Anda di halaman 1dari 11

PERJUMPAAN SAYA DENGAN PASIEN DI RUANG OPERASI

MENGGERAKKAN SAYA UNTUK HADIR DAN MENEMANI DIA KARENA IMAN


DAN HARAPAN AKAN KASIH DAN BANTUAN ALLAH DALAM YESUS
KRISTUS YANG MENDERITA, WAFAT DAN BANGKIT SUPAYA DIA TIDAK
MERASA DITINGGALKAN SENDIRIAN

1. Latar Belakang
Tesis ini lahir dari sebuah pengalaman live in selama 10 hari di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Semarang. Saya hadir di rumah sakit untuk terlibat secara aktif dalam mendampingi
pasien, ada bersama mereka, berkenalan, berbicara, bercerita, termasuk juga dengan keluarga
mereka. Kehadiran saya bersama pasien merupakan bagian dari partisipasi saya untuk turut
merasakan penderitaan dan situasi ketidakberdayaan mereka di tengah kungkungan berbagai
jenis penyakit yang menyerang fisik dan juga berdampak pada spirit mereka. Dalam situasi
ketidakberdayaan itu saya terus hadir dan ada karena iman dan harapan akan kasih dan bantuan
Allah dalam Diri Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit. Saya berusaha untuk
merefleksikan bagaimana iman dan harapan akan kasih dan bantuan Allah itu berpengaruh
terhadap hidup manusia yang berada dalam ambang batas dan ketidakberdayaannya.
2. Konteks
Petugas Pastoral Care di Rumah Sakit Santa Elisabeth Semarang sudah membuat
jadwal untuk saya dan teman-teman. Dari jadwal itu, saya tidak hanya bertugas di satu ruangan
tertentu tetapi selalu berpindah ke ruangan-ruangan yang lain. Pada suatu hari, saya mendapat
tugas di kamar operasi. Ada berbagai perasaan yang muncul di dalam hati sebelum ke kamar
operasi, ada kecemasan dan keraguan karena belum punya pengalaman sebelumnya. Saya
cemas karena belum yakin apakah nanti saya bisa bertahan di dalam kamar operasi atau tidak.
Saya kuatkan hati untuk harus bisa karena saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Ketika saya masuk ke kamar operasi, pasiennya sudah ada di atas meja operasi dalam
keadaan tidak sadarkan diri. Pasien itu seorang pria dengan usia yang saya perkirakan di atas
40 tahun. Dokter dan petugas-petugas yang lain juga sudah ada. Mereka semua kelihatannya
rilex dan santai. Saya sendiri masih dalam posisi yang cukup tegang. Sebelum dokter memulai
kerjanya, kami semua diajak berdoa menurut keyakinan masing-masing. Dalam doa itu saya
mohon diberi kekuatan untuk bertahan dan semoga operasinya berjalan dengan lancar dan
sukses. Ketika perut pasien mulai dibelah, saya hampir tidak sanggup untuk melihat dan ingin
keluar dari ruangan itu, tetapi syukurlah bahwa saya mampu menguasai diri dan akhirnya bisa
bertahan selama kurang lebih dua jam hingga operasi selesai. Saya menyakini bahwa
kemampuan itu merupakan berkat bantuan dari Tuhan.
Awalnya saya tidak tahu penyakit apa yang diderita pasien tersebut dan saya juga tidak
sempat menanyakannya. Dengan mengikuti jalannya operasi itu, saya akhirnya tahu bahwa
pasien ini mengalami gangguan di bagian usus besar. Pasien tidak dapat membuang air besar
secara normal karena ada tumpukan daging di usus besar yang menghalanginya. Tumpukan
daging kurang lebih sekilo itu akhirnya berhasil diangkat. Akibatnya usus besarnya di potong
dan saluran pembuangan ‘air besar’ dipindahkan sementara di samping kanan perut. Saya

