Anda di halaman 1dari 14

CAPITA SELECTA

Dosen Pengampu

Rm. Heru Prakosa, SJ

Rm. Bernhard Kieser, SJ

RUDOLF BULTMANN

KRITIK BENTUK DAN DEMITOLOGISASI

Oleh: THEODORUS G. RUING


FT 3719

PROGRAM STUDI TEOLOGI

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019

1
1.Biografi Singkat Rudofl Karl Bultmann

Rudolf Bultmann dilahirkan tanggal 20 Agustus 1884, di Wiefelstede. Ia adalah putra


sulung dari Arthur Bultmann dan Helena. Ayah Bultmann adalah seorang pendeta dari Gereja
Lutheran-Evangelis. Tahun 1892-1895, Bultmann masuk sekolah dasar di Rastede mengikuti
ayahnya yang juga dipindahkan ke kota itu. Tahun 1895-1903 mengenyam pendidikan di
gymnasium di Oldenburg. Hal menarik yang ia pelajari di sekolah dasar dan gymnasium adalah
pelajaran bahasa Yunani dan literatur Jerman. Dua pelajaran itu menolong dia untuk belajar
agama. Tahun 1903, ia lulus ujian akhir di gymnasium dan mulai belajar teologi di Universitas
Tubingen. Sesudah tiga semester, ia pindah ke Berlin dan belajar dua semester di sana,
kemudian ke Marburg dan belajar dua semester di sana. Selain teologi dia juga kuliah filsafat
dan sejarah filsafat.1

Tahun 1910, Bultmaan mendapat gelar lisensiat teologi dan memperoleh gelar doktor
di tahun 1912. Tahun 1912, ia memperoleh kualifikasi sebagai pengajar Perjanjian Baru di
Marburg dan mulai mengajar di sana sampai tahun 1916. Tahun 1916, Bultmann dipanggil ke
Breslau sebagai asisten dosen dan kemudian aktif mengajar di sana sampai tahun 1920. Tahun
1920, dia dipanggil ke Giessen sebagai dosen penuh menggantikan Wilhelm Bousset. Tahun
1921, ia kembali lagi ke Marburg menggantikan Wilhelm Heitmuller. Ia bertahan mengajar di
Marburg sampai pensiun tahun 1951.2

Selama mengajar di Marburg, Bultmann bertemu dengan dosen-dosen lain karena


adanya pertukaran dosen dengan universitas lain. Ia berkenalan dengan Martin Heidegger yang
mengajar di Marburg tahun 1922-1928. Dalam diskusi bersama Heidegger, Bultmann
memperoleh pengetahuan tentang filsafat eksistensial yang membuatnya lebih yakin berbicara
tentang eksistensi manusia dan juga eksistensi orang yang percaya. Bultmaan dalam hal ini
berusaha agar pengetahuan filsafat mempunyai manfaat dalam teologi. Selain Heidegger,
Bultmann juga berkawan dengan Karl Barth walaupun lama kelamahan hubungan mereka
mulai merenggang karena Barth menilai ide Bultmann tentang demitologisasi sebagai lanjutan
dari teologi liberal abad ke-XIX.3

Bultmann menulis beberapa karya teologi yang terkenal, seperti "Theology of the New
Testament" (1951), yang berisi tentang pernyataan lengkap tafsiran alkitabiah Bultmann. Di

1
C.W. Kegley(ed), The Theology of Rudolf Bultmann, SCM Press Ltd., London 1966, xix-xx.
2
C.W. Kegley(ed), The Theology of Rudolf Bultmann, xx-xxi.
3
C.W. Kegley(ed), The Theology of Rudolf Bultmann, xxiv.

