansinya dalam Mrk. 14:9b ,'…untuk mengenang dia'.
Apakah memang tujuan ayat ini tema intinya ada di ayat 9b ataukah tema intinya berbeda.
Untuk menentukan apakah dalam Markus 14:3-9b tema intinya adalah untuk mengenang
wanita yang mengurapi Tuhan Yesus, ataukah ayat 9b ini hanyalah suatu sub-tema?
Sebaiknya tafsiran ayat ini harus kembali dilihat secara tekstual melihat perbandingan
antara Markus, Matius dan Yohanes. Kata-kata atau kalimat "…untuk mengenang wanita
itu" hanya ada di dalam Injil Markus, tidak ada di Injil lain berarti keberadaan teks ayat 9b
bukan merupakan teks yang menentukan arti dari konteks secara keseluruhan, artinya nilai
kepentingan ayat 9b ini tidak sedemikian 'crucial' dan yang ditekankan, sebab Kitab Injil
lain tidak mencantumkan teks ayat 9b ini. Alasan kedua, jika teolog Feminis mengambil
ayat 'minor' ini untuk kepentingan secara 'mayor' maka mereka salah dalam menerima
berita sesungguhnya yang dimaksudkan oleh penulis Injil. Penekanan arti pun akan kabur.
Pasal 14 ayat 9b dalam Injil Markus merupakan ayat yang ditujukan untuk kepentingan
pembaca jaman dan situasi saat penulisan kitab ini.
Secara umum kebanyakan kata kerja dalam Injil Markus ini memakai jenis kata
kerja bentuk 'present tense', sehingga menunjukkan bahwa hal yang dipentingkan adalah
perbuatan yang dilakukan oleh Yesus saat Ia memulai karya penebusanNya yang
dampaknya terasa sepanjang sejarah, penekanannya adalah karya (perbuatan)
keilahianNya. Begitu juga dengan Markus 14::9b, konteksnya adalah menekankan
pelayanan Kristus bukan pada perbuatan dan pribadi wanita yang mengurapinya, namun
tujuan dari perbuatan wanita yang mengurapi Tuhan Yesus merupakan spontanitas dalam
dirinya. Ia melakukan ini bukan untuk pamer, tetapi sebagai ungkapan rasa syukurnya atas
kehadiran Kristus dalam kehidupannya pada saat itu. Inti tema Markus secara menyeluruh
adalah menekankan pada perbuatan Yesus bukan perbuatan wanita yang mengurapi
Yesus. Perkataan Yesus dalam teks perikop Markus 14:3-9 ini adalah apa yang dilakukan
oleh wanita itu tujuan utamanya untuk mengenang peristiwa perjalanan penderitaan
diriNya sampai kepada kematian di kayu salib. Jadi melalui peristiwa pengurapan yang
dilakukan wanita ini, Yesus ingin memperingatkan dan mempertajam arti dan dampak
peristiwa kematianNya.
Karena iu jika teolog Feminis (khususnya Elizabeth S.Fiorenza) menitikberatkan
hanya pada peristiwa seorang wanita yang mengurapi Yesus maka secara teks dan konteks
53

korpus kitab dan kanon tidak cocok. Bahkan hal ini akan menyimpang dari yang dikaitkan
dan diajarkan oleh Yesus apalagi jika yang disoroti hanyalah kepentingan pribadi
kewanitaannya maka akan semakin mengaburkan arti teks yang sesungguhnya.

2. Efesus 5:21-23

Ef. 5:21-23, menurut penafsiran teolog Feminis ayat-ayat ini menyatakan


ketidakadilan dan ketidakseimbangan terhadap peranan wanita yang harus selalu tunduk
kepada laki-laki. Susan Brooks Thistlethwaite menafsirkan ayat ini sebagai berikut,

Ef 5:21-23 is a very difficult passage for abused women to find self-respect and
some control over their lives. A preliminary study of this passage modifies extreme
misinterpretation by demonstrating that to be "subject" (v 21)…This type of
subjection appears compatible with the Ephesians passage, since only wives are
admonished to "respect" their spouse.137

Di sini terlihat bahwa Thislethwaite menafsirkan dengan perasaan curiga bahwa


Paulus adalah seorang yang sangat dipengaruhi oleh sistem peranan patriarkal,
kepentingan laki-laki lebih menonjol. Dengan jelas ia meremehkan wanita karena hanya
wanita saja yang disebut harus 'tunduk' kepada pria dan wanita harus menghormati pria
sebaliknya tidak ada pesan dari Paulus yang mengatakan bahwa laki-laki harus
menghormati dan 'tunduk' kepada istri.
Kalau dilihat dari latar belakang konteks historis dan budayanya saat itu, maka kita
akan mengerti alasan Paulus memakai analogi hubungan suami istri yang disamakan
dengan hubungan Kristus (sebagai mempelai laki-laki) dan gereja (mempelai perempuan).
Paulus melihat keadaan jemaat di Efesus saat itu banyak dipengaruhi oleh tradisi Yahudi
dan Yunani yang sangat merendahkan martabat wanita. William Barclay mengatakan,

Bangsa Yahudi sangat memandang rendah wanita. Dalam doanya setiap pagi,
seorang pria Yahudi selalu menyatakan ucapan syukurnya karena Allah tidak
menciptakannya "sebagai bangsa kafir, sebagai budak atau sebagai wanita". Dalam
hukum Yahudi wanita bukan mahluk tetapi dianggap sama dengan benda.138
137
Susan Brooks Thislethwaite, "Every Two Minutes: Battered Women and Feminist
Interpretation", ed. Letty M. Russel, Feminist Interpretation, 104-105.

William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus, (terjemahan) (Jakarta:
138

Gunung Mulia,1992) 253-254.


54

Di Yunani keadaan wanita jauh lebih parah daripada di Yahudi, percabulan


merupakan hal yang sangat wajar dan tidak ada pelarangan. Demosthenes menetapkan
suatu aturan hidup yang menarik, "Kita memiliki banyak pelacur untuk memenuhi
kesenangan kita; kita memiliki banyak gundik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari; kita memiliki istri untuk memperoleh anak yang sah dan supaya urusan-urusan rumah
tangga kita dapat dikelola dengan baik.139
Jadi tujuan pemikiran Paulus ini bertolak belakang dengan prasangka hermeneutik
teolog Feminis, yang mengatakan Paulus itu sangat bersifat maskulin dan merendahkan
derajat wanita. Sebaliknya yang terjadi adalah Paulus ingin membela kepentingan kaum
wanita yang tidak mendapatkan keadilan selama ini. Metode secara konteks sejarah dan
sosialisasi penulisan Alkitab dan latar belakang kehidupan penulis Alkitab banyak
dikesampingkan oleh teolog Feminis. Dengan jelas dan nyata sekali metode pendekatan
historis dan latar belakang penulisan dikesampingkan oleh teolog Feminis.
Istilah kata "tunduk" /Hupotassomai/ mempunyai arti secara literal adalah 'to
subject one-self, place oneself in submission'. Arti kata "tunduk" ini bukan hanya ditujukan
hanya untuk kaum wanita saja, lihat ayat 21 'dan rendahkanlah dirimu seorang akan yang
lain di dalam takut akan Kristus,' kata "rendahkanlah" dalam bahasa aslinya memakai kata
yang sama persis dengan kata "tunduk". Jadi kalau diteliti pada teks perikop sebelumnya
yaitu ayat 21, terlihat bahwa Paulus bukan hanya menekankan yang tunduk hanya istri saja
tetapi saling menundukkan diri satu sama lain. Jadi tidak ada alasan kuat jika Paulus pilih
kasih dalam memilih ayat dengan menekan kedudukan wanita dan meninggikan kedudukan
pria. Spiros Zodhiates menguraikan dan menjelaskan dengan sangat baik arti ayat-ayat ini,

Although ontological spirituality equality between men and women, there remain
physical, positional and functional differences. There are designated functions for a
husband and a wife which man cannot change because God has ordained them.
..change will bring frustration, vanity and emptiness. God has made one woman to
become a wife to one man, and she is so constituted by God Himslef. But this is
not due to her being inferior to her husband, for they both equal before God.
Submitting "one to another"- "Allelois" in the plural form dative indicating equality
of all concerned.140

Ibid 256-257.
139
140
Spiros Zodhiates, Word Study Series: The Complete Word Study Dictionary New Testament,
(Chattanoga: AMG, 1992) 1428.
55

Dalam kehidupan sosial masyarakat, semua laki-laki dan wanita mempunyai posisi
kedudukan yang sama baik dalam kepemimpinan, kemerdekaan, dan pengikutnya tetapi
fungsi tubuh mereka berlainan satu sama lain, tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan. Hanya perempuan yang dapat melahirkan anak, dalam mengerjakan hal ini
perempuan harus tunduk kepada laki-laki, karena laki-laki tidak diciptakan untuk bisa
melahirkan. Mereka, laki-laki dan perempuan, berbeda bukan karena keinginan mereka
tetapi karena Allah yang menjadikannya seperti itu, "And they are different not because we
want them to be, but because God made them to be so."141
Penundukan wanita ini hanya ditujukan kepada suami yang sah dalam pernikahan
yang Allah berkati dan kuduskan. Kalau dilihat secara menyeluruh tafsiran untuk kata
"tunduk" harus selalu dihubungkan dengan Kristus sebagai kepala -"kephale", relasi antara
kedua kata itu bukan menunjukkan adanya suatu tingkatan kekuasaan antara tuan dan
hamba dalam posisi manusia (laki-laki dan perempuan), tetapi hal ini lebih mengarah
kepada direksi tubuh yang harus taat menjalankan perintah (saling melayani-'mutual
serving') dari kepala. Ef 5:21-23 penekanannya bukan pada kekuasaan atau otoritas laki-
laki, tetapi pada ketaatan istri yang berasal dari kasih sang suami, ketaatan inilah yang
ditekankan dalam ayat 22. Maka dari itu tanggung jawab seorang istri adalah setelah
mendapatkan kasih yang tulus dari suami, seharusnyalah ia menundukkan diri kepada
suaminya, penundukan ini keluar dari kehendak hati yang bebas dan rela bukan dipaksakan
karena asalnya adalah kasih yang tulus dan murni sang suami.
Kepala gereja adalah Kristus, arti kepala -"kephale", bukan memfokuskan pada
kedudukan jabatan, kekuasaan atau keotoritasan tetapi lebih mengarah kepada tempat di
mana gerakan itu berasal. Jadi kepala adalah pusat segala gerakan dan arah dari
tubuh-'gereja', artinya asal gerakan tubuh itu dari kepala yang mengarahkannya, tanpa
pengarahan dari kepala ini tubuh tak dapat bergerak. Jadi arti Kepala Gereja adalah
seluruh gerak 'sebagai tanda kehidupan' atau kegiatan dari gereja-gereja sepanjang jaman,
segala tempat, segala jenis hanya menerima satu sinyal dan perintah dari Pusat Pengelola
dan Sumber Gerakan yaitu Kristus sebagai Kepala-Pusat timbulnya gerakan tubuh.142
Curtis Vaughan melihat penggunaan kata kerja Yunani dalam ayat 22 ini memakai
bentuk 'middle voice' maka terjemahan yang baik adalah istri secara

141
Ibid.
142
Frits Rienecker and Cleon Rogers, Linguistic Key to the Greek New Testament, (Michigan:
Zondervan,, 1980) 538.
ontologisnya/essensinya menundukkan dirinya sendiri tanpa ada yang memaksa dan
mendesak dia.143
Ayat yang secara eksplisit persis sama seperti ayat 22, 'hai istri tunduklah kepada
suamimu', memang tidak ada, tetapi jika diamati dari susunan kalimatnya yang
menggunakan kalimat pararel maka dapat disimpulkan bahwa secara implisit suami pun
harus tunduk kepada istri dalam arti, suami harus bertanggung jawab menjaga istrinya
seperti tubuhnya sendiri, jadi tafsiran Feminis secara teologis hermeneutiknya tidak benar
dan tidak sesuai dengan tema utamanya. Tema utamanya bukan hal kedudukan suami atau
istri lahiriahnya atau refleksi secara fisik hubungan suami istri, tetapi jauh lebih daripada itu
yang dimaksudkan oleh Paulus dalam menuliskan Efesus pasal 5 ini adalah hubungan
suami dengan istrinya hanyalah merupakan ilustrasi atau analogi gambaran hubungan
Kristus dengan gerejaNya.
Secara konteks jaman saat Paulus menuliskan surat ini kepada jemaat di Efesus
adalah mereka salah dalam memahami kedudukan laki-laki dan perempuan dan salah
mengerti tentang hubungan Kristus dengan gerejaNya. Di kota Efesus kedudukan laki-laki
dan perempuan dinilai begitu jauh dan sangat timpang, perempuan selalu dinomorduakan
tidak dianggap, disepelekan, direndahkan kedudukannya dalam status sosial, jabatan,
pemerintahan, dan keluarga. Maka dengan surat ini Paulus ingin meluruskan pengertian
mereka yang salah itu.144

3. Galatia 3:28

Galatia 3:28 dibandingkan dengan Kolose 3:11. Dalam Kol 3:11 ada rumusan
yang merupakan pengulangan dari rumusan Gal 3:28, suatu rumusan pembaptisan. Namun
dalam perumusan ulang ini kata perempuan disingkirkan sehingga berbunyi, "Dalam
hal ini tidak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tidak
bersunat, orang Yunani atau Orang Yahudi, orang bersunat atau orang tidak bersunat,
orang barbar atau orang sakit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan
di dalam segala sesuatu." Ungkapan "tidak ada laki-laki atau perempuan" oleh Susan

143
Curtis Vaughan, Bible Commentary: Ephesians, (Michigan: Lamplighter Books, Zondervan,
1977), 116.
144
William Barclay, Galatia dan Efesus, 255-257.