1
melihat dokter membuat lubang di sisi kanan perut pasien dan menjadikan lubang itu sebagai
anus buatan. Setelah selesai operasi saya mendengar sendiri dari mulut dokter bahwa pasien
ini langsung ditempatkan di ruangan ICU karena masih membutuhkan perawatan yang intensif.
Saya bersyukur pada Tuhan karena operasi yang bagi saya mengerikan itu bisa berjalan
dengan lancar dan selesai pada waktunya. Terima kasih juga kepada tangan-tangan ajaib dari
dokter dan para pembantunya yang sudah menolong pasien itu semampu mereka. Bagi saya ini
pengalaman yang luar biasa. Operasi sudah selesai tetapi pasiennya masih harus menjalani
perawatan lanjutan yang intensif karena dia masih hidup dengan anus sementara. Itu berarti
untuk bisa sembuh, perut pasien itu akan kembali dibelah lagi agar usus besarnya yang sempat
dipotong itu bisa disambung lagi dan anusnya dapat difungsikan lagi. Itu yang ada dalam
pikiran saya dan yang juga menjadi harapan saya.
Saya sungguh merasa kasihan dengan pasien itu. Dalam ketidakberdayaannya itu, ia
tidak dapat menolong dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti itu ia membutuhkan bantuan dari
orang lain. Kehadiran dan bantuan dari orang lain menjadi sesuatu yang penting dan mendesak.
Dokter dan para pembantunya di kamar operasi telah hadir dan memberi bantuan sesuai dengan
keahlian dan kemampuan mereka. Kehadiran saya di kamar operasi itu juga mempunyai arti
tersendiri meski saya tidak berbuat apa-apa. Kehadiran saya merupakan sebuah bentuk
dukungan moril baik untuk para petugas kesehatan maupun untuk pasien sendiri, lewat seruan-
seruan doa kepada Yang Maha Kuasa. Seruan-seruan kecil di kedalaman hati saya itu timbul
dari suatu keyakinan iman dan harapan akan Dia, karena Dia mempunyai daya dan kekuatan
tersendiri dan dengan cara-Nya sendiri Dia dapat membantu bapa, pasien yang menderita ini.
Keyakinan dan iman ini yang bisa saya hadirkan karena saya percaya bahwa Kristus sungguh
adalah penyelamatku dan Ia mencintai semua orang apa pun agamanya tanpa memandang bulu.
3. Penjelasan Tesis
3.1. Perjumpaan Saya dengan Pasien yang Tidak Berdaya di Ruang Operasi
Sakit adalah sebuah pengalaman penderitaan yang bisa dialami oleh siapa saja karena
tubuh manusia memang rentan terhadap berbagai penyakit. Sakit dan penderitaan akan selalu
ada bersama-sama dengan manusia di dunia dengan cara yang berbeda, dalam dimensi yang
berbeda dan dalam bentuk yang berbeda pula. Penderitaan dirasakan sebagai bagian dari alam
transendental manusia, sebagai salah satu titik dimana manusia dalam pengertian tertentu,
“ditakdirkan” untuk keluar dari batas-batas dirinya, dan ia dipanggil kepada penderitaan
dengan cara yang misterius.1
Sepanjang hidupnya manusia berjalan dengan caranya masing masing di jalan
penderitaan. Manusia menderita dengan banyak cara, yang tidak selalu dapat diobati, dengan
obat yang paling canggih sekalipun. Penderitaan bisa dikelompokan dalam penderitaan fisik
dan penderitaan moral. Pembedaan ini dilakukan berdasarkan dimensi ganda dari manusia dan
mengindikasikan elemen jasmani dan rohani sebagai subjek langsung dari penderitaan. Ketika
kata “penderitaan” dan “kesakitan”, pada level tertentu dapat disinonimkan, penderitaan fisik

1
Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, no. 2.