2
tulisan selanjutnya, Bultmann meneruskan kritik analisanya tentang sumber-sumber Perjanjian
Baru. "The History of the Synoptic Tradition" (1968) merupakan ujian yang berpengaruh
terhadap susunan Injil Matius, Markus, dan Lukas. "The Gospel of John: A Commentary"
(1971) dianggap sebagai tafsiran baru yang penting atas kesulitan keempat Injil. Salah satu
karya terakhir Bultmann, "Jesus and The Word" (1975), adalah sebuah penyelidikan akan
pengajaran Yesus yang memberikan kepada pembaca sekilas teori teologi tentang sejarah dan
penafsiran Alkitab. Literatur tentang karya Bultmann juga berkembang pesat sejak akhir
Perang Dunia II. Karya Charles Kegley, ed., "The Theology of Rudolf Bultmann" (1966), berisi
uraian singkat riwayat hidup yang ditulis oleh Bultmann, esai penting tentang tafsiran, dan
kritik tentang ide-ide besarnya, yang disertai dengan jawaban Bultmann. Karya ini juga berisi
bibliografi lengkap tentang karyanya hingga tahun 1965.

Selama rezim Nazi, Bultmann merupakan salah satu anggota yang vokal dalam
"Confessing Church" yang menolak untuk mengikuti kependetaan "Kristen Jerman" dalam
memberi dukungan kepada pengeluaran kebijakan non-Aryan Hitler. Sepanjang kariernya,
Bultmann terus berkhotbah dan mengajar. Bultmann menikah dan menjadi ayah dari tiga orang
putri. Dia meninggal pada 30 Juli 1976 di Marburg (sekarang bagian barat) Jerman.

2. Latar Belakang Pemikiran Rudolf Bultmann

Teologi Protestan yang cukup berkembang dan dominan pada abad ke-19 adalah teologi
liberal.4 Teologi ini berpendapat bahwa pesan Yesus dalam Injil, dalam Surat-Surat Paulus dan
Surat-Surat Yohanes merupakan unsur yang esensial bagi iman kristiani. Melalui Yesus
historis, orang-orang Kristen dapat memahami Allah sebagai hukum bagi kehidupan moral
mereka dan sumber pembaharuan moral di tengah berbagai kegagalan dalam hidup.5

Para teolog Perjanjian Baru dari teologi liberal mengklaim bahwa teologi ini didasarkan
pada Yesus historis. Ide ini tidak diterima oleh Rudolf Bultmann. Dalam bukunya, The History
of the Synoptic Tradition (1921), dia menggunakan sebuah metode analisis sejarah yang baru,
yang dikenal dengan istilah ‘Kritik Bentuk’, untuk menunjukkan bahwa pendasaran yang
dipakai oleh teologi liberal tentang Yesus historis itu tidak benar.6 Menurut Bultmann, kita
tidak mempunyai bukti yang memadai untuk berbicara dengan jelas tentang hidup dan
kepribadian Yesus. Hal ini disampaikan dalam bukunya yang lain Jesus (1926). Bahkan jika

4
R.A. Johnson, Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for the Modern Era, Collins., London 1987, 11.
5
R.A. Johnson, Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for the Modern Era, 11.
6
R.A. Johnson, Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for the Modern Era, 11.

3
kita mempunyai semacam bukti, sebuah teologi yang berorientasi kepada figur Yesus tidak
dapat menjadi teologi Kristen. Karena teologi Kristen adalah penjelasan dari iman Kristen, dan
iman itu menjadi sebuah realitas sejarah pertama kali dalam gereja Yunani, bukan dalam Yesus
yang hidup di Palestina. Ini alasan bagi Bultmann untuk mengartikan pewartaan Yesus tentang
kerajaan Allah sebagai permulaan bagi teologi Perjanjian Baru.7