56
Brooks Thistlethwaite, diartikan bahwa Paulus tampaknya sengaja membuang peranan
wanita dalam suratnya kepada jemaat di Kolose.145
Penafsiran teolog kaum Feminis ini berbahaya sekali, karena dengan mengatakan
bahwa Paulus sengaja menghilangkan "tidak ada laki-laki atau perempuan" yang terdapat
di dalam Galatia, orang akan melihat Paulus sebagai rasul yang tidak konsisten
pendiriannya. Menurut penafsiran F.F. Bruce, dikatakan mengapa Paulus mencantumkan
"tidak ada laki-laki atau perempuan" dalam kitab suratan Galatia. Paulus mempunyai
maksud yang berbeda antara ia menuliskan suratnya kepada jemaat di Galatia dan di
Kolose, konteks suratnya ditujukan kepada pembaca yang berbeda latar belakang dan
kehidupannya. Jemaat di Galatia adalah jemaat yang mempunyai latar belakang ke-Yahudi-
an sangat kuat, sehingga ia menegaskan bahwa pemisahan antara laki-laki dan perempuan
itu berbahaya sekali, maka ia menuliskan tambahan frase ayat "tidak ada laki-laki atau
perempuan" untuk menegaskan akan kesalahan kebudayaan atau tradisi yang sudah
mereka lakukan sebelumnya.146 Sedangkan pada jemaat Kolose, Paulus menuliskan
apologetikanya kepada ajaran sesat yang tidak sespesifik di Galatia.147
Konteks Perjanjian Lama tentang sakramen dilambangkan dengan "sunat"
(hanya bagi kaum laki-laki) dan Perjanjian Baru dilambangkan dengan baptisan (untuk baik
bagi kaum laki-laki atau perempuan). F. F. Bruce mengatakan,

Whereas Paul's ban on discrimination on racial or social grounds has been fairly
widely accepted au pied de la lettre, there has been a tendencey to restrict the
degree to which "there is no "male and female" . Thus it has been argued that these
words relate only to the command access of men and women in baptism, with its
introduction to their new existence "in Christ". True, Paul may have been had ini
mind that circumcision involved a form of discrimination between men and women
was removed when circumcision was demoted from its position as religious law,
whereas baptism was open to both sexes indiscriminately. But the denial of
discrimination which is sacramentally affirmed in baptism holds good for the new
existence 'in Christ' in entirely. No more restriction is implied in Paul's equalizing of
the status of male and female in Christ …148

Jadi mengapa Paulus tidak mencantumkan Galatia 3:28 akhir dalam Kolose, alasan
pertama, setiap surat yang ditulis oleh Paulus mempunyai pembaca atau pendengar yang
berbeda-beda antara satu surat dengan surat yang lain, pembaca surat Galatia adalah orang
145
Susan Brook T., 105.
146
F., F. Bruce, Commentary on Galatians, (Michigan: William B.Eerdmans, 1982) 189-190.
147
M. H. Bolkestein, Tafsiran Kolose, (Jakarta: Gunung Mulia,1950) 10-13.
148
Ibid.

57
58

Kristen berlatar belakang ke-Yahudian yang sangat kuat, sedangkan Kolose pembacanya
mempunyai latar belakang kebudayaan Yunani yang Helenistiknya kuat. Alasan kedua,
semua tulisan Paulus tidak boleh dipisah-pisahkan namun sebaliknya harus dipersatukan
dengan pemikirannya secara 'wholly' menyeluruh (corpus hermenia), tidak boleh dipisah-
pisahkan. Khusus dalam kasus Galatia 3:28 dengan Kolose 3:11 ini F.F Bruce berpendapat
seperti demikian,

Paul states the basic principle here; if restrictions on it are found elsewhere in the
Pauline corpus, as in 1 Cor 14:34f… or 1 Tim 2:11f. they are to be understood in
relation to Galatian 3:28 and not vice versa. Attempts to find canon law in Paul, or
to be based canon law on Paul, should be forestalled by a consideration of Paul's
probable reaction to very idea of canon law.149

Alasan ketiga, metode hermeneutik teologi Feminis tidak mempunyai landasan korelasi
dan koherensi yang kuat, mereka melihat bahwa ayat Gal 3:28 bertentangan dengan ayat
Kol 3:11, di sini tafsiran teolog Feminis sangat lemah karena tidak mampu melihat adanya
satu sistem kesatuan metode penulisan surat-surat dan pengajaran teologi Paulus. Tidak
dituliskannya Gal 3:28 akhir "tidak ada laki-laki atau perempuan", Paulus tidak
bermaksud merendahkan dan menyepelekan kesederajatan dalam hal kewanitaan atau
kelelakian manusia, tetapi tujuan Paulus semata-mata karena persoalan kontekstualisasi
dan penyampaian berita Injil secara akomodasional kepada pembaca suratnya. Gordon D.
Fee mengungkapkan langkah-langkah teori penafsiran yang baik, dari cara umum ke cara
khusus genre-jenis kitabnya,
Step 1: Survey the historical context in general, 2) Confirm the limits of the
passage, 3) Establish the text, 4) Make a provosional translation, 5) analyze
sentence structures and syntactical relationships, 6) Analyze the grammar, 7)
analyze significant words, 8) Research the historical-cultural background, For
Epitles 9) Determine the formal character of the Epistle, 10) Examine the historical
context in particular, 11) Determine the literary context. 150

Gordon D. Fee mengatakan bahwa setiap menafsirkan surat-surat Paulus


memerlukan langkah-langkah yang dia usulkan di atas, surat kiriman itu isinya bersifat
khusus (bisa masalah-masalah gereja lokal/setempat) dan pembacanya pun khusus, bukan

149
Ibid.
150
Gordon D. Fee, The New Testament Exegesis: A Hand Book for Students and Pastors,
(Philadelphia: The Westminster Press., 1983) 26.
59

ditujukan untuk semua gereja di segala tempat (walaupun ada pengajaran atau pelajaran
yang baik dari peristiwa itu dan dapat diterapkan kepada seluruh gereja di segala jaman).151
Gal 3:28 dan Kol 3:11, inti beritanya adalah di dalam Kristus tidak ada
penggolongan, pengklasifikasian, penge'blok'kan, perbedaan sosial, kelas, derajat, bangsa,
bahasa, jenis kelamin, pendidikan, dll. Berita Injil itu melampaui batasan- batasan yang ada
di dalam dunia ini, sebab berita Injil itu bersifat kekal dan diperuntukkan kepada semua
bangsa, bahasa dan negara.

151
Ibid 27-28.
60

C. PENGGANTIAN NAMA ALLAH TRITUNGGAL

Robert Letham mengatakan bahwa dengan mengganti istilah Tritunggal yang


merupakan jantung atau inti doktrin Kristen, maka akan mengakibatkan perubahan
terhadap keseluruhan doktrin yang ada “Theology as a whole. Changes in one place
affect others.”152
Pendapat ini juga didukung oleh Elizabeth Achtemeier, menurut dia, usaha untuk
menggantikan istilah Tritunggal; Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus dengan istilah lain yang
digunakan oleh kaum Feminis akan mengakibatkan peniadaan ke-’allah’-an Allah. Ia
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut," By attempting to change the biblical
language used of deity, the feminist have in reality exchanged the true God for those
deities which are ‘no God’ as Jeremia said in Jer. 2:11.153

1. Alasan Teolog Feminis Mengubah Nama Tritunggal

Feminis melihat di dalam cerita Alkitab banyak wanita mengalami penindasan dan
perlakuan yang tidak senonoh. Phyllis Trible dalam bukunya, 'God and Rhetoric of
Sexuality' memaparkan beberapa ayat Alkitab yang banyak menuliskan cerita perempuan
yang ditindas kaum laki-laki. Beberapa contoh ayat Alkitab yang diambil dari Kej. 19:8,
peristiwa Lot memberikan dua anaknya sebagai jaminan keselamatan keluarganya dan
utusan Allah, Yefta memberikan anak perempuannya untuk jawaban dari nazarnya kepada
Tuhan, Hak. 11:9-40. Amnon memperkosa Tamar, II Sam. 13, peristiwa seorang imam di
pegunungan Efraim yang memberikan anak perempuannya supaya diperkosa oleh orang-
orang dursila sedangkan gundik orang dilindunginya, Hak. 19:24, perempuan tidak boleh
meminta cerai Ul.24:1-4, serta tidak berhak mendapatkan harta benda suaminya,
perempuan lebih najis atau kotor dari laki-laki, Ul. 15, Hawa selalu yang pertama kali
dituduh berdosa karena Adam jatuh dalam dosa Kej. 2-3, sedangkan kalau dilihat dari
percakapan ular dengan Hawa, maka kata kerja yang digunakan adalah plural, jadi Adam
pada saat itu berada di sekitar Hawa.154

152
Robert Letham, The Man-Woman Debate : Theological Comment.” (Philadelphia:
Westminster Theological Jurnal - 52, Philadelphia, 1990) 77.
153
Elizabeth Achtemeier, "Exchanging God for ‘No God’ : A Discussion of Female Language for
God", dalam Speaking the Christian God, The Holy Trinity and the Challenge of Feminism”, ed. oleh
Alvin F. Kimel Jr., (Michigan: WM B. Eerdmans, 1992) 3.
154
Phyllis Triblle, "Feminist Hermeneutics and Biblical Studies", dalam Feminist Theology a
Reader, Ann Loades ed., (Philadelphia: SPCK Westminster/John Knox., 1991) 23-29.
61

Mereka juga melihat bahwa Allah tidak selalu dianggap sebagai "the Father", karena
dalam Maz. 22:9-10, Allah digambarkan sebagai seorang ibu yang mengandung dan
melahirkan anak, Ul. 32:18. Allah juga digambarkan sebagai seorang ibu yang dilupakan
Israel, seperti juga dalam Bil. 11:12-13, Ayub 38:8,28,29, Yes. 42:14, 49:15, 66:13, Maz.
123:2, 131:2, Hos. 13:8, Mat. 13:33, 23:37, Luk. 13:20-21, 15:20-21. 155
Dengan beberapa alasan "alkitabiah" seperti di atas, maka teolog Feminis merasa
berhak mengganti istilah Allah Bapa dengan Allah "Ibu". Bukan hanya mengusulkan
penggunaan "kefemininan" dalam ke-Allah-an tetapi mereka juga ingin menggunakan
sebutan Allah yang netral.

2. Perbedaan Pengunaan Kiasan Kata Metafor dan Simile

Metafor adalah suatu gaya bahasa yang menjadikan satu obyek (A) diumpamakan
sebagai sesuatu obyek lain (B) dengan menekankan obyek (A) itu jadi seperti obyek (B),
atau dengan membicarakannya seolah-olah obyek (A) itu seperti obyek (B). Atau dengan
bahasa yang lebih mudah mengumpamakan sesuatu obyek seperti obyek yang lain. Contoh
Maz 18:2, 'Ya Tuhanku, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku,
Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku,
kota bentengku!' di sini terlihat ada enam metafor yang ditujukan kepada Allah. Yesus juga
menggunakan gaya bahasa ini Luk 13:32, 'pergilah dan katakanlah kepada si serigala
itu.' Ada dua macam metafor dalam Alkitab yang berkaitan dengan keberadaan Ilahi,
pertama (1) anthropopatisme dan (2) anthropomorfem, yang pertama berhubungan dengan
emosi manusia, hasrat, keinginan yang dialamatkan pada pribadi Allah, Kej 6:6; Ul 13:17;
Ef 4:30, kedua, berelasi dengan keadaan fisik atau tubuh manusia, kegiatannya secara
nyata direfleksikan pada pribadi Allah, misalnya, Kel 15:16; Maz 34:16; Rat 3:56; Zak
14:4; Yak 5:4. Selain contoh di atas juga masih banyak yang lain seperti gambaran kota
Yerusalem baru yang berlapis emas, batu-batuan, api penyiksaan, dll.156
Menurut Bullinger, metafor adalah ‘A Declaration that one Thing is (or represents)
another; or, Comparison by Representation’, jadi metafor adalah suatu
deklarasi/pernyataan bahwa suatu hal dipresentasikan kembali dengan menghadirkan hal
yang lain, atau perbandingan dengan menggunakan presentasi.157 Ia mengatakan bahwa
155
Ibid.
156
Louis Berkhof, Biblical Interpretation, 83.
157
E.W. Bullinger, Figures of Speech Used in the Bible: Used in the Bible, (Michigan: Baker,
1968) 735.
62

lebih mudah merasakan perbedaan metafor dalam Perjanjian Baru daripada dalam
Perjanjian Lama, tetapi jika kita dapat membedakan antara apa yang benar terhadap
kenyataan dan apa yang benar hanya melalui perasaan maka dengan mudah kita dapat
mengerti arti dan penggunaan metafor.

It is, therefore, more easy to discern a Metaphor in the New Testament than the
Old. In the latter we have to be guided by what is true to fact and what is true only
to feeling. If we distinguish between these, we shall not fail to see what is a
statement of fact, and what is a Metaphor.158

Simile adalah gaya bahasa yang sama seperti metafor hanya bedanya simile
memakai kata-kata 'seperti', 'seumpama', 'mirip', 'serupa' atau 'hampir sama' (as if, like,
similar). Contoh Maz 2:9 yang dengan jelas mengatakan, 'Engkau akan meremukkan
mereka dengan gada besi, memecahkan mereka seperti tembikar tukang periuk.', Yes.
1:8, 'Puteri Zion tertinggal sendirian seperti pondok di kebun anggur, seperti gubuk di
kebun mentimun, dan seperti kota yang terkepung.' 159
Simile menurut Bullinger adalah ‘A Declaration that one Thing resembles another;
or, comparison by Resemblance’ 160 suatu deklarasi bahwa sesuatu mirip dengan sesuatu
yang lain, atau pembandingan dengan Persamaan. Bullinger sangat jeli membedakan antara
simile dengan komparisasi, allegori, dan metafor.

Simile differs from Comparison, in that comparison admits of dissimilitudes as well


as resemblances. Simile differs from Allegory, in that allegory names only one or
two things and leaves us to find, and make the resemblance with the other,
ourselves. Simile differs from Metaphor, in that it merely states resemblance, while
Metaphor boldly transfers the Representation.161

Bahasa mempunyai bermacam-macam jenis gaya bahasa, tak terkecuali di dalam


Alkitab pun terdapat banyak jenis gaya bahasa. Alkitab memakai gaya bahasa untuk
menggambarkan pribadi dan peranan Allah dalam pekerjaanNya, contoh gaya bahasa yang
banyak digunakan adalah simile, metafor atau analogi. Ungkapan di dalam gaya
bahasa ini bukan untuk menyatakan esensi dari pribadi yang digayabahasakan tetapi hanya
memberikan suatu gambaran dari pribadi itu.