2
terjadi ketika “tubuh mengalami kesakitan”, sedangkan penderitaan moral adalah “sakit yang
dialami oleh jiwa”.2
Kitab Suci adalah sebuah buku yang dapat mengambarkan penderitaan dengan sangat
baik. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 37:33-35, menceritakan tentang penderitaan
Yakub karena kehilangan anak kesayangannya Yusuf. Penderitaan Yakub ini tergolong dalam
penderitaan moral. Penderitaan moral yang lain terdapat juga dalam 2 Sam 19:1, menceritakan
kesedihan Raja Daud yang menangis meratapi kematian putranya Absalom. Perjanjian Lama
juga menampilkan penderitaan fisik seperti yang dialami oleh Ayub, Ayub 2:7, tubuh Ayub
bernana dan berbau busuk dari telapak kaki hingga kepala. Perjanjian baru sering
menghubungkan penderitaan moral dengan penderitaan fisik. Dalam masyarakat Yahudi orang
yang menderita penyakit kusta, bisu atau tuli sering dikaitkan dengan dosa dan karena dianggap
berdosa maka hidupnya terpisah dari masyarakat umum karena mereka dianggap najis.3
Pasien yang saya temui di ruang operasi sedang mengalami penderitaan fisik. Sakit fisik
ini disebabkan oleh penyakit tertentu sehingga beberapa organ tubuh bagian dalam tidak dapat
berfungsi dengan baik. Penyakit melumpuhkan fisik pasien ini sehingga ia berada dalam posisi
yang tidak berdaya. Situasi ketidakberdayaan fisik ini bisa juga berdampak pada mentalnya.
Hal ini sangat mungkin terjadi.
Bagi saya pribadi, penderitaan yang dialami bapa ini cukup serius mengingat hasil
operasi ini pun belum membawa hasil yang maksimal. Setelah kesadarannya pulih, saya yakin
ia akan menderita kesakitan dari luka-luka bekas operasi di sekitar perutnya. Kondisi pasien
yang demikian memunculkan dalam diri saya rasa rasa iba dan kasihan. Ingin rasanya
membantu dia untuk meringankan derita yang sedang dideritanya namun apa daya, saya tidak
memiliki daya apa pun. Saya hanya bisa berdiri, berdiri dengan diam dan tenang.
3.2. Menggerakkan Saya untuk Hadir dan Menemani Dia
Penderitaan pasien ini menggerakkan saya untuk hadir dan menemani dia selama proses
operasi di ruang bedah. Awalnya saya gugup dan hampir keluar dari ruangan karena tidak tahan
melihat tubuh manusia dipotong dan dibelah seperti hewan, tetapi syukurlah bahwa ada
‘kekuatan lain’ yang membuat saya sanggup untuk tetap ada bersama dengan dia dari awal
sampai akhir proses operasi. Kehadiran saya dalam ruangan bedah itu mungkin tidak punya
faedah apa-apa bagi para dokter dan pembantunya karena mereka tahu bahwa saya tidak
memiliki kompetensi seperti mereka. Namun, di sisi lain kehadiran saya merupakan suatu
bentuk simpati dan empati saya terhadap pasien, untuk sakit dan derita yang dialaminya. Rasa
simpati dan empati yang saya berikan tentunya tidak dialami langsung oleh pasien karena ia
berada dalam posisi tidak sadar akibat obat bius namun hal itu bagi saya tidak penting. Apa
yang penting adalah niat dan ketulusan hati saya untuk solider dan berbela rasa dengan
penderitaannya sebagai sesama.4
Kehadiran saya merupakan bukti tanggung jawab moral saya terhadap sesama lain yang
menderita. Setiap orang membutuhkan teman di dalam hidupnya, seperti yang telah disabdakan
sendiri oleh Allah, Sang Pencipta, “Tidak baiklah manusia hidup sendiri” (Kej 2:3). Hidup
manusia terbentuk melalui relasi dan tanggapan terhadap sesamanya. Manusia tidak pernah

2
Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, no. 5
3
Bdk. Matius 8:1-4, Markus 1:40-45, Lukas 5:12-16
4
Bdk. Orang Samaria yang murah hati, Lukas 10:25-37.