Menurut Bultmann, manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti


pemberitaan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru mempunyai pandangan dunia yang sama sekali
berbeda dengan pandangan modern tentang dunia. Manusia modern tidak dapat menerima
realitas yang dibagi atas tiga bagian: alam atas (surga), alam tengah (bumi tempat manusia dan
tempat pertemuan kekuasaan ilahi dan demonis), dan alam bawah (neraka).8 Apakah ini yang
harus dipercayai bahwa Allah turut serta dalam berbagai peristiwa sejarah di alam tengah?
Manusia modern tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang adikodrati lagi. Manusia
modern tidak mau mendengar berita Perjanjian Baru dan mereka menjadikan mitos-mitos
sebagai batu sandungan. Situasi seperti ini mendorong munculnya suatu metode interpretasi,
untuk menginterpretasi ide-ide, motif-motif dan cerita-cerita ini sehingga semuanya menjadi
transparan dan itensi yang sebenarnya menjadi jelas. Sebagai jawaban atas persoalan itu,
Bultmann menawarkan demitologisasi sebagai sebuah metode interpretasi untuk Kitab
Perjanjian Baru. Metode ini diharapkan dapat membantu orang-orang modern untuk lebih
memahami kisah-kisah yang ada dalam Kitab Suci.

3. Pemikiran Rudolf Bultmann

3.1. Kritik Bentuk

Rudolf Bultmann bukan orang pertama yang berbicara tentang kritik bentuk karena
sebelumnya sudah ada dua orang yang berbicara tentang tema ini, Karl Barth dan Martin
Dibilis. Barth membawa suatu perubahan dalam studi kritis ketika ia menerbitkan buku
mengenai tafsirannya untuk surat Roma. Dibilis adalah orang yang memunculkan istilah ‘kritik
bentuk’ dalam buku karangannya Dio Formgeschichte des Evangeliums. Meski demikian
orang yang lebih berpengaruh dalam soal Kritik Bentuk adalah Bultmann lewat bukunya
History of the Synoptic Tradition (1921).

7
R.A. Johnson, Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for the Modern Era, 12.
8
J.L.Ch. Abineno, Rudolf Bultmann dan Theologinya, Gunung Mulia., Jakarta 1989, 9.

4
Praanggapan dari kritik bentuk ialah bahwa Alkitab tidak dapat diyakini sebagai catatan
dari kehidupan dan pengajaran Kristus dan rasul-rasul-Nya yang layak dipercaya. Berita dari
Yesus yang diberikan kepada kita dalam Sinoptik, sebagian besar tidak otentik, melainkan telah
diciptakan oleh iman dari masyarakat Kristen awal. Bagi Bultmann, Alkitab bukan merupakan
firman Allah yang telah diinspirasikan. Ketika Allah berbicara kepada manusia melalui
Alkitab, secara obyektif Alkitab adalah produksi dari sejarah kuno dan pengaruh religius yang
harus dievaluasi seperti halnya literatur religius kuno lainnya.9

Asumsi dasar dari kritik bentuk adalah bahwa keempat Injil merupakan karya
pengedisian dari gereja awal. Penulis-penulis Injil berusaha untuk menyatukan berbagai tradisi
lisan yang berdiri sendiri dan saling berkontradiksi, yang beredar dalam gereja sebelum waktu
penulisan Perjanjian Baru. Tradisi-tradisi lisan ini pada dirinya sendiri tidak dapat menjadi
patokan. Tradisi lisan pada dasarnya berisi perkataan-perkataan individu dan kisah-kisah
mengenai Yesus dan murid-murid-Nya. Gereja mempergunakan tradisi lisan dan
menjadikannya satu dalam bentuk cerita, yang ditambah dengan lokasi-lokasi, waktu-waktu,
dan menghubungkan sedemikian rupa untuk menjadikan satu tradisi yang berdiri sendiri.
Kalimat-kalimat dalam keempat Injil seperti “di sebuah kapal”, “segera”, “keesokan harinya”,
semua dikatakan semata-mata sebagai perlengkapan literatur yang dipergunakan oleh editor-
editor Injil untuk menyatukan semua perkataan dan cerita mengenai Yesus. K.L.Schmidt,
seorang pembuka jalan dari metode ini berkata, “kami tidak memiliki cerita dari Yesus,
melainkan hanya memiliki cerita-cerita tentang Yesus.”10