158
Ibid 737.
159
Berkhof, Biblical Interpretation, 89.
160
Bullinger, 726.
161
Ibid 727.
63

Teolog Feminis kurang teliti dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab karena mereka
tidak melihat arti teks atau ayat-ayat yang ditafsirkan, apakah gaya bahasanya parable,
personifikasi, simile, paralel atau metafor. Sebutan Allah yang digambarkan sebagai
seorang ibu atau seekor induk ayam bukan berarti bahwa Allah itu benar-benar sama
dengan induk ayam atau seorang ibu. Tetapi hal ini hanya menggambarkan pekerjaan dan
pemeliharaan Allah yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang paling bisa diterima dalam
pengertian manusia ‘anthropomorphis’162, walau penggunaan gaya bahasa ini pun hanya
merupakan ‘pintu’ untuk membuka pengertian kita tentang Allah itu sendiri.
Roland Frye meneliti penggambaran Allah sebagai ibu di dalam Alkitab memakai
gaya bahasa simile bukan metafor. Perbedaan ini perlu dan penting sekali untuk diteliti
penggunaannya. Ia mengatakan bahwa Alkitab khusus memakai gaya bahasa simile untuk
mengungkapkan salah satu figur Allah. Ucapan Roland ini dikutip oleh Elizabeth
Achtemeier dalam kalimat seperti berikut, ‘...as Roland Frye has amply demonstrated, he
few instance of feminine imagery for God in the Bible all take the form of a simile not of
a metaphor, and that distinction is crucial.’ 163
Seperti dalam Yesaya 42:14, “... sekarang Aku mau mengerang seperti perempuan
yang melahirkan anak ...” kalimat itu memakai kata ‘seperti - like’ bukan diidentifikasikan
bukan pada pribadi perempuan itu secara keseluruhan tetapi pada apa yang dilakukan
perempuan itulah yang di’simile’kan, jadi yang diungkapkan ayat di atas hanyalah satu
bagian ungkapan dari pekerjaan Allah, bukan keseluruhan pribadi Allah. Elizabeth
Achtemeier menerangkan demikian, ‘God will “cry out” like a woman in travail” but
only his crying out is being referred to; he is not being identified as a whole with the
figure of a woman in childbirth.’ 164
Sebaliknya, metafor membawa arti identitas antara subyek dan sesuatu yang
menerangkan subyek jauh lebih berarti dari pada arti leksikalnya saja. Tidak seperti simile
yang menerangkan hanya satu bagian dari figur Allah yang digambarkan seperti figur
wanita. Metafor dalam menerangkan figur Allah jauh lebih memberikan pengertian yang
lengkap dan menggambarkan secara langsung keadaan subyeknya. Elizabeth Achtemeier
mengatakan,

162
F.L. Cross, D. Phil., D.D., The Oxford Dictionary of the Christian Church, (New York: The
London Oxford University, 1958) 61.
163
Elizabeth Achtemeier, 4.
164
Ibid 5.
64

In metaphors, on the other hand, identity between the subject and the thing
compared to it is assumed. God is the Father, or Jesus is the Good Shepherd, of
God is the King. Thus the metaphor “carries a word or phrase far beyond its
ordinary lexical meaning so as provide a fuller and more direct understanding of
the subject.” Language is stretched to its limit, beyond ordinary usage, to provide
new understanding.165

3. Mereformulasikan Istilah Tritunggal

Dengan alasan yang dipaparkan di atas, teolog Feminis melangkah lebih jauh dengan
penemuan mereka yaitu mengganti Allah Bapa - ‘Pencipta’ atau ‘Ibu’, Allah Anak
(laki-laki) - ‘Redeemer’ atau ‘Anak - perempuan’, sedangkan Roh Kudus menjadi -
‘Penyuci’, ‘penghibur’ untuk kata gantinya diubah ‘she’ perempuan.166 Alasan mereka
adalah Alkitab sudah dipengaruhi pemikiran Judeo-Christian, yaitu segala sesuatu
istilahnya selalu menggunakan ‘warna kelelakian’ atau ‘kebapakan’ dengan kata lain
penulis Alkitab menggunakan sistem ’patriarchy' atau 'androcentricism’.
Konsep androcentric ini menurut mereka sudah merupakan penyembahan berhala,
maka mereka menghindarinya dengan menggunakan istilah yang diambil berdasarkan
pengalaman mereka sendiri.

Some reformists contend that exclusively androcentric conceptions of and


language for God can become idolatrous. In order to safeguard the
incomprehensibility and ineffability of the transcendent, such language must be
complemented by categories and terms derived from women’s experience.167

Kelemahan utama dari kaum teolog Feminis adalah mereka mendasarkan


pengamatan dan penafsiran Alkitab hanya melalui pengalaman mereka sendiri, sehingga
pengalaman mereka berada di atas otoritas Alkitab bahkan Alkitab sendiri pun dihakimi
oleh pengalaman mereka. Metodologi seperti ini menurut penulis merupakan penyembahan
berhala juga. Stanley J. Grenz mengatakan bahwa, “Even scripture must be judged by it.
Because the language of domination and subordination that reinforces patriarchal
institution is found in the Bible.”168

165
Ibid 5.
166
J.A. Dinoia, 166.
167
Ibid 167.
168
Stanley J. Grenz, 231.
65

Hampir seluruh teolog Feminis tidak setuju kalau Alkitab sebagai ‘sola scriptura’
karena Alkitab sudah dikamiri/dirusak oleh bau ‘patriarchy’. Menurut mereka Alkitab
masih perlu diperbaiki karena Alkitab masih dalam proses menuju kesempurnaan.
All feminist theologians agree, then, that Scripture alone - sola scriptura - cannot
serve as the principle of authority of theology, because the Bible is thoroughly
permeated by patriarchy. In addition, divine revelation is an ongoing process; ..... 169

Penggantian istilah Allah Tritunggal, Allah Bapa menjadi ‘Pencipta’ - ‘Ibu’, Allah
Anak menjadi ‘Penebus’ - ‘Anak (perempuan)’ dan Allah Roh Kudus menjadi ‘Penghibur -
Penyuci’ - akan mengaburkan pemahaman tentang Trinitas J. A. Dinoia sependapat,
“Although the substitution of ‘Child’ for ‘Son’ cannot be positively excluded, it should be
noted that it blurs rather than enhances the personal reality suggested by relationship of
son to father.”170
Teologi Feminis tidak memikirkan secara serius betapa besar pengaruh penggantian
istilah Tritunggal terhadap doktrin-doktrin yang lain karena dalam teologi sistematika,
doktrin yang satu tidak boleh dipisahkan dari doktrin yang lainnya. Semua doktrin yang
ada merupakan satu kesatuan secara holistik dan simplisistik. Seperti Robert Letham
mengatakan, “Theology as a whole. Changes in one place affect others.”171
Penggunaan istilah Tritunggal di dalam Alkitab tidak didasarkan pada seksualitas
atau jenis kelamin secara biologis yang menunjukkan kepada jenis kelamin Allah tetapi hal
ini menunjukkan hubungan kerja sama dan persekutuan secara mutualisme dan
memperlihatkan keintiman satu pribadi dengan pribadi yang lain dalam esensi Allah.
Elizabeth Achtemeier dalam Exchanging God for ‘No God’ mengatakan, “It is
universally recognized by biblical scolars that the God of the Bible has no sexuality.” 172
Khusus dengan ke-’anak’-an Yesus, J. A. Dinoia mengemukakan ketidaksetujuannya
terhadap teologi Feminis dengan mengatakan bahwa tanpa ke’anak’an Yesus, orang
percaya tidak akan diangkat sebagai anak-anak Allah. Dengan melalui perantaraan
Yesus Kristus maka setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai
Anak Allah, akan diberi hak untuk menyebut Allah sebagai ‘Bapa’ sama seperti Yesus
menyebut Allah yang mengutusnya ‘Bapa’.
169
Ibid 231.
170
J. A. Dinoia, 185.
171
Robert Letham, The Man-Woman Debate: Theological Comment, (Philadelphia: Westminster
Theological Journal vol. 52, 1990) 77.
172
Elizabeth Achtemeier, "Exchanging God for ‘No God’: A Discussion of Female Language for
God", dalam Speaking the Christian God : The Holy Trinity and the Challenge of Feminism, Alvin Kamel
ed., (Michigan: WM B. Eerdmans, 1992) 4.
66

The gift of God’s very self thus entails the incorporation of human persons into the
inner life of Son, and Holy Spirit. In an important way, the structure of the persons
of the Trinity. Christ’s sonship is the principle of our coming to life in grace - our
adoption - as sons and daughters who can with Christ speak the name of the Father
in the power of the Spirit: “God sent forth his Son ...so that we might receive
adoption as sons. And because you are sons, God has sent the Spirit of His Son
into our heart crying, Abba! Father! (Galatia 4:4-6).173

Keberatan terhadap penggantian istilah Tritunggal yang diusulkan oleh teolog


Feminis adalah istilah yang baru tentang Tritunggal itu menekankan pada makna jabatan
atau fungsi Allah sebagai ‘Pencipta’, Allah sebagai ‘Penebus’ dan Allah sebagai
‘Penghibur’. J. A. Dinoia dan Jurgen Moltmann sependapat dengan mengatakan,

According to the first objection, the terms ‘Creators’, ‘Redeemer’, and ‘Sanctifier’
are not in fact, as alleged by reformist, equivalent to ‘Father’, ‘Son’, and ‘Holy
Spirit’. For one thing, ‘Father’, ‘Son’, and ‘Holy Spirit’, are personal names, while
‘Creator’, ‘Redeemer’, and ‘Sanctifier’ are functional terms.”174

....considering ‘the creation of the Father’, ‘the incarnation of the Son’, ‘the
transfiguration of the Spirit’, that is the function of the doctrine of creation,
Christology, and Eschatology.175

Makna dari nama atau julukan Tritunggal lebih mengarah kepada hubungan
keintiman antara ketiga pribadi Allah dalam satu kesatuan ‘kasih’. Seperti Agustinus
menggambarkan hubungan Trinity ini dalam suatu kesatuan kasih antara Allah Bapa, Allah
Anak dan Allah Roh Kudus, seperti yang mencinta, yang dicinta dan cinta itu sendiri, ia
menjelaskan demikian,

Behold, then, there are three things: he that loves, and that which is loved, and
love. What, then, is love, except a certain life which couples or seeks to couple
together some two things, namely, him that loves, and that which is loved ? And
this is so even in outward and Carnal loves.176

Analogi ini cukup mewakili pengertian keintiman antara Allah Bapa, Allah Anak dan
Allah Roh Kudus, walaupun hal ini tetap tidak akan mencapai pengertian yang sempurna
173
J. A. Dinoia O. P., 164.
174
J. A. Dinoia, 170.
175
Jurgen Moltmann, The Trinity and the Kingdom, (Philadelphia: The Harper & Row, 1981) 98.
176
Augustinus, On the Trinity, dalam A Selected Library of the Nicene and Post - Nicene Fathers
of the Christian Church, edit oleh Phillip Schaff DD., LL.D., Vol.3, (Michigan: WM. B. Eerdmans, 1988)
124.
67

tentang diri Allah yang sebenarnya (Ul 29:29). Apabila teolog Feminis hanya menekankan
pengaturan pekerjaan Allah saja maka mereka akan jatuh ke dalam paham modalisme yang
tersamar ‘crypto - modalist’, di mana Allah hanya dilihat sebagai satu pribadi dan memakai
beberapa peran sebagai ‘Pencipta’, ‘Penebus’, ‘Penghibur’ dalam implikasinya yang secara
‘triadic’ - tiga nama yang dipakai bersama-sama dalam pengaturan pekerjaan keselamatan.
J. A. Dinoia menerangkannya demikian,

A second important objection suggest that the proposed substitution is crypto-


modalist in its implication that the triadic structure of economy of salvation -
represented by the threefold actions of creation, redemption, and sanctification -
exhibits bothing of internal life of the triune God.177

Pendapat Russel yang dikutip oleh Mary A. Kassian adalah bahwa pemakaian istilah
Allah Bapa dari kaum orthodoks sangat riskan bagi orang percaya karena dengan konsep
ini, pengertian kita tentang Allah menjadi terlalu sempit dan picik.