3
bisa bertumbuh secara moral dalam ke-aku-an dan personalitas dirinya. Ia hanya bisa
bertumbuh dalam relasi yang baik dan benar dengan sesamanya. Kesadaran moral yang paling
pertama dan harus ada pada setiap orang adalah kesadarannya bahwa ia hidup dengan sesama.
Setiap orang harus menyadari bahwa kehadiran sesamanya adalah suatu undangan untuk keluar
dari dirinya sendiri dan berjumpa dengan orang lain.5
Konsili Vatikan II menegaskan juga suatu konsep tanggung jawab. Moralitas berarti
orang bertanggung jawab. Ia bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan hidup sesamanya,
sekalipun itu sulit dan sakit. Tanggung jawab itu adalah sumbangan bagi kesejahteraan
bersama. Konsili Vatikan II menyatakan,
Hendaknya bagi semua merupakan kewajiban suci: memandang hubungan-hubungan
sosial sebagai tugas utama manusia zaman sekarang, serta mematuhinya. … Dengan demikian
memang sesungguhnya – berkat bantuan rahmat ilahi yang memang diperlukan – akan
bangkitlah manusia-manusia baru, yang membangun kemanusiaan baru pula (GS.30).

Teologi Moral merefleksikan pewahyuan Tuhan di dalam Kristus dan jawaban manusia
terhadap pewahyuan itu. Moral kristiani dibangun di atas kerangka wahyu-iman ini. Moralitas
kristiani melihat bahwa perilaku manusia dianggap sebagai jawaban atas pewahyuan tersebut
yang terwujud dalam sebuah tindakan. Karena itu, norma moral orang Kristen selalu bersifat
Kristosentris sebab Kristus dianggap sebagai dasar untuk bertindak karena Dia dianggap
sebagai Pemberi norma. Hidup moral itu hanya bisa terjadi di dalam kebersamaan dengan
manusia yang lain.6
3.3. Karena Iman dan Harapan akan Kasih dan Bantuan Allah dalam Yesus Kristus yang
menderita, wafat dan bangkit
3.3.1. Iman
Konsili Vatikan II dalam Dei Verbum artikel 5 menulis demikian:
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman”
(Rm 16:26; lih. Rm 1:5; 2 Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri
seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akal budi serta kehendak yang
sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan sukarela menerima sebagai
kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu,
diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, juga bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan
pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran. Supaya semakin
mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman
melalui karunia-karunia-Nya.

Konsili merumuskan iman sebagai pengakuan bebas terhadap wahyu. Iman secara
hakiki berarti kesetujuan dengan wahyu dan kesetujuan itu secara hakiki berarti penyerahan
pribadi. Iman tidak dibatasi pada segi intelektual. Iman yang adalah kesetujuan itu merupakan
penyerahan total yang mencakup baik pengharapan maupun cinta kasih. Dengan kebebasannya
manusia tidak diharuskan untuk memberi kesetujuannya. Kesetujuan iman tidak diberikan oleh
karena kebenaran intrinsik yang ditangkap dengan cahaya kodrati dari budi atau karena alasan-
alasan pikiran manusia. Sebaliknya manusia memberi kesetujuan karena wewenang Allah.