Kritik bentuk mencoba untuk menemukan bentuk asal dari tradisi lisan dan kemudian
merekonstruksi tradisi yang paling awal sebisa dan sebaik mungkin. Bagian-bagian yang
berdiri sendiri diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok seperti cerita-cerita mujizat,
pernyataan-pernyataan kontroversial, nubuat-nubuat, kata-kata mutiara. Setiap kelompok
mempunyai sebuah bentuk tetap tertentu. Jadi, jika seseorang menemukan tradisi individual
lebih atau kurang sama dengan bentuk yang telah ditetapkan, seseorang dapat menilai entah itu
merupakan milik tradisi yang utama atau sekunder, dari sumber yang lebih awal atau lebih
kuno. Semakin tua catatan itu maka ia lebih bisa dijadikan patokan sebagai sumber historis.
Hasil dari metodologi semacam ini sangat skeptis. Bagi Bultmann, peninggalan-peningggalan
sejarah banyak ditemukan dalam pengajaran-pengajaran Yesus, bukan dalam catatan tentang
perbuatan-perbuatan-Nya. Bultmann tidak ragu-ragu bahwa Yesus hidup dan telah melakukan

9
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, Seminari Alkitab Asia Tenggara., Malang 2000, 42.
10
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 42-43.

5
banyak pekerjaan tetapi dia skeptis mengenai segala hal. Bultmann menulis, “Saya betul-betul
berpikir bahwa kita sekarang dapat mengetahui hampir tidak ada mengenai kehidupan dan
pribadi Yesus, sejak sumber-sumber orang Kristen tidak tertarik pada satu pun dari hal itu.”11

3.2. Demitologisasi

Salah satu kata kunci untuk mengerti teologi abad ke-20 adalah demitologisasi. Istilah
ini dijadikan terkenal oleh Rudolf Bultmann.12 Bultmann menemukan dua hal dalam Perjanjian
Baru. Pertama adalah Injil Kristen dan kedua adalah pandangan orang abad pertama bercirikan
mitos. Hakekat Injil, menurut Bultmann adalah kerugma (terjemahan Yunani berarti isi dari
yang dikotbahkan), merupakan inti yang tidak dapat dipersempit lagi, yang bagi zaman modern
ini harus dipercayai. Akan tetapi orang modern tidak dapat menerima kerangka mitos yang
membungkus hakekat Injil. Karena itu teologi harus bertanggung jawab untuk mengambil
berita/kerugma dari kerangka mitosnya. Menurut Bultmann kerangka mitos ini bukan
merupakan ciri kekristenan.13

Tujuan dari mitos ialah untuk mengekspresikan pengertian manusia tentang dirinya
sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos menggunakan
perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk mengekspresikan
keyakinan-keyakinan menurut pengertian manusia itu sendiri. Oleh kerena itu pada abad
pertama, orang Yahudi mengerti dunia ini sebagai suatu sistem terbuka kepada Allah dan
kuasa-kuasa supranatural. Alam semesta pada abad pertama dinyatakan dalam tiga tingkat;
surga di atas, bumi dan neraka di bawah bumi. Bultmann berpendapat bahwa ini merupakan
pandangan tentang alam semesta yang terdapat dalam Alkitab. Situasi alam seringkali
diganggu oleh intervensi supranatural.14

Menurut Bultmann, transformasi dunia yang bersifat mitos ini dipakai juga untuk
mentransformasikan Yesus. Pribadi Yesus yang ada dalam sejarah segera berubah menjadi
suatu mitos dalam kekristenan yang primitif, sehingga Bultmann mempermasalahkan bahwa
pengenalan historis tentang manusia Yesus tidak relevan lagi untuk iman kekristenan. Mitos
inilah yang memperhadapkan kita pada gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus. Fakta-fakta
sejarah tentang Yesus dikatakan telah berubah menjadi cerita mitos dari suatu keberadaan pra-
eksistensi yang bersifat ilahi yang berinkarnasi dan darah-Nya menebus dosa-dosa manusia,

11
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 43-44.
12
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 49.
13
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 49-50.
14
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 50.