In conceptualizing God primarily as “Father”, she argued that many rich, inclusive
Biblical metaphors were neglected. Russel believed that this limited the believer’s
concept of the person and character of God, for God was thus reduced to male
metaphors and masculine imagery.178

Elizabeth Achtemeier menanggapi pendapat Russel dengan mengemukakan bahwa


istilah Allah sebagai ‘Bapa’ itu adalah karena Allah sendiri yang memilih term maskulin
dalam penggambaran diri-Nya bukan untuk menghina atau menindas kaum Feminis. Allah
mempunyai tujuan dengan memakai istilah ‘Bapa’ yaitu karena Allah ingin umatNya
memakai term maskulin agar mempunyai perbedaan dengan konsep ‘allah’ yang dimiliki
oleh bangsa Mesir, Babilonia, Yunani, Romawi, Afrika, Polinesia, India dan Amerika
Selatan di mana bangsa-bangsa itu menggunakan konsep allah yang feminin. Hal ini
seperti dikatakan oleh Elaine Paget dalam artikel Elizabeth Achtemeier bahwa,

Elaine Paget is quite correct when she states that “the absence of feminine
symbolism of God marks Judaism, Christianity, and Islam in striking contrast to the
world’s other religious traditions, whether in Egypt, Babylonia, Greece and Rome,
or Afrika, Polynesia, India, and North America.179

177
J. A. Dinoia, 170.
178
Mary A. Kassian, The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with the Church,
(Illinois: Crossway, 1992) 139.
179
Elizabeth Achtemeier, 7.
68

Bahasa yang digunakan oleh Alkitab adalah bahasa maskulin karena bahasa ini
memang Tuhan sendiri yang pilih. Jadi tanpa pengungkapan dari Allah sendiri mengenai
siapakah diriNya, tidak ada pengetahuan yang boleh mengklaim dan mengoreksi apa yang
sudah diwahyukan Allah, karena hanya Dialah yang berhak untuk menerangkan siapakah
DiriNya. Tanpa pengungkapan diriNya maka Allah selamanya tidak akan pernah dikenal
manusia. Elizabeth mengutarakannya demikian,

The Bible uses masculine language for God because that is the language with
which God has revealed himself. The Biblical, Christian faith is a revealed religion.
It claims no knowledge of God beyond the knowledge God has given of himself
through His Word and deeds in history of Israel and of Jesus Christ and his church.
Unless God reveals himself, he remains unknown to humanity.180

4. Allah Memberi Nama DiriNya Sendiri

Secara tegas Alkitab menolak konsep yang dimiliki oleh teolog Feminis, sebab
penamaan ulang analogi, imej, simbol tentang Allah itu benar-benar melawan kebenaran
Alkitab, maka setiap orang yang percaya berotoritas tertinggi Alkitab harus berani
menolak dan menentang metode penafsiran feminis dalam merevisi nama Allah Tritunggal.
Sebenarnya perspektif filosofi dari teolog Feminis adalah menuduh laki-laki membentuk
dan mencocokkan kebenaran Firman Allah bagi kepentingan diri mereka sendiri untuk
kepercayaan kaum patriarkal.181 Hermeneutik kecurigaan seperti ini sangat tidak obyektif
dan tidak jernih.
Yohanes pun jauh-jauh hari sudah mengingatkan kepada setiap orang yang mau
mengganti, mengurangi, menambahkan kalimat-kalimat pada Firman Allah apalagi
mengganti artinya tidak sesuai dengan wahyu Allah, maka sangsi yang akan diterima
sebagai berikut,

Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah


akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam
kitab ini. Dan Jika seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan
dari kitab ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan
dari kota kudus seperti yang tertulis di dalam kitab ini." Wahyu 22:18-19.

180
Ibid 5.
181
Mary A. Kassian, 241.
69

Nama Allah sebenarnya sangat paradoks, artinya manusia tak akan mampu
memahami dengan bahasa manusia (yang merupakan ciptaan Allah juga) untuk
mendefinisikan Allah. Dari sisi sebaliknya Allah juga menyatakan namaNya sebatas Ia
berkenan menyatakanNya. Paradoks di sini berarti dari sudut pandang Allah, Allah mampu
memahami dan menyatakan diriNya kepada manusia sebatas manusia mampu menerima
pewahyuan ini, sebaliknya dalam sudut pandangan manusia, manusia tidak mampu
mengenal Allah secara sempurna, karena bahasa manusia pun adalah bahasa ciptaan Allah.
Allah sebagai pencipta bahasa tidak mungkin dapat dibatasi, dikungkung dan dibelenggu
oleh bahasa (manusia) yang adalah ciptaan Allah. Pencipta tak dapat diikat dan dilimitasi
oleh ciptaan, sebaliknya ciptaan dapat dilimitasi oleh Pencipta. Segala analogi dalam
Alkitab yang menyingkapkan Pribadi Allah, baik Allah Bapa, Allah Anak atau Allah Roh
Kudus, merupakan cara Allah mengenalkan diriNya sebatas manusia dapat menerimanya,
selain dari yang dinyatakan Alkitab pengertian kita tentang Allah berasal dari roh pendusta.
Allah dengan jelas menyatakan nama diriNya yang diakomodasikan kepada manusia.
Alkitab bagi teolog Kristen merupakan pedoman tertinggi dan berotoritas mutlak untuk
mengerti siapakah Allah sebenarnya, sebab hanya di dalam Alkitab saja Allah memberikan
namaNya kepada manusia. Jika teolog Feminis memakai pedoman pengalaman hidup
wanita untuk menilai Alkitab berarti secara nyata teolog Feminis tidak percaya kepada
Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam hidup orang percaya. Jadi kesimpulannya teolog
Feminis menyangkali otoritas Alkitab yang berarti menyangkali keberadaan Allah, maka
boleh dikatakan bahwa teolog Feminis yang berani mengganti nama Allah bukanlah orang
yang takut akan Allah. Mungkin mereka memakai 'lebel' "Kristen Feminis", "Feminis
Injili", "Tranformasi Feminis" secara luarnya tetapi dalam hidup spiritualitasnya mereka
sangat memusuhi Allah.
Di bawah ini penulis mencantumkan nama-nama sebutan kepada Allah yang
dicantumkan dalam buku Katekesasi Sinode GKA Surabaya, (YHWH) Yehova:

Yehovah Jireh - Tuhan menyediakan Kej 22:13-14


Yehovah Rapha - Tuhan penyembuh/tabib Kel 15:26
Yehovah Nissi - Tuhan panji-panji Kel 17:5-15
Yehovah Shalom - Tuhan keselamatanku Hak 6:24
Yehovah Ra'ah - Tuhan gembalaku Maz 23:1
Yehovah Tsidkenu - Tuhan kebenaranku Yer 23:6
Yehovah Sabbaoth - Tuhan semesta alam I Sam 1:3
Yehovah Makkaddeshkem - Tuhan menguduskan Kel 31:13
Yehovah Shamah - Tuhan tempat kediamanku Yeh 48:35
Elohim - Allah maha dahsyat dan kuatKej 1:1
El Shaddai - Allah maha pengayom Kel 13:1
70

El Elyon - Allah maha kuasa Kej 14:18-20


El Qodash - Allah maha kudus Yes 5:16
El Tsaddik - Allah maha adil, Rm 3:9-11
benar, setia pada janjiNya
El Qanno - Allah yang cemburu Kel 20:5
El Roi - Allah maha tahu Kej 16:13
El Neema - Allah maha setia Kel 7:9
El Chai - Allah hidup Yos 3:10
El Tsur - Allah gunung batu Maz 28: 8
Theos - Elohim Yoh 20:28
Kurios - Adonai Luk 1:43
Pater - Abba Mat 6:3-9
Jesus - Jehoshua, Joshua, Messias, Anak Manusia
Anak Allah, pintu, air hidup, roti hidup, dll.
Roh Kudus - Penghibur, Penolong, Kebenaran, dll. 182

Nama Allah yang diuraikan dalam Alkitab (hampir sebagian besar nama Allah
dinyatakan melalui pernyataan manusia. Dan yang lainnya Allah langsung menyatakan
siapakah diriNya) untuk menyatakan suatu ungkapan yang dapat mewakili keberadaan
realitas "asli" diri Allah. Nama Allah yang disebut Alkitab itu mempunyai peranan penting
bagi pengajaran Kristen di mana dinyatakan bahwa dalam namaNya Ia menolong kita
"Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhanyang menciptakan langit dan bumi." (Maz
124:8). "Orang yang mengenal NamaMu percaya kepadaMu." (Maz 9:11a),
"...keselamatan itu hanya ada di dalam nama Dia (Yesus Krsitus) Kis 4:12. Nama Allah
sangat kudus dan harus dimuliakan, "Aku hendak sujud ke arah baitMu yang kudus dan
memuji NamaMu…' (Maz 138:2). Nama Allah tidak akan berakhir selama-lamanya tetap
ada (Maz 135:13), Ia menyatakan kekuasaanNya yang kekal dan mutlak dengan nama
Raja di atas segala raja (Why 19:11-16).
Penamaan ulang teolog Feminis terhadap Allah sama dengan penghujatan kepada
Allah. Seperti sudah diterangkan di atas, untuk memberi nama pada diri sendiri manusia
tidak akan mampu, hanya Allah yang sanggup memberikan nama kepada manusia. Baik
nama 'Adam' maupun nama 'Hawa' Allahlah yang memberikannya kepada mereka.
Sedangkan Adam waktu memberi nama pada istrinya kemampuan ini berasal dari Allah.
Jadi teolog Feminis salah duga kalau tradisi dalam penulisan Alkitab itu merendahkan
derajat dan menyepelekan kaum perempuan. Jadi Adam pun berhak memberi nama istrinya
karena daya kreativitas dari Allah. Allah tidak pilih kasih. Manusia mampu memberi nama
setelah Allah memberikan kemampuan berkreativitas kepadanya. Dengan memakai

182
H.L. Willminton, Willmington’s Guide to the Bible, (Illinois: Tyndale House Publishers, 1989)
592-594. Lihat juga (Buku Ketekisasi Sinode GKA Surabaya, 1997) 8, dan Louis Berkhof, Systematic
Theology, 47-52,312-321, 415-432.
71

'Potential Creavity' (-daya kreatifitas dalam diri Adam dan Hawa) yang berasal dari Allah
barulah mereka dapat memberi nama semua jenis binatang dan seluruh jagad alam semesta.

5. Allah Memberi Nama CiptaanNya Melalui Manusia

Setelah Adam mendapat mandat menguasai alam semesta, maka mulailah ia


menamai semua binatang satu persatu, nama-nama yang Adam berikan kepada
binatang/tumbuhan atau alam semesta ini bukan berasal dari diri Adam sendiri tetapi
kembali manusia harus sadar bahwa yang memberi nama adalah Allah sendiri. Allah sudah
menyediakan nama-nama bagi semua mahluk ciptaanNya termasuk manusia (Adam
-Hawa), dan semua mahluk yang ada termasuk seluruh malaikat. Mengapa hanya Allah
saja yang dapat memberi nama, karena Allahlah yang menciptakannya. Jadi segala sesuatu
yang dijadikan Allah sudah ada "calon" nama bagi semua ciptaanNya, baik yang non-
materi atau materi.
Jadi kalau ada gerakan yang tidak mau menerima nama Allah khususnya nama yang
berimej laki-laki dalam Alkitab (bukan hanya Feminis, Liberal, New Age, atau apa pun
nama paham mereka) mereka sedang membohongi diri mereka sendiri, dalam Roma 1:18-
21 dinyatakan, 'Sebab murka Allah nyata dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman
manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman, karena apa yang mereka ketahui
tentang Allah sudah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada
mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripadaNya, yaitu kekuatanNya, dapat nampak
kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat
berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia
sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi
sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap,"
Gerakan Feminis ini sudah banyak mempengaruhi metode penafsiran Alkitab. Pada
awalnya gerakan ini melawan gerakan otoritas maskulin yang sangat menekankan
pengalaman hidup kaum laki-laki yang menguasai kaum perempuan. Tetapi patut
disayangkan gerakan Feminis ini akhirnya menuju kepada arah "pendulum" (jarum jam
yang bergoyang dari kiri ke kanan terus menerus) yang ekstrem yaitu menjadikan gerakan
Feminis ini mutlak harus diakui dan dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia
dan bukan hanya di bidang teologi saja. Francis A. Schaeffer mengatakan, "In This fallen
world, things consistantly swing like a pendulum, from being wrong in one extreme to
72

being wrong in another extreme. The devil never gives us the luxury of fighting on only
one front, and this will always be the case."183
Jadi waktu gerakan Feminis membuang tradisi budaya patriarkal, mereka justru
jatuh pada gerakan yang mereka junjung sendiri yaitu budaya kaum "matriachy" sistem
yang meninggikan nilai feminis - atau matrilinial.
Metode hermeneutik teolog Feminis yang semula bercita-cita membentuk manusia
baru seutuhnya sekarang malah mereka melakukan “dedivinizing" nama Allah, dan
“divinizing" simbol-simbol atau term-term Feminin. Penulis melihat bahwa metode
hermeneutik Feminis yang selalu berusaha menempatkan nama-nama atau simbol-simbol
Allah yang dihumanisasikan atau dijadikan lebih manusiawi, semua analogi tentang diri
Allah direvisi dan di"inversi" -'diputarbalik' untuk kepentingan kecocokkan pengalaman
dan perasaan perempuan. Setelah mendapatkan simbol-simbol dan analogi baru yang
sesuai dengan cara berpikir mereka, mereka lalu memformulasikan kembali simbol-simbol
nama Allah ke dalam suatu bentuk bahasa yang inklusif dan Alkitab pun direvisi sesuai
dengan angan-angan mereka. Selanjutnya setelah simbol-simbol, metafor atau analogi
tentang diri Allah sudah terbentuk, lalu simbol-simbol ini disebarluaskan dan dipromosikan
melalui buku-buku, seminar-seminar, diskusi-diskusi di seluruh aspek kehidupan.
Kemudian mereka menyusun dan terus menerus memperbaharui suatu buku acuan dan
Alkitab acuan yang diterbitkan mereka sendiri dengan bahasa inklusifnya. Setelah
semuanya berhasil dan banyak diterima oleh masyarakat, mulailah gerakan Feminis ini
menuntut supaya simbol-simbol yang mereka buat diakui dan dimutlakkan penggunaannya
dalam metode hermeneutik secara menyeluruh serta dalam kehidupan gereja dan dunia
secara luas. Obsesi yang sangat optimistik ini boleh disebut sebagai keserakahan untuk
mendapatkan pengakuan kedudukan. Hal inilah yang menjadikan mereka menuntut bahasa
inklusif yang mereka buat menjadi bahasa yang berotoritas tertinggi, bahasa yang
sempurna, bahasa "penggenap" bahasa Alkitab. Di sinilah penulis menyebut bahwa teolog
Feminis menunjukkan kecenderungan "menuhankan" atau mengilahkan bahasa penemuan
mereka, sehingga mereka merasa bahwa bahasa Alkitab itu lebih rendah dan bahasa
mereka jauh lebih baik.
Gerakan teologi Feminis ini menginginkan bahasa mereka lebih diterima
otoritasnya. Mereka juga mengklaim bahwa bahasa dan simbol-simbol, analogi, metafor
yang mereka buat itu harus diangkat setinggi mungkin dan diharapkan, dicita-citakan agar