5
M. Mali, CSsR, Iman dalam Tindakan, Kanisius, Yogyakarta 2009, 19-20.
6
M. Mali, CSsR, Iman dalam Tindakan, 20-21.

4
Allah Pencipta dan Tuhan punya wewenang terhadap manusia. Allah menyapa sedemikian
sehingga manusia disapa dan ditantang dalam arti dan inti hidupnya. Dengan sabda-Nya, Allah
Pencipta dan Tuhan, memberi arti dan membuka masa depan bagi manusia. Karena itu dasar
untuk iman dibedakan dari pengetahuan kodrati tentang Allah dan tentang moral. Beriman
bukan semacam pengetahuan, beriman merupakan peristiwa sabda dan jawaban. Jawaban iman
tidak dapat tidak bebas namun demi wewenang Allah yang menyapa manusia pada inti
hidupnya, jawaban itu tidak “terserah”. Manusia harus menyatakan ketaatan iman.7
Untuk iman perlu rahmat. Iman adalah kegiatan manusia, tetapi kegiatan manusia ini
hanya mungkin kalau Tuhan menolongnya, baik sebelum maupun di dalam memberi
kesetujuan iman itu. Bantuan Tuhan itu berupa rahmat batin dan rahmat lahir. Kesetujuan iman
bukanlah suatu gerakan jiwa yang buta. Walaupun iman tidak berpangkal pada pemahaman
rasio melainkan pada sabda Allah, iman juga tidak melawan rasio.8 Satu peristiwa iman
memiliki tiga unsur: akal budi (bukan suatu gerakan jiwa yang buta), kehendak (bukan
kesimpulan matematis tetapi suatu kesetujuan pribadi yang bebas) dan rahmat (anugerah dan
bantuan Allah).
Beriman adalah perjumpaan yang dinamis, pengalaman perjumpaan yang menantang orang
menyerahkan hidup seluruhnya (ultimate concern) kepada Allah yang memanggil untuk
berbagi hidup. Keterlibatan dinamik dari segenap kemampuan dan seluruh kemerdekaan
manusia yang aktif-hidup. Hubungan eksistensial-aktual pribadi disebut “wahyu” kalau dilihat
dari sudut Allah, diberi nama “iman” jika dilihat dari sudut manusia. Pengalaman Iman
sepantasnya dibedakan dari “pengalaman religius” (kerinduan terdalam manusia akan Yang
Mutlak yang mengerakkannya untuk melampaui pengalaman yang aktual dan yang
mengarahkan diri pada yang tak terjangkau). Iman adalah pilihan mendasar untuk menjawab
sapaan Allah yang menyapa manusia untuk berbagi hidup. Lewat pengalaman religius, kita
membenahi kemampuan kita sendiri, tidak lebih, tetapi hidup kita menjadi lain, saat Allah
berbagi hidup dengan kita.9
Beriman adalah praksis hidup moral. Beriman nyata kalau orang memperjuangkan
hidupnya, kalau orang setia pada cita-cita hidupnya, kalau orang tidak mengkhianati orang lain.
Beriman nyata kalau orang mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan sesama (bertindak-
bertanggungjawab demi kepentingan bersama). Beriman nyata kalau orang berbuat moral.
Penghayatan iman merupakan ungkapan iman, tindakan orang beriman untuk menampakkan
imannya lebih eksplisit (segi kelihatan). Perwujudan iman merupakan tindakan orang beriman
untuk menyatakan imannya lebih sungguh (segi pembatinan). Dibedakan dengan ungkapan
iman (tindakan keagamaan yang membuat iman kentara), perbuatan moral menjadi perwujudan
iman. Dalam perbuatan keagamaan, arah hubungan manusia dengan Allah biasanya terungkap
dengan lebih eksplisit; sedangkan dalam perbuatan moral, relasi manusia dengan Allah
biasanya dihayati dengan lebih sungguh. Perbuatan moral adalah perbuatan bebas dan sadar
demi kepentingan keseluruhan hidup manusia, menurut suara hati (GS 16) berupa
pertimbangan/pengakuan nilai dan keputusan untuk bertindak. Supaya dapat bermoral, tidak
perlu orang beriman tetapi dengan berbuat sesuai dengan suara hati, orang beriman

7
T.Jacobs-B.Kieser, Iman, diktat Teologi Harapan, FTW , Yogyakarta 2016, 58.
8
T.Jacobs-B.Kieser, Iman, diktat Teologi Harapan, 59
9
Y. B. Prasetyantha, MSF, Konsili Vatikan II Iman-Wahyu, diktat kuliah