6
bangkit dari kematian, naik ke surga, dan seperti yang dipercaya, ia akan segera kembali untuk
menghakimi dunia dan meresmikan zaman baru. Pusat cerita ini juga menurut dugaan
dibumbui oleh cerita-cerita mujizat, cerita-cerita tentang suara-suara dari surga, kemenangan-
kemenangan atas setan dan lain-lain. Bultmann mengklaim bahwa semua penyajian tentang
Yesus dalam Perjanjian Baru bukanlah sejarah melainkan hanya mitos dan itulah pola
pemikiran dari orang yang menciptakan mitos-mitos ini untuk mengerti diri mereka sendiri
dengan lebih baik. Itu semua adalah mitos-mitos yang tidak cocok lagi untuk manusia abad ke-
20 yang lebih percaya kepada rumah sakit untuk mengobati penyakitnya dan bukan menanti
mujizat, yang lebih memilih obat untuk kesembuhan dan bukan doa. Untuk
mengkomunikasikan Injil secara efektif kepada manusia modern, kita harus mendongkel mitos
dari Perjanjian Baru dan mencoba untuk menyingkapkan tujuan mula-mula di balik mitos itu.
Proses penyingkapan itu disebut demitologisasi.15

Proses demitologisasi menurut Bultmann bukan berarti menyangkal mitologinya.


Demitologisasi ini berarti penafsiran secara eksistensial yaitu menurut pengertian manusia
terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah tersebut orang modern sendiri dapat
mengerti. Bultmann melakukan hal ini dengan menggunakan konsep-konsep dari filsuf
eksistensialis Jerman, Martin Heidegger. Dalam interpretasi eksistensial hal pertama yang
harus dicari adalah pandangan tentang eksistensi yang terkandung di dalam ungkapan-
ungkapan mitologis itu.

3.2.1. Interpretasi Eksistensial

Dalam Perjanjian Baru terdapat dua cara bereksistensi bagi manusia, yaitu sebagai
orang yang tidak beriman, yang tidak mendapat keselamatan dan sebagai orang beriman, yang
mendapat keselamatan.16 Orang yang tidak beriman menghabiskan apa yang mereka dapati di
dalam hidup mereka. Mereka mencoba mencapai keadaan mereka yang sebenarnya dengan
menciptakannya sendiri dan dengan menguasainya sendiri. Mereka ingin mengamankan hidup
tanpa pertolongan kuasa yang lain. Mereka ingin bekerja sendiri dengan mempergunakan harta
benda duniawi atau dengan prestasi kesusilaan mereka sendiri. Akibatnya, mereka berada pada
jalan yang menyesatkan sebab manusia dalam realitasnya tidak memiliki kepastian. Maka
dengan melekat pada apa yang tampak ini hidup manusia diserahkan pada kefanaan dan pada
maut, sehingga manusia dikuasai oleh ketakutan. Makin besar ketakutan manusia, makin kuat

15
H.M.Conn, Teologia Semesta Kontemporer, 50-51.
16
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Gunung Mulia., Jakarta 2000, 76.

7
ia melekat kepada miliknya, kepada dirinya sendiri. Inilah yang disebut dosa di dalam Alkitab.
Dosa ialah membanggakan dirinya sendiri, ingin mempertahankan diri sendiri dan ingin
menjadikan dirinya Allah.