183
Francis A. Schaeffer, The Great Evangelical Disaster, (Illinois: Crossway , 1984) 98-99.
73

bahasa inklusif yang mereka temukan dapat dijadikan bahasa "ilahi", "divinistic language"
dalam ibadah gereja. Firman Allah bukanlah Firman Allah yang sempurna jika tidak
menggunakan metode hermeneutik Feminis karena tradisi gereja lama dinilai kurang
mencakup aspek kemanusiaan secara utuh. Hal ini disebabkan penggunaan bahasa, simbol-
simbol, sebutan tentang diri Allah dalam Alkitab sudah sangat dipengaruhi oleh budaya
berbau patriarkal. Akhirnya gerakan Feminis ini jelas-jelas menyingkirkan otoritas Alkitab
sebagai presaposisi dalam metode hermeneutik mereka.
Dilain segi, Stanley J. Grenz mengevaluasi bahwa gerakan teologi Feminis sudah
memberikan pelayanan yang terbaik dalam melakukan pekerjaannya, yaitu dengan
berhasilnya mereka membukakan adanya pengaruh jahat yang ada pada sistem androsetrik,
patriarki dan misogeni. Para ahli teologi Feminis sering menolong gereja menjadi lebih
inklusif tidak eksklusif, dan menafsirkan bahwa 'the image of God' itu bukan hanya laki-
laki saja tetapi juga perempuan. Gerakan teologi Feminis ini pun berhasil menjadikan Injil
lebih dapat dijangkau ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas yaitu dengan menerima
pengalaman perempuan dan peranannya pada masa yang akan datang. 184

In spite of the gains it has offered, however, feminist theology goes too far in its
radical revision of the Christian symbols, and it threatens a new schism within the
body of Christ by its support and encouragement of the Women-Church
movement.185

Sebaliknya Donald Bloesch menganalisa bahwa metode hermeneutik Feminis ini


sangat berbahaya karena membuka peluang kepada pemahaman relativisme.
…the feminist methode of determining "Christian" doctrine leads directly into
relativism: "If one appeals only to a member's self-identification as a criterion for
deciding what is or what is not part of a given religious tradition, one left with a
relativism that must accept all without judgment or discernment.186

Pengalaman perempuan tidaklah mungkin dijadikan norma, standard, kriteria yang


paling ultim dalam kehidupan masyarakat secara umum. Apalagi dalam metode penafsiran
Alkitab yang begitu luas cakupannya. Doktrin teologi Feminis tentang konsep Allah dan
Kristus sangat lemah metodologi hermeneutiknya, mereka hanya menyentuh fenomena
atau gejalanya saja tapi tak pernah mampu menyentuh penafsiran yang inti. Hal ini

184
Stanley J. Grenz, 234.
185
Ibid.
186
Donald G. Bloesch, The Battle for the Trinity, 84.
74

disebabkan teologi Feminis terlalu menekankan perspektif kewanitaannya dalam seluruh


keberadaan dan cara-cara penafsirannya.
Metode penafsiran Feminis ini juga hanya meliputi permukaan dari pengenalan Allah
secara 'immanen' tetapi tidak sampai kepada pengenalan Allah secara 'transenden'. Artinya
apa yang mereka bahas hanya berorientasi mengganti simbol-simbol fenomenal secara
luarnya saja dan tidak pernah akan mampu menyentuh kehakekat terdalam makna simbol-
simbol tentang Allah. Sebab yang digunakan mereka hanyalah metode pengalaman secara
praktis, perlu diingat pengalaman secara praktis tidak akan pernah bisa mengupas
kehidupan secara ontis.
BAB V

BEBERAPA TANTANGAN BAGI METODE HERMENEUTIK


TEOLOGI FEMINIS

Thiselton berpendapat bahwa karya Fiorenza masih tetap dapat dirasakan dan
diterapkan metode penafsirannya dengan batasan hanya untuk melihat setting suatu cerita
dalam Alkitab serta menambah wawasan hermeneutik secara umum dan 'horizontal'.
Sedangkan aspek-aspek lain yang dipakai sangat spekulatif (hermeneutik sosial-politik-
budaya dan hermeneutik "kecurigaan"nya) dan lemah dalam pencarian dasar fundamental
kritik yang kokoh. Selain itu, teolog Feminis terlalu memaksakan pemakaian metode yang
mempunyai daya jangkauan kecil untuk melingkupi cara hermeneutik Alkitab secara
menyeluruh.187 Morgan mengakui kontribusi teolog Feminis tentang pemakaian fungsi
metode penafsiran 'sosio-theological' hermeneutik atau 'socio-pragmatic', tetapi metode
hermeneutik secara historisnya kurang dapat dipercaya.188
Waktu penciptaan, Allah menciptakan manusia seturut gambar dan rupa Allah 'the
image of God'. Namun sasaran metode kritik hermeneutik teologi Feminis adalah
menekankan bahwa 'the image of God' itu bukan hanya laki-laki saja, namun juga
perempuan. Hal ini bukannya salah, tetapi tidak tepat, sebab penentu gambar dan rupa
Allah itu bukan didasarkan pada jenis kelamin laki-laki (Adam) dan/atau bersama
perempuan (Hawa). Penekanan Alkitab bukan didasarkan pada keberadaan mahluk
ciptaanNya tetapi pada pribadi Allah, Si Pencipta, yang menciptakan manusia (secara utuh-
Adam/Hawa) sesuai dengan kehendakNya. Konsekuensinya secara ontologis 'the image of
God' itu tidak tergantung kepada reaksi ciptaanNya, atau lebih jelas lagi tidak tergantung
dari jenis kelamin ciptaanNya. Kesempurnaan ciptaanNya tidak dapat diukur hanya dari
melihat hasil yang tampak dari padanya tetapi ciptaanNya itu mutlak baik dan sempurna
karena Allah Tritunggal bermusyawarah sebelumnya untuk menjadikan manusia seturut
dengan gambar dan rupa Allah. Jadi gambar dan rupa Allah itu tidak dinilai dari sudut
pandang hasil karya ciptaanNya (yaitu adanya manusia laki dan perempuan). Mengapa
penulis berpendapat demikian karena memang waktu Allah menciptakan manusia, Allah
memberikan nama dan sebutan kepada manusia tidak didasarkan kepada keberadaannya

187
Thiselton, 448.
188
Robert Morgan, Feminist Theological Interpretation of the New Testament, ed. Janet Martin,
After Eve, (London: Collins, 1990) 26.

75
76

tetapi secara mutlak didasarkan karena keberadaanNya sendiri yaitu kehendak Allah dalam
ketetapanNya yang Agung dan Mulia.
Gerakan Feminis tidak mempunyai suatu kesatuan bentuk teologi, seperti pendapat
Ursula King yang dikutip Thiselton, 'feminism is not a unitary movement, and consists of
many different political and ideological orientation.' 189 Elaine Storkey mengatakan paham
Feminis ini menekankan perbaikan secara struktural dalam tatanan masyarakat daripada
memperbaiki hal-hal secara individu, tetapi ia juga memperingatkan bahaya penekanan
individu yang membawa efek jelek yaitu menuduh dan menyalahkan sistem eksternal
(patriarkal, kapitalisme, class-struktur) dan hanya melihat kepentingan internal kaum
wanita.190
Elizabeth Achtemeier mengutarakan bahwa bukan karena nabi itu mampu atau tidak
menerima wahyu Allah yang mengungkapkan diriNya dengan istilah maskulin. Manusia
yang dekat dengan Allah seperti nabi-nabi, hakim-hakim, raja-raja, rasul-rasul bahkan
Yesus tidak akan mau menggunakan imej tentang Allah dengan menggunakan bahasa
feminin, karena masyarakat pada saat itu sudah sangat didistorsi oleh pengertian yang
salah tentang 'ilah-ilah' berjenis kelamin feminin. Jadi, Achtemeier mengatakan,"…the
religious surrounding them that female language for deity results in a basic distortion of
the nature of God and of his relation to his people dan creation." 191
Thiselton menyimpulkan bahwa Achtemeier dan Heine menawarkan suatu alasan
teologis dan sosiologis untuk menyeimbangkan ketidakstabilan dan program
'depatriarkalisasi' untuk Allah. Penggunaan bahasa maskulin untuk Allah bukan untuk
merendahkan, menghina atau menjadikan masyarakat anti-kaum feminis. Analogi yang
dipakai Alkitab menunjukkan kepada hakekat relasi antara Allah dengan umat pilihanNya
dalam hal; perhatian, ketekunan, pemeliharaan, kesetiaan, otoritas dan kedisiplinan sosial
antara ayah/ibu yang berelasi dengan anak-anaknya.

The use of "Father" in biblical traditions does not necessarily presuppose an anti-
feminist social orientation; it is used analogically to designate the relation of care,
compassion, authority, and social discipline which both parents, regardless of
gender, can exercise towards their children.192

189
Thiselton, 437.
190
Ibid 438.
191
Ibid 109.
192
Thiselton, 459.
77

Dengan alasan bahwa bangsa Israel pada jaman patriarkal banyak dikelilingi berhala-
berhala atau dewa-dewi yang mempunyai jenis kelamin wanita, maka dari alasan socio-
ratio-cultural ini dapat disimpulkan bahwa Allah tidak mau menggunakan istilah yang
berbau feminin. Menurut penulis alasan ini pun sebenarnya tidak begitu kuat dijadikan
pegangan. Mengapa penulis berpendapat demikian sebab kalau dilihat dari alasan konteks
kebudayaan di jaman Israel kuno berbeda dengan jaman sekarang. Konsekwensi logisnya,
apabila jaman di mana konteks budaya berubah maka cara Allah menyatakan diriNya pun
harus berubah. Akibatnya jika Injil diberitakan kepada bangsa yang dikelilingi 'ilah-ilah'
maskulin, maka penyataan tentang imej Allah itu harus memakai simbol feminin. Di sini
terlihat bahwa cara Allah mewahyukan diri tergantung dari konteks budaya lokal bukan
dari diriNya sendiri dan itu berlawanan dengan sifat-sifat dalam diri Allah, yang tidak
tergantung kepada apa pun di luar diriNya.
Dasar alasan mengapa Allah memakai imej maskulin karena bangsa-bangsa yang
mengelilingi bangsa Israel mempunyai konsep penyembahan terhadap dewa-dewi yang
banyak dan berjenis kelamin perempuan. Akibatnya kalau Allah menyatakan diriNya
dengan gambaran feminin ditakutkan akan mengaburkan dan menyesatkan umatNya.
Dengan demikian cara Allah mewahyukan diriNya ditentukan oleh kondisi manusia.
Penyataan Allah bukan berasal dari diri Allah sendiri, tetapi ditentukan dari luar diriNya,
yaitu keadaan bangsa yang ada di sekitar orang Israel. Menurut penulis, hal ini hanya
menolong menjawab persoalan secara horizontal dan konteks secara lokal bukan pada akar
masalah sebenarnya, ontis, atau filosofisnya, yaitu dengan "bahasa - iman". Alkitab adalah
Kitab Suci yang sempurna dan mutlak kebenaranNya, sebab Allah yang berbicara bukan
manusia yang terbatas.
Pewahyuan nama atau imej Allah tidak didasarkan pada pengaruh tradisi dan
banyaknya dewa-dewi pada saat itu, melainkan pada kehendak Allah saja. Achtemeier
menegaskan pengertian hermeneutik alkitabiah adalah sebagai berikut,

First, it is universally recognized by biblical scholars that God has no sexuality.


Sexuality is a structure of creation (Gen. 1-2), confined with the limits of creation
(Mat. 22:30), and the God of the Bible consistently pictured as totally other than
all creation. God is "holy" - he is set apart, Hos. 11:9, 'I am God not man,..', 'To
whom then you liken God,…' Isa. 40:18. Thus, by insisting on female language for
God, the feminist simply continue to emphasize the non-biblical view that God
does indeed have sexuality.193

193
Ibid 4.
78

Mereka yang beriman kepadaNya dapat memahaminya, namun penulis akan berusaha
untuk menjawab problem hermeneutik Feminis ini. Pertama, kaum Feminis harus mengerti
bahwa penggunaan istilah maskulin itu bukan kehendak manusia, tapi merupakan pilihan
dan kehendak Allah. Allah mempunyai sifat Maha sempurna maka apa yang
diwahyukanNya selalu baik dan benar. Kedua, hendaknya problema teologis dijawab
dengan metode hermeneutik teologis atau filosofis jangan hanya menggunakan
hermeneutik sosial, historis, sosiologis dan psikologis. Ketiga, jangan memaksakan
'presaposisi' hermeneutik Feminis yang bercorak socio-historis ('from below') dan
pragmatis ini ke dalam semua aspek hermeneutik Alkitab, sehingga terkesan seperti 'kunci
Inggris' satu metode digunakan untuk mengatasi segala kesulitan penafsiran Alkitab.
Metode yang digunakan pada hermeneutik teologi Feminis adalah metode eisegesis,
yaitu metode yang tidak menggunakan teks Alkitab sebagai suatu ukuran kebenaran dalam
penafsirannya tetapi mereka memakai latar belakang socio-historis untuk menafsir Alkitab.

I see the modern feminist movement (including 'evangelical feminism') as


promoting the following ideas (all unacceptable to Christians): (1) A 'god' quite
different from Biblical God, partaking of the nature of the ancient fertility godesses
of the ancient Near East … (3) A radical reinterpretation of Scripture (actually a
rejection of scriptural authority and inspiration) under the guise of 'feminist
hermeneutics'. This amounts to eisegesis, in that the feminist agenda, in the
acknowledged presupposition to which the scripture must conform.194

Melalui beberapa signifikansi gerakan teologi Feminis ini terlihat bahwa mereka
mempunyai suatu tujuan yang khayal yaitu untuk membangun suatu masyarakat tanpa
perbedaan sex dan kelas, seperti yang terjadi juga dalam teologi Pembebasan dan
teristimewa dalam ajaran Marx-'utopian-Communism'.