5
mewujudkan imannya dengan transendensi diri/taat pada hukum suara hati, orang kristiani
berjumpa dengan Allah.10
Bagi orang beriman kristiani, iman menjadi motivasi moral. Kalau orang beriman
“mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh10:10), orang
tertantang untuk berjerih payah agar kelimpahan hidup sampai pada semakin banyak orang
(bdk. Mat 5:13-16). Motivasi utama moral kristiani adalah cinta Allah yang tanpa syarat (aku
mencinta tanpa syarat karena aku telah dicinta tanpa syarat). Indikatif keselamatan
mengerakkan imperatif moral, tindakan moral menjadi ibadah sejati (Rom 12:1-2). Bersama-
sama, ungkapan iman (doa) dan perwujudan iman (moral) merupakan keutuhan hidup
beriman.11
Kehadiran saya di kamar operasi itu merupakan sebuah bentuk perwujudan iman saya. Saya
mampu untuk bertahan berdiri di kamar operasi selama kurang lebih dua jam karena ada
dorongan yang muncul dari dalam hati untuk bertahan. Saya ingin berbagi, memberi dari apa
yang bisa saya beri dan yang saya punya saat itu hanyalah sebuah kehadiran. Saya hadir dengan
seluruh kesadaran dan kepenuhan hati, dengan iman dan kepasrahan pada kasih dan bantuan
Allah untuk pasien dalam sakit dan penderitaannya.
3.3.2. Harapan
‘Kita diselamatkan dalam pengharapan,’ demikian kata Santo Paulus kepada jemaat di
Roma (Rom 8:24). Hanya dalam pengharapanlah kita akan mendapatkan keselamatan,
kebahagiaan, hidup yang lebih baik, atau apapun namanya, di tengah carut-marutnya hidup kita
di dunia ini. Lantas, yang menjadi pertanyaannya, dimanakah kita bisa menemukan titik cerah
harapan itu? Ensiklik Spe Salvi, yang dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI, secara tersurat
menyatakan bahwa harapan itu ada dalam iman. Harapan itu bertumbuh dalam iman. Bahkan,
harapan itu sendiri adalah iman.
Secara amat menarik, Paus Benediktus XVI berusaha untuk menjelaskan gagasan
tersebut dengan menengok kembali kehidupan umat Kristen awali sebelum dan sesudah
memiliki iman. Sebelum memiliki iman, umat Kristen awali terperangkap dalam dunia dan
masa depan yang gelap. Ilah-ilah yang mereka sembah terbukti tak dapat dipercaya dan
dipertanyakan. Mitos-mitos yang mereka yakini tentang ilah-ilah yang mereka sembah pun
ternyata tidak memberikan jaminan keselamatan kepada mereka. Sementara itu, dalam
suratnya kepada jemaat di Efesus, Santo Paulus juga melukiskan bahwa sebelum berjumpa
dengan Kristus, umat Kristen bagai ‘tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia’ (Ef
2:12). Situasi yang menyedihkan tersebut seketika berubah ketika mereka berjumpa dengan
dengan Kristus dan meletakkan iman pada-Nya. Berkat iman itu mereka lantas mendapat
secercah harapan atas hidup mereka. Mereka tidak lagi hidup dalam kegelapan. Sebaliknya,
hidup dan masa depan yang menjanjikan telah menanti di depan mereka.
Dalam harapan semacam itu, tidak berarti mereka lantas menjadi tahu segala hal yang
bakal terjadi dalam kehidupan mereka, tapi, lebih dari itu, mereka menjadi tahu bahwa hidup
mereka tidak akan berakhir dalam kehampaan atau kesia-siaan. Harapan akan hidup baru yang
penuh arti, atau lebih tepatnya hidup yang telah diubah oleh Allah dan disatukan denganNya,
pada akhirnya telah menjadi satu-satunya pemuas kegelisahan hidup mereka di dunia ini.

10
Y. B. Prasetyantha, MSF, Konsili Vatikan II Iman-Wahyu, diktat kuliah
11
Y. B. Prasetyantha, MSF, Konsili Vatikan II Iman-Wahyu, diktat kuliah