Orang yang beriman yang bereksistensi di dalam iman dan kasih, melepaskan segala
kepastian yang diciptakannya sendiri, juga hidupnya dan segala yang tidak nampak, yang tidak
dikuasainya. Ia melihat dirinya sebagai makhluk Allah dan merasa bahwa hidupnya itu suatu
hadiah. Sikap yang demikian hanya mungkin karena percaya kepada kasih karunia Allah,
percaya kepada Allah yang tidak tampak, yang menjumpai manusia dalam kasih serta
membuka suatu masa depan baginya yang disebut terang, bukan maut. Bereksistensi yang
demikian disebut bereksistensi secara eskatologis. Eskatologi ialah akhir dunia yang di dalam
iman telah terjadi pada masa kini juga.17

Orang yang beriman hidup kritis terhadap dunia. Oleh karena ia mengenakan Allah
maka ia bebas dan lepas dari segala sesuatu yang terdapat di dalam dunia ini. Ini bukan askese
di dalam dunia, bukan pula pengunduran dari dunia, tetapi inilah sikap orang yang di dalam
dunia ini memandang dirinya sebagai pihak yang menerima. Maka sekalipun ia memiliki dunia,
namun bersikap seperti orang yang tidak memilikinya.18

Eksistensi di dalam iman dan kasih merupakan suatu ciptaan baru, bukan karena
sifatnya yang supra-alami melainkan karena manusia dikembalikan kepada dirinya sendiri lagi,
kepada eksistensinya yang sebenarnya, kepada eksistensi yang sesuai dengan maksud ketika
manusia diciptakan. Padahal eksitensi yang baru ini baru mungkin ada setelah kejadian-
kejadian yang terjadi pada Kristus. Persoalan yang pokok ialah bahwa manusia akan dapat
mengetahui situasi yang sebenarnya, jika ia dapat dibebaskan dari dirinya sendiri. Kebebasan
ini hanya dapat dilaksanakan dari luar manusia, yaitu karena kasih Allah. Hanya orang yang
telah mengalami kasih yang dapat mengasihi.19

Karya pembebasan Allah di dalam Perjanjian Baru digambarkan sebagai kejadian yang
mistis. Di dalam Perjanjian Baru unsur-unsur historis dan mistis dicampur. Misalnya, tokoh
mistis tentang Anak Allah itu sekaligus dilihat sebagai manusia tertentu di dalam sejarah, yang
ayah dan ibunya dikenal. Percampuran sejarah dengan mitologi inilah yang menjadi kunci bagi
interpretasi pengupasan mitologi. Maksud Perjanjian Baru dengan uraiannya yang bersifat

17
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 77.
18
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 77.
19
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 77.

8
mitologis itu untuk mengungkapkan pentingnya tokoh sejarah Yesus, yang juga dipandang
sebagai tokoh penyelamat, dan sejarah Yesus yang dipandang sebagai kejadian penyelamatan.
Kejadian penyelamatan itu dipusatkan pada salib dan kebangkitan Kristus. Justru di sini unsur-
unsur yang menyusun sejarah dan mitos dicampur untuk mengungkapkan artinya sebagai
sejarah penyelamatan.20

Salib adalah suatu kejadian yang dapat ditunjukkan tanggal dan harinya di dalam
sejarah. Kejadian yang historis ini diceritakan secara mitologis untuk menaikkan kejadian yang
terjadi pada suatu waktu yang lampau itu dari tingkatan sejarah hingga mendapat dimensi
kosmis. Dengan demikian ditunjukkan bahwa kejadian yang historis itu memiliki arti sejarah
penyelamatan sebab dengan demikian, kejadian itu dijadikan kejadian yang eskatologis, yang
mengakhiri dunia yang lama. Sebagai kejadian yang eskatologis, kejadian itu bukan lagi
mewujudkan suatu kejadian yang historis yang tejadi pada waktu yang lampau, melainkan
menjadi suatu kejadian yang senantiasa dihadirkan di depan kita. Jadi percaya kepada salib
bukan berarti berpaling pada suatu kejadian mistis yang terjadi di luar kita dan di luar dunia
kita, melainkan mengangkat salib Kristus sebagai salib kita sendiri, membiarkan diri disalib
bersama dengan Kristus.21