This is similar to the Liberation Theology's incorporation of Marxism. And in the


process, like the latter, they have demonstrated an increasing willingness to bend
Scripture in alarming ways. As a result, they are gradually bringing the same bitter
fruits of moral and epistimological confusion into the life of the Church that
others have experienced under the influence of feminism.195

194
William Bell, "A Response to: "The Envitability of Failure: The Assumptions and
Implementations of Modern Feminism ' by David J. Ayers" (Presentasi yang tidak diterbitkan Dallas,
April 1992, halaman 1), Dalam The Feminist Tragedy: Destroying the Freedom and Joy of Biblical
Gender Distinctives, (Crosswind Jurnal, Spring/Summer 1993) 45.
195
Ibid 45.
79

A. Timbulnya Gerakan Sekuler dalam Spiritualitas Teologi Feminis

Spiritualitas Feminis tidak dimulai dengan pengorganisasian agama yang didirikan


pada dasar doktrin yang kokoh; tetapi pada tahun delapan puluhan, spiritualitas Feminis ini
mulai menampakkan diri dengan tema-tema sebagai berikut:
1) Monisme/New Age Movement: All is one, semua adalah satu. Tema inilah yang
pertama kali muncul dalam kehidupan spiritualitas teologi Feminis, yang percaya bahwa
segala sesuatu satu adanya, seperti bagian-bagian kecil menyusun bagian kesatuan yang
besar. Segala sesuatunya saling berhubungan, saling bergantung, dan saling meresapi. 196
Douglas Groothuis meneliti bahwa gerakan New Age pun sudah meresapi gerakan
Feminisme, "Ultimately, monism asserts there is no difference between God, a person, an
apple, or a stone. They are part of a continuous reality that has no boundaries and no
divisions."197
2) Pantheisme, gerakan ini pun sangat dekat dengan lingkup pandangan teolog Feminis.
All is God, semua adalah Allah, artinya semua materi atau benda apa pun, baik binatang,
manusia, tanah, tumbuhan, laut, dll., adalah merupakan bagian dari Allah.
3) Selfisme, Self is God, Diri manusia adalah Allah, seperti Mary Daly berkata jika Allah
itu 'male' maka 'male' itu Allah.
4) Humanitas Baru, segala sesuatu menurut teologi Feminis menuju kepada suatu
perjuangan yang mengarah kepada humanitas baru yang sempurna.198
5) Unisex, teologi Feminis mendesak menggunakan istilah Allah ke dalam istilah yang
menyatukan seksisme; laki-laki dan perempuan menjadi suatu bentuk yang "netral" atau
"no sex". 199

196
Douglas Groothuis, Unmaking the New Age, (Illinois: IVP, 1986) 18.
197
Ibid.
198
Mary A. Kassian, 187-191.
199
Donald G. Bloesch, Is the Bible Sexist? (Illinois: Crossway Books, 1982) 17, 21, 103. Bloesch
melihat adanya issu kontemporer yang terjadi di dalam gereja yaitu konflik antara kaum 'maskulin' dan
'feminin' atau 'patriakalisme' dengan 'matriakalisme'. Teolog Feminis seperti Mary Daly, Helen Luke dan
Thomas Parker ingin meninggalkan perbedaan fundamental seksual dengan mencita-citakan satu tujuan
baru yaitu 'unisex' - dimana manusia seharusnya melihat dirinya sendiri sebagai suatu penggabungan
antara elemen-elemen kewanitaan dan kelaki-lakian dan seharusnya berusaha untuk mengintegrasikan
hal-hal ini dalam diri mereka sendiri. Unisex, menurut seorang tokoh Sejarahwan Agama Roma Katolik,
R.C. Zaehner, yang dikutip oleh Donald Bloesch adalah sebagai berikut, "unisex: "No more males, no
more females, and, given the irreversible progress of medical science, maybe no more young and no more
old." "Our Savage God" (New York: Sheed and Ward, 1974) 267.
80

B. Pengaruh Teologi Feminis

Teologi Feminis dibagi menjadi beberapa golongan menurut jenis teologianya; pertama
kaum Feminis Pembaharuan, kedua kaum Feminis Emansipasi, ketiga kaum Feminis
Radikal.200
Kaum Feminis Pembaharuan berusaha memberi kesempatan baik bagi kaum pria
maupun kaum wanita untuk menggunakan potensinya. Dalam masyarakat tradisional
pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi kebebasan keduanya, pria dan wanita.
Mereka mendapat kesempatan memainkan peranannya dan hanya beberapa bagian peranan
yang cocok dengan kedudukannya, misalnya sebagai ayah atau ibu. Mereka berfungsi
seperti separuh manusia. Pembaharuan ini dapat dicapai dengan dua cara yaitu
pembaharuan secara struktural dan secara individu.201
Feminis Emansipasi, istilah emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipare"
artinya melepaskan. Jadi peranan wanita itu dilepaskan dan dibebaskan dari 'kuk' tradisi
yang ada. Pembebasan kaum wanita harus lepas dari pengaruh peranan tradisional ke-
bapak-an. Dalam piagam PBB, disebutkan setiap penduduk dunia mempunyai hak yang
sama tanpa perbedaan ras, jenis kelamin atau bahasa dan agama. Secara politis semua
berhak memilih dalam pemilu. Secara ekonomis, sosial, profesionalitas dan aneka
pekerjaan terbuka bagi mereka.202
Feminis Radikal kelihatannya tidak puas untuk memperbaharui masyarakat yang ada
saja, tetapi ingin menghancurkan sistem "patriak" yang ada. Kaum radikal ini menganggap
bahwa kaum pria sebagai musuh dan mereka mau berjuang melawan diskriminasi. Mereka
memakai dua strategi yaitu pertentangan dan pemisahan.203

1. Pengaruh Positif

Apabila Feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama dengan pria
dan mereka diperlakukan sama sederajat dalam segala hal, maka kita harus menerimanya
dengan catatan bahwa gerakan Feminisme tidak ditujukan untuk menginjak-injak kaum
laki-laki sebagai alasan ‘curiga-dendam’ atas hak-hak mereka yang ditindas. Fisher

200
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta-
Bandung: Gunung Mulia dan Kanisius, 1992) 110-114.
201
Ibid.
202
Ibid.
203
Ibid.
81

Humphreys mengatakan, “If feminism means that women should have equal rights with
men and should be treated with equal respect, the answer is yes.”204
Dengan adanya cara kritik historis yang dilakukan oleh para tokoh Feminisme ini
gereja menemukan kembali pentingnya nilai arti pelayanan wanita yang dilupakan dalam
sejarah gereja. Memang kalau diamati secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja
wanita biasanya hanya dianggap sebagai pelayan "kelas dua" tanpa adanya sumbangsih
yang berarti. Kritikan hermeneutik Feminis ini sangat dibutuhkan oleh gereja untuk
mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya wanita dalam pelayanan gereja
dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat teolog Feminis ini sangat
spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk ini dengan mengatakan,

The positive of the feminist approach to the Christian tradition is the recovery of
the lost memory of women. No one has done more to rediscover the roles and
contributions of women in Christian tradition than Elizabeth Schüssler Fiorenza.
Although her methods and conclusions might be considered speculative.205

Sifat mementingkan dan memusatkan laki-laki sebagai pemimpin yang otoriter


menjadikan mereka sebagai penindas perempuan baik di dalam maupun di luar kehidupan
gereja. Kesalahan fatal gereja harus diperbaikiuntuk itu gereja mesti berterima kasih
kepada kaum Feminis yang telah bersungguh-sungguh mengungkapkan "dosa besar" ini.
Keangkuhan laki-laki, otoritas kebapakan dan sifat kebenciannya terhadap perempuan
yang telah terpendam beratus-ratus tahun lalu. Mereka juga menolong gereja agar lebih
terbuka dan ‘inclusive’ terhadap kaum perempuan dan tidak ‘exclusive’ untuk kaum laki-
laki saja.

Feminist theology has done a great service to the Christian community by pointing
out the evils of androcentrism, patriarchy and mysogyny. Its theologians have often
helped the church to become more inclusive and therefore truer to the image of
God as both male and female and to the universality of the Gospel.206

Teologi Feminis membukakan satu dimensi dan suatu wawasan baru dalam
mengerjakan penafsiran secara horizontal seluruh penafsiran Alkitab.

204
Fisher Humphreys, Feminism and the Christian Faith, (New Orleans: The Theological
Educator, 1995) 15.
205
Stanley J. Grenz, 229.
206
Ibid 235.
82

2. Pengaruh Negatif

Setelah mendapatkan kesempatan dan simpati dari masyarakat dan gereja, kaum
Feminis yang bersifat ‘radical’ atau ‘extreme’ sering melangkah terlalu jauh bahkan dengan
menggunakan metode spekulatifnya berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka
mengatakan bahwa Alkitab tidak benar sebab disusun dengan menjunjung nilai maskulin
dan merendahkan nilai feminin. Mereka menyimpulkan kedudukan antara Allah dan
manusia akhirnya tak ada bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan Carol Ochs
demikian, "We, all together, are part of the whole, the all in all, God is not father, nor
mother, nor even parents, because God is not other than, distinct from, or opposed to
creation.207

Pada mulanya teolog Feminis hanya menuntut haknya tetapi lama-kelamaan


beberapa dari mereka menjadi 'radical'. Tuntutan mereka melampaui dari yang ditetapkan
Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental ortodoks tentang Allah Tritunggal
dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri mengetahui teolog Feminis itu radikal atau tidak,
seperti kesimpulan Fisher Humphreys,

First, feminist is radical when it calls upon women to hate men and when it calls
upon men to hate themselves, second, when it is contemptuous of marriage,
parenthood, and domesticity ... to remain single, childless, third, when it affirms
homosexuality, bisexuality, or a genderless society, fourth, when it interprets all
social reality through the grid of gender.208

Tentu saja terdapat banyak kritik terhadap teologi Feminis antara lain, penolakan
Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada kepercayaan politeisme dewa-
dewi. Kebiasaan berbicara begitu tidak didasarkan kemauan atau konsensus teolog pria,
melainkan hanya karena à Wahyu Ilahi yang dibawa oleh Yesus sendiri (!). Bahwa
kenyataan itu mungkin disalahtafsirkan oleh sementara teolog pria, bukanlah alasan yang
tepat untuk menolak bahasa Wahyu (Allah) itu sendiri. Kritik lain menekankan, bahwa
naskah Alkitab tidak boleh diubah misalnya untuk mengurangi bau 'patriarkalnya' dan

207
Donald G. Bloesch, Is the bible Sexist? (Illinois: Crossway, 1982) 63.
208
Fisher Humphreys, 16.
83

bahwa naskah tersebut tidak boleh disingkirkan karena dianggap bertentangan dengan hak
semua wanita dalam segala hal (mis Ef. 5:21-24).209
Yang lebih berbahaya lagi adalah teolog Feminis seperti Mary Daly akhirnya
mendukung gerakan "gay", "lesbian" dan masyarakat "non-sexist". Donald G. Bloesch
mengutarakan sebagai berikut.

It is not surprising that radical feminist tend to support the Gay Liberation
movement, since they completely sever sex from its reproductive or generative
purpose. They also propose the "total elimination of sex role", and this include a
tolerance of lesbian as well as male homosexual relationships. For Mary Daly, in a
nonsexist society homosexual would free to relate meaningfully and authentically
to one another.210

209
A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994) 365-366.
210
Donald G. Bloesch, 20.
84

BAB VI

KESIMPULAN

Konsep Allah ‘Tritunggal’ teologi Feminis adalah konsep ‘allah’ hasil rekayasa
pemikiran kaum Feminis. "Allah" teolog Feminis bukan Allah Tritunggal yang ada di dalam
Alkitab. Direformulasikannya Allah Tritunggal oleh kaum Feminis menyebabkan bukan
saja konsep Tritunggal kaum Feminis menjadi kacau balau tetapi juga menjadi sangat
menyesatkan dan tidak sesuai dengan kebenaran Firman Allah. Hal ini mengakibatkan
tujuan mereka berbalik, di mana pada mulanya bertujuan me’re-formulasi’ istilah Allah
Tritunggal menjadi men’de-formulasi’ - atau merusak formulasi yang sudah ada dan
benar.
Tidak ada seorang pun yang berhak mengganti istilah Allah Tritunggal, yang berhak
memberi nama Allah adalah Allah sendiri. Roland M. Frye berkata, “According the
biblical religion, on the other hand, only God can name God.” 211 Manusia hanya mampu
memberi nama setelah Allah memberikan kuasa kepadanya. Teologi Feminis, akhirnya
tidak bisa melarikan diri dari ketidakpercayaan terhadap Alkitab yang adalah wahyu Allah.
Akibatnya segala usaha yang mereka lakukan hanyalah mengakibatkan "menghina" atau
"menghujat" Allah, sebab teologi Feminis pada dasarnya sudah menolak Allah yang
mengenalkan diri dalam Alkitab.
Gelombang dan badai pengajaran yang berusaha menyelewengkan ajaran doktrin
Allah dalam Alkitab sekuat apapun tidak akan mampu melawan dasar iman Kristen yang
sudah ditanamkan, dijaga, dipelihara oleh Allah sendiri dalam sejarah gereja sejak ratusan
tahun silam. Teologi Feminis ini jelas-jelas tidak mempercayai kanonisasi Alkitab. Mereka
tidak percaya bahwa para penulis Alkitab diinspirasikan oleh Roh Kudus, di mana semua
tulisan, idea, kemauan kehendak penulis Alkitab dikontrol, dikuduskan oleh Roh Kudus,
sehingga tidak ada kemungkinan sekecil apa pun kesalahan dalam Alkitab.212
Teologi Feminis berusaha untuk membuat 'agama' baru dengan memakai nama
‘allah’ baru yang ‘menyamar’ dengan memakai topeng kekristenan. Alvin F. Kimel Jr.