6
Seperti yang ditulis oleh Benediktus XVI dalam ensiklik ini, ‘Mereka yang memiliki harapan
hidup secara berbeda, sebab mereka telah diberikan karunia kehidupan yang baru.’
Berhadapan dengan pasien di kamar operasi itu yang bisa saya buat adalah berharap
sepenuhnya pada kasih dan bantuan dari Allah. Saya yakin dan percaya bahwa dalam kasih
Allah lewat hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus Putera-Nya, Allah punya cara
tersendiri yang saya tidak tahu, untuk membantu dan menolong bapa ini dalam sakit dan
penderitaannya. Saya hanya bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan dan selebihnya saya
pasrahkan sepenuhnya pada penyelenggaraan Allah.
3.3.3. Kasih dan Bantuan Allah dalam Yesus Kristus yang menderita, wafat dan bangkit
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia rela memberikan Putra-
Nya yang tunggal, agar semua orang yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa, tapi
mempunyai hidup yang kekal” (Yoh 3:16). Kata-kata yang diucapkan Kristus dalam
pembicaraannya dengan Nikodemus ini menjelaskan pada kita inti dari karya penyelamatan
Allah. Kata-kata ini juga menyatakan esensi terdalam dari soteriologi Kristen, yaitu teologi
penebusan. Penebusan berarti kebebasan dari yang jahat, dan karenanya menjadi dekat dengan
penderitaan. Seperti kata-kata yang diucapkan kepada Nikodemus, Tuhan memberikan Putera-
Nya sendiri kepada “dunia” untuk membebaskan manusia dari yang jahat, yang didalamnya
terkandung perspektif yang definitif dan absolut dari penderitaan. Pada saat yang sama, kata
“memberikan” menyatakan bahwa pembebasan ini harus diperoleh didalam Putra Tunggal-
Nya melalui penderitaan-Nya sendiri. Dalam penderitaan ini, kasih diwujudkan, kasih yang tak
terbatas dari Sang Putra Tunggal dan Bapa yang untuk alasan tersebut “memberikan” Putera-
Nya. Ini adalah kasih bagi umat manusia, kasih bagi “dunia”, kasih yang menyelamatkan.12
Manusia akan “binasa” jika ia kehilangan “hidup yang kekal”. Karenanya, lawan dari
keselamatan bukan hanya penderitaan yang bersifat sementara, penderitaan dalam bentuk
apapun, namun sebuah penderitaan yang definitif: kehilangan kehidupan yang kekal, ditolak
oleh Tuhan. Putra Allah yang tunggal telah diberikan kepada umat manusia terutama untuk
melindungi manusia dari kejahatan dan penderitaannya yang bersifat definitif. Dalam misi
penyelamatannya, Sang Putra harus menyerang kejahatan pada akar transendentalnya darimana
sejarah manusia berasal. Akar kejahatan transendental ini berada dalam dosa dan kematian:
karena itu adalah asal dari hilangnya kehidupan kekal. Misi dari Sang Putra yang Tunggal
termuat di dalam penaklukkan dosa dan kematian. Ia menaklukkan dosa melalui kepatuhannya
untuk mati, dan Ia mengatasi kematian dengan Kebangkitan-Nya.13
Oleh karya penyelamatan-Nya, Sang Putra yang tunggal membebaskan manusia dari
dosa dan kematian. Pertama Ia menyingkirkan kuasa dosa dari sejarah manusia, yang berakar
pada keterlibatan roh jahat, yang dimulai sejak dosa pertama, dan kemudian memberikan
kemungkinan bagi manusia untuk hidup di dalam rahmat pengudusan. Dalam kemenangan-
Nya terhadap dosa, Ia juga menyingkirkan kuasa kematian, dan melalui kebangkitan-Nya
dimulailah proses kebangkitan badan yang kelak akan terjadi. Walaupun kemenangan terhadap
dosa dan kematian yang diperoleh Kristus dalam Salib dan Kebangkitan-Nya tidak meniadakan
penderitaan temporal dari kehidupan manusia, atau membebaskan keseluruhan dimensi historis
eksistensi manusia dari penderitaan, namun dapat memberikan arah dari dimensi ini untuk

12
Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, No. 14.
13
Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, No. 14