Kebangkitan Kristus tidak dapat dipisahkan dari salib. Sebab kebangkitan itulah
pengungkapan tentang pentingnya salib, yaitu bahwa kematian Kristus di salib itu tidak boleh
dipandang sebagai suatu kematian insani. Sebab kematian di salib itulah penghakiman Allah
yang membebaskan, dengannya Allah memberikan keselamatan pada dunia serta menciptakan
kemungkinan untuk hidup dengan sungguh-sungguh. Maka kebangkitan Kristus itulah suatu
hal yang harus dipercaya juga. Salib dan kebangkitan mewujudkan suatu kesatuan, serta
menjadi asal dan bahan iman.22

Kristus sebagai yang disalib dan yang dibangkitkan menjumpai kita dalam firman yang
diberitakan. Percaya pada kebangkitan Kristus berarti percaya pada firman yang kini dan di
sini diberitakan kepada kita. Iman paska yang sejati ialah iman yang menemukan arti yang
terkandung di dalam firman yang diberitakan sebab Yesus benar-benar hadir di dalam kerygma.
Kerygma yang ditujukan kepada para pendengarnya ialah firman Kristus sendiri.23

20
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 78.
21
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 78.
22
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 79.
23
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 79.

9
Pengertian kerygma ini menjadi inti di dalam ajaran Bultmann. Secara harfiah kerygma
ialah apa yang diserukan oleh seseorang. Menurut Bultmann, kerygma adalah berita Perjanjian
Baru yang menjadi suata sapaan, suatu teguran pribadi Allah kepada saya, serta memanggil
saya untuk mengambil keputusan. Isi kerygma ialah apa yang terjadi pada Kristus. Di dalam
pemberitaan apa yang terjadi pada Kristus itu menjadi realitas kini dan di sini. Maka kerygma
itu identik dengan perealisasian kerygma. Pemberitaan firman itu bukanlah suatu pembicaraan
tentang penyataan atau wahyu Allah, melainkan suatu penyataan atau wahyu Allah sendiri.
Allah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya di dalam pemberitaan firman itu. Jadi, apa
yang di dalam Alkitab mewujudkan kejadian-kejadian yang berurutan (dulu, sekarang dan
besok) dipersatukan di dalam firman yang pada saat itu diberitakan. Advent, Natal, Jumat
Agung, Paska, Kenaikan dan Pentekosta, semuanya terjadi dalam satu hari, yaitu kini dalam
pemberitaan itu. Sifat historis penyataan atau wahyu Ilahi dirampas oleh kejadian dalam
pemberitaan. Pemberitaan dimasukkan ke dalam kejadian penyelamatan. Pemberitaan itu
sendirilah kejadian penyelamatan.24

Teologi Bultmann disebut teologi Firman, teologi kerygma. Karya penyataan atau
wahyu Ilahi menjumpai kita di dalam kerygma, serta membuka mata kita bagi diri kita sendiri,
sehingga kita mendapatkan suatu perspektif baru tentang diri kita sendiri dalam hubungan
hidup kita yang eksistensial konkret. Oleh karena itu iman adalah suatu eksistensi yang baru.25

Bahan atau sasaran teologi ialah Tuhan Allah, tetapi orang tidak dapat secara langsung
berbicara tentang Allah. Segala pembicaraan tentang Allah harus dilakukan dengan cara tidak
langsung artinya dalam ungkapan-ungkapan dan kebenaran-kebenaran yang berhubungan
dengan situasi eksistensial yang konkret dari yang bicara atau dari yang diajak bicara. Maka
pernyataan-pernyataan teologis itulah yang benar dan berlaku, jika pernyataan-pernyataan itu
bersifat eksistensial. Manusia menjadi saluran kebenaran ilahi. Orang hanya dapat berbicara
tentang Allah dan perbuatan-Nya, jika ia sekaligus berbicara tentang manusia dan
eksistensinya. Jika orang ingin berbicara tentang Allah, ia harus berbicara juga tentang dirinya
sendiri. Teologi sama dengan antropologi. Sekalipun demikian, pendirian ini bukanlah
subyektivisme. Bultmann memegang teguh sifat transenden Allah. Tetapi perbuatan-perbuatan
Allah dialaskan pada eksistensi manusia.26

24
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 79-80.
25
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 80.
26
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 80.