211
Roland M. Frye, "Language for God and Feminist Language : Problems and Principles", di
dalam Speaking the Christian God : The Trinity and the Challenge of Feminism. Alvin F. Kimel Jr., ed.,
(Michigan: WM. B. Eerdmans, 1992) 17.
212
Norman L. Geisler, William E. Nix. A General Introducttion to the Bible, (Chicago: Moody,
1976) 30-61. Baca 2 Tim 3:16 dan 2 Petrus 1:21 di mana dalam ayat-ayat ini sangat-sangat jelas
menyatakan bahwa para penulis Alkitab itu diinspirasikan oleh Allah Roh Kudus, dalam bahasa
Yunaninya menggunakan kata /theo-pneustos/-"God Breathed".
85

menganalisa seperti ini, ”If I am correct in my preceding analysis, these changes touch
the substance of the gospel. To abandon or reject the trinitarian naming is to create a
new religion, a new God.”213 Penyingkapan diri Allah dalam Alkitab adalah cukup bagi
orang percaya. Roland M. Frye mengatakan, “... what God has freely revealed to us is
sufficient for our needs.”214
Metode penafsiran Alkitab teologi Feminis tidak memperhatikan hubungan antara
teks, konteks dan kontent. Mereka hanya memakai penafsiran subyektivisme215 pengalaman
wanita saja. Pendekatan metode penafsiran teologi Feminis tidak pernah memperhatikan
metode pendekatan yang lain seperti; 'Contextual Analysis, Syntactical Analysis, Verbal
Analysis, Theological Analyisis, Lingusitic Distinctions, etc.' 216 Metode penafsiran atau
hermeneutik teologi Feminis adalah bukan eksegesis tetapi eisegesis.217 Setiap idealisme,
sekterianisme, ajaran, gerakan ‘isme-isme’ yang menyerang ajaran Allah akan roboh
dengan sendirinya karena di dalam ajaran-ajaran atau gerakan ‘isme-isme’ yang memusuhi
Allah sudah tertanam suatu benih perusakan diri "seed-self-destruction". Secara alamiah
tumbuhnya gerakan tersebut akan menghantam dirinya sendiri dan merobohkan gerakan
mereka. (Dalam pengertian teologi hal ini dapat digolongkan ke dalam tindakan manusia
yang selalu melawan Allah-Total Depravity).
Wahyu 22:18-19, suatu perkataan Firman Allah yang harus benar-benar disadari
bahayanya jikalau sampai ada suatu usaha untuk merubah perkataan-perkataan dalam
Alkitab, "Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan
nubuat ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka
Allah akan menambahkan malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan
213
Alvin F. Kimel, Jr., "The God Who Likes His Name : Holy Trinity, Feminism, and the
Language of Faith", di dalam Speaking the Christian God : The Holy Trinity and the Challenge of
Feminism, Alvin F. Kimel, Jr., ed., (Michigan: WM. B. Eerdmans, 1992) 208.
214
Roland M. Frye, "Language for God and Feminist Language", dalam Speaking the Christian
God : The Holy Trinity and the Challenge of Feminism, Alvin F. Kimel, Jr., ed., 31.
215
R.C. Sproul, Pengenalan Alkitab, Malang: SAAT, 1994) 31-32. Sproul membedakan istilah
subyektivisme dengan subyektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki elemen subyektif, lain
daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subyektif. Supaya kebenaran atau kepalsuan dapat
bermakna untuk hidup saya haruslah diterapkan kepada hidup saya dengan cara tertentu. Subyektivisme
terjadi jikalau kita dengan minat-minat kita sendiri. …kebenaran itu secara mutlak ditetapkan oleh
subyeknya, jikalau kita ingin menghindarkan diri dari pembengkokkan atau penyimpangan Alkitab, dari
awal kita sudah harus menghindari subyektivisme.
216
Walter C.Kaiser, Jr., Toward An Exegetical Theology: Biblical Exegesis for Preaching and
Teaching, (Michian: Baker, 1981).
217
Sproul, 33. Eisegesis berasal dari kata Yunani yang berarti "ke dalam". Jadi eisegesis
menyangkut memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam
kata-kata tersebut. Eksegesis usaha yang obyektif sedangkan Eisegesis adalah menyangkut usaha praktek
subyektivisme.
86

Jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan kitab nubuat ini, maka
Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti
yang tertulis di dalam kitab ini."

1. Implikasi

Penulis merasakan bahwa hasil dari tesis ini belum dapat memuaskan dan mencakupi
seluruh permasalahan interpretasi teologi Feminis yang dibahas di atas. Karena itu penulis
menyadari memang terdapat banyak problema dalam tesis ini yang masih membutuhkan
penelitian-penelitian dan pemecahanan secara serius, dengan berprinsip pada kepercayaan
bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang tidak bersalah dan tidak meremehkan posisi
wanita. Alkitab berotoritas tertinggi karena Alkitab adalah Wahyu Allah yang diinspirasikan
oleh Roh Kudus. Jika ada hal-hal yang memang kurang bisa dimengerti dengan jelas, hal
ini disebabkan keterbatasan pemikiran yang dimiliki oleh manusia.

2. Rekomendasi

Dengan menyadari akan adanya keterbatasan tenaga, waktu, dan pemikiran dalam
membahas permasalahan pada tesis ini, maka penulis merasakan perlunya studi lanjut
tentang cara penafsiran teologi Feminis dalam konteks yang lebih luas yang berkaitan
dengan teologi Perjanjian Lama (eksegese) serta pemakaian kata dalam bahasa yang
berjenis kelamin maskulin. Kebutuhan kedua adalah membandingkan keberadaan teologi
Feminis dengan teologi Biblika, Sistematika, Historika dan Praktika, khususnya yang
berkaitan dengan teologi perjanjian lama dan baru dalam bidang tata bahasanya. Terakhir
penulis melihat adanya suatu kebutuhan utama untuk membuka wawasan dengan
penemuan atau penyingkapan dalam bidang historika yang bersangkut paut dengan teologi
Feminis. Sebagai contoh penerbitan karya seorang penulis wanita pada jaman Martin
Luther yang bernama Argula von Grumbach (1492-1554): A Women’s Voice in the
Reformation, dalam jurnal “The Evangelical Quaterly” volume LXIX/No. 1 Januari
1997.
Walaupun penulis menyadari kelemahan-kelemahan dasar penafsiran teologi Feminis
tetapi ia tetap melihat adanya kontribusi yang besar dari teologi Feminis. Sumbang sih
mereka khususnya dalam dunia perteologian yaitu membukakan kesadaran suatu wawasan
87

penafsiran yang memang sudah lama terpendam yaitu penafsiran dari “dunia wanita” yang
merangsang dan memperkaya pertumbuhan metode penafsiran secara horizontal.
Akhir kata penulis mengharapkan akan adanya suatu forum untuk meresponi gerakan
Feminis secara umum dan teologi Feminis secara khusus dan berkala, baik melalui
pertemuan-pertemuan dalam seminar, atau diskusi-diskusi dalam pembinaan di gereja-
gereja, atau persekutuan-persekutuan Mahasiswa, dll.
88

BIBLIOGRAFI

Achtemeier, Elizabeth. "Exchanging God for ‘No god’: A Discussion of Female


Language for God", dalam Speaking the Christian God. ed. Alvin F. Kimel,
Michigan: Wm. B. Eerdmanns Publ. 1992.

Allen, Diogenes. Philosophy for Understanding Theology. Atlanta: John Knox., 1983.

Anne Hommes. Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat. Jakarta-
Yogyakarta: Gunung Mulia dan Kanisius, 1992.

Arthur F. Mc Godern, Liberation Theology and Its Critiques: Toward an Assessment. New
York: Orbis Book, 1994.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Pustaka Umum Gramedia, 1996.

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia-Efesus. Jakarta: Gunung Mulia,
1992.

Barth, Karl. Church Dogmatics. Edinburgh: T. and T. Clark, 1957. 13 Volume.

Berkhof, Louis. The History of Christian Doctrines. Grand Rapids; Michigan: Baker Book
House Publ., 1990.

--------. The Reformed Dogmatics. Grand Rapids; Michigan: William. B. Eerdmanns,


1937.

--------. The Systematic Theology. Grand Rapids; Michigan: William B. Eerdmanns.

--------. Principles of Biblical Interpretation (Sacred Hermeneutics). Grand Rapids;


Michigan: Baker, 1950.

-------. Summary of Christian Doctrine. Grand Rapid; Michigan: Baker Book House,
1992.

Blaiklock dan R.K. Harrison. The New Dictionary of Biblical Archaelogy. Michigan:
Regency R.Library, Zondervan, 1983.

Bloesch, Donald G. The Battle for the Trinity: The Debate over Inclusive God-Language.
MI: Servant, 1985.

-------. Is the Bible Sexist? Illinois, Crossway, 1982.

-------. Holy Scripture: Revelation, Inspiration & Interpretation. Illinois: IVP, 1994.
89

Boethner, Loraine. The Reformed Doctrine of Predestination. Grand Rapids; Michigan:


Wm. B. Eerdmanns, 1954.

Boomsma, Clarence. Male & Female One in Christ. Michigan: Baker, 1993.

Borrowdale, Anne. Tugas Rangkap Wanita: Merubah Sikap Orang Kristen. Jakarta:
Gunung Mulia, 1997.

Brown, Collin. The New International Dictionary of the New Testament Theology. Vol
1,2,3, Grand Rapids; Michigan: 1975, 1976, 1978.

-------. History and Faith: A Personal Exploration. Leicester: IVP, 1987.

-------. Filsafat dan Iman Kristen. Jakarta: LRII,1992.

Brownigg, Ronald. Who's Who in the New Testament. Toronto: Hodder and Stoughton,
1971.

Bruce, F.F. Commentary on Galatians. Grand Rapids; Michigan: Williamm. B. Eerdmanns,


1982.

Bullinger, E.W. Figure of Speech: Used in the Bible. Grand Rapids; Michigan: Baker,
1968.

Burnham, Frederic B. Postmodern Theology: Christian Faith in a Pluralist World. San


Franscisco: Harper and Row, 1989.

Caird, G.B. The Language and Imagery of the Bible. Philadelphia: Westminster, 1980.

Calvin, John. Institute of the Christian Religion. Grand Rapids; Michigan: Wm. B.
Eerdmanns, 1989.

-------. John Calvin's Sermons on Ephesians. Pennsylvania: The Banner of Truth Trust,
1973.

Carson, D.A., Biblical Interpretation and the Church: Text and Context. Grand Rapids,
Michigan: Baker, 1984.

Comay, Joan. Who's Who in the Old Testament. Toronto: Hodder and Stoughton.,1971.

Conn, Harvie M. Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1992.

Curtis, Vaughan. Bible Commentary: Ephesians. Grand Rapids; Michigan: Lamplighter,


Zondervan, 1977.
90

Darmaputera, Evang. Wanita dan Berbagai Segi Kehidupannya. Jakarta: Gunung Mulia,
1997.

Dockery, David S.. Biblical Interpretation: Then & Now. Grand Rapid; Michigan: Baker
Book House, 1992.

Douglas J.P. dan Walter A. Elwell. The Evangelical Dictionary of the Christian Tradition.
Grand Rapids; Michigan: Baker Book House, 1989.

Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologi. Jakarta: Gunung


Mulia, 1993.

Elwell, Walter ed. Evangelical Dictionary of Biblical Theology. Grand Rapid; Michigan:
Baker, 1996.

Erickson, Millard J. Christian Theology. Vol. 1, 2, & 3, Michigan: William. B. Eerdmanns,


1984.

-------. Where Is Theology Going?: Issues and Perspectives on the Future of Theology,
Michigan: Baker, 1994.

Evans, Mary J., Woman in the Bible: An Overview of All the Crucial Passages on Women's
Role. Illinois: IVP, 1983.

Farley, Margareth A. Feminist Consciousness and Interpretation of Scripture. Philadelphia:


Westminster, 1985.

Fee, Gordon. The New Testament Exegesis: A Handbook for Students and Pastors.
Philadelphia: Westminster,1983.

-------. Hermeneutik: Bagaimana Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat. Malang:


Gandum Mas,1982.

Ferguson, Sinclair B., J.I. Packer, David F. Wright. New Dictionary of the Theology.
Illinois: IVP, 1988.

Fischer, James A., C.M. God Said Let There Be Woman: A Study of Biblical Women. New
York: Alba House, 1978.

Fiorenza, Elizabeth Schüssler, “Emerging Issues in Feminist Biblical Interpretation”:


Christian Feminism: Visions of a New Humanity, San Franscisco: Harper & Row,
1984.
91

-------. Untuk Mengenang Perempuan Itu: In Memory of Her-Rekonstruksi Teologis


Feminis tentang Asal-Usul Kekristenan, Jakarta, Gunung Mulia, 1995.

-------. In Memory of Her: A Feminist Theological Reconstrucion of Christian Origins,


New York: Crossroad, 1983.

Fitzmyer, S.J. Joseph. A Pauline Theology: A Brief Sketch. New Jersey: Prentice Hall,
1967.

Ford, David F. The Modern Theologians: An Introduction to Christian Theology in the


Twentieth Century. Vol. I & II, New York: Basil Blackwell, 1989.

Frame, John M. The Doctrine of the Knowledge of God. New Jersey: Presbyterian and
Reformed Publ., 1987

Franks, Robert S. The Doctrine of the Trinity. London: Grald Duckworth, 1953.

Fritz, Rienecker and Cleon Rogers. Linguistic Key to the Greek New Testament. Grand
Rapids; Michigan: Zondervan,1980.

Geisler, Norman L., William E. Nix. A General Introduction to the Bible. Chicago:
Moody, 1976.

Gerald Bray. Biblical Interpretation: Past & Present. Illinois:IVP, 1996.

Gideon, Virtus E. Bible Study Commentaries: Luke. Michigan: Zondervan, 1976.

Gill Jerry H. On Knowing God. Philadelphia: Westminster, 1981.

Grace D. Cumming Long. Passion & Reason: Womenviews of Christian Life. Lousiville;
Kentucky:Westminster/John Knox Press., 1993.
th
Grenz, Stanley J., et. all. 20 Century Theology: God and World in a Transitional Age.
Illinois: IVP, 1992.

-------. Women in the Church: A Biblical Theology of Women in Ministry. Illinois: IVP,
1995.

Gundry, Stanley. Tensions in Contemporary Theology. Grand Rapids; Michigan: Baker


1985.

Gustavo Gutierrez. A Theology of Liberation. Michigan: Orbis, 1995.

Guthrie, Donald. New Testament Theology. Leicester: IVP, 1981.


92

-------. Introduction of New Testament Theology, Leicester: IVP, 1968. 3 Volume

Hadiwijono, Harun. Teologi Reformatoris Abad ke 20. Jakarta: Gunung Mulia, 1984.

Hasel, Gerhard F. The Flowering of Old Testament Theology. Indiana: Eisenbrains Winona
Lake, 1992, vol. 1 & 2.