7
semua penderitaan: memberikan arah keselamatan. Ini adalah arah dari Injil, yaitu, Kabar
Gembira.14 Kristus memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang penderitaan dan makna
penderitaan, tidak hanya melalui apa yang diajarkanNya, yaitu Kabar Gembira, namun di atas
segalanya melalui penderitaan-Nya sendiri, yang terintegrasi secara organik dan tak
terpisahkan dengan pemberitaan kabar Gembira.
Dengan iman dan harapan yang penuh pada kasih Allah saya dapat mengatakan bahwa
dalam penderitaan Kristus semua penderitaan manusia telah berada dalam situasi yang baru.
3.4. Supaya dia tidak Merasa Ditinggalkan Sendirian
Orang yang sakit dan tidak berdaya sungguh membutuhkan kehadiran orang lain untuk
menolong dan membantunya. Kepekaan dan kepedulian terhadap sakit dan penderitaan orang
lain menjadi unsur penting karena kepekaan dan kepedulian itu memampukan orang untuk bisa
hadir dan memberi dirinya bagi orang lain. Santa Teresa dari Kalkuta pernah mengatakan
bahwa dalam dunia yang semakin modern penderitaan yang banyak dialami oleh manusia
sekarang ini bukan terutama karena mereka lapar dan haus akan makanan dan minuman tetapi
kelaparan dan kehausan akan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Kurangnya kasih dan
perhatian dari orang lain menimbulkan penderitaan jiwa.
Orang yang sakit sudah mengalami penderitaan fisik dan bisa jadi sakit fisik itu
mempengaruhi mental. Kesendirian dalam sakit bisa membawa orang dalam sakit mental.
Kehadiran orang lain dalam situasi sakit dan penderitaan menjadi penting karena kehadiran
orang lain itu membawa suasana baru, hiburan dan dukungan yang bisa memberi motivasi dan
kekuatan dalam perjuangan melawan penderitaan. Mental orang yang menderita bisa menjadi
lebih baik kalau ia mendapat kasih, perhatian, dukungan dari orang-orang terdekatnya, dari
keluarga, kerabat dan teman-teman.
Allah sendiri tidak pernah meninggalkan manusia seorang diri. Karena kasih-Nya yang
besar Ia bahkan telah memberikan Putera-Nya sendiri yang datang ke dunia, menjadi manusia,
hadir, ada dekat dengan manusia, mengalami semua suka dan derita yang dialami manusia.
Tidak ada Allah seperti Kristus yang sedemikian dekat dengan umat-Nya. Kristus menjadi
teladan bagi saya untuk hadir dan ada bersama dengan pasien di ruang operasi. Saya hadir
dengan iman saya akan Kristus yang mencintai dan selalu hadir untuk saya. Pengalaman iman
kebersamaan saya dengan Kristus saya hadirkan agar dia yang sedang sakit juga boleh
mengalami penghiburan rohani bahwa ia tidak berada sendirian dalam penderitaannya.
4. Visi dan Misi Pastoral
Visi pastoral yang ingin saya kembangkan adalah pendalaman iman para pasien Rumah
Sakit Santa Elisabet Semarang, khususnya yang beragama Katolik. Pendalaman iman ini
diharapkan dapat membantu para pasien untuk melihat penderitaan yang sedang mereka alami
dalam terang iman akan kasih Allah dalam hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus.
Untuk mencapai visi ini, misi yang saya lakukan adalah membuat katekese dengan bersumber
pada Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Salvifici Doloris. Tujuan dari katekese
ini untuk meneguhkan iman para pasien agar dalam penderitaan apa pun mereka tidak boleh

14
Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, No. 15

8
lepas dari iman mereka akan Allah dalam Kristus, karena iman itu yang bisa membuat mereka
menjadi orang-orang yang senantiasa hidup dalam pengharapan.
Pendalaman iman dalam bentuk katekese ini kiranya dapat membantu pasien dalam
kehidupan pribadinya masing-masing dan tidak juga menutup kemungkinan bahwa dari
penghayatan dan pengamalan hidup imannya masing-masing, mereka juga dapat membagikan
apa yang mereka alami itu kepada orang-orang lain yang ada di sekitar mereka. Dengan
demikian, pasien semakin yakin dengan apa yang mereka imani dan boleh menjalankan hidup
kekristenannya dengan penuh sukacita di tengah berbagai sakit penyakit yang mereka alami.

9
DAFTAR PUSTAKA

Benediktus XVI.,
2007 Spe Salvi, Libreria Editrice Vaticana, Vatikan.

KWI
2008 Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardawiryana), Obor, Jakarta.
Mali, M.,
2009 Iman dalam Tindakan, Kanisius, Yogyakarta.

Prasetyantha, Y.B.,
2018 Konsili Vatikan II Iman-Wahyu, Diktat Teologi Harapan, FTW, Yogyakarta.

T.Jacobs-B.Kieser.,
2016 Iman, Diktat Teologi Harapan, FTW, Yogyakarta.

Yohanes Paulus II.,


2011 Salvifici Doloris

10
11

Anda mungkin juga menyukai