10
Di dalam iman, eksistensi orang digetarkan karena pertemuannya dengan Allah yang
terjadi di dalam pemberitaan. Karena getaran tadi, pandangan orang itu tentang dirinya
berubah, namun perubahan pandangan ini bukanlah sesuatu yang tetap. Setiap kali perubahan
itu harus direalisasikan lagi dalam pertemuan dengan Allah yang baru. Demikianlah, kebajikan
Allah setiap pagi baru. Setiap pagi kita harus dapat mengakuinya. Firman Allah menuntut iman
sekarang juga.27

3.3. Catatan Kritis

3.3.1. Kritik Bentuk

Kritik bentuk memisahkan kekristenan dari Kristus. Perhatian yang utama lebih
diberikan kepada masyarakat Kristen dan bukan kepada Kristus yang memegang peranan
kreatif dalam memproduksi keempat Injil. Berita Perjanjian Baru dipusatkan bukan pada
masyarakat itu tetapi pada Kristus. Gereja, Paulus dan para Rasul lainnya adalah saksi-saksi
dan bukan pencipta Injil. Tanggungjawab yang terutama bukanlah menciptakan tradisi-tradisi
baru melainkan pemeliharaan dan penerusan karya-karya kuno tersebut.

Kritik bentuk memisahkan kekristenan dari para Rasul. Bultmann mengurangi sama
sekali kehadiran para Rasul sebagai penjaga tradisi akurat mengenai Yesus dalam Gereja awal.
Para rasul mempunyai sumber informasi yang berwibawa mengenai fakta-fakta serta doktrin
kekristenan dan Kristus. Para rasul merupakan jaminan Allah bagi kontinuitas dan integritas
iman Kristen historis.

3.3.2. Demitologisasi

Bultmann menuntut penolakan secara radikal hal-hal supranatural dari kekristenan


yang klasik. Setiap doktrin yang dikatakan Bultmann sebagai mitos adalah yang dikatakan
fakta oleh Perjanjian Baru. Semua ini ada hubungannya dengan penekanan Bultmann yang
berpusat pada manusia atau manusia sentris. Tentu saja hal ini bertentangan secara radikal
dengan ciri Perjanjian Baru yang berpusat pada Allah sentris.

Bultmann dalam teorinya tentang demitologisasi lebih menekankan bagaimana Allah


berbicara kepada kita melalui Kitab Suci. Apa yang dapat Allah sampaikan kepada kita melalui
Kitab Suci itu hanya dapat didengar dan bukannya dinilai. Bultmann terlalu berfokus pada
aspek penilaian dan cara bagaimana Sabda Allah itu sampai pada manusia dan lupa bahwa

27
H. Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, 81.

11
aspek yang tidak kalah penting adalah bagaimana mempersiapkan manusia untuk
mendengarkan apa yang Allah katakan kepadanya. Salah satu cara yang membantu manusia
mempersiapkan diri untuk mendengar apa yang ingin Allah katakan kepadanya adalah dengan
berdiam diri. Manusia perlu mematikan semua suara, suara-suara yang berbicara tentang diri
sendiri maupun suara-suara orang lain yang berbicara kepada kita agar ia bisa lebih siap untuk
mendengarkan suara Allah. Mematikan suara-suara yang lain memberi kemungkinan yang
lebih besar kepada Allah untuk bersuara.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L.Ch.,

1989 Rudolf Bultmann dan Theologinya, Gunung Mulia, Jakarta.

Conn, H. M.,

2000 Teologi Semesta Kontemporer, Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.

Hadiwijono, H.,

2000 Teologi Reformatoris Abad ke-20, Gunung Mulia, Jakarta.

Johnson, R. A.,

1987 Rudolf Bultmann: Interpreting Faith for the Modern Era, Collins, London.

Kegley, C. W.,

1966 The Theology of Rudolf Bultmann, SCM Press Ltd, London

13
14

Anda mungkin juga menyukai