Heimmel, Jennifer Perone. God is Our Mother: Julian of Norwich and the Medieval Image
of Christian Feminine Divinity. MI: Harvard University, 1980 .

Hodge, A.A. The Confession of Faith London: Banner of Truth, 1958.

Hodge, Charles. Systematic Theology. vol.1, 2, & 3 Grand Rapids; Michigan: William. B.
Eerdmanns, 1981.

Hoekema, Anthony A. Saved by Grace. Grand Rapids; Michigan: Wm. B. Eerdmanns


Publ., 1984.

-------. Created on the God's Image. Grand Rapid; Michigan: Eerdmans/Paternoster, 1989.

Horst, Balz, dan Gerhard Schneider. Exegetical Dictionary of the New Testament.
Michigan: William B. Eerdmans, 1981. Vol.1, 2, & 3.

Buttrick, Arthur, John Knox, et all. The Interpreter's Bible: Matthew-Mark. Vol. 7,
Nasville: Abingdon, 1978.

-------. The Interpreter's Bible: Philippians - Hebrews. Vol. 11, Nasville: Abingdon, 1978.

-------. The Interpreter's Bible: Corinthians - Ephesians.. Vol. 10, Nasville: Abingdon, 1978

Humphrey, Fisher. Feminism and the Christian Faith. New Orleans; LA: The Theological
Educator, 1995.

Hurley, James B. Man and Woman in Biblical Perspective. Michigan: Zondervan, 1981.

James Kennedy. Bagaimana Jika Alkitab Tidak Pernah Ditulis. Jakarta: Interaksara, 1999.

-------. Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? Jakarta: Interaksara, 1999.
Jewett, Paul K. Man as Male and Female: A Study in Sexual Relationships from a
Theological Point of View. Michigan: William B. Eerdmans, 1975.

Johnson, Elizabeth A. She Who Is: The Mystery of God in Feminist Theological
Discourse. New York: Crossroad, 1993.
93

Kaiser, Walter C. Toward an Exegetical Theology: Biblical Exegesis for Preacing and
Teaching. Grand Rapids; Michigan: Baker, 1981.

Kamanto, Sunarto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Universitas


Indonesia, 1993.

Kassian, Mary A. Human Liberation in a Feminist Perspective: A Theology. Philadelphia:


Westminster, 1974.

-------. The Feminist Gospel: The Movement to Unite Feminism with the Church.
Wheaton; Illinois: Crossway, 1992.

Keener S., Craig Paul, Women and Wives: Marriage and Women's Ministry in the Letter
of Paul. Massachutes: Hendricksen, 1992.

Kimel, Alvin F. Speaking the Christian God: The Holy Trinity and Challenge of Feminis.
Grand Rapids; Michigan: Wm. B. Eerdmanns, 1992

Letham, Robert. The Man-Woman Debate: Theological Comment. Philadelphia: Journal


of Westminster, no. 52, 1990.

Lembaga Alkitab Indonesia. Tafsiran Alkitab Masa Kini. 3 volume, Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1988.

Luhrmann, Dieter. Galatians: A Continental Commentary. Minneapolis: Fortress, 1992.

Marshall, Howard. I Believe in the Historical Jesus. Grand Rapids; Michigan. Wm. B.
Eerdmanns, 1995.

Mary Daly. Beyond God the Father: Toward a Philosophy of Women's Liberation. Boston:
Beacon, 1973.

-------. The Church and the Second Sex. New York: Harper and Row, 1968.

McFague, Sally. Metaphorical Theology: Models of God in Religious Language.


Philadelphia: Fortress, 1982.

McGrath, ed., The Christian Theology Reader. Oxford: Blackwell, 1995.

-------. Christian Theology: An Introduction. Massachusetts: Blackwell, 1994.

McKim, Donald, ed. Encyclopedia of the Reformed Faith. Kentucky: Westminster/John


Konx, 1992.

Mickelsen, Alvera, ed. Women Authority & the Bible. Illinois: IVP, 1986.
94

Migliore, Daniel L. Faith Seeking Understanding: An Introduction to Christian Theology.


Grand Rapid: Michigan: William B. Eerdmans, 1991.

Milne, Bruce. Mengenali Kebenaran. Jakarta: Gunung Mulia, 1992.

Moltmann, Jurgen. The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God. San Franscisco:
Harper and Row, 1981.

Moris, Leon. Galatians: Paul's Charter of Christian Freedom. Illinois: IVP, 1996.

Moris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 1993.

Morgan, Robert. Feminist Theological Interpretation of the New Testament. ed. Janet
Martin, After Eve, London, Collin Press, 1990.

Mollenkott, Virginia Ramey. Godding: Human Responsibility and the Bible. New York,
Crossroad Book, 1988.

-------. The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God As Female. New York:
Crossroad, 1984.

------. Women Men and the Bible. Nashville; Tennessee: Abingdon, 1977.

Mowry, Catherine LaCogna, ed. Freeing Theology: The Essential of Theology in Feminist
Perspective. San Franscisco: Harper & His Son, 1993.

Nash, Ronald. Faith and Reason: Searching for a Rational Faith. Michigan: Zondervan,
1988

Muller, Richard A. Dictionary of Latin and Greek Theology Terms: Drawn Principally
from Protestant Scholastic Theology. Michigan: Baker, 1985.

Naisbitt, John & Patricia Aburdene. Megatrends 2000. Jakarta:Bina Aksara, 1990.

Oduye, Mercy. Siapa yang akan Menggulingkan Batu itu? Dekade Oikumenis Gereja-
Gereja dalam Solidaritas dengan Perempuan. Jakarta: Gunung Mulia, 1995.

Packer, James I. Knowing God. Downers Grove; Illinois: IVP, 1982.

Papa, Mary Bader. Christian Feminism: Completing the Subtotal Woman. Chicago;
Illinois: Fides/Claretin, 1981.

Payne, Leanne. Crisis in Masculinity Illinois: Crossway, 1985.


95

Philip Babcock G., and Miriam Webster, ed. Webster's Third New International
Dictionary. Massachusettes, G & C, Meriam, 1976.

Pinnock, Clark H. Tracking the Maze: Finding Our Way through Modern Theology from
an Evangelical Perspective. San Franscisco: Harper & Row, 1990.

Rape, Dorothy R. In Search fo God's Ideal Woman: A Personal Examination of the New
Testament. Illinois: IVP, 1976.

Robin, John W. Scripture Twisting in the Seminaries. Maryland: The Trinity Foundation
Jefferson, 1985.

Ronald Nash, Faith and Reason: Liberation Theology. Grand Rapids, Michigan. Baker
1984.

Ronald Nash & Humberto Belk. Beyond Liberation Theology. Grand Rapids: Michgan,
Baker Book House, 1992.

Russel, Letty M, 1972. Feminist Interpretation of the Bible. Philadelphia: Westminster,


1985.

-------. The Liberating Word: A Guide to Non-Sexist Interpretation of the Bible.


Philadelphia: Westminster, 1974.

Ruether, Rosemary Radford, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Boston:
Beacon, 1983.

-------. Liberation Theology: Human Hope Confronts Christian History and American
Power. New York: Paulist, 1972.

Sakenfield, Catherine Doob. Feminist Uses of Biblical Materials. Dalam Feminist


Interpretation of the Bible. Russel, Lety., Philadelphia: Westminster, 1985.

Schaeffer, Francis A. The Great Evangelical Disaster. Wheaton; Illinois: Crossway, 1984.

-------. The Complete Works of Francis A. Schaffer: A Christian Worldview. Volume 1-5.
Westchester; Illinois: Crossway Book, 1982.

Schneiders, Sandra M. Women and the Word. New York: Paulist, 1986.

Sherlock, Charles. The Doctrine of Humanity: Contours of Christian Theology. Illinois:


IVP, 1996.

Soedarmo, R. Ikhtiar dogmatika. Jakarta: Gunung Mulia, 1991.


96

Sproul, R.C. Pengenalan Alkitab. Malang: Saat, 1994.

Spykman, Gordon J. Reformational Theology: A New Paradigm for Doing Dogmatic.


Michigan: William B. eerdmans, 1992.

Susabda, Yakub B. Pengantar ke dalam Teologi Reformed. Jakarta: Lembaga Reformed


Injili Indonesia, 1995.

Susanne Heine. Matriarchs, Goddesses, and Images of God: A Critique of a Feminist


Theology. Minneapolis: Ausburg, 1989.

Susan Thistlethwaite. Sex, Race, and God. New York: Crossroad, 1989.

Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip-Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang:


SAAT, 1990.

Stott, John. Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan


Komuniksi Bina Kasih/OMF, 1984.

-------. Issues Facing Christians Today. UK: Marshall Morgan & Scott, Beggar Lane,
Basingstoke, Hants RG23 7LP, 1984

Strong, A.H. Systematic Theology. Grand Rapids; Michigan: William B. Eerdmanns,


1984.

Suleeman, Steeven, dan Bendalina Doeka, ed. Bentangkanlah Sayapmu: Hasil Seminar dan
Lokakarya Teologi Feminis. Biro Wanita PGI - Perwati-Persetia di Kaliurang, 28-
30 Juli 1997. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999.

Syukur D., Nico. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Thiselton, Anthony. New Horizons in Hermeneutics. Grand Rapids; Michigan: Zondervan,


1992.

Tillich, Paul. History of Christian Thought. New York: Simon & Schuster, 1986.

Tong, Joseph. (Lecturer Notes) The Triumph of Sovereign Grace, A Collection of


Treatises. California; Los Angeles: ITS, 1996.

-------. Research Methodology. Pacet: ICTS, 1995.

-------. Foundation of Philosophical Theology. Pacet: ICTS, 1998.

-------. Systematic Theology. Pacet: ICTS, 1998.


97

-------. Hermeneutics and Biblical Interpretation. Pacet: ICTS, 1999.

Vaughan, Curtis. Bible Study Commentaries: Ephesians. Michigan: Zondervan, 1976.

-------. Bible Study Commentaries: Galatians. Michigan: Zondervan, 1976.

Vos, Howard F. Bible Study Commentaries: Mark. Michigan: Zondervan, 1976.

Waltter, Betty Talbert. Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity. San Diego;
California: EVSJ. (Tahun ?)

Warfiled, Benyamin B. Biblical and Theological Studies. Philadelphia; Pennsylvania:


Presbyterian & Reformed, 1968.

Willmington, H.L., Willmington’s Guide to the Bible. Illinois: Tyndale House Publishers,
1989.

Wirt, Sherwood Eliot and Kersten Beckstrom ed. Topical Encyclopedia of Living
Quotations. Minnesota: Bethany, 1982.

World Council of Churches Geneva. Berita Pembebasan Bagi Wanita, Jakarta: Gunung
Mulia, 1994.

Young, Pamela Dicky. Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method.


Minneapolis: Fortress, 1990.

Young, Robert. Young's Analytical Concordance to the Bible. Michigan: William B.


Eerdmans, 1970.

Zodhiates, Spiros. Word Study Series: The Complete Word Study New Testament.
Cattanooga; TN: AMG, 1992.

-------. Word Study Series: The Complete Word Study Dictionary New Testament.
Cattanooga; TN: AMG, 1992.

Daftar Referensi Jurnal

Bendroth, Margareth Lambert. "Feminism, Anne Hutchinson, and Antinomian


Controversy, 1634-1638." Trinity Jurnal Vol.2 No.1 (1981) 40-48.
98

Culver, Robert D. "Does Recent Scientific Research Overturn Claims of Radical Feminism
& Support Biblical Norms od Human Sexuality?." JETS Vol.30 No.1 (1987) 39-
48.

Feillard, Andree. "Indonesia's Emerging Muslim Feminism" women Leaders On Equality,


Inheritance and Other Gender Issue." Studia Islamika Vol 4 No.1 (1997) 83-112

Felix, Paul. "Hermeneutics of Evangelical Feminism." Master 's Seminary Journal Vol 5
No. 2 (1994) 40-48.

Gangel, Kenneth O. "Biblical Feminism and Church Leadership." Biblioteca Sacra Vol.
140 No. 557 (1983) 55-63.

George, Ivy. "Feminism, Sisterhood, and Globalization." Perspectives: Jurnal of


Reformed Thought Vol. 13 No. 10 (1998) 7-10

House, H. Wayne. "Paul, Women and Contemporary Evangelical Feminism." Bibliotheca


Sacra Vol. 136 No. 541 (1979) 40-53.

Humpreys, Fisher. "Feminism and Christian Faith." Theological Educator Vol. No. 52
(1995) 15-20.

Hutch, R.A. "Feminism and End of World." Asia Jurnal Vol.6 No. 2 (1992) 292-296.

Kassian, Mary. "Challenge of Feminism." Faith and Mission vol. 14 No. 1 (1996) 14-23.

Lanur, Alex. "Feminisme dan Gerakan Emansipasi". Basis Vol. 35 No. 34 (1986). 122-
127.

Litfin, A. Duaneon L. "Evangelical Feminism: Why Traditionalist Reject It." Bibliotheca


Sacra Vol.140 No.557 (1983) 55-63.

Mamahit, N.G.M. "Pengantar: Teologi Feminisme dan Hermeneutika Feminis". Forum


Biblika Vol. No. 10 (1999) 1-5.

Padgett, Alan. "Pauline Rationale for Submission: Biblical Feminism and Hina Clauses of
Titus 2:1-10." Evangelical Quaterly Vol.59 No. 1 (1998) 15-22.

Paimoen, Isriatmi. "Feminisme: Sumbangsih dan Kritik", Pelita Jaman Vol.13 No. 1
(1998) 54-65.

Rees, Stephen. "Implications of Evangelical Feminism." Reformation Today Vol. 140


(1994) 9-10

Sandlin, Andrew. "Coup De Grace to Feminism." Chalcedon Report No. 406 (1999) 3-5.
99

Sarmento, J.F. Da Silva. "Feminisme dan Ilmu Pengetahuan: Kritik atas Postmodernisme
Feminis." Driyangkara Vol 20 No. 4. (1993-1994). 54-65.

Sutanto, Teddhy. "Yesus, Kaum Perempuan dan Feminisme." Forum Biblika Vol. No.10
(1999) 36-47.

Anda mungkin juga menyukai